Pulpa merah : berisi korda billroth/pulpa (sarang utama monosit & makrofag) dan sinusoid (darah)
Pulpa putih : berisi folikel limfoid (limfosit B) dan periarteriolar lymphoid sheaths/PALS (limfosit T)
Semua organ hematopoetik (lien, hati, ginjal, sumsum) memiliki kapiler fenestrata/sinusoid guna
mengeluarkan eritrosit dari pembuluh darah/memasukan ke pembuluh
Beda sumsum
Pembentukan sel darah (hematopoesis) melalui beberapa stadium yang dimulai dari kehidupan awal
embrionik—stadium mesoblas (sakus vitelinus), stadium hepatika, and stadium mieloid (sumsum
tulang). Selama dalam kehidupan awal fetal dan embrio, haematopoiesis terjadi pada sakus vitelinus
(hanya eritroblas) and hati (semua sel darah). Hematopoesis terbagi menjadi dua gelombang:
Gelombang primitif dan gelombang definitif. Gelombang primitif terdiri dari prekursor sel darah
(progenitor eritroid) untuk membentuk eritrosit dan makrofag, muncul pertama pada sakus vitelinus
(ekstra-embrionik) ketika perkembangan embrio minggu ke-3, berfungsi fasilitasi oksigenasi jaringan
karena perkembangan cepat. Hematopoesis definitif terdiri dari sel induk hematopoetik/HSC
(multipoten sel darah), muncul pada mesoderm intraembrionik aorta/gonad/mesonephros (AGM) dan
plasenta setelah beberapa minggu. HSC migrasi dari hati fetal lalu ke sumsum. Beberapa formasi sel
darah juga terjadi di Lien (semua sel darah), nodus limfatik dan timus (limfosit). Sumsum tulang mulai
membentuk sel darah pada bulan ke-3 & 4 dan setelah lahir akan menjadi lokasi eksklusif formasi sel
darah. Pada usia muda, seluruh sumsum tulang bekerja membentuk sel darah. Pada akhir masa kanak,
haematopoiesis menjadi terbatas pada tulang pipih seperti sternum, iga, iliakus and vertebrae and ujung
proksimal tulang pipa. Pada area skeletal lainnya, tempat hematopoetik akan diisi sel lemak (sumsum
lemak kuning inaktif), tetapi saat kondisi dibutuhkannya sel darah akan menjadi sumsum merah aktif.
Pada kasus ekstrem (seperti anemia kronik berat), aktivitas hematopoetik pada organ lain seperti hati
dan lien (hematopoetik ekstramedularis) akan aktif kembali.
Eritropoetin dihasilkan oleh ginjal (90%) dan hati (10%). Berfungsi menstimulasi sel progenitor pada jalur
eritroid (CFU-E dan BFU-E) untuk proliferasi & diferensiasi
Eritrosit
Biokimia Hemoglobin
Bertanggung jawab dalam transpor oksigen dari paru ke jaringan dan karbondioksida dari
jaringan ke paru. Berat molekul 64,500 dalton, dan terdiri dari heme dan globin. Globin sendiri terdiri
dari 2 pasang rantai polipeptida. 1 grup heme terikat dengan setiap rantai polipeptida. Proposional
relatif dengan hemoglobin adalah: Dewasa (HbA 97%, HbA2 2,5%, dan HbF 0,7%) dan Bayi (HbF 80% dan
HbA 20%). Pada masa embrionik terdapat terdapat 3 jenis hemoglobin yaitu Gower I (zeta2epsilon2),
Gower II (alfa2epsilon2) dan Portland (zeta2gamma2).
Hemoglobin A terdiri dari sepasang alfa & sepasang beta rantai polipeptida. Hemoglobin Fetal(F)
terdiri dari sepasang rantai alfa dan sepasang rantai gamma. Dalam perkembangan fetus, sintesis zeta
dan epsilon diganti rantai alfa dan gamma. Setelah lahir, produksi rantai gamma akan berubah menjadi
beta dan delta.
Porfirin merupakan cincin organik yang terikat jembatan metin; konjugasi mereka untuk
diversitas ion logam seperti Mg, Co dan Fe menjadi pigmen (klorofil, vitamin B12 dan heme). Heme
merupakan kompleks zat besi dengan protoporfirin IX, yang dimana-mana terletak di sel aerobik dan
penting untuk oksidasi-reduksi. Heme sebagai komponen hemoprotein, termasuk sitokrom (untuk
transfer elektron rantai pernapasan mitokondria, dan metabolisme obat), oksidase (spt NADPH
oksidase) dan peroksidase, dan katalase dan sintase, juga untuk penyimpanan oksigen dan transpor
molekul, mioglobin dan hemoglobin.
Pada manusia terdapat 5 porfirin yg penting yaitu uroporfirin (2 isomer), koproporfirin (2
isomer), dan protoporfirin (1 isomer). Dalam proses pembentukan Heme, akan terbentuk I dan III
isomer. Uroporfirinogen I dan koproporfirinogen I tidak memiliki fungsi, setelah terbentuk
uroporfirinogen I akan terjadi dekarboksilasi menjadi koproporfirinogen I dan diekskresi dalam bentuk
teroksidasi koproporfirin I ke urin. Perbedaan antara keduanya adalah pada tipe I, no.7 & 8 diisi asetat
dan propionat. Sedangkan pada tipe III terbalik, dan pada protoporfirin IX, asetat terdekarboksilasi
menjadi grup metil.
Biosintesis Asam δ-aminolevulinik/ALA merupakan kondensasi suksinil CoA dan glisin oleh enzim
ALA sintase dengan hasil produk adalah ALA, CO2 dan CoA bebas.
Porfobilinogen merupakan zat tidak stabil, dalam beberapa jam setelah terpapar udara dan
cahaya akan membentuk porfobilin (warna oranye-merah). Porfobilinogen pada kondisi pH asam dapat
kondensasi tanpa enzim menjadi uroporfirinogen makrosiklik tetrapirol, dimana terjadi produk reaksi
sebelumnya berbentuk tetrapirol linear disebut hidroksimetilbiliane (HMB) dan terjadi kondensasi
“head-to-tail” menjadi makrosiklik. Sementara pada pH netral, reaksi dikatalisa HMB
sintase/uroporfirinogen I sintase/porfobilinogen deaminase. HMB sintase pertama mengkatalisa
kondensasi head-to-tail dari 4 molekul porfobilinogen, menghasilkan tetrapirol aminometil. Tetrapirol
kemudian deaminasi menjadi makrosiklik (disebut juga preuroporfirinogen), lalu dikatalisa
uroporfirinogen III sintase menjadi uroporfirinogen III.
Koproporfirinogen III merupakan dekarboksilasi enzimatik dari 4 sisi rantai asam asetat
uroporfirinogen III oleh enzim uroporfirinogen dekarboksilase.
Insersi zat besi kedalam protoporfirin IX untuk membentuk heme dikatalisa oleh enzim
ferrokelatase pada matriks mitokondria, tidak perlu kofaktor.
Dalam regulasi noneritroid ALAS1, sekitar 15% pembentukan heme oleh hati/hepatosit dengan
ALAS1. ALAS1 diregulasi oleh Heme, bila jumlah Heme intrasel tinggi.
Regulasi eritroid ALAS2 melibatkan induksi enzim jalur biosintetik heme, regulasi zat besi,
uptake dan pengiriman ke ferokelatase pada mitokondria, dan regulasi ekspor heme baru dari
mitokondria ke sitosol untuk berikatan dengan globin. Pada heme intrasel sel eritroid, induksi diatur
enzim oleh transkripsi NF-E2 dan inhibisi oleh Bach1, dan ada pula Heme-regulated Inhibitor/HRI. Pada
kondisi deplesi zat besi sitosolik, terjadi prevensi translasi.
Kontrol eritropoesis menyebabkan perubahan konsentrasi hemoglobin pada darah yang memicu
perubahan stress oksigen jaringan pada ginjal, terutama respon hipoksia dimana mengeluarkan hormon
Epo. Hormon tsb memicu diferensiasi sel progenitor eritroid, ekspansi sumsum eritroid dan peningkatan
produksi sel darah merah.
Stress oksigen jaringan tergantung pada suplai dan demand, dimana dipengaruhi aliran darah,
konsentrasi hemoglobin darah, saturasi oksigen hemoglobin, dan afinitas oksigen hemoglobin. Seperti
pada anemia berat dapat terjadi peningkatan curah jantung dan frekuensi pernapasan, dan afinitas
hemoglobin diturunkan melalui efek 2,3-bifosfogliserat. Hipoksia jaringan menjadi stimulus dari
eritropoesis (oleh Epo), dimana sensor terletak pada ginjal dan produksi Epo diinduksi oleh konstriksi
a.renal atau hipoksia pada ginjal.
Globin memiliki setidaknya mengalami 4 stadium organisasi struktural : primer (sekuens asam
amino linear), sekunder (menyebabkan perubahan struktur), tersier (pemisahan sekuens domain), dan
quartener (beberapa rantai polipeptida menjadi 1 molekul). Heme terikat pada heliks E dan F.
Eritropoetin
Mulai terbentuk pada hari ke14 gestasi pada hati dan minggu ke3 pada ginjal. Sel yang membuat
pada parenkim ginjal dan hati. Pada ginjal ditemukan pada intestisium parenkim ginjal (dluar membran
basal tubulus), dominan pada korteks dalam dan medulla luar, bentuk selnya sel interstisial tipe I mirip
fibroblas. Epo juga ditemukan sedikit pada otak (mencegah iskemik) dan sumsum tulang. Dalam keadaan
normal, eritropoetin dihasilkan terus.
Epo akan berikatan pada EpoR (receptor), aktivasi akan memberi sinyal intrasel pada sel eritroid
imatur guna menjaga keberlangsungan hidup sel (inhibisi apoptosis), dan memicu proliferasi eritroblas
dan diferensiasi. EpoR tidak ditemukan pada retikulosit atau eritrosit. Namun EpoR juga ditemukan pada
megakariosit, sehingga terjadi diferensiasi dan mempengaruhi jumlah platelet.
Karakteristik
Bentuk eritrosit normal seperti bola gepeng dengan lekuk bilateral, sering disebut diskus
bikonkaf. Ukuran 7-8m dan area tengah pallor. Volume selular rata2 dari 80-100 fl. Volume eritrosit
hampir sebanding luas permukaan sehingga memaksimalkan difusi, dan mampu menyesuaikan bentuk
dan arah aliran darah pada pembuluh kecil hingga 4m. Ukuran sel darah merah matur dan konten
hemoglobin dependen pada ukuran sel prekursor eritroid pada akhir pembelahan sel (retikulosit) pada
eritropoesis. Ukuran retikulosit 24-35% lebih besar dari eritrosit walaupun konten total hemoglobin
sama (konsentrasi lebih rendah). Eritrosit juga mampu mempertahankan integritas membran, bertahan
terhadap stress tegangan, elongasi cepat dan melipat pada mikrosirkulasi. Hal tersebut karena membran
eritrosit memiliki elasitas tinggi dan viskositas rendah. Selain itu, konten lipid membran, distribusi lipid,
protein sitoskeletal dan protein transmembran mempengaruhi juga.
Fungsional
Sebuah hemoglobin memiliki 4 globin dan setiap globin ada heme yang akan berikatan dengan
Oksigen (membentuk oksihemoglobin). Setiap gram Hb ketika tersaturasi penuh akan berikatan 1,34ml
Oksigen HbF memiliki afinitas oksigen lebih tinggi untuk bersaing dengan darah ibu, hal tsb dikarenakan
rantai gamma tidak dapat diikat 2,3-bifosfogliserat. Derajat saturasi berhubungan dengan tekanan
oksigen, dimana normalnya pada arteri 100mmHg dan vena 35mmHg.
Perubahan pada pH mempengaruhi afinitas oksigen dimana semakin asam maka afinitas
semakin turun. Karena jaringan banyak CO2 dan sel darah merah mengubah jadi asam karbonat (oleh
karbonat anhidrase), pH lebih rendah pada jaringan daripada di arteri sehingga oksigen masuk jaringan.
Pada paru-paru, oksigen diambil dan CO2 dilepas sehingga pH naik dan afinitas oksigen shift to the left.
Salah satu faktor lain adalah 2,3-DPG/difosfogliserat yang bisa mengurangi afinitas (dengan berikatan
pada hemoglobin), berfungsi untuk meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan.
Transpor CO2 tidak dengan terikat heme melainkan mengalami reaksi menjadi asam karbonat
(karbonat anhidrase), kemudian H+ terlepas (menjadi H+ dan HCO3-) oleh efek Bohr. HCO3- bertukaran
dengan Cl- yang disebut chloride shift. Bikarbonat akan dibawa melalui plasma ke paru-paru, dimana
pCO2 rendah dan memicu reaksi terbalik sehingga CO2 dapat keluar.
Pembentukan energi oleh sel darah merah berasal dari glukosa yang mengalami glikolisis
menjadi laktat.
Destruksi Eritrosit
Mekanisme destruksi pada usia 100-120 hari hingga sekarang masih belum tahu, hipotesis
penyebabnya karea perubahan enzim, kehabisan energi, perubahan keseimbangan kalsium, cidera
oksidatif, antibodi dll. Pada keadaan normal, 80-90% destruksi eritrosit normal terjadi tanpa pelepasan
hemoglobin ke plasma. Sebagian besar proses destruksi bersifat ekstravaskular oleh makrofag di Lien
dan sedikit pada hati dan sumsum, dan 10-20% secara intravaskular.
Hemolisis ekstravaskular dilakukan oleh heme oksigenase yang dimiliki sel fagosit di Lien, hati
dan sumsum. Zat besi dari degradasi heme disimpan dalam makrofag sehingga kejadian destruksi dan
degradasi hemoglobin umumnya pada fagosit. Pada eritrosit yang rusak berat akan mengalami destruksi
pada organ mengandung makrofag, tapi terutama di hati karena peredarannya besar. Namun pada
eritrosit tua akan mengalami perubahan pada Lien
Hemolisis intravaskular dapat terjadi akibat lisis osmotik (tidak pada kondisi normal) dan
fragmentasi eritrosit. Fragmentasi adalah kehilangan bagian dari membran sel sehingga berbentuk
schizosit, diakibatkan oleh stres tegangan, kerusakan endotel, atau deposisi fibrin, ditambah
kemampuan reparasi sel terbatas.
Hemoglobin intravaskular meningkat pada hemolitik anemia, infeksi, atau trauma. Plasma
hemoglobin bisa mencegah degradasi NO, meningkatkan methemoglobin dan nitrat, sehingga bisa
terjadi distonia otot polos & disfungsi endotel. Dalam keadaan hemoglobin rendah di sirkulasi,
haptoglobin akan mengikat dan cegah oksidasi. Pencegahan berikutnya oleh Hemopeksin.
Pada keadaan normal, sekiranya 25mg zat besi dikonsumsi perhari oleh eritroblas untuk
biosintesis heme. Karena konsumsi perhari zat besi hanya 1-2mg, maka daur ulang sangat penting.
Heme oksigenase penting dalam mekanisme katabolisme heme, dan terdapat 2 isoform: HO-1
dan HO-2. Oksidase akan memicu pemotongan jembatan alfa-metin heme, dan menghasilkan zat besi,
CO dan biliverdin IXα. NADPH-sitokrom P450 reduktase berperan dalam mensuplai elektron dan aktivasi
oksigen. Biliverdin IXα, dimana inhibitor HO, akan dikonversi menjadi bilirubin IXα oleh biliverdin
reduktase. HO-1 mudah diinduksi berbagai stimulus (logam, hipoksia/hiperoksia, deplesi glutation,
hormon dll), dan diregulasi oleh biliverdin reduktase & hilangnya stimulus. Degradasi heme oleh HO-1
terjadi di makrofag eritrofagositik pada hati, lien dan sumsum, melepaskan besi yang akan dibawa oleh
ferroportin ke darah lalu diikat transferin atau disimpan dalam bentuk feritin dalam makrofag. HO-2
terdapat diberbagai sel dan diaktivasi glukokortikoid.
Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut air dan akan berikatan dengan albumin, apabila
tidak mampu/berlebihan akan memicu ke BBB, plasenta dan endotel vaskular/hepatosit sehingga terjadi
jaundice. Pada dewasa, <5% bilirubin dalam bentuk terkonjugasi, dimana bentuk ini dapat larut air dan
dapat masuk filtrat glomerulus ke urin.
Metabolisme bilirubin di hati terdari 3 fase yaitu: uptake, konjugasi dan ekskresi. Dalam
kecepatan, ekskresi merupakan langkah terlama.
Pada sinusoid hati, kompleks albumin-bilirubin disosiasi, dan bilirubin masuk ke hepatosit untuk
berikatan dengan ligandin ke ER. Didalam hepatosit, bilirubin dikonjugasi dengan 2 asam glukuronik
membentuk bilirubin diglukuronid (80% total bilirubin dalam bilus) oleh uridin difosfat-glukuronil
transferase (UGT). Bilirubin terkonjugasi lebih larut air daripada bilirubin tak terkonjugasi, sehingga
memungkinkan ekskresi bilier. Pada penyakit hepatoselular atau obstruksi bilier, beberapa bilirubin
terkonjugasi dan tidak terkonjugasi mengalami regurgitasi ke plasma. Dalam beberapa kasus seperti
penyakit hemolitik akan meningkatkan bilirubin tak terkonjugasi (terjadi hiperbilirubinemia).
Definisi Anemia
Merupakan penurunan massa sel darah merah [Hematology 6 th], insufisien untuk mengirimkan
oksigen yang cukup ke jaringan perifer [Wintrobes]. Dalam perkembangan kehidupan, Hb akan
meningkat pada lahir lalu turun setelah 1-2 bulan, pada masa pubertas akan meningkat hingga usia 18
tahun, dan turun pada usia 70 tahun.
Untuk ukuran Hb, umumnya memakai gram per deciliter (g/dL); hematokrit (Hct: disebut packed
cell volume/PCV atau volume of packed red blood cells/vPRC) dimana mempresentasikan porsi volume
darah oleh sel darah merah, biasa dengan persen. Cara mengukur:
Berdasarkan WHO, batas bawah Hb pada orang dewasa wanita 12,0 g/dl dan pria 13,0 g/dl,
untuk ibu hamil pada trimester I 11g/dl, trimester II 10,5g/dl dan trimester III 11g/dl. Pada orang tua
sangat umum terjadi anemia, umumnya karena def.besi, B12 atau folat, menurunnya testosteron, dan
akibat produksi Epo turun. Pada bayi dan anak, saat lahir batas bawahnya 14,0 g/dl dan menurun
menjadi 11 g/dl pada usia 1 tahun, MCV juga menurun karena anemia fisiologis bayi (adaptasi hipoksia
intrauterin dengan lingkungan ekstrauterin penuh oksigen). Pada usia 1-2 tahun, Hb turun jadi 10,7 g/dl
(NHANES II Study). Pada anak, 2,3-DPG lebih banyak daripada dewasa (anemia fisiologis masa kanak).
Klasifikasi
Berdasarkan Mekanisme Anemia
a. Anemia Hipoproliferatif
Manifestasi ketidakmampuan menghasilkan jumlah eritrosit yang cukup sesuai sinyal.
Tandanya adalah hitung jumlah retikulosit rendah. Etiologi penyebab karena hipoproliferasi
prekursor pada sumsum (pada mielophthisis/transplantasi sumsum) atau maturasi abnormal
pada prekursor (anemia megaloblastik).
b. Anemia Hemolitik/hiperproliferatif
Tandanya adalah peningkatan hitung jumlah retikulosit. Beberapa ciri lainnya adalah
peningkatan laktat dehidrogenase, peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, dan penurunan
haptoglobin, juga dapat dilihat dengan perubahan pada apusan darah tepi. Etiologi pada
kongenital adalah hemoglobinopati, enzimopati (G6PD defisiensi), gg.membran. Etiologi didapat
adalah autoimun, mikroangiopati, akibat infeksi, dan gangguan membran akibat penyakit hati
dan hemoglobinuria nokturnal paroksismal.
c. Anemia Kehilangan Darah
Kehilangan darah secara akut melalui hemorrhagik (beberapa jam) mampu
menyebabkan penurunan pada konsentrasi hemoglobin. Pada kehilangan darah secara kronik
akan memicu anemia hipoproliferatif karena def.besi.
Hitung retikulosit = retikulosit terhitung/1000 eritrosit x 100% ==> Normal 0,5-2,5% (dewasa), 2-
5% (baru lahir)
Berdasarkan Ukuran Eritrosit
a. Anemia Mikrositik
Ukuran sel darah mengecil karena penurunan produksi hemoglobin. Penyebab
umumnya adalah produk globin kurang (thalasemia), terhambatnya pengiriman besi ke heme
(inflamasi), kurangnya zat besi (def.zat besi), dan defek pada sintesis heme (anemia
sideroblastik).
b. Anemia Normositik/normositer
MCV dalam batas normal namun hemoglobin dan hematokrit turun. Umumnya pasien
asimptomatik dan ditemukan kebetulan. Penyebab anemia adalah penurunan produksi sel
darah merah normal (anemia penyakit kronik, anemia aplastik), peningkatan penghancuran atau
kehilangan sel darah (hemolisis, posthemorrhagik), peningkatan volume plasma tidak
terkompensasi (kehamilan, cairan berlebih) atau kombinasi kondisi anemia mikrositik dan
makrositik.
c. Anemia Makrositik
Terbagi menjadi dua; megaloblastik (ditemukan makroovalosit, hitung retikulosit naik)
dan nonmegaloblastik (eritrosit hanya membesar). Pada nonmegaloblastik sering karena
alkoholisme, dan pada megaloblastik penyebabnya adalah defisiensi nutrisi (vit B12, folat), obat,
gangguan sumsum tulang (mielodisplasia, leukemia) dll. Megaloblastik akibat vitamin B12 atau
folat akan mengganggu eritropoesis pada eritroblas (terjadi defek sintesis DNA).
Berdasarkan Kromia/Warna Eritrosit
Menghitung MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration), normalnya 32-36 g/dL. Untuk
MCH normalnya 28-34 picograms (pg)/sel.
a. Anemia Hipokrom
Karena konsentrasi hemoglobin setiap eritrosit menurun, warna merahnya memudar.
Penyebabnya sama pada mikrositik.
b. Anemia Normokrom
Penyebabnya sama normositik.
c. Anemia Hiperkrom
Akibat banyaknya jumlah hemoglobin pada eritrosit dan penurunan jumlah eritrosit,
warna merahnya meluas. Penyebab tersering adalah defisiensi vitamin B12, folat dan anemia
pernisiosa.
a. Ringan
Hemoglobin berada dibawah batas bawah hingga 10,0 g/dl.
b. Sedang
Hemoglobin 10,0-7,0 g/dl.
c. Berat
Hemoglobin <7,0 g/dl
Berdasarkan WHO?
Berdasarkan Lankowsky?
Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar MCV, MCH
dan MCHC turun
FEP meningkat
Ferritin serum menurun
Fe serum menurun
TIBC meningkat
Respon terhadap pemberian preparat besi
i. Retikulositosis mencapai puncak pada hari 5-10 setelah pemberian
ii. Kadar Hb meningkat 0,25-0,4 g/dL atau PCV meningkat 1%/hari
Sumsum tulang
I. Tertundanya maturasi sitoplasma
II. Pada pewarnaan tidak ditemukan besi (basophilic stippling negatif)
Epidemiologi
Menurut Riskesdas 2013, secara Nasional, anemia di Indonesia 21,7% terutama pada balita
28,1%, menurun dan meningkat terus mulai dari usia 35 tahun. Selain itu, ibu hamil juga memiliki risiko
tinggi terhadap anemia 37,1%, terutama pada pedesaan 37,8%.
Etiologi
Dasar penyebab anemia def.zat besi adalah kehilangan darah, diet rendah, absorbsi terganggu
dan kehamilan [Mayoclinic].
Perdarahan merupakan penyebab paling umum, biasa diikuti dengan konsumsi zat besi kurang.
Perdarahan GIT merupakan penyebab utama pada dewasa, bisa karena perdarahan GI atas
(duodenum, ulkus gaster, gastritis), NSAID, divertikulosis & divertikulitis, neoplasma dan parasit.
Yang tersering kedua adalah menstruasi.
Donor darah
Pada negara berkembang, penyebab paling banyak adalah parasit, seperti Trichuris (perdarahan
usus), Hookworm (spt Necator americanus), dan Schistosomiasis (mansoni pada usus,
hematobium pada urinarius).
Helicobacter pylori dan atrofi gaster mengganggu penyerapan (ganggu pH)
Operasi gastrektomi (gangguan pH)
Penyakit celiac (gluten sensitif, idiopatik steatorhea, sprue) bisa picu malabsorpsi
Defisiensi Tembaga: gangguan pada fungsi hephaestin
Gagal ginjal kronik dengan hemodialisis (kehilangan darah akibat proses dialisis dan tes)
Runner’s Anemia, terjadi pada pelari jarak jauh. Dikarenakan hemolisis dengan aktivitas tinggi
menyebabkan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Dapat terjadi perdarahan GIT akibat stres,
iskemi usus, dan efek lari.
Penurunan total zat besi saat lahir (biasa karena prematur)
Pertumbuhan dan perkembangan anak
Kehamilan dan laktasi (laktasi kurang berpengaruh besar karena cuma hilang 0,5-1mg/hari)
Faktor Risiko
[Mayoclinic]
Perempuan memiliki risiko lebih tinggi karena mens dan kehamilan. Bayi prematur/BBLR yang
tidak mendapat cukup ASI/formula. Obesitas meningkatkan hepcidin sehingga menurunkan absorpsi.
Patogenesis
Penyerapan, dan Metabolisme Zat Besi
Zat besi tidak aktif dibuang oleh tubuh, hanya terbuang lewat sel epitel mati oleh tubu, kira-kira
1-2mg pada dewasa. Selain dari epitel, keringan dan urin juga mengeluarkan sangat sedikit. Besar
absorpsi zat besi juga disesuaikan dengan diet, hanya 1-2mg/hari. Penyerapan zat bisa meningkat hingga
3-5mg/hari bila terjadi deplesi.
Absorpsi zat besi terjadi pada duodenum, dan manusia dengan mamalia omnivora memiliki 2
jalur absorpsi besi: (1) uptake besi heme dan (2) besi ferrous/nonheme (Fe2+). Asupan sendiri diambil
dari hemoglobin, mioglobin, dan protein heme lain dari makanan daging, ada pula dari sayuran hijau.
Eksposur terhadap asam dan protease pada asam lambung akan melepas heme dari apoprotein. Ketika
heme masuk sel, cincin porfirin akan dirusak heme oksigenase, lalu mengikuti jalur nonheme. Sementara
diet nonheme umumnya dalam bentuk ferrik hidroksida atau terikat molekul organik seperti fitat,
oksalat, gula, sitrat, laktat dan as.amino. pH gaster penting dalam melarutkan zat besi inorganik. Selain
itu, ada pula zat yang meningkatkan penyerapan (askorbat/vitC, jaringan hewan, gula keto, asam
organik, as.amino) dan menurunkan penyerapan (fitat, polifenol, kalsium) zat besi inorganik.
Absorpsi nonheme zat besi terjadi di duodenum, dimana ferrous masuk lewat Divalent Metal
Iron Transporter 1/DMT1. DMT1 ini akan meningkat saat tubuh kekurangan zat logam seperti besi.
Perubahan Fe3+ menjadi Fe2+ difasilitasi oleh sitokrom duodenum, agar absorpsi dapat terjadi.
Sebagian zat besi yang tidak masuk plasma akan dipakai oleh enterosit tsb atau disimpan dalam ferritin.
Ferrous masuk ke plasma lewat ferroportin lalu dioksidasi hephaestin agar bisa dibawa transferin.
Absorpsi ferrous diregulasi oleh hepcidin dengan mendegradasi ferroportin. Hormon hepcidin
sendiri diregulasi oleh eritropoesis bila terjadi peningkatan aktivitas eritropoetik akibat perdarahan,
hemolisis, atau pemberian eritropoetin.
Zat besi yang berlebihan akan masuk ke hati untuk disimpan atau dibentuk heme protein seperti
mioglobin dan sitokrom. Transferin akan membawa zat besi ke dalam normoblas dan sel lainnya dengan
berikatan pada reseptor permukaan, termasuk ke plasenta. Pemasukan zat besi ke sitosol memerlukan
endosom, dan masuknya ke sitosol membutuhkan pH asam, dan lewat DMT1. Hampir semua makrofag
memiliki kemampuan mengembalikan zat besi ke plasma, kecuali makrofag alveolar.
Patogenesis Anemia Zat Besi
Terdapat 3 faktor patogenik pada anemia def.zat besi, yaitu (1)Sintesis hemoglobin terganggu
karena suplai zat besi kurang, (2)Defek generalis proliferasi sel, dan (3)Lama hidup prekursor eritroid
dan eritrosit turun (terutama pada anemia berat).
Dengan transferin turun dibawah kebutuhan minimal, eritrosit protoporfirin akan meningkat
karena protoporfirin lebih banyak dari besi untuk sintesis. Produksi globin akan turun dan setiap sel
dibentuk akan mengandung lebih sedikit hemoglobin, menjadi mikrositik dan hipokrom. Produksi globin
diatur oleh jumlah heme, karena bila berlebih dapat memicu apoptosis. Pembentukan eritrosit juga
berkurang, walaupun terjadi eritroid hiperplasia pada sumsum. Hal tsb dikarenakan kematian sel eritroid
yang cepat sehingga zat besi langsung dipakai kembali sumsum, untuk buat eritrosit lagi (“eritropoesis
inefektif”).
Pada kondisi defisiensi besi, lama hidup eritrosit memendek. hal tsb dimungkinkan karena
terjadinya gangguan MCHC, MCH, MCV dan stres oksidatif sehingga terjadi deformitas.
Stadium Perkembangan Defisiensi Zat Besi
Prelaten defisiensi besi/deplesi besi: ada reduksi cadangan besi tanpa penurunan serum besi.
Laten defisiensi besi/eritropoesis: ketika cadangan besi habis tetapi hemoglobin masih normal
Patofisiologi
Manifestasi klinis anemia zat besi berhubungan dengan transpor oksigen terganggu dan kurangnya
hemoglobin. Tergantung derajat anemia, pucat, mudah lelah, dispnea dan takikardi dapat terjadi. Atrofi
epitel menyebabkan pucat lilin (pada optic disc), rambut & kuku rapuh, kadang-kadang deformitas kuku
jari seperti sendok, lidah rata, luka pada sudut mulut, dan kadang disfagia serta penurunan sekresi asam
lambung. Kadang bisa menyebabkan pica.
Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
- Penampilan gg.perkembangan, malnutrisi atau penyakit kronis?
- Pallor konjungtiva/mukosa
- Pigmentasi abnormal
- Ikterus --> anemia hemolitik
- Spider nevi --> penyakit hati kronis, hamil
- Ptekie
- Purpura
- Ulserasi
- Eritema palmar
- Muka tampak bengkak --> pengobatan kortikosteroid? Alkohol?
- Penipisan pada alis mata
- Defek kuku
- Pola vena menonjol abnormal pada dinding abdomen --> penyakit hati/hipertensi portal
- Edema tungkai bilateral --> kelainan pada jantung, ginjal atau hati
- Edema tungkai unilateral --> obstruksi limfatik
2. Palpasi
- Edema tungkai
- Hepatomegali dan splenomegali
- Pemeriksaan rektal (rektal toucher) dan pelvis --> tumor/infeksi
3. Perkusi
4. Auskultasi
- Pembesaran jantung --> menilai durasi dan berat anemia
- Murmur --> tanda endokarditis bakterial (anemia normositik)
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan serum besi, total iron-binding capacity (TIBC) dan serum ferritin
- Defisiensi zat besi : TIBC meningkat, transferin turun, feritin turun, serum besi turun
a. Defisiensi zat besi absolut : Tanda perdarahan dari lesi GIT termasuk malignansi. Ciri-ciri
adalah serum besi rendah, transferin rendah, TIBC meningkat dan feritin rendah
b. Defisiensi besi fungsional : tidak cukupnya suplai besi sewaktu eritropoesis terstimulasi
eritropoetin endogen atau inisiasi terapi agen stimulasi-eritropoetin bahkan pada orang
normal dengan cadangan besi cukup/ketidakmampuan pelepasan besi (blokade besi sel
retikuloendotelial). Ciri-ciri adalah saturasi transferin rendah dan serum feritin tinggi.
Banyak pada pasien CKD.
c. Sindrom Penyerapan besi : adanya gangguan inflamasi/penyakit kronik. Ciri-ciri mirip
defisiensi absolut, tapi umumnya anemia tidak berat, terjadi peningkatan hepcidin dan
terapi oral dapat terganggu
2. Pemeriksaan Hitung Darah Lengkap & Darah Perifer
a. Pemeriksaan Hitung Darah Lengkap/Darah Rutin
- Pem. Hb --> turun
- Leukosit --> dapat turun pada anemia berat (gg. proliferasi leukosit)
- Trombosit --> dapat meningkat
- Eritrosit --> turun
- Hematokrit --> turun
- Nilai-nilai MC --> MCH, MCHC, MCV
b. Pemeriksaan Darah Perifer
- Ditemukan anisositosis (eritrosit mikrositik)
- Ditemukan poikilositosis (sel pensil, sel target, jarang sel teardrop)
- Ditemukan eritrosit hipokrom
- Dapat terjadi peningkatan retikulosit
3. Urinalisis --> kemungkinan hemosiderinuria, hemoglobinuria dan hemosiderosis pulmoner
4. Rontgen
Diagnosis Banding
Tatalaksana
(Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007)
Anemia paska-perdarahan : transfusi darah sebanyak 10-20ml/kgBB atau plasma expander. Dapat pakai
cairan intravena. Dampak lambat dapat diatasi dengan transfusi packed red cell.
Anemia def.besi : nutrisi, sulfas ferosus 10mg/kgBB 3x sehari atau besi elementer 1mg/kgBB/hari
(Hematology 6th)
Terapi zat besi dimulai dari Sodium Ferosus 3x/4x dengan suplai perhari 150-200mg besi pada dewasa
atau 3mg/kgBB anak. Dapat pula dengan sulfas ferosus (1 tablet 60-70mg besi). Diberikan antara waktu
makan.
Bila Hb <10g/dL, regimen ini akan memberikan 40-60mg besi perhari untuk eritropoesis untuk
meningkatkan produksi eritrosit dan hemoglobin 0,2g/dL/hari. Peningkatan konsentrasi hemoglobin
minimal 2g/dL setelah 3minggu artinya respon adekuat.
Bila anemia sudah diperbaiki, besi oral tetap dilanjutkan untuk menggantikan cadangan besi selama 4-6
bulan atau sampai konsentrasi feritin plasma > 50 µg/L.
(Wintrobe’s Clinical)
Efek samping zat besi oral : gg. pada GIT seperti heartburn, mual, kram abdomen dan diare.
Terapi besi IV : ferritin 500-1200 ng/ml pada CKD sedang menjalani dialisis atau injeksi 100mg/menit. ES:
hipotensi, sakit kepala, lemas, urtikari, dan mual.
(WHO 1998)
UNTUK KEHAMILAN
Untuk wanita hamil 60mg besi (sulfas ferosus) + 400μg as.folat per hari (6 bulan kehamilan)
Bila 6 bulan kehamilan tidak bisa dicapai, lanjutkan 60mg besi + 400μg as.folat selama 3 bulan setelah
postpartum. Atau ditingkatkan menjadi 120mg besi
Bila ditemukan parasit seperti hookworm, berikan obat cacing (aman setelah trimester pertama) berupa
albendazol (400mg single dose), mebendazol (500mg single dose atau 100mg 2x/hari untuk 3 hari),
levamisol (2,5mg/kg single dose, diulang 2 hari berturut) atau pirantel (10mg/kg single dose, diulang 2
hari berturut). Jika Malaria falciparum, segera diberikan antimalaria pada kunjungan pertama prenatal &
profilaksis.
12,5mg besi + 50 μg as.folat perhari bila BBL normal hingga usia 6-12 bulan (kecuali endemis anemia,
jadi usia 6-24 bulan), dan bila BBLR maka diberikan mulai dari usia 2-24 bulan.
(AAFP)
IV Besi elemental = 50 x (0,442 x [hemoglobin diinginkan dalam g/L – hemoglobin sekarang dalam g/L) x
massa tubuh tanpa lemak + 0,26 x massa tubuh tanpa lemak)
Komplikasi
- Gangguan pertumbuhan pada anak
- Gangguan pada kardiovaskular
- Masalah kehamilan (prematur, dan BBLR)
- Gangguan nutrisi akibat disfagia
- Timbulnya disfagia memungkinkan risiko terjadi kanker
- Dapat memicu gangguan psikologis dan gangguan kognitif