Anda di halaman 1dari 18

Abstrak

Secara umum kata pembangunan diartikan sebagai usaha untuk mewujudkan kemajuan hidup
berbangsa. Akan tetapi pada sebagian besar masyarakat, pembangunan selalu diartikan
sebagai perwujudan fisik. Ukuran fisik itu menjadi ukuran bagaimana anggapan bahwa
pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan di negeri ini, baik pada
kawasan pedesaan maupun perkotaan. Jalan-jalan lebar dan mulus telah dibangun, berbagai
fasilitas publik seperti rumah sakit, pendidikan, PDAM, dan sebagainya. Tidak ketinggalan
juga berbagai sarana kemudahan yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi,
khususnya di bidang informasi. Oleh karena pembangunan pada dasarnya tidak hanya
persoalan fisik itu maka pada modul ini, kiranya penting bagi kita untuk menyelaraskan
makna pembangunan itu pada perspektif pertumbuhan kemajuan negara, meski makna
pembangunan yang dipahami secara umum tersebut tidaklah salah. Jadi secara umum makna
pembangunan adalah setiap usaha mewujudkan hidup yang lebih baik sebagaimana yang
didefinisikan oleh suatu negara “an increasing attainment of one’s own cultural values”
(Tjokrowinoto, 1996: 1). Ini yang disebut sebagai cita-cita bangsa. Pokok pikiran
pembangunan tertuju pada cita-cita keadilan sosial. Untuk itu, pembangunan butuh proses
dan tahapan terukur. Tahapan itu harus dapat menyentuh berbagai bidang, yakni pertama
ekonomi sebagai ukuran kemakmuran materiil. Kedua adalah tahap kesejahteraan sosial.
Ketiga adalah tahap keadilan sosial. Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang
paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling
tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang
pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber,
dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi
memperkaya ulasan pendahuluan pembangunan sosial hingga pembangunan berkelanjutan.
Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan
dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih
banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya
yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).

1
Daftar Isi

Abstrak ................................................................................................................................1
Daftar Isi .............................................................................................................................2
Kata Pengantar.....................................................................................................................3
BAB I. Pendahuluan............................................................................................................4
I.1 Latar Belakang......................................................................................................4
I.2 Rumusan Masalah.................................................................................................6
I.3 Tujuan Penulis ......................................................................................................6
BAB. II Pembahasan...........................................................................................................7
II.1 Teori Perencanaan...............................................................................................7
II.2 Teori Daerah Inti.................................................................................................9
II.3 Pembangunan Wilayah Perdesaan .....................................................................13
II.4 Pembangunan Wikayah Perkotaan ....................................................................14
Bab. III Kesimpulan ...........................................................................................................16
Bab. IV Penutup .................................................................................................................17
Daftar Pustaka .....................................................................................................................18

2
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji Syukur Kehadirat Allah Subhanahu Wata’aala atas segala
kucuran Rahmat dan Hidayat – Nya, Penulis dapat menyelesaikan makalah Komponen
Pembangunan Wilayah Pedesaan dan Perkotaan Menurut Friedman sebagai tugas dari mata
kuliah Kajian Pembangunan Wilayah Desa dan Kota.
Ucapan syukur juga tak lupa Penulis ucapkan kepada Bapak Dosen Dr. Syaifudin,
M.Si selaku Dosen pengampu pada mata kuliah Kajian Pembangunan Wilayah Desa dan
Kota di Universitas Nasional sekaligus pembimbing dalam pembuatan makalah ini.
Penulis berharap makalah Komponen Pembangunan Wilayah Pedesaan dan Perkotaan
Menurut Friedman ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca sebagai penambah wawasan.
Adapun Makalah ini dibuat berdasarkan kajian teoritis semata tanpa melakukan penelitian
lebih jauh dalam fenomena – fenomena Pembangunan
Penulis sangat menyadari akan kekurangan – kekurangan yang ada dalam penyusunan
makalah Komponen Pembangunan Wilayah Pedesaan dan Perkotaan Menurut Friedman
sehingga hasil yang ada dalam penulisan ini masih jauh dari sempurna. Sanggahan dan saran
pembaca akan Penulis terima sebagai perbaikan untuk Penulis kedepannya.

3
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik
tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi
secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi
seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik
alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk bentuk kelembagaan. Dengan
demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-
sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah
yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi, 2004)

Mengenai tipologi wilayah, konsep wilayah diklasifikasikan ke dalam tiga kategori,


yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region);
dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan
klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan
perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi : 1). fase pertama yaitu wilayah
formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu
wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi,
ekonomi, sosial dan politik. 2). fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan
koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam
wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari
satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3).
fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan
keputusan-keputusan ekonomi.

yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit


geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong
menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian
yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan Pengembangan/
pembangunan/ development. Tujuantujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci,
yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan
(5) keberlanjutan. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi

4
berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah
maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan
wilayah perencanaan.

Menurut Akil (2003), dalam sejarah perkembangan konsep Pembangunan Wilayahdi


Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama
adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Universitas Sumatera Utara 19 Wilayah yang
mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang
wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era
1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan
argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced
development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan
antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and
spread effect. Keempat adalah Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada
pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang
kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an)
yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam
pengembangan wilayah.

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang,


Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam
Pembangunan Wilayahadalah :

a. Sebagai growth center. Pembangunan Wilayahtidak hanya bersifat internal


wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect)
pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara
nasional.
b. Pembangunan Wilayahmemerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah
dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah.
c. Pola Pembangunan Wilayahbersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-
daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.
d. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat
bagi perencanaan pengembangan Kawasan.

5
I.2. Rumusan Masalah

1. Apa Saja yang menjadi komponen – komponen dalam pembangunan wilayah


Perdesaan dan Perkotaan
2. Apakah Teori – teori Friedmen masih dapat di implementasikan pada masa
sekarang?

I.3. Tujuan Penulisan

Mengkaji teori Pembangunan Wilayah Perdesaan dan Perkotaan dari Friedman

6
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Teori Perencanaan

Dalam bukunya Planing in the Public Domain, John Friedman mengungkapkan


bahwa tujuan utama dari teori Perencanaan adalah bagaimana mengaitkan pengetahuan teknis
(technical knowledge) untuk diterjemahkan dalam public action. Friedman merangkum teori
– teori Perencanaan dan mengelompokannya menjadi 4 (empat) kategori diantaranya :

a. Reformasi Sosial
Teori ini memandang bahwa negara adalah sarana untuk aksi social.
Perencanaan dipandang sebagai upaya ilmiah untuk menciptakan usaha – usaha
pemerintahan yang lebih efektif. Di Indonesia pada awal – awal kemerdekaan,
pasca liberalisme klasik dianggap gagal, maka lahirlah gagasan Neo-Liberalisme
dengan gagasan negara kesejahteraan (welfare state) dimana negara mempunyai
peran yang strategis dalam mengatur dan mengendalikan pertumbuhan ekonomi
untuk menciptakan kesejahteraan (welfare). Untuk melaksanakan pembangunan
dan percepatan pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah bekerjasama dengan
pihak swasta (industry) untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam. Dengan
demikian tujuan dari rencana pembangunan yang ingin dicapai adalah
pertumbuhan Ekonomi (GNP)

b. Analisis Kebijakan
Teori ini sangat berorientasi teknis dan rasional dimana perencanaan adalah
proses yang mencakup pengambil keputusan melalui beberapa tahapan yang
dimulai dari identifikasi tujuan dan diakhiri dengan analisis program yang
mengevaluasi kinerja dari keputusan. Teori ini adalah model rasional yang
disusun perencana teknis yang memandang dirinya sebagai social engginer yang
melayani penguasa dan lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Perencanaan dengan teori ini umumnya digunakan oleh pemerintahan dengan

7
model top – down. Sebagai contoh adalah perumusan Tata Ruang yang dalam
perumusannya hanya dilakukan oleh para konsultan dan Tim Ahli yang dianggap
mumpuni dan mampu melakukan prediksi secara matematis terhadap situasi
ekonomi serta dampak social dan lingkungannya. Prinsip yang digunakan pun
adalah prinsip utilitarianisme dimana kebijakan yang diambil berdasarkan
pertimbangan kemanfaatan bagi masyarakat secara luas. Sementara hak – hak
kelompok minoritas akan cenderung terabaikan. Pendekatan ini sangat
mengutamakan penilaian secara teknis dan kuantitatif.

c. Pembelajaran Sosial
Teori ini mencoba mengeliminasi kontradiksi antara apa yang kita ketahui dan
apa yang harus kita lakukan. Perencanaan melalui eksperimen social, mencoba
untuk merubah perilaku social. Hali ini dicapai dengan menterjemahkan
pengetahuan kedalam dunia praktis dan teori diperkaya dari pelajaran – pelajaran
yang didapat di lapangan. Para perencana dan klien akan terlibat dalam interaksi
yang non formal.
Teori ini mempunyai focus yang eksplisit karena mempertimbangkan umpan
balik yang terjadi ketika suatu perencanaan didiskusikan dengan masyarakat,
sehingga ada proses transfer pengetahuan. Dalam proses pembelajaran social tidak
menekankan pada pencapaian tujuan, namun pada pelaksanaan prosesnya yang
partisipatif sehingga mungkin saja tujuan tujuan yang baru lahir dari proses
interaksi social tersebut.

d. Mobilisasi Sosial
Teori ini mengupayakan sebuah Gerakan/tindakan yang tumbuh dari bawah
(masyarakat). Perencanaan dipandang sebagai aktifitas politik yang mencoba
untuk merubah kondisi status quo. Teori ini menekankan pada politik konfrontasi.
Peran perencana dapat berubah organisator masyarakat, advokat, dan penerjemah
data.
Teori ini banyak diaplikasikan oleh LSM untuk memberi kesadaraan dan kekuatan
pada masyarakat untuk memperjuangkan hak – hak nya yang cenderung diabaikan
pada berbagai kasus pembangunan terutama bagi pembangunan yang hanya
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

8
II.2 Teori Daerah Inti

John Friedman, Weaver, (1979) menganalisa aspek tata ruang, lokasi serta persoalan-
persoalan kebijaksanaan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup yang
lebih general. Friedman telah menampilkan teori daerah inti. Disekitar daerah inti terdapat
daerah-daerah pinggiran atau periphery region. Daerah pinggiran ini sering disebut pula
daerah pedalaman atau daerah-daerah sekitanya.

Pembangunan dipandang sebagai proses inovasi yang diskontinu tetapi komulaitif


yang berasal dari sejumlah kecil pusat-pusat perubahan, yang terletak pada titik-titik interaksi
yang mempunyai potensi tertinggi. Pembangunan inovatif cenderung menyebar kebawah dan
keluar dar pusat-pusat tersebut kedaerah yang mempunyai potensi interaksi yang lebih
rendah.

Pusat-pusat besar pada umumnya berbentuk kota-kota besar, metropolis atau


megapolis, dikategorikan sebagai daerah inti, dan daerah-daerah yang relatif statis sisanya
merupakan daerah pinggiran. Wilayah pusat merupakan subsistem dari kemajuan
pembangunan yang ditentukan oleh lembaga di daerah inti dalam arti bahwa daerah pinggiran
berada dalam suatu hubungan ketergantungan yang substansial. Daerah inti dan wilayah
pinggiran bersama-sama membentuk sistem spatial yang lengkap (Indra Catri, 1993,
Murtomo, 1988).

Proses daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah pinggiran


dilaksanakan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik pertumbuhan daerah inti, yang terdiri
dari pengaruh dominasi (melemahnya ekonomi daerah pinggiran sebagai akibat dari
mengalirnya sumberdaya alam, manusia dan modal ke wilayah inti), pengaruh informasi
(peningkatan dalam interaksi potensial untuk menunjang pembangunan inovatif), pengaruh
psikilogis (penciptaan kondisi yang menggairahkan untuk melajutkan kegiatan-kegiatan
inovatif secara lebih nyata), pengaruh mata rantai (kecenderungan inovasi untuk
menghasilkan inovasi lainnya), dan pengaruh produksi ( pencitaan sturtur balas jasa dan
menarik untuk kegiatan-kegiatan inovatif

9
Sehubungan dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spasial, Friedmann
mengemukakan lima buah preposisi utama, yaitu sebagai berikut (Hasen, N.M ; 1972) :

1. Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah di


sekitarnya melalui sistem suplai, pasar, dan daerah administrasi.

2. Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke daerah-


daerah di sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya.

3. Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung mempunyai
pengaruh positif dalam proses pembangunan sistem spasial, akan tetapi mungkin
pula mempunyai pengaruh negatif jika penyebaran pembangunan wilayah inti
kepada daerah-daerah di sekitarnya tidak berhasil ditingkatkan, sehingga
keterhubungan dan ketergantungan daerahdaerah di sekitarnya terhadap daerah inti
menjadi berkurang.

4. Dalam suatu sistem spasial, hirarki daerah-daerah inti ditetapkan berdasar pada
kedudukan fungsionalnya masing-masing meliputi karateristikkarateristiknya
secara terperinci dan prestasinya.

5. Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah sistem spasial dengan


cara mengembangkan pertukaran informasi.

Meskipun hubungan daerah inti - daerah pinggiran sebagai kerangka dasar kebijakan
dan perencanaan pembangunan regional dianggap kasar dan sederhana, akan tetapi dapat
digunakan untuk menjelaskan keterhubungan dan ketergantungan antara pusat dan daerah-
daerah sekitarnya. Kemudian Friedmann dikembangkan klasifikasi daerah inti dan daerah-
daerah pinggiran menjadi daerah metropolitan (metropolitan region), poros pembangunan
(development axes), daerah perbatasan (frontier region), dan daerah tertekan (depressed
region).

Secara esensial hubungan antara daerah metropolitan dengan daerahdaerah perbatasan


tidak berbeda dengan hubungan antara daerah inti dengan daerah-daerah pinggiran. Poros
pembangunan merupakan perluasan dari daerah metropolitan dan sebagai bentuk embrio
untuk berkembang menjadi megapolis. Wilayah perbatasan termasuk dalam kategori daerah
pinggiran, dan di dalamnya terdapat pusat-pusat kecil yang mempunyai potensi berkembang
menjadi pusatpusat yang lebih besar pada masa depan.

10
Dari klasifikasi di atas dapat diperoleh pelajaran yang bermanfaat, yakni suatu
kebijaksanaan nasional pengembangan wilayah harus menyadari bahwa masalah-masalah dan
metode pembangunan adalah berbeda-beda untuk setiap wilayah. Selain itu perubahan-
perubahan ekonomi dan pembangunan pada umumnya yang tejadi di seluruh jenis wilayah
mempunyai ketergantungan satu sama lainnya.

Seperti halnya dengan teori kutub pertumbuhan (Perroux, 1964), Friedmann


memberikan perhatian penting pada daerah inti sebagai pusat pelayanan dan pusat
pengembangan. Teori-teori tersebut tidak membahas masalah pemilihan lokasi optimum
industri dan tidak pula menentukan jenis investasi apa yang sebaiknya ditetapkan di pusat-
pusat urban. Oleh karena itu mereka diklasifikasikan sebagai tanpa tata ruang. Walaupun
demikian disadari bahwa pusat-pusat urban mempunyai peranan yang dominan yaitu
memberikan pancaran pengembangan ke wilayah-wilayah di sekitarnya. Daerah inti
mempunyai daya pengikat yang kuat untuk mewujudkan integrasi spasial sistem sosial,
ekonomi, dan budaya suatu bangsa.

Demikian kuat dominasi pusat-pusat urban dapat menimbulkan dampak negatif yaitu
munculnya susunan-susunan ketergantungan dualistik sehingga menimbulkan akibat-akibat
yang mendalam bagi pembangunan nasional. Beberapa arah perkembangannya yang penting
dapat dikemukakan, yaitu hiper urbanisasi, pembangunan modern hanya terpusat di beberapa
kota saja, sedangkan daerah-daerah di luarnya boleh dikatakan terpencil dari perubahan-
perubahan sosial dan ekonomi, pengangguran dan kerja di bawah daya (underemployment),
perbedaan pendapatan dan kemiskinan, kekurangan makanan yang terus menerus, hidup
kebendaan penduduk daerah pertanian tambah buruk, dan ketergantungan pada dunia luar.
(Friedmann dan Douglass, 1976).

Memperlihatkan kelemahan-kelemahan di atas, maka Friedmann menganjurkan


pembentukan agropolis-agropolis atau kota-kota di ladang. Hal ini berarti tidak mendorong
perpindahan penduduk desa ke kota-kota besar, tetapi mendorong mereka untuk tetap tinggal
di tempat mereka semula. Dengan pembangunan agropolitan distrik, pertentangan abadi
antara kota dan desa dapat diredakan terutama di negara-negara berkembang, (Friedman dan
Douglass, 1976).

Salah satu dimensi perencanaan regional dalam bidang perkotaan ialah bagaimana
menggerakkan pertumbuhan kota-kota kecil agar dapat mencapai pertumbuhan spontan yang
mampu menyangga sendiri pembangunan kota-kota kecil (spontaneous self-sustained

11
growth). Dengan demikian pembangunan agropolis-agropolis itu diusahakan tersusun dalam
suatu jaringan kota secara regional yang disertai dengan pembangunan dan perbaikan fasilitas
perhubungan antar kawasan agropolitan ke kota-kota besar. Menetapkan kota agropolis
menjadi pusat jasa-jasa pelayanan tertentu dan kegiatan-kegiatan lainnya yang membutuhkan
tenaga kerja yang lebih besar dari pada yang terdapat dalam suatu kawasan (Fu Chen Lo,
1976).

Menurut Friedmann, kunci bagi pembangunan kawasan agropolitan yang berhasil ialah
memperlakukan tiap-tiap kawasan sebagai satuan tunggal dan terintegrasi. Kawasan
agropolitan merupakan suatu konsep yang tepat untuk membuat suatu kebijakan
pembangunan tata ruang melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan.
(Friedmann dan Douglass, 1976).

Friedmann telah mengembangkan teori kutub pertumbuhan dalam sistem


pembangunan yang diselenggarakan berdasarkan atas desentraslisasi yang terkonsentrasikan
(concentrated decentralization) atau sistem dekonsentrasi (Fu Chen Lo, 1976). Pembangunan
di Indonesia yang dilaksanakan selama ini mengikuti sistem desentralisasi, di mana peranan
Pemerintah Pusat sangat besar. Ciri-cirinya yang menonjol antara lain adalah :

a. Pola pembangunan nasional atau sering disebut pula sebagai pembangunan


sektoral, prioritasnya ditentukan berdasarkan kebijakan nasional.
b. Anggaran pembangunan disediakan oleh pemerintah pusat dalam APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan
c. Pengelolaan proyek-proyek pembangunan dipertanggungjawabkan kepada
perangkat departemen di pusat atau perangkat pusat di daerah (jika pelaksanaannya
didelegasikan kepada perangkat pusat di daerah).

Ciri-ciri kawasan agropolitan seperti yang dianjurkan Friedmann mirip dengan kota-
kota (Ibukota-Ibukota Kabupaten) yang berpenduduk 50.000 orang ke bawah. Kebijakan
perspektif yang dianjurkan oleh Friedman (1975) adalah :

1) menganjurkan pembentukan lebih banyak titik-titik pertumbuhan ;


2) merangkai pusat-pusat agropolitan menjadi suatu jaringan pusat yang serasi
secara regional.

Teori ini menjadi teori menarik untuk diadopsi sebagai salah stau teori tentang
pengembangan wilayah dengan adanya daerah-daerah inti yang menarik banyak hal dari

12
daerah-daerah sekitarnya termasuk sumberdaya manusia yang kemudian disebut dengan
komuter karena berdomisili di kota sekitar namun bekerja di kota inti.

II.3 Pembangunan Wilayah Perdesaan

Friedman dan Douglas (1975) telah mengembangkan Pendekatan pembangunan


perdesaan melalui konsep agropolitan. Keduanya bahkan menekankan pentingnya pendektan
agropolitan dalam pengembangkan perdesaan di Kawasan asia afrika. Pendekatan agropolitan
menggambarkan bahwa pembangunan perdesaan secara beriringan dapat di lakukan dengan
pembangunan wilayah perkotaan pada tingkat local. Dalam konteks pengembangan
agropolitan terdapat tiga issue utama yang perlu mendapat perhatian yaitu:

1. Akses terhadap lahanpertanian dan penyediaan pengairan


2. Densentralisasi politik dan wewenang administrasi dari tingkat pusat dan tingkat
Local
3. Perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung
diversifikasi produk pertanian. Melihat kota kota sebagai site utama untuk fungsi –
fungsi politik dan administrasi, pendekatan pembangunan agropoliltan di banyak
negara lebih cocok dilakukan pada skala kabupaten (Douglas, 1998)

Menurut Friedman dan Douglas (1975). Tujuan pembangunan agropolitan adalah


menciptakan “cities in the field”. Dengan memasukkan beberapa unsur penting dari gaya
hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang berpenduduk dengan kepadatan tertentu.
Agropolitan distric merupakan satuan yang tepat untuk membuat suatu kebijaksaan
pembangunan ruang, melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan.
Agropolitan districs dapat dikembangkan di daerah perdesaan dengan kepadatan penduduk
tinggi untuk peri-urban untuk meningkatkan standart hidup. Meningkatkan kesempatan
bekerja dan mengurangi tingkat migrasi ke kota (Friedman, 1996).

Friedman dan Douglass (1975) bahkan menekankan pentingnya pendektan


agropolitan dalam pengembangan perdesaan di Kawasan asia dan afrika. Perdesaan (Rural
Development) secara beriringan dapat dilakukan degan pembangunan wilayah perkotaan

13
pada tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga issue utama perlu
mendapat perhatian sebagai berikut :

1. Akses terhadap lahan pertanian dan air


2. Densetralisasi politik dan wewenanh administrasi dari tingkat pusat ke tingkat local
3. Perubahan paradigma pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi
produk pertanian.

Implikasi hal tersebut menyebabkan kota-desa berperan sebagai site utama untuk
fungsi polisik administrasi, transformasi wewenang dari pusat ke daerah dan demokratis,
sebagai bagian dari perubahan politik, hal tersebut akan berdampak terhadap perencanaan
pembangunan perdesaan mengenai bagaimana upaya-upaya melaksanakan pembangunan
kapasitas lokal dan partisipasi masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat
mutual bagi masyarakat perdesaan dan perkotaan.

II.3 Pembangunan Wilayah Perkotaan

Konsep pusat pinggiran dinyatakan dalam berbagai pandangan oleh ilmuwan sosial.
Salah satu gejala pusat pinggiran telah disampaikan oleh John Friedman (1966), Ia membagi
dunia ini menjadi dua bagian besar yaitu Pusat yang dinanis dan pinggiran yang statis, dan
mengusulkan 4 wilayah sebagai berikut :

1. Daerah Pusat adalah dikonsentrasikan perekonomian metropolitan dengan


kapasitas tinggi untuk inovasi dan perubahan. Nampak seperti jaringan hirarkhi
dari Ibukota Negara samapai daerah terpencil. Pada tingkat dunia Eropa dan
Amerika Utara merupakan pusat daerah pengembangan di dunia barat.
2. Daerah Peralihan Atas adalah berbatasan dengan pusat, cocok bagi pengembangan
dan ekploitasi sumnerdaya. Ciri khas Daeah peralihan atas ialah pengembangan
disepanjang jalan raya dua kota besar contoh dalam skala dunia adalah daerah
antara Rio de Jenairo dan Sao Paulo.
3. Daerah Batas Sumber Daya adalah wilayah pinggiran permukiman baru, sebagai
contoh Permukiman dilereng utara Alaska.
4. Daerah Peralihan bawah adalah daerah yang stagnasi atau menurun
kemampuannya, contohnya adalah daerah perekonomian perdesaan dan
permukiman liar di perkotaan.

14
Kota dalam suatu wilayah merupakan salah satu elemen dimana terjadi hubungan antara kota
dan wilayah disekelilingnya. Menurut Daldjoeni dahulu kota – kota di zaman Yunani kuno
tak mengenal batas yang tegas secara ekonomis maupun politis antara darinya dan pedesaan
agraris diluarnya. Memang Nampak tembok kota itu memisahkan penduduk kota dari
penduduk yang Bertani di luarnya, tetapi sebenarnya antara kota dan wilayah sekelilingnya
itu terdapat relasi yang simbiotis (Daldjoeni, 1998:76).

Dalam pengertian lain, kedudukan kota terhadap wilayah sekelilingnya adalah sebagai
inti dengan wilayah pinggiran, yaitu dalam struktur ruang wilayah sebagai pusat dari kegiatan
yang menjadi pusat pertumbuhan bagi pengembangan suatu wilayah, dengan melihat
berbagai teori yaitu konsep kutup pertumbuhan (Perroux, 1955), konsep pusat pertumbuhan
(Boudeville), Konsep integrase ruang ekonomi (J. Friedman, 1966) yang dalam rencana tata
ruang diterjemahkan kota – kota dengan hierarki tertentu yang melayani wilayah
pengembangan, sehingga terjadi pemusatan pembangunan fasilitas dalam fungsinya sebagai
pusat pelayanan. Selanjutnya, Friedman menilai peran kota tersebut dalam suatu system
perkotaan yang dipandang sebagai agen dinamis pengembangan wilayah. System perkotaan
bukan hanya membangkitkan namun juga menjadi mediator pengembangan wilayah. Hal ini
dipandang karena perkembangan kota lebih dulu maju dibandingkan pengembangan wilayah
(Friedman, 1979).

Kota dengan pengaruh keunggulan dalam kemajuan ini akan menimbulkan


keterkaitan berupa daya Tarik aktivitas pergerakan dari wilayah bukan kota (bisa dikatakan
desa kalua di Indonesia), sehingga menimbulkan urbanisasi.

Sesuai dengan fungsinya, kota sebagai pusat administrasi pemerintahan dan kota
sebagai pusat pertumbuhan, maka kedudukan kota dalam wilayah dapat di bagi:

1. Secara administrasi sesuai dengan UU No.24 Tahun 1992 Mengenai Tata Ruang,
kota dengan fungsi sebagai ibukota, melayani dalam hal urusan pemerintahan,
sosial dan lainnya wilayah-wilayah yang secara administratif merupakan
wilayahnnya.
2. Secara fungsional kota sebagai pusat pertumbuhan/pengembangan wilayah sesuai
dengan konsep pusat pertumbuhan. Kota (pusat) melayani wilayah-wilayah yang
termasuk dalam wilayah pengaruhnya (wilayah belakang).

15
BAB. III

KESIMPULAN

Teori modernisasi dengan adanya beberapa model/konsep seperti model “pusat-


pinggiran” (core-periphery) dari Prebish/Friedmann; konsep “kutub-kutub pertumbuahn dan
pusat-pusat pertumbuhan” dari Perroux/Boudeville, hanyalah salah satu dari beberapa arus
pemikiran difusionis yang ditempuh oleh para ahli pembanguan. Namun jika ditinjau
kembali, barangkali itu yang penting.Secara ringkas argumen yang dikemukakan menyatakan
bahwa, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di wilayah-wilayah yang kurang
berkembang pada akhirnya akan tercapai melalui transmisi dorongan-dorongan pertumbuhan
dari kawasan-kawasan yang lebih maju. Dengan demikian meningkatnya interaksi dan
integrasi antara daerah-daerah yang kurang maju dan lebih maju pada tingkat tertentu, akan
menjurus kepada awal perkembangan di daerah-daerah yang disebut pertama.

Pendekatan agropolitan menggambarkan bahwa pembangunan perdesaan secara


beriringan dapat di lakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan pada tingkat local.
Pembangunan agropolitan bertujuan untuk menciptakan “cities in the field” dengan
memasukkan beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang
berpenduduk dengan kepadatan tertentu

Besarnya pengertian tersebut dapat dilihat besarnya keterkaitan antara kota dan
wilayah bukan kota (desa), dimana menurut Bintarto penduduk pedesaan lebih mengenal
kota, bahkan dari mereka yang hidup di kota. Ada banyak dari mereka yang meninggalkan
desanya dan tinggal di kota terdekat, tetapi ada juga yang hanya bekerja di kota tetapi masih
tinggal di desa. Dalam interaksi kota dengan desa dapat menimbulkan pengaruh positif dan
negatif baik untuk kota maupun desa (Bintarto, 1989:75)

16
BAB IV

PENUTUP

Pokok pikiran Fried dalam pembangunan bermula dari kesiapan perencanaan yang
matang, hal tersebut tertuang dalam Buku yang ia tulis dengan judul Planning in The Public
Domain, tujuan utama dari teori Perencanaan adalah bagaimana mengaitkan pengetahuan
teknis (technical knowledge) untuk diterjemahkan dalam public action. Friedman merangkum
teori – teori Perencanaan dan mengelompokannya menjadi 4 (empat) kategori diantaranya:
Reformasi Sosial, Analisis Kebijakan, Pembelajaran Sosial dan Mobilisasi Sosial. 4 Kategori
teori tersebut sangat mendukung Teori – teori selanjutnya yang dikembangkan oleh Friedman
dalam Teori Daerah Inti.

Proses daerah inti mengkonsolidasikan dominasinya terhadap daerah pinggiran


dilaksanakan melalui pengaruh-pengaruh umpan balik pertumbuhan daerah inti, yang terdiri
dari pengaruh dominasi (melemahnya ekonomi daerah pinggiran sebagai akibat dari
mengalirnya sumberdaya alam, manusia dan modal ke wilayah inti), pengaruh informasi
(peningkatan dalam interaksi potensial untuk menunjang pembangunan inovatif), pengaruh
psikilogis (penciptaan kondisi yang menggairahkan untuk melajutkan kegiatan-kegiatan
inovatif secara lebih nyata), pengaruh mata rantai (kecenderungan inovasi untuk
menghasilkan inovasi lainnya), dan pengaruh produksi ( pencitaan sturtur balas jasa dan
menarik untuk kegiatan-kegiatan inovatif.

Keberadaan daerah pusat dan pinggiran saling membutuhkan, karena keduanya saling
tergantung, daerah pinggiran dapat berkembanng banyak ditentukan oleh daerah pusat
melalui spread effect, dan pada akhirnya daerah pinggiran suatu saat akan berintegrasi
dengan daerah pusat atau efek tetesan ke bawah (trickle down-effect) dari pusat-pusat
pertumbuhan.

17
Namun harus tetap dibuka kemungkinan bahwa kritik dan ketidak-puasan terhadap
teori – teori Friedman adalah bersumber dari ketidaksesuaian fakta dengan apa yang ada
terjadi di Indonesia. Dengan demikian teori – teori tersebut mungkin perlu di-kaji ulang dan
disesuaikan kembali dalam kesatuan cerita, pelaku, dan lokasi para subyek dan obyek
perencanaan dan pembangunan wilayah dalam konteks sejarah dan proses-proses sosial yang
berlaku tanpa harus diikat dengan ketentuan-ketentuan baku. Ini adalah satu agenda tersendiri
yang mungkin layak untuk dicobakan.

Daftar Pustaka

Kuncoro, Mudrajad. 2018. Perencanaan dan Pembangunan Daerah Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/34790/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/STRATEGI%20PERENCANAAN%20PEMBANGUNAN
%20REGIONAL.pdf

http://dhanyvironment.blogspot.com/2015/08/perbandingan-teori-perencanaan-john.html

https://perencanaankota.blogspot.com/2014/12/kedudukan-kota-dalam-perkembangan.html

https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/10953/9/Bab%20II%202008sul.pdf

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/34790/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y

18

Anda mungkin juga menyukai