Anda di halaman 1dari 20

Hubungan tingkat pengetahuan tentang komplikasi hipertensi dengan keteraturan

Kunjungan Pada Penderita Hipertensi Usia 45 tahun ke atas di Puskesmas Tembok Dukuh
Surabaya dapat disimpulkan sebagai bahwa 100 % pasien hipertensi yang berusia 45 tahun ke
atas yang berkunjung ke Puskemas Tembok Dukuh memiliki pengetahuan kurang tentang
komplikasi hipertensi yang berakibat pada keteraturan kunjungan pasien hipertensi mengalami
penurunan. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh responden banyak mempengaruhi perilaku
responden tersebut, dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang maka
akan semain tinggi pula kesadaran responden untuk rutin berkunjung ke Puskesmas. Oleh karena
itu pengetahuan tentang komplikasi hipertensi sangat penting diberikan agar kunjungan ke
Puskesmas dapat meingkat dan responden dapat selalu mengontrol tekanan darahnya.( Wahyu
Wijayant, Prijono Satyabakti 2014)

Berdasarkan hasil penelitian kiki 2013 dapat disimpulan bahwa sebagian besar lansia hipertensi
yaitu sebesar 54,2% dan sebagian kecil prahipertensi yaitu 22,42%. Untuk distribusi olahraga
paling banyak berolahraga kurang yaitu 68,22% dan paling sedikit berolahraga sedang sebanyak
0,93%. Distribusi stres paling banyak kurang kebal terhadap stress yaitu 63,55% dan paling
sedikit kebal terhadap stress yaitu 36,44%. olahraga dengan tingkat hipertensi pada lansia yang
menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang mengalami hipertensi, berolahraga kurang
sebesar 49 lansia dan sebagian kecil berolahraga baik sebesar 9 lansia.
Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa olahraga mempengaruhi terjadinya hipertensi.
Manfaat olahraga untuk meningkatkan kerja dan fungsi jantung, paru dan pembuluh darah yang
ditandai dengan denyut nadi istirahat menurun, penumpukan asam laktat berkurang,
meningkatkan HDL kolesterol, mengurangi aterosklerosis (Harianto, 2010).
Stres juga sangat erat hubungannyadengan hipertensi. Stres merupakan masalah yang memicu
terjadinya hipertensi di mana hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas
saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secara intermiten (tidak
menentu). Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi.
Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengandi pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stres yang
dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Suhadak, 2010). Revisi A azrin

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan skor kualitas hidup rata-rata
sebesar 9,27. Nilai signifikasi (p) dari hasil uji statistik yaitu 0,00 lebih kecil dari nilai alpha (α = 0,05),
sehingga menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan senam bugar lansia terhadap kualitas
hidup penderita hipertensi.
Senam bugar lansia yang telah dilakukan tetap dipertahankan untuk menjaga kebugaran
dan mencegah penyakit hipertensi dan meningkatakan kualitas hidup baik secara fisik maupun
mental. Tempat penelitian di Balai Penyantunan Lanjut Usia (BPLU) Senja Cerah

1
Gilbert W. Setiawan
2Herlina I. S . Wungouw
2
Damajanty H. C. Pangemanan 2013
rev Aa
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengetahuan responden tentang hipertensi di
Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang dalam kategori rendah
sebanyak 24 orang (34,8%). Responden tidak
mengetahui tekanan darah yang termasuk
hipertensi dimana mereka menjawab 80/120
mmHg atau 100/160mmHg. Responden juga
banyak yang menjawab salah untuk pertanyaan
apa saja yang bisa menyebabkan hipertensi,
dimana mereka hanya menyebutkan dua
jawaban saja yaitu kegemukan dan merokok.
Pengetahuan mereka yang rendah tentang
hipertensi disebabkan faktor pekerjaan.

Secara garis besar pekerjaan dari warga


Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang dapat dibagi menjadi tiga
golongan yaitu petani, swasta dan wiraswasta.
Responden yang bekerja sebagai petani
sebanyak 25 orang (36,2%), yang bekerja
sebagai swasta sebanyak 23 orang (33,3%) dan
yang bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 21
orang (30,4%). Hal tersebut menunjukkan
sebagian besar responden bekerja sebagai
petani.

sebagai seorang petani ataupun


pekerja swasta penduduk desa tidak
mempunyai banyak waktu untuk menggali
informasi termasuk yang berkaitan dengan
hipertensi. Hal tersebut dikarenakan sebagi
seorang petani mereka hanya berinteraksi
dengan alam tidak dengan sesame manusia
sehingga tidak dapat bertukarr informasi.
Mereka mengetahui tentang hipertensi ketika
melakukan pemeriksaan kesehatan atau
mengantar keluarga yang menderita penyakit
tersebut. Kondisi tersebut yang menyebabkan
pengetahuan mereka tentang pencegahan
primer pada penyakit hipertensi rendah.
Pekerjaan merupakan suatu kegiatan atau aktivitas seseorang untuk memperoleh
penghasilan guna memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Pekerjaan/karyawan
adalah mereka yang bekerja pada orang lain
atau institusi, kantor, perusahaan dengan upah
dan gaji baik berupa uang maupun barang.
Pekerjaan merupakan faktor yang
mempengaruhi pengetahuan. Ditinjau dari
jenis pekerjaan yang sering berinteraksi
dengan orang lain lebih banyak
pengetahuannya bila dibandingkan dengan
orang tanpa ada interaksi dengan orang lain.
Pengalaman belajar dalam bekerja yang
dikembangkan memberikan pengetahuan dan
keterampilan profesional serta pengalaman
belajar dalam bekerja akan dapat
mengembangkan kemampuan dalam
mengambil keputusan yang merupakan
keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik
(Ratnawati, 2009).

Usia responden di Desa Nyatnyono


Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten
Semarang dalam penelitian ini dibagi menjadi
tiga kategori untuk mengefektifkan
perhitungan. Usia tertua dalam penelitian ini
55 tahun dan usia palign muda 31 tahun. Dari
hasil perhitungan diperoleh untuk usia 31-35
tahun sebanyak 19 orang (27,5%), usia 36-45
tahun sebanyak 29 orang (42,0%) dan usia 46-
55 tahun sebanyak 21 orangn (30,4%). Hal
tersebut menunjukkan sebagian besar
responden berusia 36-45 tahun atau usia
dewasa. Semakin tua umur responden maka
proses-proses perkembangan mentalnya
bertambah baik, akan tetapi pada umur
tertentu, bertambahnya proses perkembangan
mental ini tidak secepat seperti ketika
berumur belasan tahun. Daya ingat
responden itu salah satunya dipengaruhi oleh
umur. Bertambahnya umur responden dapat
berpengaruh pertambahan pengetahuan yang
diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur
tertentu atau menjelang usia lanjut
kemampuan penerimaan atau mengingat
suatu pengetahuan akan berkurang
Umur adalah variabel yang selalu
diperhatikan didalam penyelidikan
epidemiplogi angka kesakitan maupun
kematian hampir semua menunjukkan
hubungan dengan umur. Dengan cara ini orang
dapat membacanya dengan mudah dan melihat
pola kesakitan atau kematian menurut
golongan umur, personal yang dihadapi
apakah yang disampaikan dan dilaporkan
tepat, apakah panjang intervalnya dalam
pengalompokan cukup untuk tidak
menyembunyikan peranan umur pada pola
kesakitan atau kematian dan apakah
pengelompokan umur dapat dibandingkan
dengan pengelompokan umur pada penelitian
lain.
Tingkat pendidikan responden dalam
penelitian ini diperoleh tiga kategori yaitu SD,
SMP dan SMA. Hasil analisis data
menunjukkan responden dengan pendidikan
SD sebanyak 22 orang (31,9%), pendidikan
SMP sebanyak 21 responden (30,4%) dan
SMA sebanyak 26 orang (37,7%). Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar responden
mempunyai pendidikan yang baik yaitu SMA.
Tingkat pendidikan responden mempengaruhi
pengetahuan, semakin tinggi pendidikan
responden maka semakin tinggi pula tingkat
pengetahuannya

Pendidikan mempengaruhi proses


belajar, makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah orang tersebut untuk
menerima informasi. Dengan pendidikan
tinggi maka seseorang akan cenderung untuk
mendapatkan informasi baik dari orang klain
maupun media massa. Semakin banyak
informasi yang masuk semakin banyak pula
pengetahuan yang didapat tentang kesehatan.
Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan
pendidikan dimana diharapkan seseorang
dengan pendidikan tinggi maka orang
tersebut semakin luas pengetahuannya.
Namun perlu ditekankan bahwa seseorang
berpendidikan rendah tidak berarti mutlak
berpengetahuan rendah pula. Peningkatan
pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari
pendidikan formal akan tetapi dapat diperoleh
dari pendidikan nonformal. Pengetahuan
seseorang tentang suatu objek juga
mendukung dua aspek yaitu aspek positif dan
aspek negatif. Kedua aspek inilah yang
akhirnya menentukan sikap seseorang terhadap
obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif
dari objek yang diketahui akan menumbuhkan
sikap makin positif terhadap objek tersebut
(Erfandi, 2009).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku responden dalam pencegahan primer di Desa
Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang dalam kategori kurang sebanyak 9
orang (13,0%). Warga Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang
mempunyai perilaku pencegahan primer pada penyakit hipertensi kurang baik dimana mereka
masih menambahkan garam pada makanan/masakan sehari-hari atau mengkonsumsi garam
berlebihan

Sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan
beralasan. Sikap yang diperoleh dari pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung
terhadap perilaku. Pengaruh langsung tersebut akan direalisasikan apabila kondisi dan situasi
memungkinkan. Apabila individu berada dalam situasi yang betul-betul bebas dari berbagai
bentuk tekanan atau hambatan yang mengganggu ekspresi sikapnya maka dapat diharapkan
bahwa bentuk-bentuk perilaku yang tampak merupakan ekspresi sikap yang sebenarnya.
Terbentuknya suatu perilaku, dimulai dari pemahaman informasi (stimulus) yang baik kemudian
sikap yang ditunjukkan akan sesuai dengan informasi.
Kemudian sikap akan menimbulkan respons berupa perilaku atau tindakan terhadap stimulus
atau objek tadi. Apabila penerimaan perilaku baru melalui proses yang didasari oleh sikap yang
positif maka perilaku tersebut akan berlangsung lama (Sirlan, 2005).

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara
pemberantasan yang dilakukan. Tingkat pendidikan berpengaruh pada tingkat pengetahuan,
pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah dari
pendidikan kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh pada meningkatnya
indicator kesehatan masyarakat sebagai keluaran dari pendidikan kesehatan (Depkes RI, 2002).

Hasil uji statistik didapatkan nilai ι sebesar 0,310 dan nilai p value sebesar 0,008 maka dapat
disimpulkan ada hubungan pengetahuan tentang hipertensi dengan perilaku pencegahan primer
di Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Artinya jika pengetahuan
tentang hipertensi tinggi, maka perilaku pencegahan primer di Desa Nyatnyono Kecamatan
Ungaran Barat Kabupaten Semarang semakin baik.

Perilaku erat hubungannya dengan kesehatan, dimana tingkat kesehatan, keselamatan, serta
kehidupan seseorang banyak ditentukan oleh faktor perilaku. Perilaku mempunyai andil nomer
dua setelah lingkungan terhadap status kesehatan. Perilaku pencegahan hipertensi adalah salah
satu bagian penting yang harus diperhatikan dengan menjauhi kebiasaan yang kurang baik
seperti minum kopi, merokok, olahraga tidak teratur, minum alkohol dan makan makanan yang
mengandung lemak (Notoatmodjo, 2010).

Menurut teori Lawrence Green (1980) yang dikutip Notoatmodjo (2010), perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh faktor predisposisi termasuk di dalamnya adalah sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai dan pengetahuan. Semakin baik tingkat pengetahuan seseorang maka
semakin baik pula perilaku pencegahan individu terhadap penyakit hipertensi. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior).
Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng.
Pengetahuan responden tentang hipertensi di Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang dalam kategori rendah sebanyak 24 (34,8%), kategori sedang yaitu
sebanyak 18 orang (26,1%) dan kategori tinggi sebanyak 27 orang (39,1%).
Perilaku responden dalam pencegahan primer di Desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang dalam kategori kurang sebanyak 9 orang (13,0%), kategori cukup
sebanyak 43 orang (62,3%) dan kategori baik sebanyak 17 orang (24,6%). Ada hubungan
pengetahuan tentang hipertensi dengan perilaku pencegahan primer di Desa Nyatnyono
Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang, dengan nilai τ sebesar 0,310 dan nilai p value
sebesar 0,008 (α =0,05).

Lalu Febrian
Rev Bb

Hasil penelitian menujukkan ada hubungan


yang signifikan antara aktivitas fisik, asupan lemak dan asupan natrium dengan kejadian
hipertensi.
Berdasarkan hasil regresi logistik berganda asupan
natrium yang paling berhubungan dengan kejadian
hipertensi yang memiliki resiko 4,627 kali lebih
besar untuk mengalami kejadian hipertensi (OR
Exp(B) = 4,627; 95% CI = 1,574– 13,635).
solehatul Mahmudah1, Taufik Maryusman1, Firlia Ayu Arini1, dan Ibnu Malkan 2015
rev C
Sebanyak 93,7% responden dengan asupan
Natrium yang lebih menderita hipertensi,
sedangkan 63,2% dengan asupan yang kurang
tidak menderita hipertensi
penelitian yang dilakukan
oleh Ariyanti (dalam Almatsier, 2007)10, bahwa
ada hubungan asupan Natrium dengan tekanan
darah responden, yaitu sebesar 98,2% responden
mempunyai asupan Natrium melebihi AKG
Natrium (rata-rata asupan adalah 4663,6 mg/hari
atau 194,3% dari AKG).
Hasil penelitian dengan menggunakan analisis
regresi logistik menunjukkan bahwa risiko untuk
menderita hipertensi bagi subjek yang
mengkonsumsi Natrium dalam jumlah yang tinggi
adalah 5,6 kali lebih besar dibandingkan dengan
yang mengkonsumsi dalam jumlah yang rendah.

Hasil uji chi-squaremenunjukkan bahwa “ada


hubungan antara pola konsumsi Natrium dan
Kalium dengan kejadian hipertensi di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo”. Berdasarkan food
frequency diperoleh sebanyak 93,7%responden
yang mengkonsumsi Natrium lebih, menderita
hipertensi sedangkan 63,2% responden yang
kurang mengkonsumsi Natrium tidak menderita
hipertensi. Untuk hasil recall 24 jam, diperoleh
sebesar 93,3% responden yang memiliki asupan
Natrium yang lebih menderita hipertensi
sedangkan 73,7% responden yang memiliki asupan
Natrium yang kurang tidak menderita hipertensi.
Natrium memiliki hubungan yang
sebanding dengan timbulnya hipertensi. Semakin
banyak jumlah Natrium di dalam tubuh, maka akan
terjadi peningkatan volume plasma, curah jantung
dan tekanan darah. Meskipun demikian, reaksi
seseorang terhadap jumlah Natrium di dalam tubuh
berbeda-beda.11
responden yang terbiasa berolahraga secara rutin
sebanyak 41,8% tidak menderita hipertensi. Di
samping itu, juga diperoleh sebanyak 88,2%
responden yang menderita hipertensi hanya
melakukan olahraga 1-3 kali seminggu. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian lain yang
menganjurkan olahraga dilakukan sekurangkurangnya
3 kali seminggu dengan jarak 1 atau 2
hari dan paling banyak 5 kali seminggu.

Hasil uji chi-squaremenunjukkan bahwa “ada


hubungan antara pola konsumsi Natrium dan
Kalium dengan kejadian hipertensi di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo”. Berdasarkan food
frequency diperoleh sebanyak 93,7%responden
yang mengkonsumsi Natrium lebih, menderita
hipertensi sedangkan 63,2% responden yang
kurang mengkonsumsi Natrium tidak menderita
hipertensi. Untuk hasil recall 24 jam, diperoleh
sebesar 93,3% responden yang memiliki asupan
Natrium yang lebih menderita hipertensi
sedangkan 73,7% responden yang memiliki asupan
Natrium yang kurang tidak menderita hipertensi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
penurunan asupan Natrium ±1,8 gram/hari dapat
menurunkan tekanan darah sistolik 4 mmHg dan
diastolik 2 mmHg pada penderita hipertensi.

Hepti Muliyati*, Aminuddin Syam, Saifuddin Sirajuddin


Rev Cc
Dukungan keluarga
Dari hasil analisis hubungan antara dukungan keluarga terhadap lanjut usia yang menderita
penyakit hipertensi dengan praktik lanjut usia hipertensi dalam mengendalikan kesehatannya
diperoleh bahwa ada sebanyak 18 ( 52,9 %) responden yang mempunyai dukungan keluarga
kurang melakukan praktik mengendalikan kesehatannya dengan baik. Sedangkan responden
yang mempunyai dukungan keluarga baik ada 179 (71,3 %) yang melakukan praktik
mengendalikan kesehatannya dengan baik, dan bahwa ada sebanyak 16 ( 47,1 %) responden
yang mempunyai dukungan keluarga kurang melakukan praktik mengendalikan kesehatannya
kurang baik. Sedangkan responden yang mempunyai dukungan keluarga baik ada 72 (28,7 o/,)
yang melakukan praktik mengendalikan kesehatannya kurang baik.
Hasil uji statistik dengan uii chi square diperoleh nilai p : 0,048 dengan tingkat kesalahan
5 o/o maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap
lanjut usia yang menderita penyakit hipertensi dengan praktik lanlut usia hipertensi dalam
mengendalikan kesehatannya
Menurut teori Green bahwa dukungan
sosial merupakan salah satu faktor yang memperkuat seseorang untuk melakukan suatu perilaku
tertentu (Notoadmodjo, 2003)'

Hasil cross cfek dengan keluarga responden menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga
responden telah memahami faktor yang beresiko terjadinya kekambuhan, komplikasi yang
mungkin terjadi, manfaat melakukan pengendalian kesehatan beserta hambatan-hambatan yang
mungkin terjadi serta akses yang didapat dalam upaya praktik pengendalian kesehatan laniut usia
hipertensi. Dukungan yang telah diberikan oleh keluarga berupaya mengingatkan agar mau
periksa,
mengingatkan agar minum obatnya teratur, mengantarkan periksa, membantu biaya periksa,
mengingatkan untuk mengurangi garam, istirahat cukup, berhenti merokok, menyarankan
untuk banyak beribadah dan berdo'a. Hal ini memberikan gambaran bahwa dengan dukungan
keluarga yang baik akan mendorong laniut usia hipertensi untuk melakukan praktik pengendalian
kesehatannya dengan baik pula.

Dukungan social
Dari hasil analisis hubungan antara dukungan kader kesehatan terhadap laniut usia
yang menderita penyakit hipertensi dengan Praktik lanjut usia hipertensi dalam mengendalikan
kesehatannya diperoleh bahwa ada sebanyak 98 (75,4 o/ol responden yang mempunyai dukungan
kader kesehatan kurang melakukan praktik mengendalikan kesehatannya dengan baik.
Sedangkan responden yang mempunyai dukungan kader kesehatan baik ada 99
(63,9 %) yang melakukan praktik mengendalikan kesehatannya dengan baik, dan bahwa ada
sebanyak 32 (24,6Yo) responden yang mempunyai dukungan kader kesehatan kurang melakukan
praktik mengendalikan kesehatannya kurang baik. Sedangkan responden yang mempunyai
dukungan kader kesehatan baik ada 56 (36,1 %) yang melakukan praktik mengendalikan
kesehatannya kurang baik.
Hasil uji statistik dengan uii Chi Square diperoleh nilai p = 9,949
dengan tingkat kesalahan 5 % maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan
kader kesehatan terhadap lanjut usia yang menderita penyakit hipertensi dengan Praktik laniut
usia hipertensi dalarn mengendalikan kesehatannya
Dalam penelitian ini dukungan yang telah diberikan oleh kader kesehatan meliputi:
mengingatkan
lanjut usia untuk melakukan pemeriksaan secara berkala, menyarankan untuk banyak
istirahat, mengantar ke pelayanan kesehatan, memberikan nasehat tentang penyakit,
menyelenggarakan posyandu lansia, mengajarkan senam lansia dan mengajarkan cara perawatan.
semakin baik dukungan kader kesehatan terhadap lanjut usia hipertensi
maka akan meningkatkan upaya lanjut usia hipertensi untuk mengendalikan kesehatannya
serta ditunjang dengan pemahaman yang baik tentang faktor yang beresiko terjadinya
kekambuhan, komplikasi yang mungkin teriadi, manfaat melakukan pengendalian kesehatan
beserta
hambatan-hambatan yang mungkin terjadi serta akses yang didapat dalam upaya praktik
pengendalian kesehatan lanjut usia hipertensi maka kemampuan memberikan dukungan kepada
laniut usia hipertensi untuk melakukan praktik pengendalian kesehatannya iuga akan semakin
meningkat.
Edy soesanto
Rev D

bahwa proporsi hipertensi pada kelompok umur 45-59 tahun adalah 54,72%, pada kelompok
umur 60-74 tahun 74,57%, dan pada kelompok umur 75-90 tahun adalah 64,29%.
Hasil uji secara statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,041 yang
berarti secara umum terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian hipertensi.
proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki riwayat keluarga adalah 84,00% dan pada
kelompok yang tidak memiliki riwayat keluarga adalah 53,49%.
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square, diperoleh nilai p=0,000 artinya
terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi. Ratio
prevalence hipertensi pada kelompok ada riwayat keluarga dan tidak ada riwayat keluarga adalah
1,570 (p=0,000), artinya kemungkinan resiko kejadian hipertensi yang memiliki riwayat keluarga
lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki riwayat keluarga.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Irza di Sumatera Barat (2009) dengan menggunakan desain
penelitian cross sectional, ditemukan proporsi hipertensi pada kelompok yang memiliki riwayat
keluarga 35,98% dan yang tidak memiliki riwayat keluarga 8,77%. Berdasarkan hasil penelitian
yang sama, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga
dengan kejadian hipertensi (p=0,000).

Tahun 2013
Martati Siringoringo1, Hiswani2, Jemadi2
Rev Dd

responden lansia berjenis kelamin perempuan sebanyak 24 orang (71%), hal ini sesuai dengan
teori hipertensi Dewi (2010) bahwa perempuan memiliki risiko lebih
tinggi dibandingkan dengan laki-laki ketika memasuki menopause.
Menurut Sarwono (2007) dalam Dyah Ayu Pithaloka (2011), peran gender merupakan bagian
dari peran sosial dan tidak hanya ditentukan oleh jenis kelamin orang yang bersangkutan, tetapi
oleh lingkungan dan faktor-faktor lainnya. Pada perempuan, tekanan darah umumnya meningkat
setelah menopause. Perempuan yang sudah menopause memiliki risiko hipertensi yang lebih
tinggi dibanding yang belum menopause. Sejauh ini di simpulkan kalau perubahan hormonal dan
biokimia setelah menopause adalah penyebab utama perubahan tekanan darah.

Perubahan hormon tersebut membuat perempuan mengalami peningkatan sensitivitas terhadap


garam dan penambahan berat badan. Kedua hal tersebut berpotensi memicu tekanan darah yang
lebih tinggi (Harmoni, 2007). Penelitian Anggraeni, dkk (2009), menyimpulkan bahwa jenis
kelamin terbanyak pada panelitian ini adalah perempuan. Pada pria lebih banyak mempunyai
faktor yang mendorong terjadinya hipertensi seperti kelelahan, perasaan kurang nyaman terhadap
perkerjaan, penganguran dan makan tidak terkontrol.

Dari hasil wawancara yang penulis lakukan pada lansia dengan hipertensi yang melakukan
pemeriksaan tekanan darah biasanya jika mereka sudah merasakan timbulnya gejala seperti sakit
kepala dan sakit dipundak, dan ada juga yang mengatakan kalau saya ingat baru melakukan
pemeriksaan, ada juga yang mengatakan bahwa melakukan kontrol sesuai jadwal yang
ditentukan yaitu 1 bulan 2 kali.
Menurut peneliti sebaiknya jika seseorang sudah mempunyai riwayat keturunan penyakit
hipertensi, sebaiknya melakukan pemeriksaan atau kontrol tekanan darah minimal 2 kali dalam
sebulan agar dapat mengetahui tekanan darah sedini mungkin untuk mencegah risiko yang
ditimbulkan.
Roselina Tambunan
Yeni intania
Corry Nova M.
2013
Rev E
Menurut WHO pengetahuan biasanya didapatkan dari pengalaman, guru, orang tua, buku,
teman dan media massa. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga
seseorang berperilaku sesuai keyakinan tersebut.Masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan
yang tinggi tentang seluk-beluk penyakit hipertensi sebagai penyebabnya, faktor pemicu, tanda
dan gejala,
tekanan darah yang dikatakan normal atau tidak,
serta komplikasi yang dapat terjadi, seharusnya
memiliki kesadaran yang lebih tinggi, sehingga orang
tersebut cenderung akan menghindari hal-hal
yang dapat memicu terjadinya hipertensi seperti
perilaku merokok, minum kopi dan obesitas.
Pengetahuan dan kesadaran akan faktor risiko
pemicu hipertensi serta tanda dan gejalanya penting
karena nantinya terkait dengan perubahan sikap dan
perilaku mereka sehari-hari yang akan membantu
dalampencegahan awal untukmenghindari kejadian
hipertensi serta mampu memeriksakan segera
ketika mulai merasakan gejala-gejalanya.28 Hal ini
juga didukung oleh penelitian lain yangmenyebutkan
bahwa kepentingan pengetahuan dan kesadaran diri
terhadap penyakit hipertensi penting dalam upaya
prevensi. Pasien yang mengerti bahwa tingginya
tekanan darah dapat menurunkan harapan hidup,
mempunyai kepatuhan yang tinggi dalam hal upaya
prevensi diri seperti rutin follow-up ke dokter.26 Jadi
dapat disimpulkan dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya, pengetahuan dan
kesadaran individu akan hipertensi akan
mempengaruhi sikap dan perilaku ke depannya.
Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup
yang tidak dapat dilihat secara langsung. Sikap
hanya dapat ditafsirkan menjadi perilaku yang
tampak. Untukmengetahui apakah sifat responden
digambarkanmelalui perilaku, diperlukan observasi
secara langsung selama beberapa waktu, selain
melalui kuesioner, sehingga tingkat pengetahuan
tidak berkorelasi langsung dengan angka kejadian
hipertensi. Selain itu juga hipertensi juga bersifat
multifaktorial, sehingga faktor pengetahuan yang
rendah saja tidak cukup signifikan untuk dapat
menyebabkan hipertensi. Hal ini dapatmenjelaskan
mengapa pada kedua kelompok yaitu pada RW 18
Kelurahan Panembahan dan RW 1 Kelurahan
Patehan tidak didapatkan korelasi signifikan antara
tingkat pengetahuan dengan kejadian hipertensi.’

Cindy Cekti, Adiguno S.W., Sarah A.H., Khoirul A., Mohammad E.P., Datu R., Dyah A.R.,
Ika R.K.,
Erdiansyah Z., Dian P., Stefanus Danan N., Az Hafid N., Endah R.1, Wahyudi Istiono2
Rev Ee

Anda mungkin juga menyukai