Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang1,2

Profesi dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang berwibawa dan
disegani oleh masyarakat. Masyarakat secara umum beranggapan bahwa dokter
dapat menyembuhkan pasien yang sakit. Perannya yang begitu mulia ini kadang
dalam kenyataannya masih perlu di “tata”. Dokter juga manusia biasa yang
mungkin bisa saja salah dan berperilaku tidak baik. Pekerjaan dokter yang kadang
tidak pada satu tempat namun pada tiga tempat atau lebih akan menguras
konsentrasi dan tenaga seorang dokter. Keadaan yang demikian menjadikan
pelayanan terhadap pasien menjadi kurang optimal.1
Hubungan dokter dan pasien menjadi hal yang pokok dalam masa
penyembuhan. Komunikasi diantara keduanya haruslah baik dan tersambung
sehingga dapat dimengerti satu sama lain. Begitu pula dengan imbalan yang
diberikan kepada dokter. Imbalan memang merupakan hak dokter namun
besarnya kadang berbeda-beda antara dokter satu dengan yang lain. Hal yang
demikian tersebut memang jangan sampai memberatkan masyarakat.1
Perilaku seorang dokter atau dokter gigi terhadap pasien kadang tidak
sewibawa profesi dokter itu sendiri. Pada kenyataannya kita bisa melihat masih
ada saja dokter yang melakukan tindakan yang tidak seharusnya kepada pasien
seperti tindakan tidak senonoh ataupun tindakan yang membodohi pasien dengan
tidak melayani dengan baik. Sumpah dokter yang pernah diucapkan kadang belum
benar-benar tertanam dalam diri seorang dokter. Oleh karena itu perlu peraturan
perundang-undangan yang tegas dalam pelaksanaannya.1
Banyak pula orang-orang yang mengaku sebagai dokter namun nyatanya
bukan dokter. Ada pula dokter asing yang kadang membuka praktik tanpa izin
terlebih dahulu. Keadaan tersebut akan sangat riskan jika dibiarkan dan
memasyarakat seakan tidak ada yang salah dengan keadaan tersebut. Padahal jika
sudah memakan korban tentu menjadi tanggung jawab bersama termasuk
pemerintah yang seharusnya berkewajiban melindungi masyarakatnya.1

1
Status kesehatan dari sebuah negara merupakan cerminan sistem politik
yang ada pada negara tersebut. Nilai penting kesehatan sebagai salah satu hak
asasi manusia dan posisi strategis sektor kesehatan yang menyangkut hajat hidup
orang banyak menjadikannya sarat dengan muatan aspek politik. Dengan berbagai
karakteristik khasnya, politisasi kesehatan lazim terjadi sehingga kebijakan
kesehatan seringkali ditetapkan lebih berdasarkan aspek politis dibanding aspek
rasionalitas. Kesehatan seolah menjadi sebuah komoditas yang diperjualbelikan
dan hak-hak warga negara untuk hidup sehat kerab terabaikan. Sesuatu yang
dengan tajam digambarkan oleh Gray Charlote :”Menjelang dilangsungkannya
pemilu, upaya perbaikan sistem kesehatan, pelayanan kesehatan gratis bermutu,
penjaminan obat seperti mantra yang selalu didengungkan oleh para kandidat, atau
juga pemegang kekuasaan yang ingin melanjutkan dan mempertahankan
kekuasaannya. Namun jangan heran jika selepas musim pemilu, kesehatan
kembali menjadi sekadar sehelai kartu poker di meja perjudian politik”.2
Penetapan kebijakan kesehatan memang rumit dan dinamis. Karena
kebijakan di bidang kesehatan merupakan serangkaian komponen, proses, alokasi
sumber daya, elit dan kekuasaan yang berperan pada penetapan kebijakan sebagai
sebuah sistem. Intervensi kekuasaan dan tarik menarik kepentingan politik sering
terjadi dalam proses Black Box of Policy Making Process. Konteks politik,
ekonomi, sosial budaya juga turut mempengaruhi. Menjadi penting karenanya
untuk mengetahui bagaimana sebuah kebijakan berlangsung.2

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etika kedokteran


Etik (Ethics) berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, adat
kebiasaan, watak, perasaan, sikap yang baik, yang layak. Menurut kamus umum
bahasa Indonesia (Purwadarminta, 1953), etika adalah ilmu pengetahuan tentang
asas akhlak. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia dari Departemen
Pendidikan dan kebudayaan (1988), etika adalah :

a. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral
b. Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
c. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat

Menurut kamus kedokteran (Ramali dan Pamuncak, 1987), etika adalah


pengetahuan tentang perilaku yang benar dalam satu profesi. Jadi etika adalah
ilmu yang mempelajari asas akhlak, sedangkan etik adalah seperangkat asas atau
nilai yang berkaitan dengan akhlak seperti dalam Kode etik. Istilah etis biasanya
digunakan untuk menyatakan sesuatu sikap atau pandangan yang dapat diterima
(ethically acceptable) atau tidak dapat diterima (ethically unacceptable, tidak
etis).3
Pekerjaan profesi (professio berarti pengakuan) merupakan pekerjaan yang
memerlukan pendidikan dan latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi
dalam masyarakat, seperti ahli hukum (hakim, pengacara), wartawan, dosen,
dokter, dokter gigi dan apoteker. Pekerjaan profesi umumnya memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :

a. Pendidikan sesuai standar nasional


b. Mengutamakan panggilan kemanusiaan
c. Berlandaskan etik profesi, mengikat seumur hidup
d. Legal melalui perizinan
e. Belajar sepanjang hayat

3
f. Anggota bergabung dalam satu organisasi profesi

Profesi kedokteran merupakan profesi yang tertua dan dikenal sebagai profesi
yang mulia karena ia berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup
seseorang yaitu masalah kesehatan, kehidupan dan kematian.3
Menurut Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu
pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu
keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan kode
etik yang bersifat melayani masyarakat.3
Hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa
(calling), untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang
kental. Prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, empati, keikhlasan, kepedulian kepada
sesama dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih sayang (compassion), dan ikut
merasakan penderitaan orang lain yang kurang beruntung. Dengan demikian
seorang dokter tidaklah boleh egois melainkan harus mengutamakan kepentingan
orang lain, membantu mengobati orang sakit (altruism). Seorang dokter harus
memiliki Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient(EQ), dan Spiritual
Quotient (SQ) yang tinggi dan berimbang.3

2.1.1 Prinsip Umum Etik Kedokteran3


Prinsip umum etik kedokteran berdasarkan 4 prinsip etik Biomedis
(Beuchamp & Childress, 2001), sebagai berikut :

a. Menghormati otonomi (respect for autonomy)


- Menghormati otonomi berarti bahwa seseorang pasien yang mampu
menalar pilihan pribadinya harus diperlakukan dengan menghormati
kemampuannya dalam mengambil keputusan mandiri (self
determination). Dalam pelayanan kesehatan mirip ini berkaitan erat
dengan Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTK) setelah diberi
penjelasan, baik tindakan diagnostik maupun terapi.
- Melindungi seseorang yang otonominya kurang atau terganggu yang
berarti bahwa seorang pasien yang ketergantungan (dependent) seperti

4
anak-anak, atau rentan (vulnerable) seperti orang cacat, gangguan jiwa,
dementia dan lain-lain, perlu dilindungi terhadap kerugian (harm).
b. Berbuat baik (Beneficence)
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban membantu orang lain dengan
mengupayakan manfaaat maksimal sambil meminimalkan resiko.
c. Tidak merugikan (Nonmaleficence)
Prinsip ini menyatakan bahwa jika tidak dapat melakukan hal-hal yang
bermanfaat maka setidaknya jangan merugikan orang lain.
d. Keadilan (Justice)
- Prinsip ini mengacu pada kewajiban memperlakukan setiap orang
sama dalam memperoleh haknya dalam pelayanan kesehatan, tidak
dipengaruhi oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan
kelamin, politik kepartaian atau kedudukan sosial (tidak diskriminatif).
- Keadilan distributif, proporsional antara beban (termasuk biaya), dan
risiko dengan manfaat.

2.2 Hukum Kesehatan


Dalam lebih tiga dekade terakhir, terasa sekali disiplin hukum memasuki
wilayah kedokteran atau dapat dikatakan kalangan kesehatan makin akrab dengan
bidang dan pengetahuan hukum. Dua disiplin ilmu tertua di dunia, pada awalnya
berkembang dalam wilayahnya masing-masing, kesehatan dalam mengatasi
masalah kesehatan yang timbul pada anggota masyarakat dan hukum yang
mengatur tentang ketertiban dan keamanan, keadilan dan ketentraman hidup
bermasyarakat. Keduanya diperlukan untuk kesejahteraan dan kedamaian
masyarakat.3
Pada masa kini, dokter dan tenaga kesehatan makin menyadari perlunya
memahami dan melaksanakan profesi tidak saja berdasarkan etika profesi, tetapi
juga menyesuaikannya dengan berbagai aspek hukum dalam pelayanan dan
pemeliharaan kesehatan. Telah begitu banyak ketentuan hukum dan peraturan
dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri Kesehatan dan lain-lain yang sudah diterbitkan yang berkaitan
dengan hukum kesehatan selain dari ketentuan hukum yang terdapat dalam KUHP
dan KUH Perdata.3

5
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan
kewajiban, baik bagi perseorangan maupun segenap lapisan masyarakat, baik
sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun sebagai pihak penyelenggara
pelayanan kesehatan dalam segala aspek, organisasi, sarana, pedoman standar
pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta sumber-sumber
hukum lain. Hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan yaitu
yang menyangkut pelayanan kedokteran (medical care/service). Hukum kesehatan
mencakup komponen hukum kesehatan yang lain adalah Hukum Keperawatan,
Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat,
Hukum Kesehatan Lingkungan dan sebagainya.3
Persamaan etik dan hukum :

a. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup


bermasyarakat.
b. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.
c. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling
merugikan.
d. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
Perbedaan etik dan hukum :
a. Etik berlaku untuk lingkungan profesi, hukum berlaku untuk umum.
b. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi, hukum disusun
oleh badan pemerintah.
c. Etik tidak seluruhnya tertulis, hukum tercantum secara terperinci dalam
Kitab Undang-Undang dan lembaran/berita negara.
d. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntunan, sanksi terhadap
pelanggaran hukum berupa tuntutan.
e. Pelanggaran etik diproses melalui Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) yag dibentuk oleh Konsil Kedokteran
Indonesia dan selanjutnya oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK), yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pelanggaran
hukum diselesaikan oleh Pengadilan.

6
f. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik,
penyelesaian pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.

2.3 Hierarki Kebijakan Kesehatan di Indonesia2


Setiap kebijakan memiliki otoritas atau kewenangannya sendiri. Sejauh
mana kewenangan suatu kebijakan dapat diterapkan tergantung dari posisi
kebijakan tersebut dalam sebuah hierarki kebijakan. Setiap kebijakan harus
memiliki konsistensi dan koherensi dengan kebijakan pada tingkat kewenangan
yang lebih luas. Dengan begitu, tidak akan terjadi benturan kebijakan yang dapat
menyebabkan sebuah kebijakan tidak dapat dieksekusi.
Indonesia memiliki hierarki dasar hukum yang harus ditaati dan menjadi
landasan dalam penyusunan kebijakan publik di Indonesia, mengacu pada
UUNo.12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, adapun produknya :

a. Undang-undang
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
b. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal
ikhwal kegentingan yang memaksa.
c. Peraturan Pemerintah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
d. Peraturan Presiden
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.
e. Peraturan Menteri
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh menteri.
f. Peraturan Daerah
Peraturan Perundang-undangan yang disusun oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Tingkat I dan II) dengan persetujuan bersama Kepala
Daerah.

7
2.4 Hak dan Kewajiban Dokter
Dari sudut sumbernya, kewajiban dan hak dokter ada dua macam.
Pertama, kewajiban dan hak yang bersumber pada kesepakatan. Kedua, kewajiban
dan hak yang bersumber pada peraturan perundang-undangan.4
Kewajiban dan hak dokter ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan, yakni Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2004 tentang Tenaga Kesehatan. Selain itu
terdapat juga dalam Kode etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang secara
moral dan etika wajib ditaati. Dalam KODEKI terdapat kewajiban-kewajiban
dokter yang dibedakan menjadi empat, yaitu :

1. Kewajiban umum
2. Kewajiban terhadap pasien
3. Kewajiban terhadap teman sejawat
4. Kewajiban terhadap diri sendiri

2.4.1 Kewajiban Umum Dokter4


Kewajiban umum dokter ini paling banyak dimuat dalam KODEKI (Pasal
1-13), adalah sebagai berikut :

a. Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan


sumpah dan atau janji dokter (Pasal 1).
b. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku profesional
dalam ukuran yang tertinggi (Pasal 2).
c. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh suatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi (Pasal 3).
d. Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri (Pasal 4).
e. Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya

8
dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut
(Pasal 5).
f. Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan
keresahan masyarakat (Pasal 6).
g. Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya (Pasal 7).
h. Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya , memberikan
pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang dan penghormatan atas martabat
manusia (Pasal 8).
i. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat
menangani pasien dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan (Pasal 9).
j. Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya, dan
tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien (Pasal
10).
k. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya melindungi
makhluk insani (Pasal 11).
l. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan
keseluruhan aspek pelayanan kesehatan(promoti, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat (Pasal 12).
m. Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sektoral di
bidang kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling
menghormati (Pasal 13).

2.4.2 Kewajiban Dokter Terhadap Pasien4


Kewajiban terhadap pasien, disebutkan (Pasal 14-17) sebagai berikut :

9
a. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh
keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas
persetujuan/keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian untuk itu (Pasal 14).
b. Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar senantiasa
dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam
beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi lainnya (Pasal 15).
c. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia
(Pasal 16).
d. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikannya (Pasal 17).

2.4.3 Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawatnya4


Ada dua kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya, yaitu :

a. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri


ingin diperlakukan (Pasal 18).
b. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien teman sejawat kecuali
dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis (Pasal
19).

2.4.4 Kewajiban Doketr Terhadap Diri Sendiri4


Terhadap diri sendiri, dokter memiliki kewajiban, yaitu :

a. Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja


dengan baik (Pasal 20).
b. Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/kesehatan (Pasal21).

Hak dan kewajiban dokter telah ditentukan secara khusus dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Demikian juga dalam

10
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatanditentukan hak
dan kewajiban tenaga kesehatan termasuk di dalamnya dokter.
2.4.5 Hak-hak dokter dalam menjalankan praktik4
Dalam UU No. 36 Tahun 2014, dokter sebagai bagian dari tenaga
kesehatan atau tenaga medis juga memiliki hak-hak yang disebutkan secara
limitatif dalam Pasal 57, yakni dalam menjalankan praktik berhak :

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai


dengan Standar Profesi, standara pelayanan profesi dan Standar Prosedur
Operasional.
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari penerima pelayanan
kesehatan atau keluarganya.
c. Menerima imbalan jasa.
d. Mmemperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral,
kesusilaan serta nila-nilai agama.
e. Mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya.
f. Menolak keinginan penerima pelayanan kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan sengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar
Prosedur Operasional, atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Penentuan hak-hak dokter tersebut ditujukan untuk memberi rasa aman


bagi dokter dalam melaksanakan tugas pekerjaan profesinya. Sekaligus sebagai
dasar pembelaan diri dari tuntuntan dari pasien atau pihak lain.4
2.5 Kewajiban dan Hak Pasien
Pelanggaran terhadap kewajiban pasien dapat digunakan sebagai alasan
pembelaan dokter, manakala pelanggaran kewajiban itu menyebabkan salah
diagnosis dokter dan atau salah terapi. Misalnya, pelanggaran kewajiban memberi
informasi yang lengkap dan jujur. Jujur artinya benar sesuai dengan yang
sebenarnya, tidak dikarang-karang dan tidak disembunyikan.

11
Pelanggaran kewajiban pasien tersebut tidak serta merta dapat dijadikan
alasan pembelaan diri dokter. Masih harus diuji dan dilihat dari sifat dan keadaan
serta kewajaran yang berlaku. Ilmu yang dimiliki dokter dapat mengukur sejauh
mana kebenaran keterangan pasien. Keterangan pasien ada kalanya tidak wajar.
Dokter wajib menilai wajar dan tidaknya keterangan pasien berdasarkan ilmu
yang dimilikinya. Dalam penilaian dokter bisa terjadi kelalaian, apabila dokter
menilai keterangan pasien salah namundokter mempercayainya sebagai yang
benar. Ukuran penilaian tersebut adalaah ilmu dan pengalamannya sebagai dokter.
Seperti kasus dr. Setianingrum, yang menilai benar keterangan pasien bahwa
dirinya pernah disuntik streptomycin, yang seharusnya tidak boleh dipercaya.
Salah penilaian atas keterangan pasien bisa menimbulkan salah diagnosis dan bisa
salah terapi. Hukum kemudian akan menetukan sejauh mana pembenaran dan atau
penyalahan sikap batin dokter yang menilai benar keterangan pasien yang
seharusnya tidak boleh dipercaya.
Apa yang oleh hukum telah ditentukan secara normatif tentang hak dan
kewajiban dokter dan pasien tersebut mengikat kedua belah pihak, dan haruslah
ditaati. Walaupun dalam kontrak terapeutiktidak secara eksplisit ditentukan
sebagai prestasi masing-masing pihak. Melaksanakan kewajiban dokter maupun
pasien merupakan prestasi yang ditetapkan UU.4
2.5.1 Kewajiban Pasien4
Kewajiban pasien ditentukan dalam Pasal 53 UU No. 29 Tahun 2004,
yang terdiri atas :

a. Kewajiban memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah


kesehatannya.
b. Kewajiban mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi.
c. Kewajiban mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan
kesehatan.
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

2.5.2 Hak Pasien4


Hak pasien ditentukan dalam Pasal 52 UU No. 29 Tahun 2004 adalah
sebagai berikut :

12
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagai
mana dimaksud dalam Pasal 45 UU N0. 36 Tahun 2004 ayat (3).
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi yang lain.
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis .
d. Menolak tindakan medis.
e. Mendapatkan isi rekam medis.

2. 6 Peran Rumah Sakit, Dokter dalam Perawatan Medis


Dalam etika perawatan medis dikenal adanya unsur beneficence. Pada era
industrialisasi dibidang medis dan korporasi, unsur beneficence tidak hanya
mengikat dokter, tetapi juga rumah sakit sebagai badan hukum penyedia jasa
medis. Pada konteks seorang dokter, unsur beneficence menjadi dasar etik
melakukan kewajiban, baik yang bersifat non delegable duty maupun pengelolaan
manajemen pelayanan rumah sakit. Unsur beneficience menyatakan kewajiban
untuk membantu orang lain dalam bentuk mencegah ataupun memindahkan
bahaya dari orang yang akan dibantu tersebut. Unsur beneficence dalam arti
sebagai keperluan pasien merupakan bagian hubungan antara pasien dan dokter.
Beneficence adalah kewajiban pertolongan tanpa dilandasi sikap bahwa
health provider mengetahui apa yang menjadi kepentingan yang terbaik bagi si
pasiennya dibandingkan pasiennya sendiri. Oleh karena itu, unsur beneficence
sendiri mengandung penghormatan terhadap prinsip otonomi pasien sebagai
bagian dari upaya perawatan medis kepada pasien.
Jhon Gregory juga mengatakan hal lebih luas tentang kedokteran bahwa
kedokteran tidak sebatas pada ilmu menangani penyakit, tetapi juga seni melayani
kesehatan. Sifat kerja profesi dokter harus dibedakan dari hakikat personal dari
dokter ataupun tenaga medis. Dokter/tenaga medis bukan orang yang suci dan
juga bukan pahlawan. Pandangan terhadap profesi dokter pun dapat berubah
sejalan dengan merebaknya budaya materialisme dan kekacauan moral. Profesi ini
masih harus menjawab kesadaran individu mereka atas budaya materialisme dan
kekacauan moral tersebut. Satu hal yang harus digarisbawahi adalah profesi di
bidang medis memiliki kekuasaan yang besar. Profesi ini berbeda dengan profesi
pengacara, birokrat, ataupun profesi lainnya. Profesi ini memiliki otoritas keahlian
untuk melakukan perbuatan yang ditujukan kepada tubuh manusia. Segala

13
perbuatan yang dilakukan kepada tubuh manusia harus dilakukan secara teliti dan
hati-hati. Ketelitian dan kehati-hatian merupakan bentuk dari kepentingan terbaik
pasien. Penegakan prinsip otonomi pasien melahirkan hak-hak pribadi pasien
pasien ditujukan untuk menciptakan kehati-hatian dalam perawatan medis.5
2.6.1 Tugas Dokter dan Rumah Sakit dalam Hubungan Perawatan medis
Kemampuan dokter menguasai kemampuan klinis merupakan target yang
diharapkan oleh profesi dokter. Kemampuan klinis seorang dokter menjadi bagian
penting bagi seorang dokter menjalankan tugas-tugas klinis kepada pasien.
Kemampuan klinis melekat pada keahlian klinis seorang dokter yang diperoleh
melalui penguasaan kompetensi klinis. Penguasaan kompetensi klinis menjadi
dasar fundamental bagi seorang dokter untuk menjadikan tugas-tugas dokter
efektif dalam perawatan medis kepada pasien. Heather Draper berpendapat
bahwa seorang dokter perlu menguasai kemampuan klinis, tetapi hal itu tidak
cukup menjadikannya dokter yang baik. Dokter yang baik tidak sekadar
menguasai keahlian klinis, tetapi juga patut mempertimbangkan aspek hubungan
antar subjek hukum yang terkandung dalam hubungan dokter dengan pasiennya.
Tugas rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan lainnya adalah membantu
pasien membuat keputusan medis yang terbaik bagi diri pasien. Pembuatan
keputusan medis yang dibuat oleh pasien merupakan instrumen untuk mengetahui
apa yang menjadi kepentingan pasien dan tujuan medis yang diharapkan dalam
perawatan medis tersebut. Segala bentuk perbuatan dokter atau tenaga kesehatan
lainnya yang mengabaikan kepentingan pasien tersebut hakikatnya mengandung
sifat maleficence ( merugikan ) dalam perwatan medis. Keahlian di bidang medis
dan kemampuan alat-alat kesehatan di institusi pelayanan kesehatan diposisikan
sebagai alat/instrumen untuk membantu pasien mengidentifikasi kepentingan
terbaik pasien. Rumah sakit sebagai badan hukum yang menyediakan jasa medis
dituntut untuk menyediakan sistem manajemen dan administrasi yang mendukung
pelaksanaan perawatan medis dengan penuh perhatian dan ketelitian sesuai
dengan ilmu pengetahuan saat ini.5
2.7 Rekam Medis
Rekam medis terdapat dalam Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran.
Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang

14
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan yang telah
diberikan.
Rekam medis dibuat dengan berbagai manfaat berikut ini :

a. Pengobatan pasien
Rekam medis digunakan sebagai dasar dan petunjuk dalam merencanakan
dan menganalisa penyakit. Selain itu juga berguna untuk merencanakan
pengobatan, perawatan dan tindakan medis yang diberikan kepada pasien.
b. Peningkatan kualitas pelayanan
Adanya pembuatan rekam medis yang jelas dan lengkap dalam
penyelenggaran praktik kedokteran akan meningkatkan kualitas pelayanan
untuk melindungi tenaga medis dan juga pencapaian kesehatan
masyarakat.
c. Pendidikan dan penelitian
Rekam medis dapat berguna untuk bahan informasi bagi perkembangan
pengajaran dan penelitian bidang kedokteran dan kedokteran gigi.
d. Pembiayaan
Rekam medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan guna menetapkan
jumlah pembiayaan dalam pelayanan kesehatan.
e. Statistik kesehatan
Rekam medis yang berisi riwayat sakit seseorang dapat digunakan sebagai
bahan statistik kesehatan mengenai perkembangan kesehatan masyarakat
dan menentukan jumlah penderita penyakit-penyakit tertentu yang sedang
diteliti.
f. Pembuktian masalah hukum, disiplin dan etik
Rekam medis yang berupa berkas tertulis apapun file komputer dapat
digunakan untuk alat bukti tertulis untuk penyelesaian maslah hukum,
disiplin dan etik.

Isi dari rekam medis yaitu berupa catatan dan dokumen. Catatan yang
dimaksud merupakan uraian tentang identitas pasien, pemeriksaan pasien,
diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan baik dilakukan oleh dokter dan
dokter gigi maupun tenaga kesehatan lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan

15
dokumen yaitu kelengkapan dari catatan tersebut, antara foto rontgen, hasil
laboratorium dan keterangan lain sesuai dengan kompetensi keilmuannya.1
Rekam medis ini selain dapat diisi/dibuat oleh dokter dan dokter gigi dapat
juga dibuat oleh tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung
kepada pasien atas perintah secara tertulis dari dokter dan dokter gigi.
Isi dari rekam medis dapat dirinci sebagai berikut :

- Identitas pasien
- Pemeriksaan fisik
- Diagnosis/masalah
- Tindakan/pengobatan
- Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien

Rekam medis disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi
pimpinan sarana kesehatan. Penyimpanan paling lama 5 tahun dan diresume
paling sedikit 25 tahun sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang rekam medis. Rekam medis ini bersifat
rahasia. Dokter dan dokter gigi dapat memberitahukan isi rekam medis tersebut
kepentingan pasien, misalnya untuk permintaan aparat penegak hukum,
permintaan pasien itu sendiri atau berdasar ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran Pasal 79 bahwa setiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak membuat rekam medis akan
mendapat sanksi hukum. Sanksi tersebut berupa pidana kurungan maksimal 1
(satu) tahun atau membayar denda maksimal Rp 50.000.000,-
Selain mendapatkan sanksi hukum yang telah disebutkan tersebut, pihak dokter
atau dokter gigi yang sengaja tidak membuat rekam medis juga akan mendapatkan
sanksi disiplin dan etik. Ada 3 (tiga) alternatif sanksi disiplin yaitu :

- Pemberian peringatan tertulis.


- Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik.
- Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.1

16
2.8 Standar Profesi Dokter, Standar Prosedur Operasional dan Informed
Consent serta Hubungannya dengan Malpraktik Kedokteran
Tidak semua malpraktik kedokteran masuk ranah Hukum Pidana atau
menjadi tindak pidana. Bisa masuk lapangan Hukum Pidana apabila memenuhi
syarat-syarat tertentu dalam tiga aspek, yaitu :

1. Syarat mengenai sikap batin dokter


2. Syarat mengenai perlakuan medis
3. Syarat mengenai akibat

Syarat mengenai sikap batin malpraktik kedokteran adalah syarat sengaja


atau kelalaian baik terhadap perlakuan medis maupun terhadap akibat. Syarat
dalam hal perlakuan medis pada dasarnya adalah perlakuan medis yang
mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab, seperti menyimpang dari
Standar Profesi, Standar Prosedur Operasional, tanpa STR atau SIP, tidak sesuai
kebutuhan medis pasien dan lain-lain. Syarat mengenai akibat adalah syarat
timbulnya kerugian bagi kesehatan, luka-luka pada tubuh atau nyawa pasien
sesuai unsur tindak pidana tertentu.
Secara umum letak sifat melawan hukum malpraktik kedokteran ada pada
dilanggarnya kepercayaan atau amanah pasien dalam kontrak terapeutik.
Kepercayaan atau amanah ini adalah kewajiban dokter untuk berbuat sesuatu
dengans sebaik-baik, secermat-cermatnya, penuh kehati-hatian, tidak berbuat yang
seharusnya tidak diperbuat. Ukuran maksimal tersebut adalah standar profesi,
standar prosedur , hukum, etika dan susila. Sebaliknya kewajiban dokter tersebut
adalah menjadi hak pasien. Karena itu dapat dimaklumi jika orang mengatakan
bahwa malpraktik kedokteran merupakan pelanggaran hak-hak pasien.4
2.8.1 Standar Profesi dan Standar Prosedur
Ada ciri-ciri khusus setiap profesi seperti profesi kedokteran. Ciri khusus
profesi kedokteran antara lain bersifat otonom, memiliki, identitas tertentu,
memiliki kelompok (komunitas) tertentu, memiliki sistem nilai tertentu yang
mengikat tingkah laku dokter baik sesama koleganya maupun terhadap anggota
masyarakat. Sistem nilai ini melhirkan etika kedokteran, sedangkan sifat otonom
profesi dokter melahirkan standar profesi dan standar prosedur operasional.

17
Standar profesi dan standar prosedur adalah pedoman dan memberi arah praktik
kedokteran. Karena itu mengikat pekerjaan-pekerjaan profesi kedokteran.
Pengingkaran terhadap isi standar profesi dan standar prosedur serta nilai-nilai
etika, dapat terjebak pada masalah malpraktik kedokteran apabila menimbulkan
kerugian kesehatan, luka-luka tubuh atau hilangnya nyawa pasien.
Siapakah yang menentukan Standar Profesi? Tiada lain kalangan dokter
itu sendiri. Profesi dokter adalah bersifat otonom, segala sesuatu ketentuan yang
menyangkut pelaksanaan pekerjaan profesi ditentukan sendiri oleh kelompok
profesi. Kelompok profesi menentukan sendiri isi standar pelayanan yang
dianggap benar, tidak juga oleh pemerintah. Melalui peraturan perundang-
undangan pemerintah sekadar menentukan kewajiban dokter untuk menaati isi
standar profesi yang dibuat kelompoknya dan memberikan ancaman sanksi
hukum terhadap yang melanggar.4
Apakah isi Standar Profesi? Leenan dan Van der Mijnahli hukum
kesehatan Belanda berpendapat bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang
tenaga kesehatan perlu berpegang pada tiga ukuran umum, yaitu :

1. Kewenangan
2. Kemampuan rata-rata
3. Ketelitian yang umum

2.8.1.1 Kewenangan
Menurut sifatnya ada dua landasan kewenangan yang dapat dibedakan
tetapi suatu kesatuan yang bulat dan tidak dapat dipisahkan, yaitu :

- Kewenangan berdasarkan keahlian yang dimiliki dokter. Kewenangan


ini disebut dengan kewenangan keahlian atau kewenangan materiil,
yang semata-mata melekat pada individu dokter.
- Kewenangan menurut ketentuan perundang-undangan disebut
kewenangan formil.

Seorang dokter dapat melakukan praktik kedokteran jika memiliki kedua-


duanya. Seorang dokter wajib terlebih dulu memiliki kewenangan mengenai
keahliannya, yaitu pendidikan kedokteran (kewenangan yang pertama). Pasal 35

18
ayat (1) UU No. 29 tahun 2004 juncto Pasal 62 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2004
menyatakan bahwa “ dokter atau dokter gigi yang telah memiliki STR mempunyai
wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan
kompetensi yang dimiliki...” Akan tetapi tidak cukup seorang lulusan fakultas
kedokteran, meskipun spesialis sekalipun sebagai dokter yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki kewenangan
yang berdasarkan hukum atau kewenangan formil (yang kedua).
Menurut Pasal 29 ayat (1) UU No. 29 tahun 2004 juncto Pasal 44 ayat (1)
UU No. 36 Tahun 2014, wajib terlebih dulu memiliki kewenangan yakni memiliki
STR. Menurut Pasal 36 Tahun 2014 wajib memiliki SIP. Melanggar salah satu
atau kedua kewajiban tersebut dapat membuka jalan menuju malpraktik
kedokteran dan akan benar-benar menjadi malpraktik setelah menimbulkan akibat
kerugian kesehatan atau nyawa pasien. Setiap pelanggaran kewajiban administrasi
praktik kedokteran adalah bersifat melawan hukum dan membuka jalan menuju
malpraktik.
Dua kewenangan doktera tersebut haruslah berada dalam satu kesatuan.
Seorang dokter karena keahliannya ia berwenang menjalankan praktik kedokteran
hanya sesuai dengan keahliannya. Pernah terjadi kasus seorang ahli bedah usu
melakukan bedah tulang pada pasien yang menimbulkan akibat fatal dan menjadi
malpraktik kedokteran. Kasus malpraktik kedokteran ini menjadi bukti bahwa
praktik tanpa kewenangan disebabkan bukan bidang keahliannya atau tidak ahli
bidang tertentu, dapaat menjadi malpraktik kedokteran, bila menimbulkan akibat
fataal bagi pasien. Dipastikan dokter tersebut memiliki SIP atau STR yang secara
formil ia berwenang praktik. Akan tetapi kewenangan praktiknya tentu sesuai
keahliannya ialah praktek bedah usus, bukan praktik bedah tulang. Dokter ahli
bedah usus yang menjalankan praktik bedah tulang mengandung sifat melawan
hukum. Apabila menimbulkan akibat fatal bagi pasien maka dokter terjebak dalam
masalah malpraktik.4
2.8.1.2 Kemampuan Rata-Rata
Bidang kemampuan rata-rata adalah tiga kemampuan yang disebutkan
dalam Penjelasan Pasal 50 UU No. 29 Tahun 2004, yakni kemampuan dalam
knowledge, kemampuan dalam skill, dan kemapuan dalam professional attitude.

19
Kemampuan rata-rata tiga bidang ini tidak mudah ditentukan, banyak
faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut antara lain pengalaman
berdasarkan banyaknya atau seringnya praktik, lamanya praktik, daerah praktik,
fasilitas praktik, dan pergaulan sesama kolega profesi.4
2.8.1.3 Ketelitian yang Umum
Kewajiban dokter dalam kontrak terapeutik adalah berbuat segala sesuatu
dalam praktik kedokteran secara cermat, teliti, penuh kehati-hatian, dan tidak
ceroboh. Kecermatan dan kehati-hatian diukur secara umum, artinya ketelitian dan
kehati-hatian dokter dalam melaksanakan tindakan medis yang sama. Dalam hal
melakukan pekerjaan/tindakan medis yang sama bagi semua dokter haruslah
memiliki atau menjalankan ketelitian dan keseksamaan yang sama pula.
Sampai sekarang di Indonesia belum ada standar profesi medis yang
berlaku secara nasional. Keadaan ini merugikan profesi dokter sendiri dan
masyarakat. Karena standar profesi bagi dokter merupakan alat yang digunakan
untuk mengadakan pembelaan diri atas tindakan medis yang dilakukannya,
apalagi jika menimbulkan akibat yang merugikan pasien. Untuk peniadaan
tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan pasien dapat diajukan alasan
bahwa tindakan medis yang dilakukan dokter telah sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional dan atau kebutuhan medis pasien. Jika dapat
dibuktikan bahwa tindakan medis dokter telah sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional dan atau kebutuhan medis pasien, maka akibat
adalah kecelakaa, sesuatu yang tidak terhindarkan.
Disamping standar profesi, yang harus diturut dokter dalam memberikan
pelayanan kesehatan, Pasal 50 UU No. 29 Tahun 2004 menyebutkan “Standar
Prosedur Operasional”. Pengertian Standar Prosedur Operasional dijelaskan
dalama pasal 50 yang menyatakan bahwa “ suatu perangkat instruksi/langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu,
Standar Prosedur Operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik
berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan Standar
Profesi”. Dengan demikian, maka setiap satu kerja rutin mestinya ditetapkan satu

20
perangkat instruksi mengenai langkah-langkahnya yang harus diikuti oleh dokter
dalam melakukan praktik dokter.
2.8.2 Informed Consent
Sebagai bentuk khusus perikatan hukum timbal balik, perikatan hukum
dokter-pasien yang dikenal dengan kontrak terapeutik, juga saling membebani
kewajiban untuk memberikan prestasi dan saling menerima prestasi antara dokter
dan pasien.
Dari sudut Hukum Perdata, dokter yang telah memiliki STR dan SIP dan
membuka praktik pada dasarnya telah melakukan penwaran umum. Penawaran
umum adalah syarat pertama lahirnya kesepakatan sebagai penyebab timbulnya
perikatan hukum. Menurut hukum, kesepakatan terjadi bila penawaran oleh satu
pihak diterima atau disetujui oleh pihak lain.
Dihubungkan dengan kewajiban dokter dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2)
UU No. 29 Tahun 2004, untuk terjadinya perikatan hukum dokter-pasien,
penawaran itu harus diikuti penjelasan secara lengkap mengenai pelbagai hal
seperti diagnosis dan terapi oleh dokter, dan apabila kemudian pasien memberikan
persetujuan untuk pengobatan atau perawatan, maka terjadilah perikatan hukum
yang disebut kontrak terapeutikatau transaksi terapeutik. Persetujuan pasien itu
disebut dengan informed consent. Jadi informed consent adalah persetujuan pasien
untuk dilakukan perawatan atau pengobatan oleh dokter setelah pasien tersebut
diberikan penjelasan yang cukup oleh dokter mengenai pelbagai hal dan
dimengerti pasien seperti diagnosis dan terapi.
Hal-hal yang terlebih dulu harus dijelaskan dokter pada pasien sebelum
pasien memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan medis terhadapnya,
menurut Pasal 45 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 sekurang-kurangnya mencakup:

a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis.


b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan.
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

21
Persetujuan semacam itu tidak dapat dipakai sebagai alasan pembenar
terhadap perlakuan medis yang menyimpang. Persetujuan (informed consent)
pasien atau keluarganya hanya sekadar membebaskan resiko hukum bagi
timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dalam hal perlakuan medis yang benar
dan tidak menyimpang terutama dari standar profesi, standar operasional prosedur
dan kebutuhan medis.
Informed consent berfungsi ganda. Bagi dokter dapat membuat rasa aman
dalam menjalankan tindakan medis pada pasien, yang sekaligus dapat digunakan
sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari
pasien atau keluarganya apabila timbul akibat buruk yang tidak dikehendaki. Bagi
pasien, informed consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh
dokter dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap dokter apabila terjadi
penyimpangan praktik dokter dari maksud diberikannya persetujuan pelayanan
kesehatan.
Orang yang berhak memberikan informed consent pada dasrnya pasien
sendiri. Akan tetapi apabila pasien berada dalam pengampuan, informed consent
dapat diberikanoleh salah satu keluarga terdekat, suami atau istri, ibu atau ayah
kandung, anak-anak kandung, dan saudara-saudara kandung. Dalam hal keadaan
gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan.
Namun setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan segera
diberikan penjelasan dan dibuatlah persetujuan (Penjelasan Pasal 45 ayat (1) UU
No. 29 Tahun 2004 juncto Pasal 68 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2014).

22
BAB III

PENUTUP

Dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi
pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting
karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu
pelayanan yang diberikan.
Landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan
tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan
ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan dokter gigi,
maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini sering kali
diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter dan
dokter gigi. Sebaliknya apabila tindakan medis yang dilakukan berhasil, dianggap
berlebihan, padahal dokter dan dokter gigi dengan perangkat ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dimilikinya hanya berupaya untuk menyembuhkan, dan
kegagalan penerapan ilmu kedokteran dan kedokteran gigi tidak selalu identik
dengan kegagalan dalam tindakan.
Dengan demikian, dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran selain tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, juga harus menaati
kode etik yang disusun oleh organisasi profesi dan didasarkan pada disiplin ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Syahrizal D, Nilasari S. Praktik Kedokteran dan Aplikasinya. Cetakan


1.Dunia Cerdas. Jakarta, 2013
2. Ayuningtyas D. Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktek. Cetakan 2.PT
RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2014

3. Hanafiah Jusuf M, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.


Edisi 5. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2014

4. Chazawi A. Malpraktik Kedokteran. Cetakan 1. Sinar Grafika, 2016

5. Pujiono E. Keadilan Dalam Perawatan Medis. Cetakan 1. PT Citra Aditya


Bakti. Bandung, 2017

6. Guwandi J. Hukum Medik. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta, 2004

7. Jurnal Hukum kesehatan.Vol 2.No 3, 2009

8. Jurnal Hukum Kesehatan. Vol 2. No 4, 2009

9. Jurnal Hukum Kesehatan. Vol 3. No 5, 2009

24

Anda mungkin juga menyukai