Anda di halaman 1dari 4

BANGKIT

Guratan senja yang indah di atas hamparan laut yang membiru. Angin
bertiup dengan manisnya. Dan aku di sini duduk termenung, betapa indahnya sang
senja di atas birunya laut. Bayangan masa lalu perlahan muncul kembali ke
permukaan, bersamaan dengan langit senja yang perlahan menghilang, berganti
pekatnya langit malam. Peristiwa itu sudah berlalu cukup lama, tetapi sakit yang
dihasilkan masih terasa. Sudahlah, adzan maghrib telah berkumandang. Aku
bergegas untuk pulang dan beribadah kepada-Nya. Dengan mengingat-Nyalah
hati kembali menjadi tenang.
"Nak, kenapa baru pulang?" itu ibuku, yang selalu mengkhawatirkanku di kala
pulang terlambat. "Lihat pantai lagi?" Tanya ibuku. Aku hanya mengangguk dan
berpamitan untuk shalat. Ibuku hanya menggelengkan kepala. Di hadapan-Nya
aku menangis tersedu-sedu, ku ungkapkan segala rasa rindu. Ku mohonkan segala
yang terbaik. Aku percaya Tuhan pendengar terbaik, pemberi solusi terhebat, dan
sangat memahami apa yang ku rasa. Dialah yang selalu menguatkanku kala kaki
mulai tergontai lemah. "Nak", suara ibuku. Satu lagi yang selalu menguatkanku.
Ibuku. Malaikat tak bersayapku. "Masuk Bu”, jawabku. "Kamu kepikiran ayah
lagi?" tanya ibu, yang sebenarnya tak perlu kujawab pun, ibu sudah tau
jawabannya. Aku pun hanya bisa terdiam. "Nak, ikhlaskan. Qodarullah. Ibu sedih
melihatmu begini. Tentu kamu tidak mau kan melihat ibu sedih?" Bagaimana bisa
aku melihat ibu bersedih. "Kamu harus bangkit, masa depan yang cemerlang
menanti kamu. Kamu jemput dia. Raih impianmu. Jangan terlalu terbayang masa
lalu. Kamu harus bisa mengubah duka menjadi suka. Buat ibu bangga. Ayah pasti
senang di sana ketika anak gadisnya menjadi orang yang mampu memberi
kebermanfaatan bagi sesama." Aku termenung, mencerna semua nasihat-nasihat
yang ibu sampaikan. Ibu benar. Aku harus bangkit. Aku tak ingin melihat ibu
bersedih. "Maafin aku ya, Bu. Ibu benar aku harus bangkit. Aku tidak mau
melihat ibu dan ayah bersedih. Terimakasih Bu" Aku langsung berhambur ke
pelukan ibu. Aku pun menangis, menyesali perbuatanku selama ini ya tanpa
disadari membuat ibu bersedih. "Tak apa, nak. Ibu paham." Ibu melepaskan
pelukanku lalu menatapku serius. "Kamu sekarang sudah kelas XII SMA. Kamu
harus melanjutkan kuliah ya, seperti yang ayah sampaikan dulu. Ibu tahu selama
ini kamu masih terbayang masa lalu, tapi kamu harus tetap meraih impianmu.
Kamu tetap ingin berkuliah di bidang kelautan, kan?" Apa aku benar-benar masih
ingin berkuliah di bidang kelautan? Entahlah. "Ya sudah. Kamu pikirin lagi ya.
Pesan ibu, kamu harus tetap bangkit dan raih impianmu. Jangan selalu terjebak
dengan masa lalu. Kita hidup untuk masa depan. Ayah dan ibu ingin kamu
menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama." Aku pun hanya mengangguk. "Ibu
tinggal dulu ya, sebentar lagi isya. Kamu jangan lupa shalat." "Iya Bu,
terimakasih." Ibu pun beranjak pergi.
Peristiwa itu kembali terbayang. Peristiwa yang mampu dengan sekejap
mengubah hidupku, dan selama bertahun-tahun membuatku terpuruk. Lima tahun
lalu, tsunami besar melanda desaku. Desaku terletak di pesisir pantai dengan
mayoritas penduduk nelayan, termasuk ayahku. Laut merupakan sumber
kehidupan kami kala itu. Aku pun sangat menyukai laut. Namun dengan sekejap,
peristiwa tsunami itu mampu mengubah desa yang semula damai nan indah
berubah menjadi menakutkan dan hampa. Tsunami tersebut mampu
meluluhlantakkan desaku dan merenggut banyak nyawa, termasuk ayahku.
Beruntungnya, aku dan ibuku masih selamat. Ibu memutuskan untuk tetap tinggal
di desa dan kembali bangkit melanjutkan hidup. Meskipun awalnya aku sangat
berat untuk kembali ke desa, aku masih trauma. Rasa sukaku terhadap laut kini
berubah menjadi kecewa bahkan benci. Tetapi, ibu terus membujukku untuk tetap
tinggal di desa, katanya desa itu selamanya akan menjadi sumber kebahagiaan
ibu, beserta lautnya. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti keinginan
ibu, aku ingin melihat ibu bahagia. Masyarakat pun perlahan mulai bangkit. Kami
bahu-membahu membangun desa, meski rasa trauma masih tersisa. Meski ibu dan
warga desa mulai bangkit, namun aku masih terkekang dengan masa lalu, aku
masih terpuruk. Aku yang dulu selalu ceria, kini tersenyum pun terasa sulit.
Namun, nasihat ibu yang disampaikan tadi benar-benar menamparku. Aku
membayangkan bagaimana sedihnya ibu selama ini melihatku yang selalu
terpuruk. Mungkin, inilah langkah awalku untuk kembali membangun mimpi.
Aku harus bisa mengubah duka menjadi suka. Besok, aku akan kembali menjadi
aku yang dulu. Aku dengan segala impian tinggiku tentang laut. Aku pun tersadar
belum shalat, aku bergegas untuk shalat dan ingin segera mengucapkan syukur
serta maaf kepada Sang Illahi.
Keesokan harinya, dengan wajah yang berseri-seri aku menghampiri ibu di
dapur. Meskipun sekrang masih jam 03.30, ibu sudah terjaga dan sibuk di dapur,
menyiapkan dagangannya. Ibu berdagang kue-kue tradisional. Kue-kuenya sangat
enak, para tetanggapun sangat menyukainya. Aku pun setiap hari turut membantu
ibu menajajakan dagangannya.
"Selamat pagi , Bu", sapaku sambil memeluk ibu. Rasanya pagi ini adalah pagi
terindah di hidupku. "Selamat pagi juga, nak. Kamu telrihat senang sekali."
"Sebelumnya aku minta maaf ya Bu selama ini selalu membuat ibu sedih karena
keterpurukanku. Tetapi, mulai pagi ini, aku akan kembali melangkah Bu,
melanjutkan mimpi-mimpiku yang sempat terabaikan. Aku akan berjuang lagi,
Bu", mendengar ucapanku, ibu tersenyum bahagia. "Alhamdulillah ibu senang,
nak. Kamu terus semangat ya." Aku pun menceritakan bahwa minggu depan
seleksi perguruan tinggi melalui jalur rapot, atau lebih dikenal dengan SNMPTN,
dan aku memutuskan untuk mendaftar kuliah di bidang kelautan, melanjutkan
mimpiku. Ibu sangat senang mendengarnya. Aku meminta restu ibu, dan tentu ibu
sangat merestui. Setelah pendaftaran itu, aku dan ibu senantiasa berdoa kepada
Sang Illahi agar berkenan mengizinkanku untuk kuliah di bidang kelautan.
Berminggu-minggu menanti, hari di mana pengumuman kelulusan SNMPTN pun
tiba. Hari itu, aku benar-benar gugup. Ibu dengan tangan lembutnya memelukku,
memberi kehangatan yang mampu mengurangi kegugupanku. "Apapun yang
terjadi, senantiasa bersyukur ya. Allah tahu yang terbaik buat hamba-Nya." Meski
kalimat singkat, namun mampu menenangkan. Pengumuman SNMPTN dapat
diakses melalui internet. Aku pun perlahan mengambil gawai dan mengetikkan
alamat website pengumuman SNMPTN. Ibu tersenyum ke arahku, membuatku
jauh lebih tenang. Setelah halaman pengumuman terbuka, aku dan ibu berpelukan.
Aku diterima. Aku lulus. Aku sangat bahagia dan bersyukur. "Barakallah, Nak.
Ibu bangga. Jadikan ini menjadi langkah awalmu untuk meraih mimpimu, menjadi
manusia yang bermanfaat dan dapat mengelola laut dengan baik." Aku
mengangguk dan sangat berterimakasih kepada malaikat tak bersayapku ini, yang
senantiasa membersamaiku. Inilah langkah awalku, meraih mimpi agar mampu
menjadi generasi yang memberikan kebermanfaatan terhadap sesama.

BIODATA
Nama : Mely Indri Yani
NIM : A34190023
No. HP/ID line: 085714078297/melyindri79
Judul Karya : Bangkit

Anda mungkin juga menyukai