Anda di halaman 1dari 31

Latar belakang

Berdasarkan data WHO dalam Noncommunicable Disease Country Profiles prevalensi


didunia pada usia >25 tahun mencapai 38,4%. Prevalensi Indonesia lebih besar jika
dibandingkan dengan Banglandesh, Korea, Nepal, dan Thailand (Krishnan dkk. 2011). Krishnan,
A, Garg, R, Kahadaliyanage, A 2013, ‘Hypertension in the sount–east asian region: an
overview’, Regional Health Forumvol. 17, no.1, hlm.7-14.

Prevalensi hipertensi di Indonesia pada usia >18 tahun mencapai 25,8%. Jawa Barat merupakan
provinsi yang menempati posisi ke empat sebesar 29,4% angka ini lebih besar dibandingkan
dengan prevalensi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan DKI Jakarta (Riset Kesehatan
Dasar, 2013). Depkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. http:// www.depkes.go.id/
JENIS KELAMIN

Laki-laki atau perempuan sama-sama memiliki kemungkinan beresiko hipertensi. Namun, laki-
laki lebih beresiko mengalami hipertensi dibandingkan perempuan saat usia <45 tahun tetapi saat
usia > 65 tahun perempuan lebih beresiko mengalami hipertensi (Prasetyaningrum, 2014).
Prasetyaningrum, YI 2014, Hipertensi bukan untuk ditakuti, Fmedia (Imprint AgroMedia
Pustaka), Jakarta .

Berdasarkan hasil uji chi square antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi didapatkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi (p=1,000).
HUBUNGAN GAYA HIDUP DAN POLA MAKAN DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI
PADA LANSIA DI KELURAHAN SAWANGAN BARU KOTA DEPOK TAHUN 2015
Solehatul Mahmudah , Taufik Maryusman , Firlia Ayu Arini , dan Ibnu Malkan . h.47

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Prasetyaningrum (2014) yang mengatakan
laki-laki lebih beresiko mengalami hipertensi dibandingkan perempuan saat usia < 45 tahun.
Prasetyaningrum, YI 2014, Hipertensi bukan untuK ditakuti, Fmedia (Imprint AgroMedia
Pustaka), Jakarta

Tetapi saat usia >65 tahun, perempuan lebih beresiko mengalami hipertensi dibanding laki laki
setelah wanita memasuki masa monopouse prevalensi pada wanita akan semakin meningkat
dikarenakan faktor hormonal. Meskipun secara statistik tidak ditemukan hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan hipertensi namun dapat di lihat kecenderungan prevalensi
hipertensi laki-laki sebesar 28,6% yang menderita hipertensi lebih besar dibandingkan
perempuan 26,3%. Mahmudah S, Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya hidup dan
pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota depok tahun
2015. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
2015. 7 (2). hal 45-9
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susyani dkk. (2012) hasil
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian
hipertensi dimana p-value=0,404. Susyani, Rotua, M, Suryani, E 2012, ‘Pola konsumsi
makanan olahan dan kejadian hipertensi di rumah sakit umum daerah Prabumulih Tahun 2012’,
Jurnal Pembagunan Manusia, vol.7, no.1 April 2013, hlm.11-19.

Berbeda dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) menunjukkan prevalensi hipertensi pada
perempuan cenderung lebih tinggi dibanding laki-laki. Depkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar
2013. http:// www.depkes.go.id

responden lansia berjenis kelamin perempuan sebanyak 24 orang (71%), hal ini sesuai dengan
teori hipertensi Dewi (2010) bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan
laki-laki ketika memasuki menopause. Tambunan R, Intania Y, Nova CM. Upaya pencegahan
sekunder pada lansia dengan hipertensi di rw 07 kelurahan margasuka, wilayah kerja puskesmas
cibolerang bandung. hal 384-91.

Dyah Ayu Pithaloka (2011), peran gender merupakan bagian dari peran sosial dan tidak hanya
ditentukan oleh jenis kelamin orang yang bersangkutan, tetapi oleh lingkungan dan faktor-faktor
lainnya. Pada perempuan, tekanan darah umumnya meningkat setelah menopause. Perempuan
yang sudah menopause memiliki risiko hipertensi yang lebih tinggi dibanding yang belum
menopause. Sejauh ini di simpulkan kalau perubahan hormonal dan biokimia setelah menopause
adalah penyebab utama perubahan tekanan darah. Pada pria lebih banyak mempunyai faktor
yang mendorong terjadinya hipertensi seperti kelelahan, perasaan kurang nyaman terhadap
perkerjaan, penganguran dan makan tidak terkontrol. Dyah & Yuli, (2011). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kontrol Hipertensi Pada Lansia Di Pos Pelayanan Terpadu Wilayah
Kerja Puskesmas Mojosongo Boyolali. Dalam Jurnal Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Vol. 4, No. 1. Tahun 2011 ISSN 1979-7621. Diakses pada tanggal 02 Mei 2013 pukul
12.50 WI
GENETIKA
Untuk distribusi riwayat keluarga hipertensi lebih banyak responden yang “tidak ada” riwayat
keluarga hipertensi sebanyak 57 responden (34,5%), sedangkan responden yang “ada” riwayat
keluarga hipertensi sebanyak 30 responden (65,5%). Mahmudah S, Maryusman T, Arini FA,
Malkan I. Hubungan gaya hidup dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di
kelurahan sawangan baru kota depok tahun 2015. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 2015. 7 (2). hal 45-9.

Seseorang yang kedua orang tua memiliki riwayat penyakit hipertensi anaknya akan beresiko
terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer (essensial) yang terjadi karena pengaruh
genetika (Sutanto, 2010). Sutanto 2010, Cekal (cegah & tangkal) penyakit modern, ANDI,
Yogyakarta.

Berdasarkan hasil uji chi square antara riwayat keluarga hipertensi dengan kejadian hipertensi
didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat keluarga hipertensi dengan
kejadian hipertensi (p=0,068). Mahmudah S, Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya
hidup dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota
depok tahun 2015. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta. 2015. 7 (2). hal 45-9.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Sutanto (2010) yang mengatakan sebagian
besar kasus hipertensi dipengaruhi oleh factor keturunan. Jika kedua orang tua memiliki riwayat
penyakit hipertensi anaknya akan beresiko terkena hipertensi, terutama pada hipertensi primer
(essensial). Hal ini terjadi karena adanya gen yang berhubungan dengan kejadian hipertensi yang
menurun pada dirinya. Sutanto 2010, Cekal (cegah & tangkal) penyakit modern, ANDI,
Yogyakarta
Meskipun secara statistik tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga
hipertensi dengan kejadian hipertensi namun, dapat di lihat kecenderungan prevalensi hipertensi
yang ada riwayat keluarga hipertensi sebesar 40,0% yang menderita hipertensi lebih besar
dibandingkan yang tidak ada riwayat keluarga hipertensi sebesar 19,3%. Mahmudah S,
Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya hidup dan pola makan dengan kejadian
hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota depok tahun 2015. Jakarta: Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 2015. 7 (2). hal 45-9.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mannan dkk. (2012) mengatakan bahwa
seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika kedua
orang tuanya menderita hipertensi. Seseorang yang memiliki riwayat keluarga hipertensi
beresiko 4,36 kal. Mannan, H, Wahiduddin, Rismayanti 2012 ‘Faktor resiko kejadian hipertensi
di wilayah kerja puskesmas bangkala kabupaten jeneponto tahun 2012’, hlm.1-13.

GAYA HIDUP
Gaya hidup merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Gaya hidup
yang tidak sehat dapat menjadi penyebab terjadinya hipertensi misalnya aktivitas fisik dan stres
(Puspitorini dalam Sount dkk. 2014) Suoth, M, Bidjuni, H, Malara, RT 2014 ‘Hubungan gaya
hidup dengan kejadian hipertensi di puskesmas kolongan kecamatan kaawat kabupaten minahasa
utara 2014’, Jurnal Keparawatan (e-Kp), Vol.2, (1): 1-10.
AKTIVITAS FISIK atau olahraga
Untuk distribusi aktivitas fisik lebih banyak aktivitas fisik “sedang” sebanyak 63 responden
(72,4%), sedangkan responden yang aktivitas fisik “ringan” sebanyak 24 responden (27,6%).
Berdasarkan hasil uji chi square antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi didapatkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi (p=0,024). Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki intensitas aktifitas fisik yang sedang.
Hal ini kemungkinan karena sebagian besar responden telah berusia lanjut, sehingga sudah tidak
mampu melakukan aktifitas fisik yang berat. Selain itu, sebagian besar responden adalah ibu
rumah tangga, yang digantikan oleh anak mereka untuk melakukan perkejaannya. Mahmudah S,
Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya hidup dan pola makan dengan kejadian
hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota depok tahun 2015. Jakarta: Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 2015. 7 (2). hal 45-9.

Hasil penelitian sejalan dengan pernyataan Junaedi dkk. (2013) mengatakan bahwa seseorang
yang tidak aktif memiliki frekuensi denyut jantung lebih tinggi sehingga otot jantung harus
bekerja lebih keras pada saat kontraksi sehingga menyebabkan kenaikan tekanan darah. Junaedi
E, Yulianti, S, Rinata, MG 2013, Hipertensi kandas berkat herbal, Fmedia (Imprint AgroMedia
Pustaka), diaskes 04 Maret 2015.https://books.google.co.id/

Penelitian ini sejalan dengan penelitian terkait yang dilakukan oleh Muliyati dkk. (2011) hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktifitas fisik dengan kejadian
hipertensi, sebanyak 64,4% responden yang memiliki aktivitas fisik ringan menderita hipertensi,
sedangkan 100% responden yang beraktifitas fisik sedang tidak hipertensi. Muliyati, H, Syam,
A, Sirajuddin, S 2011, ‘Hubungan pola konsumsi natrium dan kalium serta aktifitas fisik dengan
kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di RSUP DR.Wahidin
Sudirohusodo Makassar’, Media Gizi Masyarakat Indonesia, vol.1, no.1, Agustus 2011, hlm.46-
51.
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tety S. (2005) yang menemukan bahwa usia 60-70
tahun mempunyai aktifitas yang tergolong tinggi sedangkan umur >70 tahun cenderung rendah.
Tety, S. Gambaran Aktifitas Fisik dan Gaya Hidup Usia Lanjut di Wilayah Kerja Puskesmas
Kassi-Kassi kecamatan Rappocini kota Makassar (Skripsi). Makassar; Universitas Hasanuddin:
2005

Berdasarkan hasil uji chi-square diperolah bahwa “ada hubungan antara aktifitas fisik dengan
kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo”. Sebanyak
64,4% responden yang memiliki aktifitas ringan menderita hipertensi, sedangkan 100%
responden yang beraktifitas sedang tidak menderita hipertensi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa sebagian besar responden memiliki intensitas aktifitas yang ringan. Hal ini kemungkinan
karena sebagian besar responden telah berusia lanjut, sehingga sudah tidak mampu lagi
melakukan aktifitas yang agak berat.Selain itu, sebagian besar responden adalah ibu rumah
tangga, yang digantikan oleh anak mereka melakukan pekerjaannya. . Muliyati H, Syam
Aminuddin, Sirajuddin S. Hubungan pola konsumsi natrium dan kalium serta aktifitas fisik
dengan kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di rsup dr wahidin sudirohusodo makassar.
Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. 2011. 1(1). hal 46-51

Olahraga dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah kapiler yang baru dan jalan darah
yang baru.Hal yang dapat menghambat pengaliran darah dapat dikurangi yang berarti
mengurangi tekanan darah. Walaupun kesanggupan jantung untuk melakukan pekerjaan
bertambah melalui olahraga, pengaruh dari berkurangnya hambatan tersebut memberikan
penurunan tekanan darah yang sangat berarti. Choudhury A and G Y H Lip. Exercise and
Hypertension. Journal of Human Hypertension 2005;19:585–7.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 66,7% responden yang tidak terbiasa berolahraga
secara rutin menderita hipertensi sedangkan responden yang terbiasa berolahraga secara rutin
sebanyak 41,8% tidak menderita hipertensi. Di samping itu, juga diperoleh sebanyak 88,2%
responden yang menderita hipertensi hanya melakukan olahraga 1-3 kali seminggu. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian lain yang menganjurkan olahraga dilakukan sekurangkurangnya 3
kali seminggu dengan jarak 1 atau 2 hari dan paling banyak 5 kali seminggu. Karena bila
dilakukan terlalu sering, misalnya setiap hari, otot tidak mempunyai kesempatan untuk istirahat,
sedangkan bila terlalu jarang hasilnya tidak efektif. . Muliyati H, Syam Aminuddin, Sirajuddin S.
Hubungan pola konsumsi natrium dan kalium serta aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi
pada pasien rawat jalan di rsup dr wahidin sudirohusodo makassar. Makassar: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. 2011. 1(1). hal 46-51

Olahraga dapat meningkatkan elastisitas dan fungsi endotel dengan cara menghambat
pembentukan radikal bebas dan mempertahankan produksi nitric
oxideyangberperandalammelindungi lapisan dalam endotel arteri. Keadaan ini dapat
memperlambat progresi pembentukan arteriosklerosis dan dapat menurunkan kejadain hipertensi.
Dollemore,D. The blood vessels and aging: The Rest of The Journey. In: Aging Hearts and
ArteriesAScientificQuest. U.S. Department of Health and Human Services, United State.
2005:33-49.

Tipe olahraga yang dianjurkan untuk mencegah dan mengobati hipertensi adalah tipe olahraga
aerobic yang dilakukan 3-5 kali per minggu dengan durasi 20-60 menit. Wallace, Jannet P.
Exercise in hypertension a clinical review. SportsMed.2003;33(8):1.

Sementara itu Whelton et al pada metaanalisis nya mengemukakan bahwa olahraga aerobic dapat
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dan normotensi. Whelton, Seamus, P. Effect
of aerobic exercise on blood pressure: a meta-analysis of randomized, contolled trials.American
College of Physicians-American Society of Internal Medicine. 2002;136:493-503
Data dari kajian The Kuopio Osteoporosis Risk Factor and Prevention (OSTPRE)
padawanitausia peri dan postmenopause menunjukkan bahwa hubungan antara aktivitas fisik
dengan hipertensi tidak signifikan. Juntunen M, Niskanen L, Saarelainen J, TuppurainenM,
Saarikoski S, andHonlanen,R. Changes in Body Weight and Onset of
HypertensioninPerimenopausalWomen. Journal ofHumanHypertension. 2003;17: 775-9.

Hasil analisis chi-square di RW 1 Patehan menunjukkan nilai p=0.901 (>0.05), sedangkan hasil
analisis Fisher’s Exact Test di RW 18 Panembahan menunjukkan nilai p=1.000 (>0.05). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara melakukan olahraga teratur
terhadap kejadian hipertensi pada populasi lanjut usia di RW 1 Kelurahan Patehan, dan RW 18
Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton. Pada penelitian ini criteria olahraga meliputi
olahraga aerobik (tipe cardiorespirasi) yang dilakukan. Pada penelitian ini dengan kriteria
olahraga tersebut di atas (tipe aerobik, minimal 4 kali dalam seminggu dengan durasiminimal
30menit), 55.6% dari populasi lanjut usia di RW 1Kelurahan Patehan dan 80.4% dari populasi
lanjut usia di RW 18 Kelurahan Panembahan tidak memenuhi criteria sebagai kelompok
yangmelakukan olahraga rutin. Dengan data penelitian sesuai kriteria olahraga tersebut di atas,
hubungan antara olahraga rutin terhadap kejadian hipertensi pada populasi penelitian menjadi
tidak bermakna. Hasil ini dapat disebabkan karena hipertensi disebabkan oleh multifaktorial
yang saling berhubungan. Hubungan yang tidak bermakna juga bisa disebabkan karena defek
metodologi sehingga faktor-faktor pengganggu seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan dan faktor lainnya tidak dapat dikendalikan. Cekti C, Adiguno SW, Sarah AH,
Khoirul A, Mohammad EP et al. Perbandinngan kejadian dan faktor risiko hipertensi antara rw
18 kelurahan panembahan dan rw 1 kelurahan patehan. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat. 2008. 24(2). hal. 169-70.

Menurut Wallace melakukan olahragaminimal 3 kali dalamseminggu dengan durasiminimal


20menit sudahmemberikan efek terhadap penurunan tekanan darah. Wallace, Jannet P. Exercise
in hypertension a clinical review. SportsMed.2003;33(8):1.
Menurut peneliti kiki dari hubungan perilaku olahraga dengan tingkat hipertensi pada lansia yang
menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang mengalami hipertensi, berolahraga kurang
sebesar 49 lansia dansebagian kecil berolahraga baik sebesar 9 lansia. . Andria KM. Hubungan
antara perilaku olahraga, stress dan pola makan dengan tingkat hipertensi pada lanjut usia di
posyandu lansia kelurahan gebang putih kecamatan sukolilo kota surabaya. Surabaya: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 2013. 1 (2) hal 113-5.

Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa olahraga mempengaruhi terjadinya hipertensi.
Manfaat olahraga untuk meningkatkan kerja dan fungsi jantung, paru dan pembuluh darah yang
ditandai dengan denyut nadi istirahat menurun, penumpukan asam laktat berkurang,
meningkatkan HDL kolesterol, mengurangi aterosklerosis (Harianto, 2010). Harianto. I, 2010.
Hubungan Riwayat Olahraga (Aktivitas) Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lanjut Usia Di
Panti Sosial Lanjut Usia Majapahit Mojokerto. Jombang. BPPM STIKE SPEMKAB Jombang

STRESS
Berdasarkan distribusi stres lebih banyak yang tidak stres sebanyak 74 responden (85,1%),
sedangkan yang stres sebanyak 13 responden (14,9%). Berdasarkan hasil uji chi square antara
stres dengan kejadian hipertensi didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara stress
dengan kejadian hipertensi (p=0,468). Mahmudah S, Maryusman T, Arini FA, Malkan I.
Hubungan gaya hidup dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan
sawangan baru kota depok tahun 2015. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 2015. 7 (2). hal 45-9.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Wijayaningsih (2014) Stres akan
meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung yang menstimulasi aktivitas
saraf simpatis untuk pengeluarkan hormon adrenalin yang menyebabkan jantung berdenyut lebih
cepat dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah perifer yang dapat mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan darah (Ramayulis, 2010) .
1.Wijayaningsih, KS 2014, Psikologi Keperawatan, CV.Trans Info Media, Jakarta
2. Ramayulis, R 2010, Menu dan resep untuk penderita hipertensi, Penebar Plus+, Jakarta
Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stres yang
dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Suhadak, 2010). Suhadak, 2010. Pengaruh
Pemberian The Rosella Terhadap Penurunan Tekanan Darah Tinggi Pada Lansia Di Desa
Windu Kecamatan Karangbinangun kabupaten lamongan?”. Lamongan. BPPM stikes
muhammadiyah lamongan.

Meskipun secara statistik tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stres dengan kejadian
hipertensi namun dapat di lihat kecenderungan prevalensi hipertensi yang stress sebesar 38,5%
yang menderita hipertensi lebih besar dibandingkan yang tidak stres sebesar 23,4%. Mahmudah
S, Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya hidup dan pola makan dengan kejadian
hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota depok tahun 2015. Jakarta: Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 2015. 7 (2). hal 45-9.

Penelitian yang dilakukan oleh Stefhany (2012) menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna
antara stres dengan kejadian hipertensi. Karena besaran sampel yang tidak mencukupi untuk
menunjukkan kebermaknaan. Stefhany, E 2012, Hubungan pola makan, gaya hidup, dan indeks
massa tubuh dengan hipertensi pada pra lansia dan lansia di posbindu kelurahan depok jaya
tahun 2012, Skripsi Paska Sarjana, Universitas Indonesia Depok

Berbeda dengan hasil Penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Sount dkk. (2014) yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stres dengan kejadian hipertensi di
Puskesmas Kolongan Kecamatan Kalawat. Suoth, M, Bidjuni, H, Malara, RT 2014 ‘Hubungan
gaya hidup dengan kejadian hipertensi di puskesmas kolongan kecamatan kaawat kabupaten
minahasa utara 2014’, Jurnal Keparawatan (e-Kp), Vol.2, (1): 1-10.

Begitupun pada penelitian yang dilakukan oleh Anggraini dkk. (2009) menemukan adanyaM
hubungan yang bermakna antara stres yang dilakukan dengan cara melihat tipe kepribadian
dengan hipertensi. Anggraini, AD, Waren, A, Situmorang, E, Asputra, H, Siahaan, SS 2009,
‘Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada pasien yang berobat di
poliklinik dewasa puskesmas Bangkinang periode januari sampai juni 2008’, Files of DrsMed_
FK UNRI, Juni 2008, hlm.1-41

Menurut beberapa penelitian, stress mempunyai pengaruh yang signifikan untuk memicu
timbulnya hipertensi melalui mekanisme hormonal yang kompleks pada jalur hipotalamus-
pituitari, system renin-angiotensin, dan sistem saraf simpatis. BlackPH, Garbutt LD. Stress,
inflammation and cardiovascular disease. J Psychosom Res. 2002;52(1):1-23.

Hal ini dibuktikan oleh dalam sebuah penelitian cross sectional tentang keterkaitan stres dengan
kenaikan tekanan darah sistolik pada lansia. Penelitian tersebutmengemukakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara stres dan kenaikan tekanan darah sistolik. Peter JL, Kubzansky
L, McNeely E, Schwartz J, SpiroA, SparrowD,Wright RO, Nie H, Hu H. Stress as a potential
modifier of the impact of lead levels on blood pressure: The Normative
Aging Study. Environ Health Perspect.2007; 115:1154-9.

Hubungan tersebut diperkuat oleh penelitian Linden et al yang memperoleh hasil Bahwa
terdapat penurunan angkatekanandarahyang signifikan pada subjek penelitian setelah dilakukan
modifikasi stres. Linden W, Lenz JW, Con AH. Individualized stressmanagement for primary
hypertension. Arch InternMed.2001;161:1071-80.

Pada penelitian ini didapatkan hasil hubungan yang tidak signifikan antara stres dan hipertensi,
baik di RT 1 kelurahan Patehan maupun di RW 18 Kelurahan Panembahan. Hal ini diakibatkan
oleh adanya kelemahan dalam metodologi penelitian yang tidak dapat mengontrol faktor
pengganggu seperti tekanan darah dasar, rokok, jenis kelamin, BMI, kebiasaan makan makanan
asin, dan juga keterbatasan pemahaman lansia terhadap kuesioner stres. Cekti C, Adiguno SW,
Sarah AH, Khoirul A, Mohammad EP et al. Perbandinngan kejadian dan faktor risiko hipertensi
antara rw 18 kelurahan panembahan dan rw 1 kelurahan patehan. Yogyakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat. 2008. 24(2). hal. 169-70
menurut peneliti kiki hasil studi hubungan antara perilaku stres dengan tingkat hipertensi
menunjukkan bahwa sebagian besar lansia yang hipertensi termasuk dalam kriterian kurang
kebal terhadap stres yaitu sebesar 42 lansia dan sebagian kecil responden masuk dalam kriteria
kebal terhadap stres yaitu sebesar 16 lansia. Kurang kebal terhadap stres adalah jika seseorang
dilihat dari kebiasaannya, gaya hidupnya dan lingkungannya rentan terhadap dampak negatif
stres. Dampak negatif stres dapat berakibat pada kesehatan, adapun dampaknya adalah sebagai
berikut depresi, obesitas, demensia (kemerosotan daya ingat), sering infeksi, kanker payudara,
insomnia, penyakit jantung, alergi, mengurangi kesuburan, darah tinggi dan stoke. . Andria KM.
Hubungan antara perilaku olahraga, stress dan pola makan dengan tingkat hipertensi pada lanjut
usia di posyandu lansia kelurahan gebang putih kecamatan sukolilo kota surabaya. Surabaya:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 2013. 1 (2) hal 113-5.

POLA MAKAN
Menurut peneliti kiki Pola makan dapat diartikan suatu sistem, cara kerja atau usaha untuk
melakukan sesuatu. Dengan demikian, pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai suatu cara
atau usaha untuk melakukan kegiatan makan secara sehat. Pola makan juga ikut menentukan
kesehatan bagi tubuh. Andria KM. Hubungan antara perilaku olahraga, stress dan pola makan
dengan tingkat hipertensi pada lanjut usia di posyandu lansia kelurahan gebang putih kecamatan
sukolilo kota surabaya. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 2013.
1 (2) hal 113-5

menurut peneliti kiki menunjukkan bahwa pola makan yang sering dikonsumsi lansia untuk jenis
makanan pokok adalah paling banyak nasi dan jagung. Lauk pauk paling banyak adalah tahu,
tempe, telur, ayam, ikan laut, ikan teri/asin dan ikan tawar. Sayuran paling banyak adalah bayam,
kangkung, daun singkong dan kacang panjang. Buah paling banyak adalah pisang dan pepaya.
Susu paling banyak adalah susu bubuk. Jajanan paling banyak adalah kerupuk, gorengan, ubi
rebus dan biskuit kemudian yang terakhir untuk jenis lain paling banyak adalah garam, gula dan
sirup. Andria KM. Hubungan antara perilaku olahraga, stress dan pola makan dengan tingkat
hipertensi pada lanjut usia di posyandu lansia kelurahan gebang putih kecamatan sukolilo kota
surabaya. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 2013. 1 (2) hal 113-
5
Pola makan yang salah merupakan salah satu faktor resiko yang meningkatkan penyakit
hipertensi. Faktor makanan modern sebagai penyumbang utama terjadinya hipertensi (AS, 2010).
AS, M 2010, Hidup bersama hipertensi, In Book, Yogyakarta

Berdasarkan hasil penelitian frekuensi makan dapat dilihat pola atau kebiasaan dan variasi
makanan. Menurut Amelia penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh
data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi.
Konsumsi pangan berdasarkan frekuensi dan presentase tertinggi. Konsumsi pangan sumber
lemak (daging ayam dengan kulit, daging sapi dan gorengan), sumber natrium (biskuit, roti isi,
ikan asin, telur ayam, kecap, bumbu penyedap, vetsin dan garam) dan sumber kalium (bayam,
sawi, kol, kembang kol, buncis, dan golongan buah-buahan seperti pisang, jeruk, pepaya).
Amelia, F 2008 Konsumsi pangan, pengetahuan gizi, aktivitas fisik dan status gizi pada remaja
dikota sungai penuh kabupaten kerinci propinsi jambi. Skripsi Pasca Sarjana, Institut pertanian
bogor.h 47

AsupanNatrium
Berdasarkan distribusi asupan natrium lebih banyak memiliki asupan natrium “baik” sebanyak
60 responden (69,0%), sedangkan responden yang memiliki asupan natrium “lebih” sebanyak 27
responden (69,0%). Mahmudah S, Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya hidup dan
pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota depok tahun
2015. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
2015. 7 (2). hal 45-9.
Kelebihan asupan natrium akan meningkatkan ekstraseluler menyebabkan volume darah yang
berdampak pada timbulnya hipertensi (Sutanto, 2010). Sutanto 2010, Cekal (cegah & tangkal)
penyakit modern, ANDI, Yogyakarta

Berdasarkan hasil uji chi square antara asupan natrium dengan kejadian hipertensi didapatkan
tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan natrium dengan kejadian hipertensi (p=0,001).
Mahmudah S, Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya hidup dan pola makan dengan
kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota depok tahun 2015. Jakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. 2015. 7 (2). hal
45-9.

Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Sutanto (2010) konsumsi natrium yang berlebih
akan meningkatkan ekstraseluler dan cara untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik
keluar sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat dan akibat dari meningkatnya volume
cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah yang berdampak pada
timbulnya hipertensi. Sutanto 2010, Cekal (cegah & tangkal) penyakit modern, ANDI,
Yogyakarta

Penelitian ini sejalan dengan penelitian terkait yang dilakukan oleh Mamoto dkk. (2012) hasilnya
menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara asupan natrium dengan kejadian
hipertensi. Mamoto, F, Kandou, GC, Pijoh, VD 2012, ‘Hubungan antara asupan natrium dan
obesitas dengan kejadian hipertensi pada pasien poliklinik umum di puskesmas Tumaratas
kecamatan Langowan Kabupaten Minahasa, hlm.1-6.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria, dkk. (2012) hasil penelitian menunjukkan
tidak terdapat hubungan antara asupan natrium dengan hipertensi, hasilnya menunjukkan nilai p
= 0,625 (>0,05). Maria, G, Puspita, RT, Sulistyowati, Y 2012, ‘Hubungan asupan natrium dan
kalium dengan tekanan darah pada pasien hipertensi di unit Rawat jalan di rumah sakit guido
valadares dili timor leste’, hlm.1-15.
Penelitian yang dilakukan oleh (Indrawati dkk. (2009) yang menemukan hubungan yang
bermakna antara konsumsi makanan asin, mengandung sodium glutamat (vetsin, kecap dan saus)
dengan kejadian hipertensi. Indrawati, L, Werdhasari, A, Yudi, A 2009, ‘Hubungan pola
kebiasaan konsumsi makanan masyarakat miskin dengan kejadian hipertensi di Indonesia’,
Media Peneliti dan Pengembangan Kesehatan. vol.XIX no.4 Tahun 2009

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil analisis regresi logistik berganda terlihat nilai OR
Exp (B) asupan natrium sebesar 4,627 dapat diartikan bahwa responden yang asupan natrium
berlebih memiliki resiko 4,627 kali lebih besar untuk mengalami kejadian hipertensi
dibandingkan responden yang asupan natriumnya baik (OR Exp (B) = 4,627; 95% CI = 1,574–
13,635). Dalam hasil ini asupan natrium yang paling besar pengaruhnya terhadap kejadian
hipertensi. Mahmudah S, Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya hidup dan pola
makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota depok tahun
2015. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.
2015. 7 (2). hal 45-9.

Natrium merupakan kation utama dalam cairan ekstraseluler. 35 – 40% natrium ada didalam
kerangka tubuh (Almatsier, 2009). Almatsier, S 2009, Prinsip dasar ilmu gizi, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta

Asupan natrium berlebih terutama dalam bentuk natrium klorida dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan cairan tubuh yang menyebabkan Edema dan hipertensi. Natrium yang tinggi juga
dapat mengecilkan diameter pembuluh darah arteri sehingga jantung memompa darah lebih kuat.
Selain pembatasan natrium yang terdapat dalam garam dapur, perlu dibatasi natrium yang
terdapat dalam soda kue, baking powder, natrium benzoat, dan vetsin (Ramayulis, 2010).
Ramayulis, R 2010, Menu dan resep untuk penderita hipertensi, Penebar Plus+, Jakarta (rev C)
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muliyati dkk. (2011) hasil penelitian
menggunakan analisi regresi logistic menunjukkan bahwa resiko untuk menderita hipertesi bagi
subyek yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah yang tinggi memiliki resiko 5,6 kali lebih
besar dibangingkan dengan yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah yang rendah.
Muliyati, H, Syam, A, Sirajuddin, S 2011, ‘Hubungan pola konsumsi natrium dan kalium serta
aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di RSUP DR.Wahidin
Sudirohusodo Makassar’, Media Gizi Masyarakat Indonesia, vol.1, no.1, Agustus 2011, hlm.46-
51.

Dan penelitian yang dilakukan oleh Hermawan & Sulchan (2007) menunjukkan asupan natrium
merupakan faktor resiko paling kuat OR=7,389 terhadap kejadian hipertensi. Hermawan, EN,
Sulchan, M 2007, Faktor determinan gizi kejadian hipertensi. Skripsi Universitas Dipomegoro,
Skripsi Pasca Sarjana, Fakultas Kedokteran Universitas Diponerogo

Penelitian Sobel et al. menyatakan terdapat kaitan antara asupan Natrium yang berlebihan
dengan tekanan darah tinggi pada individu. Asupan Natrium yang meningkat menyebabkan
tubuh meretensi cairan, yang meningkatkan volume darah.Jantung harus memompa keras untuk
mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang makin sempit yang akibatnya
adalah hipertensi. Sobel BJ, et all. Hipertensi : Pedoman Klinis Diagnosis dan Terapi. Jakarta:
Hipokrates; 1999.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariyanti (dalam Almatsier, 2007)10,
bahwa ada hubungan asupan Natrium dengan tekanan darah responden, yaitu sebesar 98,2%
responden mempunyai asupan Natrium melebihi AKG Natrium (rata-rata asupan adalah 4663,6
mg/hari atau 194,3% dari AKG). Almatsier,S. Penuntun Diet. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama; 2007.
Hasil penelitian dengan menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan bahwa risiko untuk
menderita hipertensi bagi subjek yang mengkonsumsi Natrium dalam jumlah yang tinggi adalah
5,6 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengkonsumsi dalam jumlah yang rendah.
Muliyati H, Syam Aminuddin, Sirajuddin S. Hubungan pola konsumsi natrium dan kalium serta
aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi pada pasien rawat jalan di rsup dr wahidin
sudirohusodo makassar. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
2011. 1(1). hal 46-51

Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa “ada hubungan antara pola konsumsi Natrium dan
Kalium dengan kejadian hipertensi di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo”. Berdasarkan food
frequency diperoleh sebanyak 93,7% responden yang mengkonsumsi Natrium lebih, menderita
hipertensi sedangkan 63,2% responden yang kurang mengkonsumsi Natrium tidak menderita
hipertensi. Untuk hasil recall 24 jam, diperoleh sebesar 93,3% responden yang memiliki asupan
Natrium yang lebih menderita hipertensi sedangkan 73,7% responden yang memiliki asupan
Natrium yang kurang tidak menderita hipertensi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rata-
rata penurunan asupan Natrium ±1,8 gram/hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4
mmHg dan diastolik 2 mmHg pada penderita hipertensi. Muliyati H, Syam Aminuddin,
Sirajuddin S. Hubungan pola konsumsi natrium dan kalium serta aktifitas fisik dengan kejadian
hipertensi pada pasien rawat jalan di rsup dr wahidin sudirohusodo makassar. Makassar: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. 2011. 1(1). hal 46-51

Asupan garam dapat menjadi faktor utama dalam meningkatkan tekanan darah.Terdapat
buktibukti yang mendukung hubungan sebab akibat antara asupan garam (natrium klorida) dan
tekanan darah pada orang dewasa. Wardener, H. E., MacGregor, G. A. Harmful effects of dietary
salt in addition to hypertension. Journal ofHumanHypertension.2002;16:213-23.
Sodium adalah penyebab dari hipertensi esensial, asupan garam yang tinggi akan menyebabkan
pengeluaran berlebihan dari hormon natriouretik yang secara tidak langsung akan meningkatkan
tekanan darah. Sodium secara eksperimental menunjukkan kemampuan
untukmenstimulasimekanisme vasopressor pada susunan syaraf pusat. Wade, A., Hwheir, D. N.,
Cameron, A. 2003. Using a Problem Detection Study (PDS) to identify and compare health care
provider and consumer views of antihypertensive therapy. Journal of Human
Hypertension.2003;17(Issue 6):397.

Namun penelitian yang dilakukan Ford dan Cooper tidak menunjukkan adanya hubungan antara
asupan garam dengan insidensi hipertensi. Ford ES, Cooper RS. Risk Factors for Hypertension in
a National Cohort Study. Hypertension. 1991;18;598-606.

Hasil analisis terhadap data diet asupan garam terhadap kejadian hipertensi dengan Fisher’s
Exact Test menunjukkan nilai p=1.000 (>0.05) di RW 1 Patehan dan bernilai p=0.367 (>0.05) di
RW 18 Panembahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
faktor risiko diet tinggi garam terhadap kejadian hipertensi pada populasi lanjut usia di RW 18
KelurahanPanembahan dan RW 1 Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton. Pada penelitian ini
didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara asupan garam dengan hipertensi. Hal ini dapat
disebabkan oleh defek metodologi yang tidak dapat mengontrol factor lainnya serta tidak dapat
mengukur jumlah asupan garam harian secara akurat. Hipertensi bersifat multifaktorial sehingga
kemungkinan hubungan yang tidak bermakna pada penelitian ini disebabkan faktor-faktor lain
yangmungkin berpengaruh pada kenaikan tekanan darah. Cekti C, Adiguno SW, Sarah AH,
Khoirul A, Mohammad EP et al. Perbandinngan kejadian dan faktor risiko hipertensi antara rw
18 kelurahan panembahan dan rw 1 kelurahan patehan. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat. 2008. 24(2). hal. 169-70
Asupan Kalium

Berdasarkan distribusi asupan kalium lebih banyak memiliki asupan kalium “kurang” sebanyak
86 responden (98,9%), sedangkan responden yang memiliki asupan kalium “baik” (jika sebanyak
1 responden (1,1%). Berdasarkan hasil uji chi square antara asupan kalium dengan kejadian
hipertensi didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan kalium dengan kejadian
hipertensi (p=0,264). Mahmudah S, Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya hidup
dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota depok
tahun 2015. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta. 2015. 7 (2). hal 45-9.

Kurangnya mengkonsumsi sumber makanan yang mengandung kalium mengakibatkan jumlah


natrium menumpuk dan akan meningkatkan resiko hipertensi (Junaedi dkk. 2013). Junaedi E,
Yulianti, S, Rinata, MG 2013, Hipertensi kandas berkat herbal, Fmedia (Imprint AgroMedia
Pustaka), diaskes 04 Maret 2015.https://books.google.co.id (REV C)

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan AS (2010) yang mengatakan jika asupan
kalium tercukupi maka akan membuat perubahan positif tekanan darah pada penderita hipertensi.
Tetapi jika kurang mengkonsumsi sumber makanan yang mengandung kalium mengakibatkan
jumlah natrium menumpuk dan akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi. AS, M 2010,
Hidup bersama hipertensi, In Book,Yogyakarta

Penelitian ini sejalan dengan penelitian terkait yang dilakukan oleh Maria dkk (2012) hasil
penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara asupan kalium dengan hipertensi,
hasilnya menunjukkan nilai p=0,474 (>0,05) hal ini disebabkan karena sedikitnya jumlah
konsumsi sayuran dan buah-buahan sumber kalium. Maria, G, Puspita, RT, Sulistyowati, Y
2012, ‘Hubungan asupan natrium dan kalium dengan tekanan darah pada pasien hipertensi di
unit Rawat jalan di rumah sakit guido valadares dili timor leste’, hlm.1-15. (rev C)
Berbeda dengan hasil Penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Annisa (2009) hasil
penelitian menunjukkan ada hubungan antara asupan kalium dengan hipertensi. Annisa 2009,
‘Hubungan antara asupan natrium, kalium, kalsium dengan hipertensi di Puskesmas merbangsan
Yogyakarta’, Universitas Gadjah Mada.

Konsumsi Kalium dalam jumlah yang tinggi dapat melindungi individu dari hipertensi. Asupan
Kalium yang meningkat akan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Cara kerja
Kalium adalah kebalikan dari Natrium. Konsumsi Kalium menarik cairan dari bagian
ekstraselular dan menurunkan tekanan darah. Rasio Kalium dan Natrium dalam diet berperan
dalam mencegah dan mengendalikan hipertensi.Rasio konsumsi Natrium dan Kalium yang
dianjurkan adalah 1:1.Secara alami, banyak bahan pangan yang memiliki kandungan Kalium
dengan rasio lebih tinggi dibandingkan dengan Natrium. Rasio tersebut kemudian menjadi
terbalik akibat proses pengolahan yang banyak menambahkan garam ke dalamnya. Hendrayani
C. Hubungan Rasio Asupan Natrium:Kalium dengan Kejadian Hipertensi pada Wanita Usia 25-
45 Tahun di Kompleks Perhubungan Surabaya (Skripsi). Semarang: Universitas Diponegoro;
2009.

Asupan Lemak
Berdasarkan distribusi asupan lemak lebih banyak memiliki asupan lemak “lebih” sebanyak 38
responden (43,7%), sedangkan responden yang memiliki asupan lemak “baik” sebanyak 49
responden(56,3%). Berdasarkan hasil uji chi square antara asupan lemak dengan kejadian
hipertensi didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan kejadian
hipertensi (p=0,008). (rev C)

Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Ramayulis (2010) yang mengatakan pola makan
yang salah dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah seperti kebiasaan mengkonsumsi
makanan berlemak terutama pada asupan lemak jenuh dan kolesterol. Kelebihan asupan lemak
mengakibatkan kadar lemak dalam tubuh meningkat, terutama kolesterol yang menyebabkan
kenaikan berat badan sehingga volume darah mengalami peningkatan tekanan yang lebih besar
(Ramayulis, 2010). Ramayulis, R 2010, Menu dan resep untuk penderita hipertensi, Penebar
Plus+, Jakarta (REV C)

Penelitian ini sejalan dengan penelitian terkait yang dilakukan oleh Sangadji & Nurhayati (2014)
menunjukkan bahwa proporsi kejadian hipertensi lebih tinggi pada responden yang sering
mengkonsumsi lemak lebih besar dibandingkan responden yang jarang mengkonsumsi lemak.
Sangadji, NW & Nurhayati 2014 ‘Hipertensi Pada
Pramusaji Bus Transjakarta Di Pt.Bianglala Metropolitan Tahun 2013’ BIMKMI, Vol.2 no.2,
Januari-Juni 2014, hlm.1-10.

Berbeda dengan hasil Penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Adiningsih (2012)
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi lemak dengan kejadian hipertensi.
Adiningsih, ER 2012, Hubungan status gizi, asupan makan, karakteristik, responden dan gaya
hidup dengan kejadian hipertensi pada guruguru sman di kota tanggerang tahun 2012, Skripsi
Pasca Sarjana, Universitas Indonesia Depok.
USIA
Berdasarkan hasil penelitian bahwa subyek pada penelitian ini lebih banyak usia early old age
(usia 60 sampai 70 tahun) sebanyak 64 responden (73,6%), sedangkan usia advanced old age
(usia >70 tahun) sebanyak 23 responden (26,4%). Untuk distribusi jenis kelamin lebih banyak
berjenis kelamin perempuan sebanyak 80responden (92,0%), sedangkan responden yang berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 7 responden (8,0%).Berdasarkan hasil uji chi square antara usia
dengan kejadian hipertensi didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan
kejadian hipertensi (p=0,749). Mahmudah S, Maryusman T, Arini FA, Malkan I. Hubungan gaya
hidup dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru kota
depok tahun 2015. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta. 2015. 7 (2). hal 45-9.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan Junaedi dkk. (2013) yang mengatakan
prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia Hal ini disebabkan karena
perubahan alami pada jantung, pembuluh darah, dan kadar hormone dapat meningkatkan tekanan
darah seiring dengan bertambahnya usia. Junaedi E, Yulianti, S, Rinata, MG 2013, Hipertensi
kandas berkat herbal, Fmedia (Imprint AgroMedia Pustaka), diaskes 04 Maret
2015.https://books.google.co.id/.

Meskipun secara statistik tidak ditemukan. hubungan yang bermakna antara usia dengan
hipertensi namun dapat di lihat kecenderungan prevalensi hipertensi pada usia early old age
sebesar 28,1% yang menderita hipertensi lebih besar dibandingkan usia advanced old age sebesar
21,7%. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Pratiwi & Tala, 2013) di Poli
RSUP H.Adam Malik Medan hipertensi lebih banyak pada usia 60 – 74 tahun dibandingkan usia
75 – 90 tahun. Pratiwi, VR dan Tala, ZZ. 2013. Gambaran status gizi pasien hipertensi lansia di
rsup h. adam malik medan’ e-Jurnal FK USU, vol.1, (1):1- 5.
Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia secara tidak tiba-tiba menjadi tua.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh perifer bertanggung jawab pada
perubahan tekanan darah yang terjadi pada lansia. Risiko tekanan darah tinggi meningkat dengan
bertambahnya usia (Kowalski, 2010). Kowalski,E R. (2010). Terapi Hipertensi. Bandung: Qanita

Akibatnya kemampuan pembuluh darah dalam mengkomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung mengalami penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan perifer (Brunner dan
Suddarth, 2002). Brunner & Suddarth. ( 2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Edisa 8.
Volume 3. Jakarta: EGC

Dilihat dari tingkat umur lansia di RW 07 Kelurahan Margasuka sebagian besar dari responden
berumur 45-59 tahun sebanyak 20 orang (58,82%). Semakin tua seseorang, semakin besar
kemungkinan ia akan mengalami tekanan darah tinggi, terutama meningkatkan pembacaan
sistolik. Hal ini terutama disebabkan oleh arteriosklerosis, atau "pengerasan pembuluh darah."
Pada umumnya hipertensi pada pria terjadi diatas usia 31 tahun sedangkan pada wanita terjadi
setelah berumur 45 tahun. Tambunan R, Intania Y, Nova CM. Upaya pencegahan sekunder pada
lansia dengan hipertensi di rw 07 kelurahan margasuka, wilayah kerja puskesmas cibolerang
bandung. hal 384-91.

Kontrol dan minum obat

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui tanggapan responden tentang kontrol adalah Sebagian
besar responden sebanyak 22 orang atau 64,71% adalah responden yang kontrolnya termasuk
dalam kategori “Tidak Pernah Kontrol” dan paling sedikit adalah responden yang kontrolnya
termasuk dalam kategori “Kontrol Tidak Rutin dan Kontrol Rutin” yaitu masing-masing
sebanyak 6 orang atau 17,65%. Tambunan R, Intania Y, Nova CM. Upaya pencegahan sekunder
pada lansia dengan hipertensi di rw 07 kelurahan margasuka, wilayah kerja puskesmas
cibolerang bandung. hal 384-91.
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan pada lansia dengan hipertensi yang melakukan
pemeriksaan tekanan darah biasanya jika mereka sudah merasakan timbulnya gejala seperti sakit
kepala dan sakit dipundak, dan ada juga yang mengatakan kalau saya ingat baru melakukan
pemeriksaan, ada juga yang mengatakan bahwa melakukan kontrol sesuai jadwal yang
ditentukan yaitu 1 bulan 2 kali. Menurut peneliti sebaiknya jika seseorang sudah mempunyai
riwayat keturunan penyakit hipertensi, sebaiknya melakukan pemeriksaan atau kontrol tekanan
darah minimal 2 kali dalam sebulan agar dapat mengetahui tekanan darah sedini mungkin untuk
mencegah risiko yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil penelitian upaya pencegahan sekunder
dengan obat-obatan pada lansia dengan hipertensi di RW 07 kelurahan Margasuka adalah
sebagian besar responden memilki upaya pencegahan dalam minum obat-obatan sebanyak
58.82% dan hamper setengahnya dari responden tidak minum obat sebanyak 38.24%. Tambunan
R, Intania Y, Nova CM. Upaya pencegahan sekunder pada lansia dengan hipertensi di rw 07
kelurahan margasuka, wilayah kerja puskesmas cibolerang bandung. hal 384-91.

Obesitas
Obesitas merupakan faktor penting pada kejadian hipertensi. Diaz,M. E. Hypertension and
obesity. Journal of HumanHypertension.2002:16(Suppl 1);S18-S22.

Beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan antara kelebihan berat badan dengan hipertensi.
Hasil The Framingham Heart Study dengan responden berumur 35-75 yang di-follow up selama
44 tahun diperoleh nilai odds ratio underweight dan obesity terhadap hipertensi masing-masing
adalah 1.46 (1.24-1.75) dan 2.23 (1.75-2.84) untuk laki-laki serta 1.75 (1.54-2.00) dan 2.75
(2.32-3.27) untuk wanita. 6. Wilson, P. W. F., D’Agostino, R. B., Sullivan, L., Parise, H.,
Kannel, W. B. Overweight and obesity as determinants of cardiovascular risk. Arch InternMed.
2002;162:1867-72.
Pada penelitian ini, hasil analisis chi-square di RW 1 Patehan menunjukkan nilai p=0.181
(>0.05), sedangkan di RW 18 Panembahan bernilai p=0.159 (>0.05). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara nilai indeksmassa tubuh terhadap
kejadianhipertensi pada populasi lanjut usia di RW 18 Kelurahan Panembahaan RW 1 Kelurahan
Patehan, Kecamatan Kraton. Hasil analisis antara IMT dan hipertensi pada lansia di RW 1
kelurahan Patehan dan RW 18 Panembahan menunjukkan hubungan yang tidak signifikan.
Walaupun demikian, hubungan ini tidak dapat menyimpulkan ketiadaan IMT sebagai faktor
risiko hipertensi pada populasi lansia di kedua RW tersebut.Hal ini disebabkankarena
ketidakmampuan metodologi dalam menyingkirkan faktor lain misalnya penambahan atau
pengurangan IMT dalam jangka waktu tertentu, sehingga pengukuranhubungannya perlu
dilakukan penelitian dengan studi cohort. Cekti C, Adiguno SW, Sarah AH, Khoirul A,
Mohammad EP et al. Perbandinngan kejadian dan faktor risiko hipertensi antara rw 18 kelurahan
panembahan dan rw 1 kelurahan patehan. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat.
2008. 24(2). hal. 169-70

merokok
Merokok dapat meningkatkan tekanan darah melalui mekanisme pelepasan norepinefrin dari
ujung-ujung saraf adrenergik yang dipacu oleh nikotin. Kaplan, N.M. Clinical Hypertension 4th
edition.Baltimore:William & Elkins. 1988: 2273-89.

Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, tidak tergantung pada
lamanya merokok. Pada suatu penelitian, merokok 2 batang ternyata meningkatkan tekanan
darah 10/ 8 mmhg selama 15 menit. Bakri, Syakib. Pengobatan non farmakologik pada
hipertensi.Medika. 1991;XVII (1): 43-51.
Merokok dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dengan cara menyempitkan pembuluh
darah.Hasil analisis hubunganmerokok dengan angka kejadian hipertensi dengan uji Fisher’s
Exact Test menunjukkan nilai p=1.000 (>0.05) di RW1Patehan dan nilai p=1.000 (>0.05) di RW
18 Panembahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
faktor risiko merokok terhadapkejadianhipertensi pada populasi lanjut usia di RW 1 Kelurahan
Patehan, dan RW 18 Kelurahan
Panembahan, Kecamatan Kraton. Cekti C, Adiguno SW, Sarah AH, Khoirul A, Mohammad EP
et al. Perbandinngan kejadian dan faktor risiko hipertensi antara rw 18 kelurahan panembahan
dan rw 1 kelurahan patehan. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2008. 24(2). hal.
169-70

Sebuah penelitian cross sectional di Inggris dari tahun 1994-1996 yangmengkaji perbedaan
tekanan darah antara kelompok perokok dan bukan perokok dengan kriteria umur di atas 16
tahun mengatakanbahwa efek jangka panjang dari merokok terhadap peningkatan tekanan darah
sangat rendah. Perbedaan yang mungkin terjadi terkait hubungan yang kompleks antara
merokok, penggunaan alcohol dan BMI. PaolaPrimatesta, Emanuela Falaschetti, Sunjai Gupta,
Michael G. Marmot, Neil R.Poulter. Association between Smoking and Blood Pressure Evidence
from the Health Survey for England. AHAjournals. 2001;37:187-93.

Kajian terhadap wanita perimenopause dan postmenopause di Finlandia Timur menunjukkan


hubungan risiko merokok dengan hipertensi tidak signifikan Juntunen M, Niskanen L,
Saarelainen J, TuppurainenM, Saarikoski S, andHonlanen,R. Changes in Body Weight and Onset
of HypertensioninPerimenopausalWomen. Journal ofHumanHypertension. 2003;17: 775-9.

Akan tetapi, pada orang-orang yang menggunakan kandungan tembakau (merokok) mempunyai
risiko yang lebih rendah untuk terkena hipertensi daripadamereka yang tidakmerokok dan
didapatkan data bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok pada risiko terkena hipertensi di
antara kelompok suku Indian .Merokok tidak signifikan dan tidak berhubungan secara langsung
dengan hipertensi tetapi signifikan dan berhubungan negative terhadap tekanan darah sitolik dan
tekanan darah diastolik pada Suku Indian Amerika. Wenyu W, Elisa LT, Richard RFA.
Longitudinal Study of Hypertension Risk Factors and Their
RelationtocardiovaskularDiseasetheStrongHeart Study.AHAJournal. 2006;47:403-9.

Kebiasaan merokok tidak dapatmeningkatkan risiko hipertensi, hal ini didukung oleh penemuan
bahwamerokok < 15 batang per hari tidak dapat meningkatkan risiko hipertensi diantara para
perokok. John U, Meyer C, Lzke HE, Schumann A. Smoking status, obesity and hypertension in
a general population sample: a cross-sectional study. Q J Med. 2006;99:407–15.

Kopi
Caffein merupakan salah satu komponen dari kopi yang terbukti meningkatkan tekanan darah
seseorang dengan cara meningkatkan tahanan pembuluh darah tepi danmeningkatkan cardiac
outputyaitu melalui stimulasi simpatis. Mahmud,A., Joh, F.Acute Effect of Caffeine on Arterial
Stiffness andAortic PressureWaeform. AHA journal.2001;38:227-31.

Oleh karena itu, kebiasaan minum kopi secara teratur tidak secara otomatismenyebabkan
peningkatan tekanan darah mengingat jumlah caffein yang terdapat di dalam kopi sangat
berpengaruh terhadap besarnya tingkat peningkatan tekanan darah tersebut. Kebiasaan yang
berkembang di kedua daerahpenelitian di atasmerupakan kebiasaan yang positif bagi
respondenmengingat adanya hubungan antara penurunan risiko kejadiaan hipertensi terhadap
rendahnya konsumsi kopi seseorang. Uiterwaal, Cuno SPM et all. Coffee intake and incidence of
Hypertension. Am J Clin Nutr. 2007;85:718-23.
Berdasarkan penelitian sebelumnya efek konsumsi kopi jangka panjang terhadap kejadian risiko
hipertensi sebenarnya masih belum jelas. Higdon, JaneVandBalzFrei.Coffee andHealth: A
Review of recent Human Research. Critical Reviewin Food and Nutrition, 2006;46:101-123

Banyak bukti penelitian yang membahas tentang hubungan antara kopi dan tekanan darah secara
cross sectional. Namun bukti ini seringmenunjukan hal yang tidak konsisten.Beberapa studi
menunjukanhubungan yang positif, tidak ada hubungan dan hubungan yang negatif. Satu hal
yang perlu dipertimbangkan bahwa denganmetode ini terdapat keterbatasan dalam menilai
hubungan sebab akibatdari suatu faktor. Uiterwaal, Cuno SPM et all. Coffee intake and incidence
of Hypertension. Am J Clin Nutr. 2007;85:718-23.

Hasil analisis Fisher’s Exact Testmenunjukkan nilai p=0.446 (>0.05) di RW 18 Panembahan,


sedangkan data di RW 1 Patehan tidak dapat dianalisis karena tidak ada subjek populasi yang
memenuhi kriteria sebagai pengkonsumsi kopi (konsumsi kopi minimal 5 gelas per hari) tidak
ada subjek populasi yang memenuhi kriteria sebagai pengkonsumsi kopi (konsumsi kopiminimal
5 gelas per hari) dari reponden usia lanjut di kedua daerah penelitian dan adanya kelemahan pada
alat ukur yang dipergunakn pada penelitian ini yaitu kuesioner dalam menilai tingkat kebiasaan
minum kopi responden. Dengan demikian, dapat disimpulka bahwa tidak terdapat hubungan
antara faktor risiko konsumsi kopi terhadap kejadian hipertensi pada populasi lanjut usia di RW
18 Kelurahan Panembahan Kecamatan Kraton. Cekti C, Adiguno SW, Sarah AH, Khoirul A,
Mohammad EP et al. Perbandinngan kejadian dan faktor risiko hipertensi antara rw 18 kelurahan
panembahan dan rw 1 kelurahan patehan. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat.
2008. 24(2). hal. 169-70
Hal di atas dapat terjadi karena parameter yang digunakan untuk menilai kebiasaan minum kopi
teratur adalah 5 gelas per hari atau setara dengan 300mg caffein per hari yang dapat
meningkatkan tekanan darah sistol 4.8mmHg dan tekanan darah diastol 3.0 mmHg pada
kelompok hipertensi, ternyata tidak dapat diterapkan di kelompok penelitian ini. Rakic,
Valentina et al. Effect of Coffee on Ambulatory Blood Pressure in Older Men and
Women.AHAjournal. 1999;33:869-73.

Pengetahuan
Menurut WHO pengetahuan biasanya didapatkan dari pengalaman, guru, orang tua, buku, teman
dan media massa. Pengetahuan ini dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang
berperilaku sesuai keyakinan tersebut.Masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan yang
tinggi tentang seluk-beluk penyakit hipertensi sebagai penyebabnya, faktor pemicu, tanda dan
gejala, tekanan darah yang dikatakan normal atau tidak, serta komplikasi yang dapat terjadi,
seharusnya memiliki kesadaran yang lebih tinggi, sehingga orang tersebut cenderung akan
menghindari hal-hal yang dapat memicu terjadinya hipertensi seperti perilaku merokok, minum
kopi dan obesitas. WHO. Hypertension.WHOGeneva.1999

Pengetahuan dan kesadaran akan faktor risiko pemicu hipertensi serta tanda dan gejalanya
pentingkarena nantinya terkait dengan perubahan sikap dan perilaku mereka sehari-hari yang
akan membantudalampencegahan awal untukmenghindari kejadian hipertensi serta mampu
memeriksakan segera ketika mulai merasakan gejala-gejalanya. KirklandSA,MacLeanDR,
LangilleDB, Joffres, M.R.Knowledge andAwareness of Risk Factors for Cardiovascular
DiseaseAmong Canadians 55 to74 yearsofAge: results from TheCanadian Heart Health Survey
1986-1992.CMAJ.1999; 19:161-8

Hal ini juga didukung oleh penelitian lain yangmenyebutkan bahwa kepentingan pengetahuan
dan kesadaran diri terhadap penyakit hipertensi penting dalam upaya prevensi. Pasien yang
mengerti bahwa tingginya tekanan darah dapat menurunkan harapan hidup, mempunyai
kepatuhan yang tinggi dalam hal upaya prevensi diri seperti rutin follow-up ke dokter. OliveriaA,
Chen RS, McCarthy BD, DavisCC,
Hill, M.N.Hypertension Knowledge,Awareness and Attitudes in a Hypertensive Population.
Journal of GeneralMedicines. 2004: 20;219-25

Jadi dapat disimpulkan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, pengetahuan
dan kesadaran individu akan hipertensi akan mempengaruhi sikap dan perilaku ke depannya.
Cekti C, Adiguno SW, Sarah AH, Khoirul A, Mohammad EP et al. Perbandinngan kejadian dan
faktor risiko hipertensi antara rw 18 kelurahan panembahan dan rw 1 kelurahan patehan.
Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2008. 24(2). hal. 169-70

Sikap
Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup yang tidak dapat dilihat secara langsung. Sikap
hanya dapat ditafsirkan menjadi perilaku yang tampak. Untukmengetahui apakah sifat responden
digambarkanmelalui perilaku, diperlukan observasi secara langsung selama beberapa waktu,
selain melalui kuesioner, sehingga tingkat pengetahuan tidak berkorelasi langsung dengan angka
kejadian hipertensi. Cekti C, Adiguno SW, Sarah AH, Khoirul A, Mohammad EP et al.
Perbandinngan kejadian dan faktor risiko hipertensi antara rw 18 kelurahan panembahan dan rw
1 kelurahan patehan. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat. 2008. 24(2). hal. 169-70

Anda mungkin juga menyukai