Anda di halaman 1dari 5

 Home

Skip to content

CATEGORIESTHE CONVERSATION

REDAKSIKamis, 23/01/2020 09:01 WIB

Sikap sinis masyarakat atas kasus


Keraton Agung Sejagat bisa
ancam kebudayaan Jawa
tradisional
 Share

 Tweet

 Share

 Share
Ilustrasi raja dan ratu Keraton Agung Sejagad (kampusnesia.com)

Dhoni Zustiyantoro, Universitas Negeri


Semarang
Kasus “Keraton Agung Sejagat”  di Purworejo, Jawa Tengah, membuat geger
masyarakat.
Kasus ini bermula dari klaim sepihak dua orang bernama Toto Santoso dan
Fanni Aminadia yang mengatakan mereka adalah “raja” dan “permaisuri”
dari “Keraton Agung Sejagat” , sebuah kerajaan penerus Majapahit. Mereka
merekrut ratusan anggota dan meminta iuran jutaan rupiah per bulan untuk
melakukan ritual dan kirab budaya.
Meski pihak kepolisian sudah menangkap Toto dan Fanni atas
tuduhan tindak pidana penipuan dan kedua orang itu
juga mengakui kejahatan mereka, pelbagai informasi yang telanjur ramai di
media berpotensi membuat masyarakat sinis terhadap aktivitas
kebudayaan Jawa tradisional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia daring  menjelaskan sikap sinis sebagai
perilaku mengejek dan memandang rendah atau sikap yang membuat
orang tidak bisa melihat suatu kebaikan apa pun dan meragukan sifat baik
yang ada pada sesuatu.
Rasa sinis yang muncul pada masyarakat tersebut dapat mengancam
kewibawaan keraton dan pengaruh budaya Jawa tradisional yang selama ini
menjadi simbolisasi dari nilai budaya yang adiluhung, yang diyakini penting
nilainya bagi masyarakat Jawa.

Sinisme masyarakat
Sinisme tak bisa dilepaskan dari teori persepsi.

Menurut teori psikologi Gestalt, yang dicetuskan oleh tiga ahli psikologi asal


Eropa Max Wertheimer, Kurt Koffka, dan Wolfgang Kohler pada abad ke-19,
manusia membaca makna bentuk pada sebuah simbol sebagai representasi
atas suatu hal sebagai suatu kesatuan dan tidak mampu membedakannya
bagian per bagian.
Perilaku sinis terhadap simbol-simbol penting dalam kebudayaan Jawa
seperti keraton, kostum, senjata, singgasana raja, kuda, ritual, prasasti, dan
pendapa dapat muncul ketika masyarakat melihatnya juga sebagai
representasi dari kebudayaan yang “palsu dan menipu” dari kasus “Keraton
Agung Sejagat”.

Padahal, simbol-simbol tersebut bernilai sakral buat masyarakat Jawa.

Mudjahirin Thohir , guru besar antropologi budaya Universitas Diponegoro


Semarang menyebutkan bahwa ritual dan simbol-simbol dalam kebudayan
Jawa menjadi sarana penting untuk mewujudkan penghormatan kepada
Tuhan dan cara manusia mewujudkan penghormatan kepada sesama
makhluk ciptaan Tuhan, jadi tidak boleh sembarangan digunakan.
Masyarakat Jawa menggunakan makna simbolik dalam aktivitas
kebudayaan sebagai pedoman hidup yang sudah mengakar . Mereka
melakukan ritual kebudayaan sebagai doa dan bentuk rasa bersyukur
kepada Tuhan atas keselamatan, kesehatan, dan rezeki.
Pelbagai produk kebudayaan yang berasal dari keraton, antara lain berupa
seni tari, tembang, karawitan, tingkat tutur bahasa dan upacara adat, yang
dipercaya menjadi sarana mengajarkan pendidikan karakter kepada
generasi penerus.
Sikap sinis masyarakat yang muncul terhadap keberadaan simbol-simbol
kebudayaan Jawa dapat mengancam kesakralan simbol-simbol tersebut.
Persepsi sinis juga muncul karena sentimen agama yang begitu kuat. Tidak
bisa dimungkiri bahwa di tengah masyarakat ada golongan yang
mempersepsikan kebudayaan merupakan antitesis dari agama .
Meski pemerintah menyatakan agama dan kebudayaan tak bisa dipisahkan,
tapi realitas di lapangan menunjukkan hal berbeda.
Konflik sebagai akibat aktivitas kebudayaan, termasuk beribadah menurut
agama dan kepercayaan, terus terjadi. Konflik itu didasarkan pada asumsi
bahwa berkebudayaan dengan semua atributnya adalah aktivitas di luar
keagamaan yang menjadi sarana mendelegitimasi agama  itu sendiri.
Kasus keraton palsu semakin mempertebal persepsi sinis golongan ini
karena memperkuat argumen mereka bahwa ada aktivitas kebudayaan
yang mengesampingkan dimensi ketuhanan dan harus ditinggalkan .
Pemahaman seperti ini yang bisa mengancam aktivitas kebudayaan
tradisional karena keberadaannya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
agama.

Dampak buruk
Sikap sinisme masyarakat atas kebudayaan Jawa akibat kasus keraton
palsu dapat memberi dampak buruk terhadap upaya pelestarian
kebudayaan Jawa.

Setelah kasus keraton palsu, beberapa orang yang meragukan keberadaan


simbol-simbol Jawa dan organisasi terkait yang sebenarnya sudah
mendapat pengakuan dari negara dan pemangku kebijakan.

Sikap skeptisme masyarakat seperti itu terjadi di Blora, Jawa Tengah . Tak


lama setelah kasus Keraton Agung Sejagat muncul, masyarakat di Blora
meragukan keberadaan Yayasan Keraton Jipang yang didirikan untuk
melestarikan budaya Jawa setempat. Padahal, yayasan tersebut sudah
mendapat pengakuan dari pemerintah.
Bukan tidak mungkin, setelah kasus keraton palsu, sentimen negatif
terhadap segala aktivitas kebudayaan berpotensi meningkat.

Di tengah segala tantangan modern yang mengancam keberadaan produk


kebudayaan Jawa, Kasus Keraton Agung Sejagat kian membuat budaya
Jawa kian terancam.

Produk kebudayaan berupa kesenian tradisional bisa dipandang sebelah


mata. Sanggar yang rutin menyelenggarakan kegiatan kebudayaan, hingga
aktivitas para penghayat kepercayaan, semakin terdelegitimasi
keberadaannya.

Celya Intan Kharisma Putri, dosen Universitas Airlangga Surabaya,


menyebutkan bahwa persoalan penggunaan bahasa Jawa ragam krama,
yaitu tingkat tutur paling tinggi dalam bahasa Jawa, bahkan sudah mulai
memudar setidaknya sejak 1998.
Analisis Partisipasi Kebudayaan  yang diterbitkan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan pada 2016 menyebutkan angka partisipasi masyarakat
dalam aktivitas kebudayaan tradisional masih rendah yaitu di bawah 3%.
Dengan demikian, sikap sinisme terhadap kebudayaan Jawa setelah kasus
keraton palsu muncul berpotensi membuat partisipasi dalam aktivitas
kebudayaan menjadi semakin turun.

Pada akhirnya, tanpa narasi memadai bahwa motif “Keraton Agung


Sejagat” hanyalah modus penipuan semata , maka nilai-nilai kebudayaan
tradisional Jawa yang sudah rapuh di tengah tantangan era modern akan
jadi taruhannya.
Untuk mencegah kasus sejenis ke depannya, pemerintah semestinya bisa
segera menerbitkan daftar “keraton dan kerajaan Jawa resmi” yang diakui
negara beserta trah dan garis sejarah yang jelas. Langkah tersebut bisa
bisa menjadi upaya merawat persepsi positif publik terhadap kebudayaan
Jawa di Indonesia.

Dhoni Zustiyantoro , Lecturer in Javanese Literature Study


Program, Universitas Negeri Semarang
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation . Baca artikel sumber.

Anda mungkin juga menyukai