Pandemi obesitas dan diabetes mellitus (DM), khususnya DM tipe 2 (DMT2) kini
menjadi ancaman yang serius bagi umat manusia di dunia. Di tahun 2003, World Health
Organization (WHO) memperkirakan 194 juta atau 5,1% dari 3,8 milyar penduduk dunia usia
20-79 tahun menderita DM dan di tahun 2025 meningkat menjadi 333 juta jiwa. Di tahun yang
sama, International Diabetes Foundation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi DM dunia adalah
1,9% dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan ke-7 dunia. Proyeksi
prevalensi diabetes tahun 1994 sampai 2010 diperkirakan 215,6 juta jiwa, namun evaluasi tahun
2007 jumlah penderita diabetes sudah mencapai 246 juta jiwa bahkan tahun 2025 dikhawatirkan
jumlah tersebut akan meningkat sampai lebih dari 300 juta jiwa.
Komplikasi DM sudah dimulai sejak dini sebelum diagnosa DM ditegakan. Sekitar 50%
pasien ketika di diagnosis telah menyandang satu komplikasi kronik, 21% diantaranya
mengalami retinopati, 18% dengan gambaran elektrokardiogram (EKG) yang abnormal, dan
14% dengan gangguan aliran darah ke tungkai sehingga denyut nadi tungkai tidak teraba atau
timbul kaki yang iskemik. Berbagai komplikasi diabetes tersebut menyebabkan penurunan
modifikasi hidup dan amgka harapan hidup pada individu dengan DM. Angka harapan hidup
berkurang sekitar 15 tahun, 75% di antaranya meninggal karena kompilkasi makrovaskular.
Glukosa darah merupakan rentang yang berkelanjutan (continuous spectrum). Batas
kadar glukosa darah normal, prediabetes dan diabetes ditetapkan berdasar kesepakatan
(arbitrary). Saat ini, diagnosis diabetes ditetapkan berdasar puasa ≥126 mg/dl atau 2 jam paska
pembebanan glukosa ≥ 200mg/dl. Pada tes toleransi glukosa oral (TTGO), penetapan tersebut
berdasar kadar glukosa darah yang terkait dengan timbulnya komplikasi mikroangiopati yang
khas untuk diabetes, khususnya retinopati. Prediabetes adalah kadar glukosa darah diatas normal
tetapi masih dibawah kadar glukosa darah puasa 100-125mg/dl (glukosa darah puasa terganggu=
GDPT) atau 2 jam paska pembebanan 140-199 mg/dl (toleransi glukosa terganggu= TGT), atau
keduanya (homeostasis glukosa terganggu=HGT).
Perbedaan data epidemiolgi dari TGT dan GDPT menunjukan adanya mekanisme
patofisiologi yang berbeda dari kedua kondisi tersebut. Meskipun TGT maupun GDPT didasari
oleh resistensi insulin, tetapi keduanya menunjukan perbedaan tempat dimana resistensi insulin
tersebut terjadi. Resistensi insulin pada penderita GDPT terutama dijaringan hati, sedangkan
sensitifitas insulin pada jaringan otot masih tetap normal. Pada TGT, sensitifitas insulin
dijaringan hati tetap normal atau sedikit menurun sedangkan pada jaringan otor telah terjadi
resistensi insulin. Pola sekresi insulin pada kedua keadaan tersebut juga berbeda. Pada GDPT
terjadi penurunan sekresi insulin fase satu (10menit pertama) setelah pemberian glukosa
intravena dan terjadi penurunan respon sekresi insulin fase awal (30 menit pertama) setelah
pemberian glukosa oral. Sedangkan sekresi insulin fase lambat (60-120 menit) selama TTGO
tetap normal. Pada TGT juga terjadi gangguan sekresi insulin fase awal setelah pemberian
glukosa oral yang disertai penurunan yang bermakna dari sekresi insulin fase akhir.
BAB I
Diabetes Mellitus
I. Definisi
II. Klasifikasi
1. Diabetes Mellitus tipe 1; terjadi destruksi sel beta pankreas yang umumnya menjurus
kearah defisiensi insulin absolut.
a. Melalui proses imunlogik
b. idiopatik
2. Diabetes Mellitus tipe 2; bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif, sampai yang predominan sekresi insulin bersama dengan
resistensi insulin.
3. Diabetes Mellitus tipe lain
a. Defek genetik fungsi sel beta pancreas:
- Kromosom 12 – HNF-1α(dahulu MODY 3)
- Kromosom 7 – glukosinase (dahulu MODY 2)
- Kromososm 20 – HNF-4α (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13 – IPF 1 (dahulu MODY 4)
- Kromosom 17 – HNF 1β (dahulu MODY 5)
- Kromosom 2 – neuro D1 (dahulu MODY 6)
- DNA mitochondria
- Lain-lain
b. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom
robson mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya.
c. Penyakit eksokrin pankreas: pankreatitis, trauma pankreas, pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro-kalkulus, lainnya.
d. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma,
hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
e. Pengaruh obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam nicotinat,
glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, agonis beta adrenergik, tiazid, dilantin,
interferon alfa, lainnya.
f. Infeksi: rubela kongenital, CMV, lainnya.
g. Sebab imunologi yang jarang: sindrom ’stiff-man’, antibodi-antireseptor
insulin, lainnya.
h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM: sindrom down, sindrom
klinefelter, sindrom turner, sindrom wolfram’s, ataksia fredreich’s chorea
huntington,sindrom lawrence-moon-biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindron prader
willi, lainnya.
II. Diabetes Melitus pada kehamilan (gestasional).
III. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan ialah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena atau kapiler tetap dapat
digunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan WHO. Untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat digunakan dengan
pemeriksaan darah kapiler.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti berikut::
• Keluhan klasik DM: Poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta
pruritus vulvae pada wanita.
• Dengan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM, kalau ditemukan keluhan klasik DM.
• Dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, lebih mudah
diterima pasien, dan lebih murah. Cara ini dianjurkan untuk diagnosis DM.
• Dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sebsitif dan spesifik
dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan sendiri
TTGO sulit dilakukan berulang-ulang dan dalam praktik sangat jarang dilakukan.
Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak hamil dikemukakan pada Tabel 2. Kalau hasil
pemeriksaan normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT
bergantung pada hasil yang diperoleh.
• TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma
2 jam setelah beban antara 140-199mg/dL(7.8-11.0 mmol/L).
• GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100-125mg/dL(5.6-6.9mmol/L).
1. Gejala klasik DM
2. Gejala klasik DM
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam atau
• Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehar-hari (dengan karbohidrat
yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
• Berpuasa paling sekit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan minum air putih tanpa
gula tetap diperbolehkan.
• Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
• Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
• Berpuasa kembali sampai pengembilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum
larutan glukosa selesai.
• Diperiksa kadar gula darah 2 jam sesudah beban glukosa.
• Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko DM namun tidak
menunjukkan adanya gejala DM.
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, baik TGT
maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan
GDPT, juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM.
Kedua tahapan tersebut merupakan factor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit
kardiovaskular di kemudian hari. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang
memiliki faktor risiko DM.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa sewaktu atau
kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan penyaring ditemukan hasil positif, perlu
dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) standar.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan massal tidak dianjurkan mengingat biaya yang
mahal, serta pada umumnya tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang
ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring juga dianjurkan dikerjakan pada saat
pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.
Tabel 3. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dL)
Kadar glukosa darah puasa (mg/dL) Plasma Vena <100 100-125 ≥ 126
Catatan: untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Untuk mereka yang berusia >45 tahun tanpa factor risiko lain, pemeriksaan
penya-ring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
BAB II
Prediabetik
I. Diagnosis Prediabetik
Diagnosis prediabetes (GPT dan atau TGT) ditegakan sesuai dengan rekomendasi WHO.
Diagnosis GPT ditegakan bila kadar glukosa darah setelah puasa sekitar 8 – 10 jam adalah 100-125
mg/dl. Diagnosis TGT ditegakkan bila kadar glukosa darah 2 jam paska beban glukosa 75 gram, diantara
140-199 mg/dl.
Persiapan dan pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) menurut WHO (lampiran).
Persiapan
Beberapa hari sebelumnya pasien mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah yang cukup.
Pada hari pemeriksaan dilaksanakan, pasien tidak boleh melakukan aktifitas jasmani berlebihan atau
mengkonsumsi kafein atau obat-obatan yang mungkin mempengaruhi kadar glukosa darah.
Pelaksanaan
berbagai studi epidemiologis belum semuanya menggunakan glukosa darah 2 jam paska beban
untuk menegakkan diagnosis prediabetes dan hanya menggunakan hasil glukosa darah puasa. Hal ini
dapat menimbulkan hasi negatif palsu, mengingat TGT tidak akan terdeteksi. Individu dengan kadar
glukosa darah puasa normal mungkin termasuk dalam TGT bila dilakukan TTGO. Deteksi adanya TGT
perlu dilakukan mengingat kecenderungan menjadi DMT2 dan resiko terjadinya komplikasi
kardiovaskular lebih tinggi pada subjek dengan TGT disbanding pada individu dengan GPT.
Beberapa faktor resiko penyakit kardiovaskular dan diabetes sering dijumpai dalam satu individu.
Berbagai faktor resiko tersebut adalah : obesitas, hipertensi, kadar kolestero high density lipoprotein
(HDL) yang rendah, kadar trigliserida yang meningkat, dan gangguan metabolisme glukosa, yang dikenal
sebagai sindroma metabolic. Sindroma metabolic dianggap setara dengan prediabetes. Sekitar 50% pasien
dengan TGT memenuhi kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut National Cholesterol Education
Program-Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III).
Tujuan penatalaksanaan secara umum ialah untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang DM.
• Jangka pendek: untuk menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman
dan mencapai taget pengendalian glukosa darah.
• Jangka panjang untuk mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan ialah turunnya orbiditas dan
mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat
badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistic dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku.
4.2 Langkah-langkah Penatalaksanaan Penyandang DM
Riwayat penyakit
• Gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu termasuk A1C, dan hasl
pemeriksaan khusus yang telah ada tekait DM.
• Pola makan, status nutrisi, riwayat peruban berat badan.
• Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
• Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis
dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta
kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan.
• Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yangdigunakan, perencanaan makan dan
program pelatihan jasmani.
• Riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hipoglikemia).
• Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi dan traktus urogenitalis.
• Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata saluran cerna
dan lain-lain.
• Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
• Faktor risiko, sperti merokok, hipertensi, riwayat oenyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endo krin lain).
• Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM. Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan
dan status ekonomi.
• Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan.
Pemeriksaan fisik
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (2-4 minggu) . Apabila
kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipolikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolic berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan menurun dengan cepat, adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan
gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri setelah mendapat pelatihan
khusus. Dengan demikian pilar penetalaksanaan DM harus lengkap meliputi edukasi, terap gizi
medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
4.3.1 Edukasi
Diabetes Tipe 2 umunya terjadi ada saat gaya hidup dan perilaku telah erbentuk dengan mapan.
Pemberdayaan penyandang DM memerlkan partsipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi.
• Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TGM ialah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli
gizi, petugas kesehatan yang dan pasien itu sendiri).
• Setiappenyandang DM sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai sasaran terapi.
• Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hamper sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan zat gizi
masing-masing individual. Pada penyandang DM erlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurunan glukosa darah atau insulin.
Karbohirat
Lemak
• Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi
30% total asupan energi.
• Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori.
• Lemak tidak jenuh <10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
• Bahan makanan yang perlu dibatasi ialah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak
trans, antara lain, daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
Protein
• Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan anjuran untuk masyarakat
umum, yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok the) garam dapur.
• Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampa 2400 mg garam dapur.
• Sumber natrium, antara lain, ialah garam dapur, vetsin, soda, dan baha pengawet serti natrium
benzoate dan natrium nitrit.
Serat
• Seperti halnya masyarakat umum, penyandang DM dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari
kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena
mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
• Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000kkal/hari.
Pemanis Alternatif
• Pemanis dikelompokka menjadi pemanis bergizi dan pemanis tidak bergizi. Termasuk
pemanis bergizi adalah gula alcohol dan fruktosa.
• Gula alcohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol, dan xylitol.
• Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari.
• Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena efek samping pada lemak
darah.
• Pemanis tidak bergizi termasuk aspartame, sakarin, acessulfame, potassium, sukralose,
neotame.
• Pemanis ama digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (accepted daily intake).
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang DM. Di
antaranya ialah dengan menghitung kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kg BB
ideal., ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa factor, yaitu jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan dan lain-lain.
Perhitungan berat badang ideal (BBI) dengan rumus Brocca yangdimodifikasi ialah sebagai
berikut:
Perhitungan BBI menurut indeks massa tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan
rumus IMT = BB (kg)/TB(m2).
Klasifikasi IMT*
• BB kurang : <18.5
• BB normal : 18.5-22.9
• BB lebih : ≥ 23.0
• Dengan : 23.0-24.9
• Obes I : 25.0-29.9
• Obes II : ≥ 30
*WHO WPR/IAO/IOTF dalam The Asia-Pasific Perperspective: Redifining Obesit and its
Treatment.
• Jenis kelamin
– kKebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar
25 kal/kgBB dan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB
• Umur
– Untuk psien di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk decade antara 40 dan
59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20% di atas 70 tahun.
• Berat Badan
– Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% bergantung kepada tingkat kegemukan.
– Untuk tujuan penurunan berat badanjumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200
kkal per hari untuk wanita dan 1200-1600 kkal untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam tiga porsi
besar: untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-
15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang DM yang mengidap penyakit lain,
polapengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
Pilihan makanan untuk penyandang DM dapat dijelaskan melalui piramida makanan untuk
penyandang DM (Lamiran 1).
Tabel 4 Aktivitas Fisik Sehari-hari
Persering Akrivitas: mengikuti olah Misalnya jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda,
raga rekreasi dan beraktivitas fisik tinggi sepak bola.
pada waktu liburan.
Aktivitas Harian: kebiasaan bergaya Misalnya berjalan kaki ke pasar (tidak menggu-
hi-dup sehat. nakan mobil), menggunakan tanga (tidak
menggunakan lift), menmui rekan kerja (tidak
hanya melalui telepn internal), jalan dari tempat
parkir.
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih
30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM Tipe 2. Kegiatan sehari-hari
seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga dan berkebun harus tetap dilakukan (lihat
Tabel 4). Latihan jasmani, selain untuk menjaga kebugaran, juga dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur
dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, insensitas latihan jasmani bias
ditingkatkan, sedangkan yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kuran gerak atau bermalas-malasan.
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
pengaturan makanan dan latihan jasmani.
1. Pencegahan Primer
1.1 Sasaran pencegahan primer :
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor resiko,
yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapatkan DM dan kelompok
intoleransi glukosa.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien
yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan
deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. dalam upaya pencegahan sekunder
program penyuluhan memegang peranan penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam
menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.
Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan
dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan pertemuan
berikutnya. Materi penyuluhan pada tingkat pertama dan lanjutan dapat dilihat pada materi
edukasi dan materi tentang edukasi tingkat lanjut.
Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan
penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain pengobatan terhadap tingginya
kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta
pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskuler pada
penyandang diabetes.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistic dan terintegrasi antar disiplin yang
terkait, terutama dirumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin
(jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vascular, radiology, rehabilitasi medis, gizi,
podiatrist, dll) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.