Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HIV disertai dengan pemberian obat Antiretroviral (ARV), yang
kini tersedia makin meluas dan mengubah dengan cepat perwatan HIV/AIDS. Obat ARV
tidak menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara
dramatis, serta memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak. Di
Indonesia yang sumber dayanya terbatas dianjurkan orang dewasa dan anak yang
teridentifikasi infeksi HIV, harus segera memulai ART. Kriteria memulai ART didasari
pada criteria klinis dan imunologis serta menggunakan pedoman pengobatan baku yang
sederhana yaitu Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak
Indonesia. Tata laksana awal adalah memberi konseling pada orangtua mengenai
infeksi HIV, evaluasi dan tata laksana infeksi oportunistik, pemberian nutrisi yang
cukup, pengawasan tumbuh kembang, dan imunisasi.
1. Pneumonia Pneumocystis carinii
Pengobatan lain yang perlu diberikan adalah profilaksis dan pengobatan terhadap infeksi Pneumocystis
carinii. Profilaksis ini diberikan kepada semua anak yang terinfeksi HIV dan pengobatan diberikan jika
sudah terdiagnosis PCP. Obat yang diberikan adalah kotrimoksazol.Pemberian kotrimoksasol 4-6
mg/kg/hari satu kali sehari, diberikan setiap hari. Yang terindikasi untuk mendapatkan kotrimoksasol
profilaksis adalah bayi terpapar umur <12 bulan yang statusnya belum diketahui, umur 1-5 tahun bila CD4
kurang dari 500 (<15%), umur 6-11tahun bila CD4 <200 (<15%), dan yang pernah didiagnosis terkena
PCP. Obat pengganti adalah Dapson 2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg/hari).
2. Tuberkulosis
Anak yang menderita infeksi HIV/AIDS sering disertai dengan infeksi tuberkulosis. Infeksi HIV/AIDS
yang diderita anak dapat diperberat oleh infeksi tuberkulosis. Walaupun demikian, angka penularan TBC
dari anak yang menderita HIV adalah sama dengan anak yang tidak menderita HIV. Jika penyakit TBC
didiagnosis terlebih dahulu maka obat antituberkulosis diberikan terlebih dahulu, minggu kemudian baru
diberikan obat antiretrovirus agar tidak terjadi inflamatory immune reconstitution syndrome (IRIS). Obat
yang diberikan sesuai dengan petunjuk WHO tahun 2006. Pengobatan TBC pada anak terinfeksi HIV
minimal selama 6 bulan sama seperti pada anak yang tidak terinfeksi HIV. Obat yang digunakan adalah
rifampicin, ethambutol, isoniazid, pyrazinamide dan streptomycin. Selain itu, anak yang menderita HIV
perlu mendapat profilaksis antituberkulosis bila di tempat tinggal mereka terdapat orang yang menderita
penyakit tuberkulosis paru aktif. Bila perlu anak harus dipisahkan dari orang tua yang menderita
tuberkulosis paru aktif. Secara aktif mencari kemungkinan kontak erat dengan penderita TB aktif dan
melakukan uji tuberkulin bila terdapat kecurigaan. Pemberian profilaksis INH masih diperdebatkan untuk
negara endemis TB.
Infeksi HIV meningkatkan enteropati, karenanya asupan makro dan mikronutrien perlu diperhatikan.
Pada stadium lanjut dan sudah terjadi emasiasi, perbaikan nutrisi harus dilakukan dengan hati-hati, secara
individual. Perbaikan nutrisi terjadi lebih lambat dibandingkan dengan penderita malnutrisi tanpa infeksi HIV.
Setelah manajemen awal nutrisi dan penanganan infeksi oportunistik, penilaian dan stimulasi diperlukan untuk
tumbuh kembang optimal. Penilaian menyeluruh diperlukan untuk mengetahui apakah stimulasi mampu
diberikan oleh orangtua atau penggantinya karena pada kasus HIV dalam keluarga, masalah stigmatisasi dan
sosial dapat menyebabkan pemberian stimulasi perkembangan terganggu. Terapi ARV memberi manfaat
klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala. Uji klinis
terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian ART
pada orang dewasa. 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:
Tatalaksana anak terinfeksi HIV pada satu negara berbeda dengan negara lain. Hal itu
tergantung dari tersedianya fasilitas. Anak terinfeksi HIV dapat dirawat di rumah sakit, tetapi
umumnya dirawat di rumah sendiri. Segera setelah anak diketahui terinfeksi HIV maka tahap-
tahap berikut harus dilakukan:
1) Melakukan pencatatan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
Riwayat penyakit pada anak dan keluarga harus dicatat dengan lengkap. Pencatatan
juga dapat dilakukan tanpa terburu-buru, dan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan
terhadap keluarga terlebih dahulu. Rawat inap juga memberi keuntungan, karena dokter
dan perawat dapat mengamati dinamika sosial keluarga penderita, dan juga dapat
mengamati dan membimbing cara pemberian obat antiretrovirus kepada penderita.Harus
diperhatikan gejala klinis yang biasa muncul pada penderita infeksi HIV seperti gagal
tumbuh, perkembangan yang terlambat, limfadenopati, splenomegali, hepatomegali,
infeksi candidiasis, dan lain-lain.
2) Pengobatan Antiretrovirus
Yang paling penting dalam pengobatan adalah menentukan kapan saat yang paling
tepat untuk mulai memberikan antiretrovirus. Saat yang tepat untuk memulai obat
antiretrovirus masih menjadi perdebatan. Apakah diberikan sesudah CD4+ menjadi
rendah atau masih tinggi. Hal tersebut memerlukan penelitian lebih lanjut. Biasanya
keputusan untuk memulai memberikan obat atau mengganti obat adalah dengan
memantau gejala klinis penderita secara ketat dan melakukan pemeriksaan hitung CD4+
dan PCR-RNA. Umumnya pengobatan antiretrovirus mulai diberikan kepada anak
terinfeksi HIV, bila sudah muncul gejala klinis AIDS, tidak tergantung pada hasil hitung
sel CD4. Pemberian obat ARV tidak tergantung status gizi penderita. Akan tetapi,
beberapa ahli mengatakan sebaiknya obat antiretrovirus diberikan sedini mungkin
sebelum gejala penyakit menjadi berat.
Tatalaksana anak terinfeksi HIV saat ini sudah menggunakan obat antiretrovirus
seperti zidovudin, yang merupakan pengobatan standar pada anak gejala yang jelas.
Sayangnya tidak ada studi efikasi obat tersebut pada anak, tetapi beberapa ahli
mengatakan obat tersebut memberikan keuntungan pada anak dengan gejala infeksi HIV
yang jelas, terutama dengan ensefalopati. Obat antiretrovirus lain yang sedang digunakan
saat ini adalah didanosine (ddI), dideoxycytidine (ddC).
Obat antiretrovirus biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dari dua nucleoside
analog dan satu protease inhibitor, merupakan protokol standar untuk
memulai pengobatan anak yang baru didiagnosis dengan sel CD4+ rendah dan muatan
virus yang tinggi. Pemberian ARV pada bayi usia di bawah 12 bulan dimulai bila jumlah
sel CD4+ <25-30% dan muatan virus >106/mL, sedangkan untuk anak yang berusia >12
bulan bila jumlah partikel RNA >250.000 salinan/mL. Saat ini disarankan untuk
memberikan pengobatan ARV secepat mungkin kepada bayi berusia kurang dari 12 bulan
bila diagnosis HIV sudah dapat ditegakkan. Bila obat ARV diberikan sebelum usia 3
bulan akan menurunkan insiden AIDS dan kematian.
Tujuan pengobatan antiretrovirus adalah untuk mem-perpanjang masa hidup
penderita, menahan perkembangan penyakit, dan menjaga serta memperbaiki kualitas
hidup penderita.32 Berdasarkan pengetahuan tentang dinamika vi-rus dan patogenesis
penyakit, cara yang terbaik untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menekan replikasi
HIV serendah mungkin. Jika replikasi virus tetap ada dalam fase pengobatan, maka
munculnya virus resisten terhadap obat tidak dapat dihindari.Oleh karena itu tujuan
jangka pendek pengobatan adalah untuk menekan seluruh virus yang bereplikasi.
Berdasarkan hal tersebut, maka diagnosis dini pada bayi dan anak adalah sangat penting,
agar obat dapat diberikan secepat mungkin.
Prinsip pemberian obat antiretrovirus pada bayi dan anak adalah sebagai berikut:
1) Disarankan untuk memberikan obat antiretrovirus kepada seluruh bayi di bawah usia 12
bulan sedini mungkin, bila infeksi HIV sudah terdignosis. Walaupun data keberhasilan
pengobatan pada anak masih terbatas, tetapi bukti memperlihatkan bahwa pengobatan
dini yang agresif pada orang dewasa dapat mempertahankan fungsi sistem imun serta
mengurangi replikasi virus. Juga berdasarkan hasil studi, bila obat tidak diberikan dengan
cepat pada wanita hamil, maka penyakit akan berkembang lebih cepat. Dengan demikian
maka bayi perlu diberi obat sedini mungkin.
2) Semua anak yang terinfeksi HIV dengan gejala klinik (kategori A, B, atau C) dan bukti
terjadinya penekanan sistem imun (kategori imun 2 atau 3) harus diobati tanpa
memandang usia dan muatan virus. Disarankan kepada seluruh anak terinfeksi HIV
dengan kelainan imunologis dan gejala klinik yang jelas untuk diberi obat anti-retrovirus
secepat mungkin.
3) Pengobatan antiretrovirus harus dimulai pada anak terinfeksi HIV yang berusia >1 tahun
tanpa memandang usia dan status gejala penyakit. Satu pendekatan yang lebih disukai
adalah memulai pengobatan pada seluruh anak yang terinfeksi HIV tanpa memandang
usia dan gejala penyakit. Dengan demikian kerusakan sistem imun oleh HIV dapat
dihambat lebih dini.
4) Walaupun pemberian obat antiretrovirus lebih dini lebih baik, tetapi menunda pemberian
obat antiretrovirus dalam keadaan tertentu dapat dipertimbangkan. Misalnya, anak
usia >1 tahun tanpa gejala penyakit, status imun masih baik, muatan virus rendah,
perkembangan klinis penyakit diperkirakan lambat.Faktor yang lain misalnya tidak ada
orang tua yang dapat memberi obat sehingga timbul masalah keamanan obat dan
kepatuhan untuk berobat, maka pemberian obat dapat dipertimbangkan untuk ditunda.
Jika pengobatan antiretrovirus ditunda, pemberian obat ARV selanjutnya dapat dimulai
bila a). Kadar RNA HIV meningkat secara bermakna (>0,7 log pada anak berusia di
bawah 2 tahun dan >0,5 log pada anak yang berusia lebih 2 tahun; b). CD4+ menurun
menjadi kategori 2; c). Berkembangnya gejala HIV; d). RNA HIV >10 5 salinan/mL untuk
setiap usia; e). Pada anak yang berusia lebih dari 30 bulan dengan kadar RNA HIV
>104 salinan/mL.
5) Obat antiretrovirus yang diberikan harus efektif agar dapat menekan virus secara terus-
menerus dan efek samping yang terjadi harus minimal karena obat antiretrovirus akan
diberikan kepada penderita selama bertahun-tahun, mungkin seumur hidup. Pemilihan
obat pertama harus betul-betul dipertimbangkan. Sebagai persyaratan dalam pemilihan
obat berikutnya harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya resisten silang.
6) Indikasi pemberian Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Bila ada indikasi
pemberian obat antiretrovirus maka harus diberikan highly active antiretroviral therapy.
Obat yang disarankan adalah 2 nucleoside re-verse transcriptase inhibitors (NRTIs) dan
1 protease.
1. ART Therapi
2. Imunisasi
3. Konseling dan dukungan psikososial
4. Perawatan Nutrisi
1. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila terdapat tanda-
tanda atau gejala infeksi
2. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk mengamati respon terhadap pengobatan dan
memberi tahu dokter tentang adanya efek samping
3. Ajarkan anak dan keluarga tentang penjadwalan pemeriksaan tindak lanjut
a. Nama dan nomer telepon dokter serta anggota tim kesehatan lain yang sesuai
b. Tanggal dan waktu serta tujuan kunjungan pemeriksaan tindak lanjut.
Anak dengan infeksi HIV sering merasa tidak nyaman, sehingga perawatan
paliatif menjadi sangat penting. Buatlah semua keputusan bersama ibunya dan
komunikasikan secara jelas kepada petugas yang lain (termasuk yang dinas
malam). Pertimbangkan perawatan paliatif di rumah sebagai alternatif dari
perawatan di rumah sakit. Beberapa pengobatan untuk mengatasi rasa nyeri dan
menghilangkan kondisi sulit (seperti kandidiasis esofagus atau kejang) dapat
secara signifikan memperbaiki kualitas sisa hidup anak.
Perlu dijamin bahwa keluarga mendapat dukungan yang tepat untuk menghadapi
kemungkinan kematian anak, karena hal ini sangat penting sebagai bagian dari
perawatan fase terminal dari HIV/AIDS. Orang tua harus didukung dalam upaya
mereka memberi perawatan paliatif di rumah, sehingga anak tidak perlu lagi
dirawat di rumah sakit.
Mengatasi nyeri
Tatalaksana nyeri pada anak dengan infeksi HIV mengikuti prinsip yang sama
dengan penyakit kronis lainnya seperti kanker. Perhatian khusus perlu diberikan
dengan menjamin bahwa perawatannya tepat dan sesuai dengan budaya pasien,
yang pada prinsipnya adalah:
Anestesi lokal: untuk luka kulit atau mukosa yang nyeri atau pada saat
melakukan prosedur yang menimbulkan rasa sakit.
o Lidokain: bubuhkan pada kain kasa dan oleskan ke luka di mulut
yang nyeri sebelum makan (gunakan sarung tangan, kecuali jika anggota
keluarga atau petugas kesehatan sudah Positif HIV dan tidak membutuhkan
pencegahan terhadap infeksi); dan akan mulai memberi reaksi setelah 2–5 menit.
o TAC (tetracaine, adrenaline, cocaine): bubuhkan pada kain kasa dan
letakkan di atas luka yang terbuka, hal ini terutama berguna saat menjahit luka.
Analgetik: untuk nyeri yang ringan dan sedang (seperti sakit kepala, nyeri
pasca trauma, dan nyeri akibat kekakuan/spastik).
o parasetamol
o obat anti-inflamasi nonsteroid, seperti ibuprofen.
Analgetik yang kuat seperti opium: nyeri yang sedang dan berat yang
tidak memberikan respons terhadap pengobatan dengan analgetik.
o morfin, merupakan analgetik yang murah dan kuat: beri secara oral
atau IV setiap 4-6 jam, atau melalui infus
o petidin: beri secara oral setiap 4-6 jam
o kodein: beri secara oral setiap 6-12 jam, dikombinasikan dengan
obat non opioid untuk menambah efek analgetik. Catatan: Pantau hati-hati
adanya depresi pernapasan. Jika terjadi toleransi, dosis perlu ditingkatkan untuk
mempertahankan bebas nyeri.
Obat lain: untuk masalah nyeri yang spesifik. Termasuk di sini diazepam
untuk spasme otot, karbamazepin atau amitriptilin untuk nyeri saraf, dan
kortikosteroid (seperti deksametason) untuk nyeri karena penekanan pada
syaraf oleh pembengkakan akibat infeksi.
Hilangnya nafsu makan pada fase terminal dari penyakit, sulit ditangani.
Doronglah agar pengasuh dapat terus memberi makan dan mencoba:
memberi makan dalam jumlah kecil dan lebih sering, terutama pada pagi
hari ketika nafsu makan anak mungkin lebih baik
makanan dingin lebih baik daripada makanan panas
menghindari makanan yang asin atau berbumbu.
Jika terjadi mual dan muntah yang sangat, beri metoklopramid secara oral (1–2
mg/kgBB) setiap 2–4 jam, sesuai kebutuhan.
Ajari pengasuh untuk membalik badan anak paling sedikit sekali dalam 2 jam.
Jika timbul luka tekan, upayakan agar tetap bersih dan kering. Gunakan anestesi
lokal seperti TAC untuk menghilangkan nyeri.
Perawatan mulut
Ajari pengasuh untuk membersihkan mulut setiap kali sesudah makan. Jika
timbul luka di mulut, bersihkan mulut minimal 4 kali sehari dengan menggunakan
kain bersih yang digulung seperti sumbu dan dibasahi dengan air bersih atau
larutan garam. Bubuhi gentian violet 0.25% atau 0.5% pada setiap luka. Beri
parasetamol jika anak demam tinggi, atau rewel atau merasa sakit. Potongan es
dibungkus kain kasa dan diberikan kepada anak untuk diisap, mungkin bisa
mengurangi rasa nyeri. Jika anak diberi minum dengan botol, nasihati pengasuh
untuk mengganti dengan sendok dan cangkir. Jika botol terus digunakan,
nasihati pengasuh untuk mencuci dot dengan air setiap kali akan diminumkan.
Jika timbul thrush, bubuhi gel mikonazol pada daerah yang sakit paling sedikit 3
kali sehari selama 5 hari, atau beri 1 ml larutan nistatin 4 kali sehari selama 7
hari, dituang pelan-pelan ke dalam ujung mulut, sehingga dapat mengenai bagian
yang sakit.
Jika terdapat nanah akibat infeksi bakteri sekunder, beri salep tetrasiklin atau
kloramfenikol. Jika ada bau busuk dari mulut, beri Benzilpenisilin (50 000 unit/kg
setiap 6 jam) IM, ditambah metronidazol oral (7.5 mg/kgBB setiap 8 jam) selama
7 hari.
Jika terjadi gangguan napas saat anak mendekati kematian, letakkan anak pada
posisi duduk yang nyaman dan lakukan tatalaksana jalan napas bila perlu.
Memprioritaskan agar anak tetap nyaman, lebih baik daripada memperpanjang
hidupnya.
Dukungan psikososial
Membantu orang tua dan saudaranya melewati reaksi emosional mereka terhadap
anak yang menjelang ajal, merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam
perawatan fase terminal penyakit HIV. Cara melakukannya bergantung pada apakah
perawatan diberikan di rumah, di rumah sakit atau di rumah singgah/penampungan.
Di rumah, sebagian besar dukungan dapat diberikan oleh keluarga dekat, keluarga
dan teman.
Mereka perlu tahu cara menghubungi kelompok konseling HIV/AIDS dan program
lokal perawatan rumah yang berbasis masyarakat. Pastikan apakah pengasuh
mendapat dukungan dari kelompok ini. Jika tidak, diskusikan sikap keluarga
terhadap kelompok tersebut dan kemungkinan menghubungkan keluarga ini
dengan mereka.
Penatalaksanaan
1. Perawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
a. Suportif dengan cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan
terjadi infeksi
b. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada
c. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu
azidomitidin (AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus,
sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
d. Mengatasi dampak psikososial
e. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur yang
dilakukan oleh tenaga medis
f. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan
perlindungan universal (universal precaution)
2. Pengobatan
a. Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi oportunistik
yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan
menunjukkan kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang
berusia kurang dari 12 bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga
dipastikan bahaya infeksi pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari.
Pemberian Isoniazid (INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih
diperdebatkan. Kalangan yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk
menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang
handal. Kalangan yang menolak menganggap bahwa di negara endemis TBC, kemungkinan
infeksi TBC natural sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk menetapkan
kasus mana yang memerlukan pengobatan dan yang tidak.
b. Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk
toksoplasma, preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis
yang ditemukan pada penderita.
c. Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV
terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk
DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS
sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana
tidak ada homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu
Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap
penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara
bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun.
Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada
jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.
Dapus:
Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Ikatan Dokter Indonesia.
WHO. 2006. Management of HIV Infection and Antiretroviral Therapy in Infants and Children. A Clinical
Manual. Regional office for South-East Asia New Delhi .
Grimwade K, Swingler GH. 2008. Cotrimoxazole prophylaxis for opportunistic infections in children with
HIV infection (Review). The Cohcrane Collaboration Published by John Wiley & Sons, Ltd.
Havens PL, Mofenson LM. 2009. The Committee on Pediatrics AIDS. Evaluation and Management of the
Infant Exposed to HIV-1 in the United States. Pediatrics (123:175-87).
Made,I. 2009. Tatalaksana HIV/AIDS pada Bayi dan Anak. Maj Kedokt Indon (59): 6-
9. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/702/697 (Dunduh: 23
November 2016 pukul 21.00 WIB)
Pillitteri Adele. 2010. Maternal & Child Health Nursing Care of The Childbearing &
Childrearing Family.China: the Point
Betz Cecily L., Sowden Linda A. 1996. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC
http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/Pedoman-Penerapan-Terapi-HIV-pada-Anak.pdf dia
kses pada 24 November 2016 pukul 14.40
http://www.edukia.org/web/kbanak/9-7-perawatan-paliatif-dan-fase-terminal/ diakses
24 November 2016, pukul 14.00.
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made
S, EGC, Jakarta
whoindonesia.healthrepository.org
http://www.edukia.org/web/kbanak/9-2-pengobatan-antiretroviral-antiretroviral-therapy-
art/ diakses 25 November 2016, pukul 15.00.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2014. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak
pada http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/Pedoman-Penerapan-Terapi-HIV-pada-
Anak.pdf diakses pada 24 November 2016 pukul 14.40
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2014. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak
pada http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2015/06/Pedoman-Penerapan-Terapi-HIV-pada-
Anak.pdf diakses pada 24 November 2016 pukul 14.40
http://www.alodokter.com/komunitas/topic/sudah-arv-2
Jawaban:
Biasanya efek samping ini akan berkurang dengan sendirinya dan kemudian
menghilang seiring lama perjalanan terapi. Namun jika kondisi gatal sangat
mengganggu maka penggantian antiretrovirus bisa dipertimbangkan. Namun ingat,
sekali Anda minum antiretrovirus maka Anda harus kontinue meminumnya tanpa jeda.
Jadi konsultasikan dulu ke dokter sebelum Anda menghentikan obat atau mengganti
dengan obat yang lain.
1. ART Therapi
Tujuan pemberian terapi ART :
menekan replikasi virus
memperbaiki dan memulihkan sistim imun
mencegah resistensi
mengurangi morbiditas dan mortalitas
pertumbuhan dan perkembangan optimal
memperbaiki kualitas hidup
2. Imunisasi
Bayi dan anak dengan HIV seharusnya menerima vaksin sesuai jadwal imunisasi nasional.
Vaksin BCG seharusnya diberikan di awal kelahiran. Vaksin pneumokokus, hemofilus
influenza: harus ditunda jika anak menderita immunocompromised
3. Konseling dan dukungan psikososial : Anak dengan suspect HIV atau status HIV tidak
diketahui. Petugas kesehatan seharusnya merekomendasikan keluarga dan menawarkan tes
untuk HIV- provider initiated testing and counseling (PITC).
4. Perawatan Nutrisi
Jika kita mulai terapi ARV (ART), kita mungkin mengalami sakit kepala, darah tinggi,
atau seluruh badan terasa tidak enak. Lambat laun, gejala ini biasanya membaik
dan hilang.
Kelelahan: Pasien sering melaporkan kadang-kadang merasa lelah. Mengetahui
penyebab kelelahan dan menanganinya adalah penting.
Anemia dapat menyebabkan kelelahan. Anemia meningkatkan risiko menjadi lebih
sakit dengan infeksi HIV. Tes darah berkala dapat mengetahui adanya anemia, dan
anemia dapat diobati.
Masalah pencernaan: Banyak obat dapat menimbulkan rasa nyeri pada perut. Obat
dapat menyebabkan mual, muntah, kembung, atau diare.