Anda di halaman 1dari 60

MAKALAH SISTEM PERNAPASAN

ASMA, PPOK, BATUK, PILEK DAN RHINITIS ALERGI

Disusun Oleh :
Hesty Aryeni
3005016

Dosen Pembimbing :
Sanubari Rela Tobat, M.Farm., Apt

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


YAYASAN PERINTIS
PADANG
2020
SISTEM PERNAPASAN
(ASMA, PPOK, BATUK PILEK, DAN RHINITIS ALERGI

A. Asma
1) Pengertian
Asma adalah penyakit kronik saluran pernapasan yang disebabkan oleh reaksi
hiperrespontif sel imun tubuh seperti sel mast, eosinophils, dan T-lymphocytes
terhadap stimulus tertentu dan menimbulkan gejala tertentu dan menimbulkan gejala
dyspnea, whizzing, dan batuk akibat obstruksi jalan napas yang bersifat reversible dan
terjadi secara episodic berulang (Brunner dan Suddarth, 2013). Penyakit asma
merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan
elemennya (Gina, 2011).
2) Klasifikasi Asma
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) klasifikasi asma dibagi menjadi :
 Asma alergik : Disebabkan oleh allergen (misalnya : serbuk sari, binatang,
jamur, debu dan sebagainya) kebanyakan allergen terdapat diudara dan
musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga
yang alergik dan riwayat masa lalu eczema dan rhinitis alergik.
 Asma idiopatik atau non alergik : Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang
bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara
dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronis dan
emfisema.
 Asma gabungan : Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
3) Etiologi Asma
Ada beberapa hal yang merupakan factor presdiposisi dan presipitasi timbulnya
asma (Baratawidjaja, 2000) yaitu :
a) Factor presdiposisi : Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit
alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b) Factor presipitasi
 Allergen : inhalasi, yang masuk melalui saluran pernafasan misalnya debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi. Ingestan, yang
masuk melalui mulut misalnya makanan dan obat-obatan. Kontakan, yaitu
masuk melalui kontak dengan kulit misalnya perhiasan dan lain-lain.
 Perubahan cuaca : cuaca lembab dan hawa penggunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan factor
pemicu terjadinya serangan asma.
 Stress : stress atau gangguan emosi menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
 Lingkungan kerja : mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja, misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industry tekstil, pabrik asbes atau polisi
lalu lintas.
 Olahraga atau aktivitas yang berat : sebagian besar penderita asma akan
mendapatkan serangan asma jika melakukan aktifitas jasmani atau olahraga
yang berat.
4) Patofisiologi Asma (Gina, 2011)
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana banyak sel dan
mediator-mediator yang berperan, yang ditandai oleh peningkatan kepekaan trakea dan
saluran napas terhadap berbagai rangsangan dengan menimbulkan penyempitan saluran
napas menyeluruh dengan derajat yang berubah secara spontan atau dengan pengobatan.
Peningkatan kepekaan disebut sebagai hiperreaktivitas bronkus, merupakan
kelainan dasar pada asma. Dulu, asma dianggap suatu manifestasi alergi semata-mata,
ternyata rangsangan yang tidak spesifikpun dapat menimbulkan serangan asma, di
samping itu orang yang mempunyai riwayat alergi tidak selalu berkembang menjadi
penderita asma. Obstruksi saluran napas yang terjadi secara patologis ditandai dengan
spasme otot polos, hipersekresi dan peradangan saluran napas. Proses ini terjadi karena
lepasnya mediator seperti histamin, prostaglandin dan slow reacting substance of
anaphylaxis (SRS—A). Mediator-mediator ini dapat bekerja langsung pada otot polos
bronkus atau secara tidak langsung melalui sistem para simpatis (kolinergik). Pada
waktu serangan asma saluran napas akan menyempit akibat spasme otot bronkus,
mukosa sembab, infiltrasi sel-sel radang dan sekresi mukus yang meningkat. Karena
obstruksi ini tahanan jalan napas akan meningkat, menyebabkan terjadinya perlambatan
aliran udara ekspirasi. Dengan berlanjutnya serangan volume residu akan meningkat;
karena volume rongga dada meningkat untuk mempertahankan udara ventilasi dan
tingkat yang optimal, terjadi hiperinflasi. Ini disebabkan karena terjadi penyempitan
saluran napas.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada penyakit asma merupakan suatu hal
yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak
ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah membran
basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast. Selain sel mast sel lain
yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar. eosinofil, sel epitel
jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit. Inhalasi alergen akan mengaktitkan
sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga
memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektur sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan
limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti lekotriens,
tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini
menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hipereaktivitas bronkus. Reaksi
asma ada dua macam yaitu reaksi asma awal (early asthma reaction = EAR) dan reaksi
asma lambat (late asthma reaction = LAR). Pada reaksi asma awal, obstruksi saluran
napas terjadi segera yaitu 10–15 menit setelah rangsangan dan menghilang secara
spontan. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator-mediator
sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus atau melalui
refleks vagal. Keadaan ini mudah diatasi dengan beta-2 agonis. Pada reaksi asma
lambat, reaksi terjadi setelah 3–4 jam rangsangan oleh alergen dan bertahan selama 16–
24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Fase ini disertai dengan
reaktivasi sel mast dan aktivasi netrofil sehingga timbul inflamasi akut berupa edema
mukosa, hipersekresi lendir, infla-masi netrofil, rusaknya tight junction epitel bronkus
dan spasme bronkus. Pada fase ini peran spasme bronkus kecil, akibatnya reaksi ini
sukar diatasi dengan pemberian beta-2 agonis. Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma
lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi subakut atau kronik.
Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya,berupa:
a) Infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke
dinding dan lumen bronkus.
b) Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan.
c) Edema mukosa dan eksudasi plasma.
d) Hipersekresi lendir yang kental dari kelenjar submukosa yang mengalami hipertrofi.
Pada beberapa keadaan reaksi asma dapat juga terjadi tanpa melibatkan sel mast
misalnya pada waktu hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada
keadaan ini reaksi asma terjadi melalui reteks saraf. Rangsang ujung saraf eferen vagal
(c.fiber) yang ada di mukosa menyebabkan lepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptid inilah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri
khas penyakit asma,besarnya hipereaktivitas bronkus ini dapat diukur secara tidak
langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk menentukan beratnya
hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang penderita. Berbagai cara digunakan
untuk mengukur hipereaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui secara pasti,
namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah
inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan7. Sel inflamasi yang berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, magrofag, neutrofil dan sel epitel.
Sedangkan factor lingkungan dan berbagai factor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus suatu inflamasi saluran napas pada penderita asma. Alergen yang masuk
kedalam tubuh melalui saluran napas, akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja
sebagai APC (antigen presenting cell). Setelah diproses, antigen (setiap benda asing
yang masuk kedalam tubuh disebut antigen) akan dipresentasikan ke sel Th0 (T helper
nol) oleh APC dengan melepaskan IL-1 (interleukin-1). Selanjutnya sel Th0 yang sudah
aktif, akan berdiffernsiasi menjadi Th2. Th2 meberikan sinyal pada sel limfosit B untuk
berproliferasi dan differensiasi menjadi sel plasma, membentuk IgE (immunoglobulin
E) yang spesifik untuk allergen tersebut dengan bantuan IL-2 B Cell Growth Factor dan
B Cell Differensiatial Factor 2 IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit di
jaringan terutama bronkus. Pemaparan oleh allergen yang sama untuk kesekian kalinya
akan diikat oleh IgE yang spesifik pada permukaan sel mastosit yang akan
menyebabkan degranulasi. Degranulasi ini aka melepaskan sejumlah mediator seperti
histamine, ECF-A, NCF, tryptase dan kinin (perform mediator). Penglepasan mediator
histamine akan menyebabkan obstruksi bronkus yang terjadi segera setelah pemaparan
(sekitar 10 menit) dan berakhir sekitar 1 jam sesudahnya. Reaksi ini disebut fase awal
(early phase).
Membran mastosit yang kecil mengandung fasfolipid akan diubah mejadi asam
arakidonat oleh fosfolipase. Selanjutnya asam arachidonat dengan bantuan
siklooksigenase dan lipooksigenase akan membentuk prostaglandin, leukotrin dan
tromboksan. Mediator ini desebut newly generated mediator yang menyebabkan
obstruksi bronkus yang terjadi setelah 4-24 jam kemudian. Reaksi inilah yang disebut
reaksi fase lambat (late phase).
5) Gejala Klinis
Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala yang
ditimbulkan berupa batuk-batuk pada pagi hari, siang hari, dan malam hari, sesak napas
atau susah bernapas, bunyi saat bernapas (mengi), rasa tertekan di dada, dan gangguan
tidur karena batuk. Gejala ini terjadi secara reversible dan episodic berulang (Brunner
dan Suddarth, 2013).
Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti, berhadapan
dengan bulu binatang, uap kimia, perubahan temperature, debu, obat (aspirin, beta-
blocker), olahraga berat, serbuk, infeksi system respirasi, asam rokok dan stress (Gina,
2011).
6) Faktor Resiko Asma
Berkembangnya asma merupakan interaksi antara factor penjamu (host factor) dan
factor lingkungan. Factor penjamu disini termasuk predisposisi genetic yang
mempengaruhi berkembangnya asma yaitu genetic asma, alergik, hiperreaktiviti, jenis
kelamin dan ras. Factor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau
predisposisi asma, untuk berkembangan menjadi asma, yang menyebabkan terjadinya
eksaserbasi dan gejala asma yang menetap.
7) Diagnosa
 Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan sputum : Untuk menentukan adanya infeksi dan
mengidentifikasi pathogen .
b) Pemeriksaan darah : Untuk mengetahui Hiponatremia dan kadar leukosit,
 Pemeriksaan Scanning Paru : Untuk menyatakan pola abnormal perfusi pada area
ventilasi(ketidak cocokan/perfusi) atau tidak adanya ventilasi/perfusi.
 Pemeriksaan Spirometri : Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
8) Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit asma adalah
mengancam pada gangguan keseimbangan asam basa dan gagal nafas, pneumonia,
bronkhiolitis, chronic persistent bronchitis, emphysema.
9) Penatalaksanaan Penyakit Asma
a. Terapi Nor Farmakologi
 Edukasi pasien : Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam
penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
a) Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri).
b) Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri).
c) Meningkatkan kepuasan.
d) Meningkatkan rasa percaya diri.
e) Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri .
f) Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol
asma.
Bentuk pemberian edukasi:
a) Komunikasi/nasehat saat berobat.
b) Ceramah.
c) Latihan/training.
d) Supervisi.
e) Diskusi.
f) Tukar menukar informasi (sharing of information grup).
g) Film/video presentasi .
h) Leaflet, brosur, buku bacaan.
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan
kepatuhan pasien dilakukan dengan :
1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap tindakan/penanganan yang
akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat
dirasakan pasien.
2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang
diberikan dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin kaitkan dengan
perbaikan yang dialami pasien (gejala dan faal paru).
3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.
4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.
5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien, sehingga
pasien merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.
6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan yang
akan dilakukan, pada setiap kunjungan.
7. Mengajak keterlibatan keluarga.
8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status sosioekonomi yang
dapat berefek terhadap penanganan asma.
 Pengukuran peak flow meter Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang
sampai berat. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter
ini dianjurkan pada :
a) Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh
pasien di rumah.
b) Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
c) Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia
di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien
yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi
untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.
d) Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus.
e) Pemberian oksigen.
f) Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak.
g) Kontrol secara teratur.
h) Pola hidup sehat Dapat dilakukan dengan : penghentian merokok menghindari
kegemukan kegiatan fisik misalnya senam asma
b. Terapi Farmakologi
1. Simpatomimetik
Mekanisme Kerja Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah
sebagai berikut :
 Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi,
dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
 Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan
irama jantung.
 Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens
mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Nama Obat, Dosis dan Cara Penggunaan
Nam Bentuk Dosis
a Sediaan
Obat
Albut Aerosol Dewasa dan 2 inhalasi setiap
erol anak >4 tahun 4-6 jam
(usia 12 tahun
Tablet dan lebih untuk Dosis awal 2-4
pencegahan). mg 3-4 x sehari
Dewasa dan (tidak boleh
anak (usia 12 melebihi 32 mg
tahun atau lebih) sehari).
: 2 mg, 3-4 x sehari
Dosis awal 2 mg,
Anak-anak 6-12 3-4 x sehari.Jika
Tablet Lepas tahun : bronkodilasi tidak
Lambat Pasien lanjut tercapai, dosis
usia dan dapat
sensitive ditingkatkan
terhadap menjadi 8 mg, 3
Sirup stimulant β atau 4 kali sehari.
adrenergic : Dosis yang
direkomendasi
Dewasa dan kan 8 mg setiap
anak lebih dari 12 jam.
12 tahun : Dosis yang
Anak-anak 6-12 direkomendasi
tahun : kan 4 mg setiap
12 jam.
Dewasa dan Dosis umum
anak lebih dari adalah 2 atau 4
12 tahun : mg 3-4 x sehari.
Anak-anak 6-12 Dosis awal adalah
tahun : 2 mg, 3-4 kali
sehari.
Bitolt Cairan untuk Dewasa dan 2 inhalasi dengan
erol inhalasi 0,2% anak lebih dari interval 1-3
12 tahun : menit.
Efedri Tablet Dewasa dan 12,5-25 mg setiap
n anak lebih dari 4 jam, dosis
sulfat 12 tahun : jangan melebihi
Injeksi 150 mg dalam 24
Dewasa : jam.
25-50 mg secara
sc atau im, 5-25
Kapsul mg diberikan
Anak-anak : secara iv
perlahan, diulang
Untuk anak 5-10 menit jika
kurang dari 12 perlu.
tahun : 0,5-0,75 mg/kg
setiap 4-6 jam.
Konsultasikan ke
dokter.
Epine Aerosol Dewasa dan Mulai dengan
frin anak 4 tahun satu inhalasi,
atau lebih : kemudian tunggu
Injeksi sampai 1 menit.
Dewasa : Dosis awal 0,2 –
1 mL ulangi
setiap 4 jam.
Form Aerosol Dewasa dan 12 mcg setiap 12
oterol anak berusia 5 jam dengan
tahun atau menggunakan
Sirup lebih : Aerolizer inhaler
10 mg (20 mg) 3
Anak lebih dari atau 4 kali sehari.
9 tahun dengan
berat badan 5 mL(5 mg) 3
lebih dari 27 kg. atau 4 kali sehari
Anak – anak 6-9
tahun dengan
berat badan
kurang dari 27
kg.
Pirbut Aerosol Dewasa dan 2 inhalasi (0,4
erol anak lebih dari mg) diulangi
12 tahun setiap 4-6 jam.
Salme Aerosol Anak berusia 50 mcg 2x sehari
terol lebih dari 4
tahun
Terbu Tablet Dewasa dan 5 mg, interval 6
talin
anak lebih dari jam 3 x sehari
Injeksi
15 tahun 2,5 mg 3 x sehari
Anak-anak 12- 0,25 mg secara sc
15 tahun

Efek Samping
Nama Obat Efek Samping
Albuterol Bronkhitis (1,5–4)%, epistaksis (1-3)%, peningkatan
nafsu makan, sakit perut (3%),, kram otot (1-3)%.
Bitolterol Sakit kepala ringan (6,8%), efek pada kardiovaskular
kirakira 5%.
Isoproterenol Bronchitis (5%)
Metaprotereno Keparahan asma (1-4)%
l
Salmeterol Sakit pada sendi/punggung, kram otot, mialgia, sakit
pada otot (1-3)%, infeksi saluran pernapasan
atas,.nasifaringitis (14%), penyakit pada rongga
hidung atau sinus (6%), infeksi saluran pernapasan
bawah (4%), alergi rinitis (lebih dari 3%), rinitis,
laringitis, trakeitis/bronkitis (1-3)%, rasa lemas,
influenza (lebih dari 3%), gastroenteritis, urtikaria,
sakit gigi, malaise/rasa lelah, erupsi kulit dan
dismenorea (1-3)%.

Kontraindikasi
Obat simpatomimetik dikontraindikasikan untuk penderita yang alergi terhadap
obat dan komponennya (reaksi alergi jarang terjadi), aritmia jantung yang berhubungan
dengan takikardia, angina, aritmia ventrikular yang memerlukan terapi inotopik,
takikardia atau blok jantung yang berhubungan dengan intoksikasi digitalis (karena
isoproterenol), dengan kerusakan otak organik, anestesia lokal di daerah tertentu (jari
tangan, jari kaki) karena adanya risiko penumpukan cairan di jaringan (udem), dilatasi
jantung, insufisiensi jantung, arteriosklerosis serebral, penyakit jantung organik (karena
efinefrin); pada beberapa kasus vasopresor dapat dikontraindikasikan, glukoma sudut
sempit, syok nonafilaktik selama anestesia umum dengan hidrokarbon halogenasi atau
siklopropan (karena epinefrin dan efedrin).
2. Xantin
Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal,
merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus.
Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat
pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu
menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit
obstruksi saluran pernapasan kronik.
Indikasi
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan bronkospasma
reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan emfisema.
Obat-Obatan :
a. Aminofilin
Untuk pasien yang sudah menggunakan teofilin, pastikan jika memungkinkan,
waktu, jumlah, bentuk sediaan dan rute pemberian dari dosis terakhir yang diterima
pasien. Pemberian dosis awal dari aminofilin dapat diberikan melalui intravena lambat
atau diberikan dalam bentuk infus (biasanya dalam 100-200 mL) dekstrosa 5% atau
injeksi Na Cl 0,9%. Kecepatan pemberian jangan melebihi 25 mg/mL. Setelah itu terapi
pemeliharaan dapat diberikan melalui infus volume besar untuk mencapai jumlah obat
yang diinginkan pada setiap jam. Terapi oral dapat langsung diberikan sebagai
pengganti terapi intravena, segera setelah tercapai kemajuan kesehatan yang berarti.
Berikut tabel dosis aminofilin :

b. Teofilin
Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian dosis berdasarkan respon
klinik dan perkembangan pada fungsi paruparu. Dosis ekivalen berdasarkan teofilin
anhidrat yang dikandung. Monitor level serum untuk level terapi dari 10-20 mcg/mL.
Berikut adalah dosis yang direkomendasikan untuk pasien yang belum menggunakan
teofilin.

3. Antikolinergik
 Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja : Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis
kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu
dan tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat
antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan
seromukus mukosa hidung.
Indikasi : Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator lain
(terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik, termasuk bronkhitis kronik dan
emfisema.
Dosis dan Cara Penggunaan :

Efek Samping : Sakit punggung, sakit dada, bronkhitis, batuk, penyakit paru
obstruksi kronik yang semakin parah, rasa lelah berlebihan, mulut kering, dispepsia,
dipsnea, epistaksis, gangguan pada saluran pencernaan, sakit kepala, gejala seperti
influenza, mual, cemas, faringitis, rinitis, sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas
dan infeksi saluran urin.
 Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja Tiotropium : adalah obat muskarinik kerja diperlama yang
biasanya digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium
menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot
polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi
tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.
Indikasi : Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan
emfisema.
Dosis dan Cara Penggunaan : 1 kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi
Handihaler.
Efek Samping : terjadi pada 3% pasien atau lebih, terdiri dari sakit perut, nyeri dada
(tidak spesifik), konstipasi, mulut kering, dispepsia, edema, epistaksis, infeksi,
moniliasis, myalgia, faringitis, ruam, rhinitis, sinusitis, infeksi pada saluran
pernapasan atas, infeksi saluran urin dan muntah.
4. Kromolin Sodium dan Nedokromil
 Kromolin Natrium
Mekanisme Kerja Kromolin : merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak
mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau
aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin
dan SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
Indikasi : Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan
profilaksis pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian pada pasien
dengan gejala berulang yang memerlukan pengobatan secara reguler. Pencegahan
bronkospasma (inhalasi, larutan dan aerosol) : untuk mencegah bronkospasma akut
yang diinduksi oleh latihan fisik, toluen diisosinat, polutan dari lingkungan dan
antigen yang diketahui.
Dosis dan Cara Penggunaan Larutan nebulizer : dosis awal 20 mg diinhalasi 4 kali
sehari dengan interval yang teratur. Efektifitas terapi tergantung pada keteraturan
penggunaan obat.
Efek Samping : Efek samping yang paling sering terjadi berhubungan dengan
penggunaan kromolin (pada penggunaan berulang) meliputi saluran pernapasan:
bronkospasme (biasanya bronkospasma parah yang berhubungan dengan penurunan
fungsi paru-paru/FEV1), batuk, edema laringeal (jarang), iritasi faringeal dan napas
berbunyi.
 Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja Nedokromil : merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk
pencegahan asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan
pembebasan mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk
eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil
menghambat perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut
terhadap antigen terinhalasi.
Indikasi Nedokromil : diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi
pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma ringan
sampai sedang.
Dosis dan Cara Penggunaan : 2 inhalasi , empat kali sehari dengan interval yang
teratur untuk mencapai dosis 14 mg/hari.
Efek Samping : yang terjadi pada penggunaan nedokromil bisa berupa batuk,
faringitis, rinitis, infeksi saluran pernapasan atas, bronkospasma, mual, sakit kepala,
nyeri pada dada dan pengecapan tidak enak.
5. Kortikosteroid
Mekanisme Kerja : Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik
dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat
menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek
obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler
akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal.
Indikasi : Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang
memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan keuntungan dari
penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan asma dan terapi profilaksis pada
anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma
yang dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien yang
kadang-kadang menggunakan kortikosteroid sistemik atau terapi bronkhitis non
asma.
Efek Samping
Efek Samping Lokal : iritasi tenggorokan, suara serak, batuk, mulut kering, ruam,
pernafasan berbunyi, edema wajah dan sindrom flu.
Sistemik : depresi fungsi Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA). Terjadinya kematian
yang disebabkan oleh insufisiensi adrenal dan setelah terjadinya peralihan dari
kortikosteroid sistemik ke aerosol.
Beclomethason: efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih, seperti sakit kepala,
kongesti nasal, dismenorea, dispepsia, rhinitis, faringitis, batuk, infeksi saluran
pernapasan atas, infeksi virus dan sinusitis.
Budesonid : efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih, seperti nyeri, sakit
punggung, infeksi saluran pernapasan atas, sinusitis, faringitis, batuk, konjungtivitis,
sakit kepala, rhinitis, epistaksis, otitis media, infeksi telinga, infeksi virus, gejala flu,
perubahan suara.
Flunisolid : efek samping terjadi pada 3 % atau lebih pasien seperti palpitasi, nyeri dada,
pusing, iritabilitas, nervous, limbung, mual, muntah, anoreksia, nyeri dada, infeksi
saluran pernapasan atas, kongesti hidung dan sinus, pengecapan tidak enak, kehilangan
indra penciuman dan pengecapan, edema, demam, gangguan menstruasi, eksim, gatal-
gatal/pruritus, ruam, sakit tenggorokan, diare, lambung sakit, flu, kandidiasis oral, sakit
kepala, rhinitis, sinusitis, gejala demam, hidung berair, sinusitis, infeksi/kerusakan pada
sinus, suara serak, timbul sputum, pernafasan berbunyi, batuk, bersin dan infeksi
telinga.
Flutikason : efek samping terjadi pada 3% atau lebih pasien seperti sakit kepala,
faringitis, kongesti hidung, sinusitis, rhinitis, infeksi saluran pernapasan atas, influenza,
kandidiasis oral, diare, disfonia, gangguan menstruasi, hidung berair, rhinitis alergi dan
demam.
Triamsinolon : reaksi efek samping terjadi pada 3% atau lebih pasien seperti faringitis,
sinusitis, sindrom flu, sakit kepala dan sakit punggung.

B. Penyakit Paru Obstruktif Kronik


1) Pengertian
Penyakit paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu istilah yang digunakan
untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronchitis
kronik, emfisema paru dan asma bronchial membentuk kesatuan yang disebut PPOK.
Agaknya ada hubungan etiologi dan sekuensial antara bronchitis kronis dan emfisema,
tetapi tampaknya tidak ada hubungan antara penyakit itu dengan asma. Hubungan ini
nyata sekali sehubungan dengan etiologi, pathogenesis dan pengobatan.
PPOK adalah sekresi mukoid bronchial yang bertambah secara menetap disertai
dengan kecenderungan terjadinya infeksi yang berulang dan penyempitan saluran nafas,
batuk produktif selama 3 bulan, dalam jangka waktu 2 tahun berturut-turut (Ovedoff,
2002). Sedangkan menurut Price & Wilson (2005), COPD adalah suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan
ditandai dengan obstruksi aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Menurut Carpenito (1999) COPD atau yang lebih dikenal dengan PPOM merupakan
suatu kumpulan penyakit paru yang menyebabkan obstruksi jalan napas, termasuk
bronchitis, empisema, bronkietaksis dan asma. PPOM paling sering diakibatkan dari
iritasi oleh iritan kimia (industri dan tembakau), polusi udara, atau infeksi saluran
pernapasan kambuh.
2) Klasifikasi
Menurut Alsagaff & Mukty (2006), COPD dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
 Asma Bronkhial: dikarakteristikkan oleh konstruksi yang dapat pulih dari otot halus
bronkhial, hipersekresi mukoid, dan inflamasi, cuaca dingin, latihan, obat, kimia
dan infeksi.
 Bronkitis kronis: ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai
pengeluaran dahak sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun,
dan paling sedikit selama 2 tahun. Gejala ini perlu dibedakan dari tuberkulosis paru,
bronkiektasis, tumor paru, dan asma bronkial.
 Emfisema: suatu perubahan anatomis paru-paru yang ditandai dengan melebarnya
secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal, disertai kerusakan
dinding alveolus.
Menurut klasifikasi Gold (2011) menyebutkan kriteria PPOK berdasarkan
klinisnya sebagai berikut :

3) Etiologi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD (Mansjoer,
1999) adalah :
a) Kebiasaan merokok
Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking control, rokok
adalah penyebab utama timbulnya COPD. Secara fisiologis rokok berhubungan
langsung dengan hiperplasia kelenjar mukosa bronkusdan metaplasia skuamulus
epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut.
Menurut Crofton & Doouglas merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel
rambut getar, makrofage alveolar dan surfaktan.
b) Riwayat Perokok : Perokok Aktif, Perokok Pasif, Bekas Perokok.
c) Derajat berat merokok
(Indeks Brinkman = Jumlah rata-2 batang rokok /hr X lama merokok /th):
 Ringan : 0 - 200
 Sedang : 200 - 600
 Berat : > 600
d) Polusi udara
Polusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalah zat
pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon, aldehid dan
ozon.
 Polusi di dalam ruangan : Asap rokok dan asap kompor
 Polusi di luar ruangan : Gas buang kendaranan bermotor dan debu
jalanan .
 Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun).
e) Riwayat infeksi saluran nafas.
Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitis koronis
hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan
kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering
diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder
oleh bakteri.
f) Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin.
g) Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang
terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun, debu gandum, dan
debu asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat
selain yang disebutkan di atas.
Sedangkan risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah:
a) Usia
Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita
gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya
dialami < 1% pasien PPOK.

b) Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait
dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan peningkatan
prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
c) Adanya gangguan fungsi paru
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,
misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/hypogammaglobulin) atau infeksi
pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan
gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-parulebih besar
sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih
berisiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang
yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah,
ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
4) Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal,
perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang
kronik dan perubahan structural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada
saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen
dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas.
Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung
eksudat inflamasi.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar dalam menimbulkan kerusakan sel dan
menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksida, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya factor
kemotataktif neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, TNF, MCP-1 dan ROS.
Factor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mucus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada
dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu electron ke molukel oksigen
menjadi anion super oksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hydrogen
peroksida yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima electron dari ion feri
menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida.
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk
kronis sehingga percabangan brokus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru
terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa
dekstruksi alveoli yang menuju kearah emfisema karena produksi radikal bebas yang
berlebihan oleh leukosit, polusi dan asap rokok.
5) Tanda dan gejala
Tanda dan gejala PPOK adalah sebagai berikut Brunner & Suddarth (2013) :
1. Batuk produktif.
2. Sputum putih.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernapasan tambahan untuk bernapas.
Berikut Skala sesak menurut Modified Medical Research Council (MMRC
Dyspea Scale) :

Berdasarkan gejala klinis yang dapat diukur berdasarkan skor MMRC atau CAT
(COPD Assesment Test) PPOK dikelompok menjadi 4 Kelompok berikut :
4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
5. Anoreksia.
6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
7. Takikardia, dan berkeringat.
8. Hipoksia.

6) Pemeriksaan Diagnostik
a) Anamnesa (keluhan)
 Umumnya dijumpai pada usia tua (>45 th)
 Riwayat PEROKOK / bekas PEROKOK
 Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja (waktu lama)
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Ada faktor predisposisi pada masa bayi / anak
 Batuk berulang dengan / tanpa dahak
 Sesak dengan / tanpa bunyi mengi
 Sesak nafas bila aktivitas berat
b) Pemeriksaan fisik:
 Pasien biasanya tampak kurus dengan barrel-shapped chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
 Fremitus taktil dada berkurang atau tidak ada.
 Perkusi pada dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih
rendah, pekak jantung berkurang.
 Suara nafas berkurang.
c) Pemeriksaan radiologi
 Foto thoraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa
bayangan garis-garisyang pararel keluar dari hilus menuju ke apeks paru dan
corakan paru yang bertambah.
 Pada emfisema paru, foto thoraks menunjukkan adanya overinflasi dengan
gambaran diafragma yang rendah yang rendah dan datar, penciutan pembuluh
darah pulmonal, dan penambahan corakan kedistal.
d) Tes fungsi paru:
Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea untuk menentukan penyebab
dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstimulasi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek
terapi, misalnya bronkodilator.
e) Pemeriksaan gas darah.
f) Pemeriksaan EKG
g) Pemeriksaan Laboratorium darah: hitung sel darah putih.
7) Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah:
a. Gagal nafas
 Gagal nafas kronis Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan PCO2,
bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas atau
waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan pursed lips breathing.
 Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas dengan atau
tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang : Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi
berulang. Pada kondisi 27 kronis ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan
menurunnya kadar limfosit darah.
c. Kor pulmonal Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai
gagal jantung kanan.
8) Penatalaksanaan
a. Terapi Non Farmakologi
 Rehabilitasi : edukasi, berhenti merokok, latihan fisik dan respirasi, serta nutrisi.
 Terapi oksigen : harus berdasarkan analisa gas darah baik pada penggunaan
jangka panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang tidak berhati-hati dapat
menyebabkan hiperkapnia dan memperburuk keadaan.
 Ventilasi mekanik : digunakan di ICU pada eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik
noninvasif digunakan diruang rawat atau dirumah sebagai perawatan lanjutan
setelah eksaserbasi pada PPOK berat.
b. Terapi Farmakologi
Secara umum, pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat, seperti:
1) Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan atau
mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada
saluran pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi
dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru. Bronkodilator bekerja dengan
menurunkan hiperventilasi dinamis saat istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki
toleransi terhadap akivitas. Pada kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat
sulit untuk memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat. Bronchodilator
dose-respone (perubahan FEV1) kurang memberikan respon relatif pada setiap kelas
bronkodilator. Peningkatan dosis beta2-agonist atau antikolinergik, khususnya yang
diberikan dengan nebulizer, menunjukkan efek positif pada episode akut, namun tidak
terlalu membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK diberikan sebagai
dasar untuk mencegah atau menurunkan gejala. Tidak direkomendasikan penggunaan
bronkodilator dengan kerja pendek.
2) Beta 2-agonist
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran pernafasan dengan
menstimulasi reseptor beta 2-adrenergik, dimana akan meningkatkan siklus AMP dan
memproduksi efek fungsional yang berlawanan dengan bronkokonstriksi. Terdapat beta
2-agonist dengan kerja pendek (SABA) dan kerja panjang (LABA), dimana efek SABA
biasanya muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA secara regular dapat meningkatkan
FEV1 dan memperbaiki gejala. Untuk dosis tunggal, khususnya pada kasus PPOK,
tidak terdapat keuntungan apabila digunakan secara rutin, contohnya levalbuterol
dibandingkan konvensional bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12 jam
atau lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada terapi SABA. Folmetrol
dan salmeterol merupakan LABA yang diberikan 2 kali dalam sehari, dimana secara
signifikan memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak, laju 15 eksaserbasi serta jumlah
kejadian masuk rumah sakit, namun tidak terdapat efek pada perbaikan mortalitas atau
fungsi paru. Indacaterol atau LABA yang dikonsumsi 1 kali sehari dapat memperbaiki
sesak, status kesehatan, dan laju eksaserbasi. Beberapa pasien dengan riwayat batuk
akan diikuti dengan pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan vilanterol
merupakan tambahan LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali sehari dan dapat
memperbaiki gejala dan fungsi paru. Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat
memproduksi sinus takikardia dan memiliki potensi untuk menjadi gangguan ritme
jantung. Tremor dapat dirasakan pada pasien tua dengan dosis tinggi. Apabila terapi
dikombinasi dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan hipokalemia dan peningkatan
konsumsi oksigen pada pasien gagal ginjal kronis, dimana terjadi efek penurunan
metabolik.
3) Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada reseptor
muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting antimuscarinic
(SAMAS) seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok reseptor neuronal M2,
yang secara potensial dapat memicu bronkokonstriksi. Long acting muscarinic
antagonist (LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium bromide dan
umeclidinium, mempunyai ikatan dengan reseptor muskarinik M3 dengan disosiasi
yang lebih cepat dibandingkan reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang durasi
efek bronkodilator. Ipratropiun sebagai muskarinik antagonis kerja pendek memiliki
efek yang kecil dibandingkan beta2-agonist kerja pendek dalam hal perbaikan fungsi
paru, status kesehatan dan kebutuhan terhadap oral steroid. Beberapa jenis LAMAs
seperti titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari, aclidinium untuk 2 kali
sehari, dan glycopyrronium, dimana beberapa negara memberikan 1 kali sehari dan
negara lain memberikan 2 kali sehari. Pengobatan dengan tiotripium dapat memperbaiki
gejala dan status kesehatan, memperbaiki efektivitas rehabilitasi paru dan mengurangi
eksaserbasi terkait hospitalisasi. Beberapa 16 penelitian menunjukkan efek eksaserbasi
yang lebih besar pada golongan obat LAMAs (tiotropium) dibandingkan LABA. Efek
samping yang dapat muncul berupa mulut kering, gangguan buang air kecil, dan pada
penggunaan ipratropium menunjukkan gejala mulut terasa pahit dan gangguan
pengecapan serta sebagian kecil peningkatan kejadian kardiovaskuler.
4) Methylxanthines Theophylline
Merupakan jenis methylxantine yang paling sering digunakan, dimana
dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi oksidase. Efek yang ditimbulkan
berupa peningkatan fungsi otot skeletal respirasi. Penambahan theophylline dengan
salmeterol memberikan efek perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya
pemberian salmeterol saja. Toksisitas methylxanthine tergantung pada dosis yang
diberikan, dimana efek yang ditimbulkan berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel
aritmia. Efek lain termasuk sakit kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada.
Pengobatan ini juga memiliki interaksi yang signifikan dengan beberapa obat seperti
digitalis dan coumadin.
5) Kombinasi terapi bronkodilator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek perbaikan FEV1
dan gejala dibandingkan diberikan secara tunggal. Pengobatan dengan formoterol dan
tiotropium inhaler memberikan efek yang lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki
fungsi paru dan status kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa penelitian menunjukkan
pemberian kombinasi LABA/LAMA, memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi.
Kombinasi ini juga dikatakan lebih baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS
(inhaled corticosteroid).
6) Anti-inflamasi
 Inhaled corticosteroid (ICS) Pada pasien PPOK, pengobatan dengan ICS
menunjukkan respon yang terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist,
theophylline atau macrolide dapat mempengaruhi sensitivitas kortikosteroid pada
PPOK. Pengobatan dengan ICS saja, tidak dapat memodifikasi penurunan FEV1.
Pada pasien 17 dengan PPOK kategori sedang-berat, kombinasi ICS dengan
LABA lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan
menurunkan eksaserbasi. Selain itu, pengobatan dengan LABA/ICS fixed dose
combination (FDC) memberikan efek yang signifikan dibandingkan dengan
LABA saja, pada pasien dengan eksaserbasi maksimal 1 kali dalam setahun. Efek
samping yang ditimbulkan yaitu, candidiasis mulut, suara parau, kulit memar, dan
pneumonia. Peningkatan risiko tersebut telah dikonfirmasi pada ICS dengan
menggunakan fluticasone furoate, walaupun pada dosis rendah. Pasien yang
memiliki risiko tinggi pneumonia apabila memeiliki riwayat merokok, umur ≥ 55
tahun, memiliki riwayat eksaserbasi pneumonia, BMI < 25 kg/m2 , dan sesak
berat. Pada penggunaan ICS independent, peningkatan <2% eosinofil darah, dapat
meningkatkan resiko pneumonia.
 Terapi inhaler triple : berupa penambahan LABA, LAMA, dan ICS dimana efek
yang diberikan berupa perbaikan fungsi paru, pada resiko eksaserbasi.
 Oral glukokortikoid : efek yang diberikan berupa steroid miopati yang
berhubungan dengan kelemahan otot, penurunan fungsional, dan kegagalan
pernafasan pada pasien dengan PPOK berat.
 Phosphodiesterase-4 (PDE4) inhibitors : prinsip kerjanya adalah dengan
menurunkan inflamasi dengan menghambat pemecahan siklus intraseluler.
7) Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular dapat
menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali per
minggu) atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun dapat menurunkan
risiko eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan peningkatan insiden resistensi
bakteri dan gangguan pendengaran.
8) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi regular
dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat menurunkan
eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.

C. Rhinitis Alergi
1) Pengertian
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
2) Klasifikasi
Rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
 Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
 Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati
et al, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
 Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari atau kurang dari 4
minggu.
 Persisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
 Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
 Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).
3) Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi (Adams et al, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis
alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa
serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu
tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta
sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang
tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap
rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
(Becker, 1994).
4) Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan
membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5,
dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed
Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4
(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-
5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain.
Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati et al, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada
saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan
dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke
dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
 Respon primer : Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

 Respon sekunder : Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag
masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier.
 Respon tersier : Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe
1, yaitu rinitis alergi (Irawati et al, 2008).
5) Gejala Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik,
yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik,
bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, 2012). Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-
kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga
terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan
hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering
menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan
edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai
dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti
konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk
retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba
eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa
jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet,
Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak
khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada
sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,
mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
6) Diagnosa
a) Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar
hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien (Irawati et al, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali
setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung
tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.

b) Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa
garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat
hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada
pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya
kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.
Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan
lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
c) Pemeriksaan Penunjang
 In Vitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering
kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari
satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial
atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
 In Vivo : Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan
dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
7) Komplikasi
 Sinusitis berulang : Gajala klinis saat rinitis alergi mengalami eksaserbasi dapat
menyebabkan obstruksi pada sinus paranasal dan menyebabkan sinusitis berulang.
 Polip hidung Iritasi yang terjadi pada mukosa hidung secara berulang pada rinitis
alergi dapat memicu pertumbuhan polip pada hidung.
 Otitis media serosa akut : Kondisi ini dapat terjadi karena adanya penyumbatan
berulang pada tuba Eustachius.
 Masalah orthodontic : Gejala hidung tersumbat pada rinitis alergi meyebabkan pasien
bernapas melalui mulut. Kondisi ini, terutama pada anak-anak dapat menyebabkan
masalah orthodontic.
 Asma bronkial Pasien dengan rinitis alergi menunjukkan kelainan pada saluran napas
bagian bawah termasuk perubahan secara fisiologi, histologi, dan biokimia. Survei
epidemiologi menunjukkan bahwa rinitis alergi merupakan faktor independen untuk
terjadinya asma bronkial (Dhingra, 2010).
8) Penatalaksanaan
a. Terapi Nonfarmakologi
 Edukasi : Pasien harus diberi pengetahuan tentang rinitis alergi, perjalanan
penyakit, dan tujuan penatalaksanaan. Penatalaksanaan medis bertujuan untuk
mengurangi gejala atau mengganggu kerja sistem imun untuk mengurangi
hipersensitivitas, atau keduanya. Selain itu, pasien juga harus diberikan
informasi mengenai keuntungan dan efek samping yang mungkin terjadi
untuk mencegah ekspektasi yang salah dan meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap obat yag diresepkan (Greiner et al., 2011).
 Menghindari alergen secara komplit Menurut studi placebo-controlled oleh
Greiner, et al.(2011), penggunaan nasal filter, yang dapat mencegah akses
serbuk sari ke dalam hidung, mengurangi gejala rinitis pada subjek yang
alergi terhadap serbuk sari.

b. Terapi Farmakologi
1) Topikal
 Kortikosteroid Semprot atau tetes: fluticasone, mometasone, ciclesonide,
triamcinolone, flunisolide, beclametason, dan betamethasone Keuntungan:
terapi antiinflamasi paling poten, sangat mengurangi gejala pada hidung,
memiliki efek pada gejala konjunktiva, memperbaiki HRQL, bioavailibilitas
rendah. Kerugian: membutuhkan beberapa hari untuk mengurangi gejala dan
memiliki efek samping epistaxis.
 Antihistamin Azelastine, Olopatadine Keuntungan: efektif dan aman untuk
mengatasi gatal pada hidung, bersin, dan rhinorrhea, onset cepat (15 menit)
Kerugian: pengabaian terhadap gejala sistemik lain.
 Chromone Sodium cromoglicate, nedocromil sodium Keuntungan: aman untuk
gejala rinitis alergi Kerugian: penggunaan beberapa kali sehari, efek pada
gejala lemah.
 Antikolonergik Ipratropium bromide Keuntungan: efek baik hanya pada gejala
rhinorrhea Kerugian: penggunaan 3 kali sehari Efek samping: hidung kering,
epistaxis, retensi urin, dan glaucoma.
 Dekongestan Ephedrine, pseudoephedrine, xylometazoline Keuntungan: agen
vasokonstriktif yang poten hanya pada hidung tersumbat, onset cepat (10
menit) Kerugian: sering digunakan pasien secara berlebihan, efek samping
iritasi hidung dan gejala rhinorrhea memburuk (rebound phenomenon)
2) Sistemik
 Antihistamin Generasi pertama tidak dianjurkan karena efek samping sedasi
dan retardasi psikomotor Generasi kedua: levocetirizine dan cetirizine,
desloratadine dan loratadine, fexofenadine, acrivastine, rupatadine, carebastine
dan ebastine Keuntungan: efektif mengurangi gejala seperti hidung gatal,
bersin, dan rhionrrhea, mengurangi gejala konjunktiva, onset cepat (1 jam), dan
interaksi obat sedikit Kerugian: efek pada hidung tersumbat kurang baik
 Kortikosteroid Hydrocortisone, prednisolone Universitas Sumatera Utara
Keuntungan: terapi antiinflamasi sistemik, mengurangi seluruh gejala
Kerugian: hanya boleh digunakan jangka pendek.
 Antileukotrien Antagonis respetor leukotrien: montelukast dan zafirlukast
Inhibitor sintesis leukotrien: zileuton Hanya montelukast yang boleh digunakan
sebagai terapi rinitis alergi Keuntungan: efektif untuk hidung tersumbat,
rhinorrhea, dan gejala konjunktiva, efektif untuk gejala bronkial pada beberapa
pasien, umumnya ditoleransi dengan baik Efek samping: sakit kepala, gejala
pada sistem pencernaan, ruam, dan sindrom Churg-Strauss.
 Dekongestan Pseudoephedrine Keuntungan: mengurangi gejala hidung
tersumbat Efek samping: hipertensi, insomnia, agitasi, dan takikardi (Greineret
al., 2011)

D. Batuk dan Pilek


1. Pengertian
Batuk pilek merupakan penyakit saluran pernapasan berupa infeksi primer pada
nasofaring dan hidung yang ditandai dengan keluarnya cairan bening dari dalam hidung
disertai rasa gatal pada tenggorokan. Batuk pilek merupakan gejala adanya masalah dari
traktus respiratoris,terutama saluran nafas bagian atas dan penyebab dari masalah ini
yaitu alergi dan infeksi. Batuk pilek berbeda dengan influenza.
Biasanya batuk pilek dimulai 2-3 hari setelah terjadi infeksi, gejalah yang sangat
jelas yaitu bersin-bersin, hidung berair, tersumbat, batuk, suara sesak, halitu dapat
berlangsung kurang lebih satu minggu. Gejala awal mirip, tetapi gejala batuk pilek lebih
ringan dibanding influenza. Baik batuk pilek maupun influenzasama-sama disebabkan
oleh virus, namun jenis virusnya berbeda. Jenis virus penyebab gejala batuk pilek dan
influenza jumlahnya bisa lebih dari 200 macam.

2. Klasifikasi (Ngastiyah, 1997)


a) Batuk pilek ringan : Bila timbul batuk tidak mengganggu tidur, dahak encer, ingus
encer berwarna bening, mata berair, panas tak begitu tinggi atau tidak lebih dari 380
C. Batuk pilek ini berlangsung selama 5 – 6 hari.
b) Batuk pilek sedang : Dahak kental berwarna kuning kehijauan, ingus kental berwarna
kehijauan, panas tinggi lebih dari 38℃, tenggorokan sakit pada saat menelan.
c) Batuk pilek berat : Panas tinggi di sertai sesak napas ngorok, stridor, kadang-kadang
disertai penurunan kesadaran (contoh: pneumonia).
3. Etiologi
Penyebab batuk pilek hampir selalu virus. Lebih dari dua ratus virus dikenal
sebagai penyebab batuk-pilek (termasuk rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus
sinsitial pernafasan), dan diduga ada lebih dari 1.500 virus batuk pilek atau kombinasi
virus. Karena anak balita belum mempunyai banyak kesempatan untuk membangun
daya tahan tubuh terhadap virus-virus ini, maka anak balita sangat peka terhadap batuk
pilek (Einsenberg,1998).
4. Patofisiologi
Terjadinya pembengkakan pada submukosa hidung yang disertai vasodilatasi
pembuluh darah. Terdapat infiltrasi leukosit, mula-mula sel monokleus kemudian juga
polimorfonukleus. Sel epitel superfisial banyak yang lepas dan regenerasi epitel sel baru
terjadi setelah lewat stadium akut. (Ngastiyah, 2005). Banyak virus yang dapat
menyebabkan batuk pilek, tetapi yang paling sering adalah rinovirus (terdapat 100 jenis
rinovirus berbeda yang dapat menginfeksi manusia, diikuti dengan respiratory sincytial
virus (RSV), dan adenovirus. Virus yang masuk ke tubuh dan menginfiltrasi saluran
nafas di hidung sampai tenggorokan kita akan memicu rangkaian reaksi sitem imun
(pertahanan tubuh) dan bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang dialami.
(Arifianto,2018).
5. Tahapan batuk pilek
Batuk dan pilek merupakan suatu respon tubuh yang diciptakan untuk membuang
benda asing, termasuk virus, bakteri, debu, lendir, dan partikel kecil lain yang berusaha
mengotori saluran nafas dimulai dari tenggorokan hingga paru- paru. Batuk menjaga
saluran nafas tetap bersih agar seseorang tidak mengalami sesak nafas. Ingus atau
lendir yang diproduksi saat seseorang mengalami batuk pilek adalah upaya tubuh
mengeluarkan benda asing, termasuk partikel virus dan bakteri dari saluran napas atas
manusia. (Arifianto,2018).
6. Faktor resiko
 Kelelahan
 Kedinginan
 Gizi buruk
 Anemia
7. Tanda Gejala Batuk Pilek
a) Hidung berair (pengeluaran bersifat cair dan bening)
b) Hidung tersumbat
c) Bersin
d) Panas tidak lebih dari 380C. (Einsenberg,1998)
8. Gejala Klinis Batuk Pilek
Gejala tidak enak di hidung, rasa tidak enak ditenggorokan, pilek, sakit kepala,
batuk sedikit dan kadang- kadang bersin. Keluar sekret yang cair dan jernih dari hidung.
Bila terjadi infeksi sekunder oleh kokus seket menjadi kental dan purulen. Sekret ini
sangat menggangu anak. Sumbatan hidung menyebabkan anak bernafas dari mulut dan
mengakibatkannya gelisah. Pada anak yang lebih besar kadang-kadang didapatkan
keluhan nyeri otot dan pusing. (Ngastiyah, 1997)
9. Diagnosa
Pemeriksaan Fisik:
 Dapat ditemukan keluar cairan encer hingga purulen di hidung
 Mata berair, konjuntiva pucat
 Pada telinga ada serumen atau tidak
 Paru dilihat dari bentuk dada simetris
Pemeriksaan penunjang:
 Foto toraks
 Pemeriksaan darah dilakukan apabila gejala sudah berlangsung selama 10 hari
atau dengan demam > 37,8o C. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat
leukositis
10. Komplikasi Batuk Pilek
Batuk pilek dapat membaik meskipun tanpa pengobatan khusus dari dokter.
Namun pada penderita gangguan sistem imun, batuk pilek dapat berkembang menjadi
parah dan menimbulkan komplikasi. Komplikasi batuk pilek dapat muncul jika tidak
mereda setelah 10 hari. Segera hubungi dokter jika mengalami komplikasi batuk pilek,
seperti:

a) Serangan asma
Dapat timbul pada penderita batuk pilek yang memiliki riwayat asma, terutama
pada anak-anak. Gejala serangan asma yang dapat timbul adalah sesak napas dan mengi
(bengek). Jika terjadi serangan asma, penderita disarankan untuk menggunakan obat
asma, segera meghubungi dokter, dan beristirahat.
b) Sinusitis
Gejala sinusitis yang muncul adalah nyeri pada bagian wajah, batuk, demam, sakit
kepala, tenggorokan kering, serta kehilangan kemampuan mengecap dan membau.
Sinusitis dapat diobati dengan antibiotik dan dekongestan.
c) Bronkitis
Bronkitis muncul akibat iritasi lapisan dari cabang batang tenggorok (bronkus).
Gejala bronkitis yang dapat muncul antara lain adalah sesak napas, batuk berdahak,
demam, menggigil, dan lemas. 
d) Bronkiolitis
Merupakan peradangan pada bronkiolus, yaitu saluran udara yang merupakan
percabangan dari bronkus. Bronkiolitis sering kali terjadi pada anak-anak berusia
kurang dari 2 tahun dan menimbulkan gejala sesak napas, kulit membiru, sulit menelan
makanan dan minuman, serta mengi atau bengek.
e) Pneumonia
Pneumonia merupakan peradangan pada paru-paru. Beberapa gejala pneumonia
yang dapat muncul yaitu sesak napas, batuk berdahak, demam tinggi, serta nyeri dada.
f) Infeksi telinga bagian tengah (otitis media)
Batuk pilek dapat menyebabkan penumpukan cairan pada ruang di belakang
selaput gendang telinga. Penumpukan cairan tersebut dapat menjadi sarana terjadinya
infeksi bakteri atau virus. Otitis media sering terjadi pada anak-anak, yang ditandai
dengan nyeri telinga, sulit tidur, dan keluarnya cairan kuning atau hijau dari hidung.
10) Pencegahan Batuk Pilek
a) Menjaga pola hidup sehat
b) Hindari asap rokok
c) Menjauhi penggunaan kompor kayu yang mengotori udara karena asap dari
pembakaran kayu dapat mengurangi daya tahan anak sehingga anak mudah terserang
batuk pilek
d) Sebisa mungkin menjauhi anak balita dari orang yang sedang terkena batuk pilek
e) Membiasakan anak mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang sesuatu yang
telah tersentuh oleh orang yang sedang terinfeksi batuk pilek. (Einsenberg,1998)
11) Penatalaksanaan Batuk Pilek
1. Penatalaksanaan farmakologi.
a) Dekongestan : Bertujuan melegakan hidung tersumbat. Obat jenis ini mempunyai
efek samping jantung berdebar-debar dan mmembuat anak gelisah. (Depkes RI,
2007).
b) Antihistamin : Ditunjukan untuk meredakan gejala bersin-bersin (Arifianto,2018 :
100). Beberapa antihistamin yang dapat diperoleh tanpa resep dokter antara lain:
klorfenon (CTM), promethazin, triprolidin, dll. Dosis CTM untuk anak umur 2-6
tahun 1 mg (Depkes RI, 2007).
c) Antipiretik : Dapat digunakan jika anak mengalami demam dan rewel. Inilah
satu-satunya jenis obat yang paling aman digunakan dan diperbolehkan untuk
diminum saat anak mengalami batuk pilek. Dosis yang dapat diberikan untuk anak
2 – 6 tahun adalah 1 – 2 sendok teh atau 120 – 250 mg. (Depkes RI, 2007).
2. Penatalaksanaan Non Farmakologi
 Minum banyak air putih, jangan minum soda atau kopi
 Berhenti merokok atau hindari asap rokok
 Menghirup air panas agar melegakan jalan napas
 Hindari makanan yang merangsang batuk seperti gorengan
 Hindari penyebab alergi (udara dingin, minuman dingin dan debu)
 Istirahat yang cukup (Djurnarko dan Hendrawati, 2011)

KASUS
A. Asma
Identitas Pasien
Tanggal kunjungan : 09-12-2018
No. Rekam medik : 7743 xx
Nama Pasien : AM
Umur : 3 tahun
Alamat : Bekasi
Status : ASKES
Pekerjaan :-

Ilustrasi Kasus
Seorang pasien anak laki-laki berumur 3 tahun melalui IGD masuk ke bangsal
anak Rumah Sakit di daerah bekasi pada tanggal 09 Desember 2018 dengan :
Anamnesa
• Keluhan Utama
• Sesak nafas sejak tadi pagi
• Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien AB laki-laki berumur 3 tahun dengan berat badan 11 kg masuk IGD pada
tanggal 09 Desember 2018 dengan keluhan sesak nafas sejak 5 jam sebelum masuk
rumah sakit, batuk berdahak, dan demam sejak 2 hari yang lalu, muntah sejak 1 hari.
Pasien mempunyai riwayat penyakit asma. Pasien saat masuk IGD di terapi dengan
IVFD 2A 10 tts/mnt, Bromheksin tab 3 x 2 mg, Paracetamol syr 3 x 1 cth, Nebu
Ventolin 2,5 mg tiap 6 jam, Cetirizin 1 x 2 mg, Amoksisilin Syr 3 x ½ cth.
• Riwayat Penyakit Dahulu : Asma
• Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada.

Pemeriksaan Fisik
No Pemeriksaan Hasil Keterangan
1 Kepala Normochepal Normal
2 Mata Conjungtiva anemis(-/-) Normal
3 THT NCH (+), faringitis hiperemis Tidak Normal
4 Leher Tidakadakelainan Normal
5 Dada Whezzing (+) Tidak Normal
6 Abdomen NTE tidak ada ,Bu tidak ada Normal
7 Urogenital Tidak diperiksa
8 Ekstremitas Hangat Normal
9 Kulit Normal Normal

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hb 11,7 g/dl 14 – 16 g/dL
Leukosit 14.300 /µL 5000 – 10000 /µL
40 – 48 % (Laki– laki)
Hematokrit 34 %
37 – 43 % (Perempuan)
Trombosit /platelet 410.000 /µL 150 – 400.103 /µL

Diagnosa Utama : Asma serangan sedang


Diagnosa sekunder : Faringitis hiperemis.
Penatalaksanaan
Tindakan yang diterima saat di RPA :
• IVFD 2A 10 tts/mnt
• Bromheksin tab 3 x 2 mg
• Paracetamol syr 3 x 1 cth
• Nebu Ventolin (Salbutamol) 2,5 mg tiap 6 jam
• Cetirizin 1 x 2 mg
• Amoksisilin Syr 3 x 1cth

ASSESMENT PADA PASIEN


NO DRP KETERANGAN PEN
ILA
IAN
1 Indikasi
yang
tidak 1. Pasien membutuhkan
diterapi terapi obat baru Iya
2. Pasien menderita Iya
penyakit kronik sehingga
membutuhkan obat lanjutan
3. Pasien membutuhkan Tida
kombinasi obat untuk k
memperoleh efek sinergis
4. Pasien beresiko Tida
mengalami kejadian yang tidak k
diharapkan yang dapat dicegah
dengan terapi profilaksis
2 Terapi Tida
tanpa 1. Pasien menerima obat k
indiksi tanpa indikasi
2. Terapi non obat Ya
(perubahan gaya hidup) lebih
sesuai untuk pasien
3. Pasien menerima Tida
beberapa obat padahal hanya k
satu terai obat yang
diindikasikan
4. Pasien menerima obat Tida
untuk mengatasi ESO obat lain k
yang sebenarnya dapat dicegah
3 Pemilih Tida
an obat k
yang 1. Pasien memiliki riwayat
tidak alergi terhadap obat yang
tepat diterima
2. Obat yang diterima Tida
pasien bukan merupakan obat k
paling efektif
3. Pasien KI dengan obat Tida
yang diterima k
4. Pasien menerima obat Ya
efektif, tetapi bukan obat yang
paling murah
5. Pasien menerima obat Tida
yang efektif tetepi bukan obat k
yang paling aman.
6. Obat yang diterima Tida
pasien tidak efektif terhadap k
bakteri penyebab infeksi
(bakteri resisten terhadap obat)
7. Pasien menerima Tida
kombinasi obat yang k
sebenarnya tidak diperlukan
4 Dosis 1. Dosis yang dihasilkan Tida
sub terlalu rendah untuk k
terapi menghasilkan respon yang
diinginkan
2. Kadar obat dalam darah Ya
berada dalam kisaran terapi
3. Frekuensi pemberian, Ya
durasi terapi dan cara
pemberian obat pada pasien
tidak tepat.
4. Waktu pemberian Tida
profilaksis tidak tepat k
(antibiotik untuk bedah)
5 Reactio 1. Pasien mengalami Tida
n reaksi alergi terhadap obat k
2. Pasien mengalami Tida
resiko mengalami eso k
(potensial)
3. Pasien mengalami Tida
idiosinkrasi terhadap obat k
4. Bioavaibiliti obat Tida
berubah akibat interaksi obat k
dengan makanan
5. Efek obat berubah
akibat inhibisi/induksi oleh Tida
enzim lain k
6. Efek obat berubah
akibat kandungan makanan Tida
yang dikomsumsi k
7. Efek obat dapat berubah
akibat penggantian ikatan
antara obat dengan protein oleh Tida
obat lain k
6 Overdo 1. Dosis obat yang Tida
sis diberikan terlalu tinggi k
2. Kadar obat dalam darah Tida
pasien melebihi kisaran terapi k
3. Dosis obat yang Tida
dinaikkan terlalu cepat k
4. Obat terakumulasi
karena pemberian dalam jangka Tida
panjang k
5. Frekuensi pemberian,
durasi terapi, dan cara Tida
pemberian obat pada pasien k
yang tidak tepat
7 Meneri 1. Pasien gagal menerima
ma obat regimen obat yang tepat karena Tida
adanya medication error k
2. Pasien tidak mampu
membeli obat (karena terlalu Tida
mahal untuk pasien) k
3. Pasien tidak memahami Tida
petunjuk penggunaan obat k
4. Pasien tidak mau makan Tida
obat (misalnya karena rasaa k
obat yang tidak enak)
B. PPOK
Nama : Ny A
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Keluhan : sesak nafas
Anamnesis
Keluhan Utama: Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :Keluhan sesak nafas sejak kurang lebih 6 hari sebelum

masuk rumah sakit. Sesak timbul pada saat pasien melakukan aktivitas seperti berjalan

20 meter dan sesak berkurang saat beristirahat.Saat sesak, pasien mengeluarkan suara

nafas “ngik” disertai dengan nyeri dada. Pasien juga mengeluh batuk-batuk berdahak 1

hari sebelum timbul sesak nafas. Batuk terkadang disertai dengan dahak kuning

kehijauan tanpa disertai dengan bercak darah. Batuk timbul kapan saja tanpa

dipengaruhi oleh waktu.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Sesak nafas pertama kali timbul 3 tahun lalu, awalnya

sesak timbul saat pasien melakukan aktivitas berat seperti berkebun. Keluhan memberat

sejak 6 bulan terakhir pasien sering keluar masuk rumah sakit karena sesak. Dalam satu

bulan sesak timbul kurang lebih 4 kali. Pasien pernah menderita penyakit TBC sekitar 5

tahun lalu dan sudah menjalani pengobatan selama 6 bulan dan dinyatakan sembuh.

Riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu.

Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : Normal

TD : 130/80 mmHg

Nadi : 86 x/menit

Laju respirasi : 36 x/menit


Suhu : 36,80C

Thorax : barrel chest (+)

Retraksi otot nafas (+)

Paru : Inspeksi: Simetris

Retraksi otot nafas (+)

Palpasi : VF menurun

Perkusi : Hipersonor

Auskultasi suara dasar : Vesikuler +/+

Auskultasi suara tambahan : wheezing +/+, ronkhi -/-

Pemeriksaan Penunjang

Hb : 11,7

Leukosit : 11.000

Ht : 38%

Trombosit : 202.000

SGPT/SGOT : 67/29 U/L (11-33 U/L)

BUN : 78 mg/dL (8-23 mg/dL)

Kreatinin : 0,8 mg/dL (0,7-1,2 mg/dL)

Natrium : 140 mmol/L (136-145 mmol/L)

Kalium : 3,9 mmol/L (3,5-5,1 mmol/L)

Assesment

 Dari hasil pemeriksaan rontgen thorax PA didapatkan kesan PPOK dan

klasifikasi di apeks pulmo kanan.


 Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

maka diagnosis pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut derajat berat dan bekas

TB.

Plan

 Tujuan terapi yang ingin dicapai ialah untuk mengurangi gejala, menurunkan

frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi

terhadap latihan fisik dan status kesehatan.

 Terapi farmakologi terapi Oksigen 2 liter/menit, pemberian nebulizer

(salbutamol + ipatropium bromida) tiap 8 jam, drip aminofilin 1 ampul dalam

500 cc ringer laktat 20 tetes per menit, injeksi dexametasone 3x5 mg, Antibiotik

ceftriaxone 2 gram/hari, ambroksol sirup 3 kali 2 sendok makan

C. Rhinitis Alergi
Identitas Pasien
Nama : EA
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun
Alamat : Cirajang
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Berobat : 12/07/2010
Keluhan Utama : Hidung meler sejak 6 tahun ini
Keluhan Tambahan : Bersin-bersin, pusing, mata sakit dan berair
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang wanita (19 tahun) datang ke RSUD cianjur, dengan keluhan hidung meler
sejak 6 tahun ini terutama pada saat pagi dan malam hari atau pada saat cuaca dingin.
Pasien sering mengalami kejadian ini berulang-ulang kali. Hidung kadang terasa sakit,
bersin-bersin, kepala pusing dan mata menjadi berair.
Riwayat Penyakit Terdahulu
Ketika kecil, pasien pernah alergi terhadap debu dan kulit menjadi merah-merah
dan gatal.
Riwayat Keluarga : Ayah menderita asma
Riwayat Pengobatan : Pasien berobat ke dokter umum, minum obat namun tidak
sembuh juga.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Utama : Sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
 Nadi : 84x /menit
 Pernapasan : 20x /menit
 Suhu : Afebris
 TD : 110/70 mmHg
Diagnosa : Rhinitis Alergi
Planning

 Tujuan terapi yang ingin dicapai ialah mengurangi gejala akibat paparan alergi,

hiperaktivitas non spesifik dan inflamasi.

 Terapi farmakologi diberikan loratadine tablet 10 mg dan destrometorfan (DMP)

tablet 15 mg.

D. Batuk dan Pilek

Resume

Seorang ibu Ny A datang ke Rumah Sakit bersama anaknya An B, anak laki-laki

berusia 4 tahun. Ny N mengatakan bahwa anaknya telah batuk berdahak sejak 3 hari

yang lalu, di sertai demam dan pilek dan sampai sekarang belum sembuh. Saat di rumah

anak hanya di berikan obat paracetamol namun panas anak belum juga turun.

Subjektif

Nama Anak : An. B

Jenis Kelamin : Laki-laki


Umur : 4 tahun

Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Perumaha kelapa gading

Anamnesis

Keluhan Utama: Ibu klien mengatakan anaknya batuk berdahak sejak 3 hari yang lalu

(25 Mei 2018), di sertai demam dan pilek dan sampai sekarang belum sembuh.

Riwayat Penyakit Sekarang: Sebelum masuk rumah sakit Pasien batuk berdahak di

sertai demam sejak 3 hari yang lalu tanggal 25 Mei 2018, pasien di bawa ke rumah sakit

jam 09.00 wib pada tanggal 28 Mei 2018. Saat di rumah anak hanya di berikan obat

paracetamol namun panas anak blum juga turun.

Riwayat Penyakit Dahulu: Ibu klien mengatakan pasien sebelumnya pernah masuk

rumah sakit 3X dengan penyakit Gastro enteritis (GE), kejang demam dan batuk pilek.

Riwayat Penyakit Keluarga: Kedua orang tua pasien pernah menderita batuk pilek

dan panas seperti yang di derita oleh anaknya,dan orang tua pasien tidak pernah

menderita penyakit keturunan seperti Asma, Diabetes mellitus, dan TBC.

Objektif

Keadaan Umum : anak tampak lemah

Kesadaran : compos mentis

Nadi : 90 kali/menit

Suhu : 37,8 0C

Pernapasan : 24 kali/menit

Berat Badan : 19 kg

Pengobatan Saat Ini


 Infuse RL=Ds ¼ Ns 18 tetes per menit

 Injeksi ceftriaxone 2 x 500 mg

 Injeksi antrain 3 x 200 mg

 Injeksi chloram 4 x 500 mg

 Injeksi dexametason 3 x 5 mg

Assesment

Anak umur 4 tahun dengan febris suspect infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)

Planning

1) Menjelaskan kepada ibu tentang keadaan anaknya dan hasil pemeriksaan.

 Anak terkena infeksi saluran pernafasan akut. Yang di maksud saluran pernapasan

adalah organ mulai hidung sampai paru-paru. Seperti batuk dan pilek yang di

derita pasien.

2) Mengobservasi tanda-tanda vital dan kesadaran anak setiap 8 jam.

 Hasil pemeriksaan pada jam 10.00 WIB : Kesadaran : compos mentis Nadi : 90

x/menit Suhu : 37,80 C Pernapasan : 24 x/menit

3) Menganjurkan pada ibu untuk memberikan makanan yang bergizi seperti nasi sayur,

lauk pauk, buah dan di lengkapi dengan memberikan susu. Sehingga gizi anak

terpenuhi dan anak tidak mengalami kekurangan gizi

4) Menganjurkan agar anak memperbanyak istirahat.

5) Memberikan kompres hangat pada saat badan anak panas 37,8 0C, sehingga badan

anak panas turun 36,50C pada jam 11.00 WIB.

6) Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian pengobatan.

 Memasang infuse RL 18 tetes permenit

 Injeksi chloram 4 x 500 mg


 Injeksi ceftriaxone 2 x 250 mg

 Injeksi antrain 3 x 200 mg

 Injeksi dexametason 3 x 5 mg

7) Menganjurkan pada ibu untuk menghindarkan anak dari udara yang terpolusi seperti

asap rokok ,asap kendaraan dan asap obat nyamuk, sehingga pasien terhindar dari

udara yang terpolusi dan dapat menghindarkan anak dari infeksi saluran pernafasan.
PELAYANAN KEFARMASIAN DAN PERAN APOTEKER DALAM
PENATALAKSANAAN PENYAKIT

Peran Apoteker
Pengobatan penyakit merupakan long term medication, oleh karena itu kepatuhan
pasien dalam menggunakan obat sangat diharapkan. Peran apoteker dalam
penatalaksanaan penyakit yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah terkait
obat yang dapat timbul pada tahapan berikut :
a. Rencana Pengobatan (Care Plan) Dalam tim terpadu, peran apoteker adalah
memberikan rekomendasi dalam pemilihan obat yang tepat berdasarkan kondisi
pasien yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil diagnosa dokter .
b. Implementasi Pengobatan
 Menyediakan obat (drug supply management)
 Pemberian informasi dan edukasi . Tujuan pendidikan kepada pasien adalah agar
mereka lebih mengerti dan memahami rejimen pengobatan yang diberikan
sehingga pasien dapat lebih berperan aktif dalam pengobatannya yang dapat
meningkatkan kepatuhan mereka dalam menggunakan obat. Kegiatan pemberian
Informasi dan Edukasi ini dapat diberikan dalam bentuk pelayanan Konseling
Obat atau dalam bentuk kegiatan Penyuluhan.
 Pedoman pemberian informasi dan edukasi :
a) Apoteker yang melakukan kegiatan ini sebaiknya membekali diri dengan
pengetahuan yang cukup mengenai asma dan pengobatannya disamping
memiliki rasa empati dan ketrampilan berkomunikasi sehingga dapat tercipta
rasa percaya pasien terhadap Apoteker dalam mendukung pengobatan mereka.
b) Pemberian informasi dan edukasi ini tidak hanya diberikan kepada pasien
tetapi juga kepada keluarganya terutama untuk pasien-pasien yang mengalami
masalah dalam berkomunikasi dengan mempertimbangkan latar belakang dan
pendidikan pasien dan keluarganya agar terjalin komunikasi yang efektif.
c) Mengumpulkan dan mendokumentasikan data-data pasien yang meliputi
riwayat keluarga, gaya hidup, pekerjaan dan pengobatan yang dijalani saat ini
temasuk obat-obat yang digunakan selain obat asma yang dapat berpengaruh
kepada pengobatan asma.
d) Penyampaian informasi dan edukasi melalui komunikasi ini sebaiknya juga
didukung dengan sarana tambahan seperti peragaan pemakaian inhaler,
rotahaler yang dapat meningkatkan pemahaman pasien dan keluarganya.
e) Kepatuhan pasien dalam pengobatan asma jangka panjang akan lebih baik
apabila : Jumlah obat yang dipergunakan lebih sedikit, Dosis perhari lebih
sedikit, Kejadian efek samping obat lebih jarang terjadi, Ada pengertian dan
kesepakatan antara dokter, pasien dan apoteker.
f) Membantu pasien dan keluarganya dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang mereka hadapi dalam penggunaan obat, jika perlu dengan melibatkan
tenaga kesehatan lain seperti dokter.
Informasi yang dapat disampaikan kepada pasien dan keluarganya :
 Mengenali sejarah penyakit , gejala-gejala dan faktor-faktor pencetus.
 Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien.
 Bagaimana mengenali serangan penyakit dan tingkat keparahannya; serta hal-
hal yang harus dilakukan apabila terjadi serangan termasuk mencari
pertolongan apabila diperlukan.
 Upaya pencegahan serangan pada pasien yang berbeda antar satu individu
dengan individu lainnya yaitu dengan mengenali faktor pencetus seperti olah
raga, makanan, merokok, alergi, penggunaan obat tertentu, stress, polusi.
 Hubungan penyakit dengan merokok
 Pengobatan penyakit (asma, ppok, batuk pilek serta rhinitis alergi) sangat
individualis dan tergantung pada tingkat keparahan asma.
 Secara garis besar pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu :
Pengobatan simptomatik , obat-obat yang digunakan pada serangan asma dan
bekerja cepat/segera bekerja. Pengobatan pencegahan, obat-obat yang
digunakan secara rutin untuk mencegah terjadinya serangan asma.
 Ada bermacam-macam obat dengan indikasi dan cara pemberian yang
bervariatif.
 Pemberian obat asma, atau ppok dapat dilakukan secara oral, parenteral dan
inhalasi (inhaler, rotahaler dan nebuliser) .
 Kapan obat-obat asma dan ppok dipergunakan, bagaimana cara
menggunakannya (sebaiknya dengan peragaan), seberapa banyak/sering/lama
obat-obat tersebut digunakan, efek samping apa yang mungkin dialami oleh
pasien serta cara mencegah atau meminimalkan efek samping tersebut.
 Mengingatkan pasien untuk kumur-kumur dengan air setelah menggunakan
inhaler yang mengandung kortikosteroid untuk meminimalisasi pertumbuhan
jamur di mulut dan tenggorokan serta absorpsi sistemik dari kortikosteroid.
 Apakah obat-obat asma atau ppok aman untuk diberikan kepada wanita hamil
dan apakah wanita dengan pengobatan asma dapat terus menyusui bayinya .
 Bagaimana cara penyimpanan obat asma, ppok, rhinitis serta batuk dan pilek
dan bagaimana cara mengetahui jumlah obat yang tersisa dalam aerosol
inhaler.
 Pengobatan asma adalah pengobatan jangka panjang dan kepatuhan dalam
berobat dan pengobatan sangat diharapkan.
 Apabila ada keluhan pasien dalam menggunakan obat segera laporkan ke
dokter atau apoteker.
Konseling
Untuk penderita yang mendapat resep dokter dapat diberikan konseling secara
lebih terstruktur dengan Tiga Pertanyaan Utama (Three Prime Questions) sebagai
berikut :
a. Apa yang dikatakan dokter tentang peruntukan/kegunaan pengobatan anda ?
b. Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat anda ?
c. Apa yang dikatakan dokter tentang harapan terhadap pengobatan anda?
Pemakaian pertanyaan Three Prime Questions yang diberikan saat konseling
dimaksudkan agar :
 Membantu pasien rawat inap, rawat jalan dan yang akan keluar dari rumah sakit
untuk memahami rencana pengobatan asma.
 Tidak terjadi tumpang tindih informasi, perbedaan informasi dan melengkapi
informasi yang belum diberikan dokter, sesuai kebutuhan .
 Menggali fenomena puncak gunung es dengan memakai pertanyaanpertanyaan
terbuka (open ended questions).

Monitoring dan evaluasi


Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan
keberhasilan terapi. Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan pencatatan data pengobatan
pasien (medication record).
DAFTAR PUSTAKA

Adams G.L., L.R. Boies dan P.A. Higler. 1997. Buku ajar penyakit THT Edisi ke 6. Jakarta:
EGC.
Alsagaff, H dan A. Mukti. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga Unversity Press.
Arifianto. 2018 . Orangtua Cermat, Anak Sehat. Jakarta : Gagas Media.
Baratawidjaja, K.G. 2000. Imunologi Dasar Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Becker, E.W. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Melbourne:
Cambridge University Press.
Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.
Jakarta : EGC.
Bousquet, J. et al. 2001. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2001
Update (In collaboration with the WHO). In : Journal allergy : vol 108 No 5.
Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan keparawtan dan Dokumentasi Keperawatan
Edisi 2. Jakarta : EGC.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta :
Depkes.
Depkes RI. 2007. Konsep Asuhan Kebidanan. Jakarta: Depkes.
Dhingra, P.L. 2010. Anatomy of Ear, in Disease of Ear, Nose, and Throat.5rd ed. New
Delhi : Elsevier.
Djunarko, I. Dan Hendrawati, Y.D. 2011. Swamedikasi yang baik dan benar. Citra Aji
Parama, Yogyakarta.
Eisenberg, N., & Fabes, R.A.(1998). Prosocial Development. Dalam W. Damon,
(Penyunting). Handbook of child psychology: social, emotional, and personality
development (Vol. 3, pp. 701–778). New York: Wiley.
Fernandez, G. J. (2017). Sistem Pernafasan. Bali: FK Universitas Udayana.
GINA (Global Intiative for Asthma) : 2011.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2011. Global Strategy
for Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease.
Greiner, N.A., Hellings, P.W., Ratiroti, G., and Scadding, G.K. 2011. Allergic Rhinitis.
Lancet 2011; 378: 2112-22. Available from:
http://search.proquest.com/docview/913119285/fulltextPDF?accountid=50257
Harmadji, S. 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.
Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan
Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical Immunology”,
Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.
Irawati N, Kasakeyan E, dan Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta:
FKUI.
Mansjoer, A. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Fakultas Kedokteran Univ
Indonesia.
Ngastiyah, 2003. Perawatan anak sakit edisi 2.EGC: Jakarta.
Ngastiyah. 2005. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Edisi I. EGC: Jakarta
Overdoff, D. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta : Binarupa Aksara.
Price, S.A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6, Vol. 2. Jakarta : EGC.
Sumarman, I. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rinitis
Alergi, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD.
Soepardi, E.A., N. Iskandar, J. Bashiruddin, dan R.D. Restuti. 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan, Telinga Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi Ke 7. Jakarta :
Badan Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai