DISUSUN OLEH :
GOLONGAN II
KELOMPOK 3
I. TUJUAN
1.1 Mampu memahami prinsip metode titrasi oksidasi reduksi
1.2 Mampu melakukan standarisasi Na2S2O3
1.3 Mampu menetapkan molaritas rata-rata Na2S2O3
1.4 Mampu menetapkan kadar vitamin C dengan metode oksidasi-reduksi
3
dengan menghitung jumlah mol elektron yang dipindahkan di dalam proses (Cairns,
2008).
Zat oksidator atau zat pengoksidasi adalah suatu zat atau unsur yang dapat
menyebabkan zat lain mengalami oksidasi atau unsur atau zat yang mengalami
peningkatan atau penerimaan elektron sehingga menyebabkan penurunan bilangan
oksidasi. Sedangkan zat reduktor atau zat pereduksi adalah suatu zat atau unsur
yang mengalami pelepasan elektron sehingga menyebabkan kenaikkan bilangan
oksidasi atau dengan kata lain suatu zat yang mengalami oksidasi (Cairns, 2008).
Titrasi redoks berdasarkan pada perpindahan elektron antara titran dan analit.
Jenis titrasi ini biasanya menggunakan potensiometri untuk mendeteksi titik akhir.
Meskipun demikian, sering digunakan indikator yang dapat berubah warna dengan
adanya kelebihan titran juga sering digunakan (Gandjar dan Rohman, 2007). Titrasi
redoks yang melibatkan iodium dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Titrasi Langsung (Iodimetri)
Iodium merupakan oksidator yang relatif kuat dengan nilai potensial
oksidator sebesar +0,535 V. Pada saat reaksi oksidasi, iodium akan direduksi
menjadi iodide sesuai dengan reaksi :
I2 + 2e 2I-
Iodium akan mengoksidasi senyawa-senyawa yang mempunyai
potensial reduksi yang lebih kecil daripada iodium. Vitamin C mempunyai
potensial reduksi yang lebih kecil daripada iodium sehingga dapat dilakukan
titrasi dengan iodium. Larutan baku iodium yang telah dibakukan dapat
digunakan untuk membakukan larutan natrium tiosulfat. Deteksi akhir pada
iodometri dilakukan dengan menggunakan indikator amilum yang dapat
menunjukkan warna biru pada saat tercapai titik akhir titrasi (Gandjar dan
Rohman, 2007).
b. Titrasi Tidak Langsung (Iodometri)
Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk
menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang
lebih besar daripada sistem iodium-iodida atau senyawa-senyawa yang
bersifat oksidator seperti CuSO4.5H2O. Pada iodometri, sampel bersifat
4
oksidator direduksi dengan kalium iodida berlebih dan akan menghasilkan
iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Banyaknya
volume natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium
yang dihasilkan dan setara dengan banyaknya sampel (Gandjar dan Rohman,
2007).
Sebagai contoh adalah penentuan kandungan klorin (Cl 2) dalam agen
pemutih. Klorin akan mengoksidasi iodida untuk menghasilkan iodium.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Cl2 + 2I 2Cl- + I2
7
25 gram
=
1,84 g/mL
= 13,58 ml
Jadi, volume H2SO4 yang dipipet sebanyak 13,58 mL.
4.4.2 Prosedur Pembuatan Larutan H2SO4 0,5 M
Sedikit akuades dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL, dipipet 13,58
mL H2SO4 98% b/b dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL yang telah berisi
air sedikit, kemudian ditambahkan akuades hingga tanda batas 500 mL, digojog
hingga homogen, kemudian dipindahkan ke dalam botol coklat dilapisi dengan
aluminium foil.
4.5 Standarisasi Larutan Standar Na2S2O3 0,1 M
Siapkan tiga buah labu Erlenmeyer (beri nomor 1,2,dan 3), lalu masing-
masing labu diisi dengan 6,25 mL larutan standar KIO3 0,02 M. Pada labu 1,
ditambahkan 0,5 gram KI dan 2,5 mL asam sulfat 0,5 M dan segera titrasi dengan
larutan standar Na2S2O3 0,1 M sampai 6 mL. Tambahkan ke dalamnya beberapa
tetes indikator kanji. Lanjutkan titrasi sampai warna biru hilang. Ulangi titrasi
untuk dua labu sisanya. Hitung konsentrasi molar larutan.
4.6 Penetapan Kadar Vitamin C
Timbang 3 tablet vitamin C, catat berat masing-masing tablet, gerus
hingga halus, masukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL (siapkan tiga buah
labu). Setiap labu tambahkan 10 mL larutan H2SO4 0.5 M dan 5 mL air untuk
melarutkan bubuk tablet ( aduk dengan ultrasonic selama 5 menit). Kemudian
tambahkan 0,5 gram KI dan 6,25 mL larutan standar KIO3 0,02 M. Lakukan
titrasi seperti pada pembuatan larutan standar Na 2S2O3 0,1 M (titrasi pertama
untuk orientasi). Penambahan Kanji dilakukan saat titran sudah diteteskan
sebanyak 1 mL. Kemudian titrasi dilakukan sampai terjadi warna kuning seperti
semula. Ulangi titrasi untuk 2 labu sisanya. Hitung % berat asam askorbat dalam
tablet.
8
V. SKEMA KERJA
5.1 Pembuatan Larutan KIO3
Timbang dengan seksama 2,14 g kristal KIO3 pada kaca arloji atau gelas
piala (beaker glass).
Dilarutkan 2,5 gram pati P dengan 250 mL akuades sambil terus diaduk
9
Dididihkan selama beberapa menit, dinginkan lalu disaring
Dipipet 13,58 mL H2SO4 98% b/b dimasukkan ke dalam labu ukur 500
mL,
Siapkan tiga buah labu Erlenmeyer ( beri nomor 1,2,dan 3), lalu masing-
masing labu diisi dengan 6,25 mL larutan standar KIO3 0,02 M.
Pada labu 1, ditambahkan 0,5 gram KI dan 2,5 mL asam sulfat 0,5 M dan
segera titrasi dengan larutan standar Na2S2O3 0,1 M sampai 6 mL.
Lanjutkan titrasi sampai warna biru hilang. Ulangi titrasi untuk dua labu
sisanya. Hitung konsentrasi molar larutan.
10
5.6 Penetapan Kadar Vitamin C
Timbang 3 tablet vitamin C, catat berat masing-masing tablet, gerus
hingga halus, masukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL (siapkan tiga
buah labu).
Ulangi titrasi untuk 2 labu sisanya. Hitung % berat asam askorbat dalam
tablet.
11
VI. HASIL DAN PERHITUNGAN
6.1 Standarisasi Na2S2O3 0,1 M
6.1.1 Hasil Percobaaan
Titrasi Larutan KIO3 0,02 M dengan Larutan Na2S2O3 0,1 M
Indikator : Kanji 1%
Volume Pengamatan Kesimpulan
Na2S2O3 (mL)
Merah kecoklatan →
Telah Mencapai Titik Akhir
7,4 mL agak kuning→biru
Titrasi
kehitaman→bening
Merah kecoklatan
Telah Mencapai Titik Akhir
7,45 mL →agak kuning→biru
Titrasi
kehitaman→bening
Merah kecoklatan
Telah Mencapai Titik Akhir
7,4 mL →agak kuning→biru
Titrasi
kehitaman→bening
Titik akhir titrasi dicapai pada volume Na2S2O3 : 7,4 mL; 7,45 mL; 7,4 mL
Molaritas Na2S2O3 0,09 M ; 0,089 M ; 0,09 M
Pengulangan titrasi : 3 kali
Molaritas larutan standar Na2S2O3 rata-rata 0,08967 M
6.2 Penetapan Kadar Vitamin C
6.2.1 Hasil Percobaan
Larutan standar Na2S2O3 yang digunakan : 0,08967 M
Indikator : Kanji 1%
Volume Pengamatan Kesimpulan
Na2S2O3 (mL)
1. Coklat → Coklat
kebiruan Telah Mencapai Titik Akhir
2,4 mL
2. Coklat Kebiruan → Titrasi
Kuning
12
1. Coklat → Coklat
kebiruan Telah Mencapai Titik Akhir
2,1 mL
2. Coklat Kebiruan → Titrasi
Kuning
1. Coklat → Coklat
kebiruan Telah Mencapai Titik Akhir
2,25 mL
2. Coklat Kebiruan → Titrasi
Kuning
Titik akhir titrasi dicapai pada volume Na2S2O3 : 2,45 mL; 2,1 mL; 2,25 mL
Kadar Vitamin C : 93,5472 % b/b ; 99,126 % b/b ; 96,9322 % b/b
Pengulangan titrasi : 3 kali
Kadar Vitamin C rata-rata : 96,53% b/b
6.3 Tabel Penimbangan dan Pengukuran
No. Nama Bahan Jumlah Paraf
1. Pembuatan Larutan KIO3
a. KIO3 2,148 gram
b. Aquadest add 500 mL
2. Penimbangan KI 0,5 gram
c. I 0,59 gram
d. II 0,5 gram
e. III 0,58 gram
f. IV 0,51 gram
g. V 0,52 gram
h. VI 0,52 gram
13
4. Pembuatan H2SO4 98%
k. H2SO4 98% 13,5 mL
l. Aquadest 500 mL
5. Pembuatan larutan Na2S2O3
0,1 M
m. Na2S2O3 24,817 gram
n. Aquadest 1L
5. Standarisasi Na2S2O3 0,1 M
o. Volume Na2S2O3 I 7,4 mL
p. Volume Na2S2O3 II 7,45 mL
q. Volume Na2S2O3 III 7,4 mL
6. Penetapan Kadar Vitamin C
r. 20 tablet (I) 5,113 gram
s. 20 tablet (II) 5,112 gram
t. 20 tablet (III) 5,111 gram
u. Serbuk Vitamin C I 0,2553 gram
v. Serbuk Vitamin C II 0,2551 gram
w. Serbuk Vitamin C III 0,2547 gram
16
6.5 Penetapan Kadar Vitamin C
Diketahui : M KIO3 = 0,02 M
Volume KIO3 = 6,25 mL
M Na2S2O3 = 0,08967 M
BM C6H8O6 = 176,13 g/mol
Massa Tablet Vitamin C
d. 20 tablet (I) = 0,25565 gram
e. 20 tablet (II) = 0,2556 gram
f. 20 tablet (III)= 0,2555 gram
Volume Na2S2O3
g. Titrasi I = 2,45 mL
h. Titrasi II = 2,1 mL
i. Titrasi III = 2,25 mL
Ditanya : Kadar Vitamin C ?
Jawab :
A. Penimbangan Kesetaraan 50 mg Vitamin C
Kadar etiket Kadar diminta
=
Bobot total Bobot ditimbang
50 mg
Bobot ditimbang = x bobot total
50 mg
Bobot ditimbang = Bobot total
a. Serbuk 1 = 0,25565 gram ; ditimbang = 0,2553 gram
b. Serbuk 2 = 0,2556 gram ; ditimbang = 0,2551 gram
c. Serbuk 3 = 0,2555 gram ; ditimbang = 0,2546 gram
B. Penyetaraan Reaksi Penetapan Kadar Vitamin C
Reaksi pembentukan I3- oleh KI dan KIO3
KIO3 → K+ + IO3-
KI → K + I-
Penyetaraan setengah reaksi
Reduksi : IO3- → I3-
Oksidasi : I- → I3-
17
Reduksi : 3IO3- + 18H+ + 16 e → I3-+ 9H2O x1
Oksidasi : 3I- → I3- + 2 e x8
18
Reduksi : I3- + 2e → 3I-
Oksidasi : S2O32- + I3- → S4O62- + 2e
2S2O32- + I3- → S4O62- + 3I-
19
= 0,0945 mmol
c. Titrasi III
1
Mol I3- = x 0,08967 M x 2,25 mL
2
= 0,10085 mmol
F. Mol I3- yang bereaksi dengan Vitamin C
a. Titrasi I
Mol I3- = Mol awal – Mol I3- yang bereaksi dengan Na2S2O3
= 0,375 mmol – 0,1098 mmol
= 0,2652 mmol
b. Titrasi II
Mol I3- = Mol awal – Mol I3- yang bereaksi dengan Na2S2O3
= 0,375 mmol – 0,09415 mmol
= 0,28085 mmol
c. Titrasi III
Mol I3- = Mol awal – Mol I3- yang bereaksi dengan Na2S2O3
= 0,375 mmol – 0,10085 mmol
= 0,27415 mmol
G. Mol C6H8O6 dari reaksi I3-
Koefisien C6H8O6
Mol C6H8O6 = x Mol I3- dengan C6H8O6
Koefisien Triodida
a. Titrasi I
1
Mol C6H8O6 = x 0,2652 mmol
1
= 0,2652 mmol
b. Titrasi II
1
Mol C6H8O6 = x 0,28085 mmol
1
= 0,28085 mmol
c. Titrasi III
1
Mol C6H8O6 = x 0,27415 mmol
1
20
= 0,27415 mmol
H. Massa C6H8O6 Dalam Sampel
Massa = mol x BM C6H8O6
a. Titrasi I
massa = 0,2652 mmol x 176,13 g/mol
= 46,7096 mg
b. Titrasi II
massa = 0,28085 mmol x 176,13 g/mol
= 49,4661 mg
c. Titrasi III
massa = 0,27415 mmol x 176,13 g/mol
= 48,286 mg
I. Kadar Vitamin C Dalam Tablet (% b/b)
Kadar Vitamin C Hasil
% b/b = x 100%
Bobot Tablet
a. Titrasi I
46,7096 mg
% b/b = x 100%
255,3 mg
= 18,29 %
b. Titrasi II
49,4661 mg
% b/b = x 100%
255,1 mg
= 19,39 %
c. Titrasi III
48,286 mg
% b/b = x 100%
254,6 mg
= 18,96 %
d. Kadar % b/b Vitamin C rata-rata
% b/b (I) + % b/b (II) + % b/b (III)
% b/b rata-rata =
3
18,29 % + 19,39 % + 18,96 %
% b/b rata-rata =
3
21
= 18,88 % b/b
K. Perolehan Kembali (% Recovery)
Kadar sampel
% Recovery = x 100 %
Kadar etiket
a. Titrasi I
46,7096 mg
% Recovery = x 100 %
50 mg
= 93,41 %
b. Titrasi II
49,4661 mg
% Recovery = x 100 %
50 mg
= 98,93 %
c. Titrasi III
48,286 mg
% Recovery = x 100 %
50 mg
= 96,57 %
d. % Recovery rata-rata
% (I) + % (II) + % (III)
% Recovery rata-rata =
3
93,41% + 98,93% (II) + 96,57% (III)
=
3
= 96,3 %
J. Standar Deviasi (SD)
x x̅ (x-x̅ ) (x-x̅ )2
46,7096 48,1539 -1,4443 2,086
49,4661 48,1539 1,3122 1,721
48,286 48,1539 0,1321 0,017
Ʃ (x-x̅ )2 = 3,824
Ʃ(x-x̅ )2 3,824
SD = √ =√ = 1,3827
n-1 2
SD = 1,3827
22
SD 1,3827
RSD = x 100 % = x 100%
x̅ 48,1539
RSD = 2,87 %
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum penetapan kadar vitamin C yang dilakukan kali ini dengan
metode titrasi reduksi oksidasi (redoks). Metode titrasi redoks yang digunakan pada
penetapan kadar vitamin C kali ini adalah titrasi iodometri (titrasi secara tidak
langsung). Hal ini dikarenakan jika menggunakan metode langsung dimana asam
askorbat dititrasi langsung dengan titran iodium tanpa adanya zat pelarut, asam
askorbat akan teroksidasi menjadi dehidroaskorbat sehingga senyawa dalam sampel
uji bukan asam askorbat melainkan hasil oksidasinya berupa asam dehidroaskorbat
sehingga akan berpengaruh pada penetapan kadar yang tepat. Asam askorbat juga
dapat terdegradasi oleh cahaya sehingga dapat berubah warna sehingga kurang baik
jika ditritrasi dengan metode titrasi iodimetri (secara langsung) dengan standar
iodium yang membutuhkan standar iodium cukup banyak untuk mencapai titik
akhir titrasi.
Dalam penetapan kadar vitamin C dengan titrasi iodometri, adapun
beberapa larutan yang harus disediakan meliputi larutan KIO3 0,02 M, larutan
H2SO4 0,5 M, larutan Na2S2O3 0,1 M dan indikator kanji 1% b/v. Titran yang
digunakan pada titrasi iodometri (titrasi secara tidak langsung) adalah Na2S2O3.
Alasan digunakannya larutan natrium tiosulfat karena dapat mengikat triiodida
sehingga dapat menghitung jumlah mol yang bereaksi untuk penetapan kadar. Akan
tetapi Na2S2O3 perlu distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu dengan
menggunakan larutan KIO3 sebagai larutan baku primer. Hal ini dikarenakan
Na2S2O3 bersifat higroskopis (menyerap CO2), memiliki kemurnian yang rendah
dan berubah-ubah karena kandungan airnya. Larutan Na2S2O3 tidak stabil jika
disimpan dalam waktu lama (Day dan Underwood, 1981). Larutan Na2S2O3
memiliki sifat mudah terurai bila bereaksi dengan CO2 disertai dengan
pembentukan belerang. Reaksi penguraian yang terjadi adalah sebagai berikut:
23
Na2S2O3 + CO2 + H2O → NaHCO3 + NaHSO3 + S(s).
Larutan baku terdiri dari dua macam, yaitu larutan baku primer yang
konsentrasinya telah diketahui secara pasti, memiliki kemurnian yang tinggi dan
larutan baku sekunder harus dibakukan terlebih dahulu dengan larutan baku primer
(Gandjar dan Rohman, 2007). Larutan KIO3 merupakan larutan baku primer yang
digunakan untuk standarisasi larutan baku sekunder Na2S2O3. Larutan kalium iodat
(KIO3) memiliki berat ekivalen yang kecil (35,67) sehingga kesalahan
penimbangan akan menyebabkan kesalahan yang cukup berarti, sehingga saat
penimbangan massa KIO3 yang ditimbang harus benar-benar tepat (Basset dkk,
1994). Larutan Na2S2O3 distandarisasi menggunakan larutan baku primer KIO3
dengan penambahan KI dan penambahan larutan H2SO4. Tujuan dari penambahan
KIO3 adalah sebagai sumber dari iod utama yang dapat diketahui kadarnya dalam
titrasi. Sedangkan, penambahan KI sebagai sumber iod berlebih. Iod dibuat berlebih
karena sifat dari iod yang sangat mudah menguap sehingga perlu adanya sumber
iod lain agar iod yang terbentuk tidak menguap sepenuhnya dengan pembentukan
ion triiodida (I3-) (Basset dkk., 1994). Penambahan larutan H2SO4 bertujuan untuk
menciptakan suasana asam pada larutan. Suasana asam diperlukan karena iod yang
dihasilkan dari KIO3 dan KI tidak dapat digunakan dalam medium netral atau
medium dengan keasaman rendah. Selain itu pada suasana asam, oksidasi ion iodida
berlangsung lebih cepat (Day dan Underwood, 1981). Hal ini terjadi karena pada
suasana asam, potensial reduksi iodat meningkat tajam akibat meningkatnya
konsentrasi H+ dalam larutan sehingga iodat ini direduksi secara lengkap oleh
iodida (Basset dkk., 1994). Pada suasana yang asam maka proses oksidasi akan
berlangsung lebih cepat. Berikut reaksinya:
IO3- + 5 I- + 6 H+ → 3 I2 + 3 H2O
Dalam pengoksidasian ini, reaksi iodat (IO3-) berjalan cukup cepat tetapi
reaksi ini juga membutuhkan sedikit kelebihan ion hidrogen (H+) untuk
menyelesaikan reaksi (Day dan Underwood, 1981). Dalam pembuatan larutan
H2SO4, akuades terlebih dahulu dimasukkan ke dalam beaker glass, setelah itu
ditambahkan dengan H2SO4. Hal tersebut dikarenakan agar reaksi panas yang
24
dihasilkan pada pengenceran asam sulfat tidak membuat beaker glass pecah akibat
adanya pelepasan panas atau terjadi reaksi eksoterm dan dapat membuat H2SO4
terpercik karena akuades mendidih mengingat kelarutan dari asam sulfat yaitu
bercampur dengan air dan etanol menimbulkan panas (Depkes RI, 2014).
Indikator kanji merupakan indikator yang digunakan dalam praktikum ini,
dimana indikator kanji akan mengalami perubahan warna yaitu warna biru yang
menghilang pada saat titik akhir titrasi. Pembuatan indikator kanji dilakukan
dengan cara didihkan dengan aquadest. Tujuan dari pendidihan tersebut karena
dilihat dari kelarutannya yang mudah larut dalam air mendidih (Depkes RI, 1979).
Larutan kanji harus selalu dalam keadaan segar dan baru, hal ini dilakukan karena
larutan kanji mudah terurai oleh bakteri. Penggunaan indikator kanji ini bertujuan
untuk memperjelas perubahan warna larutan yang terjadi pada saat titik akhir titrasi.
Selain itu amilum (kanji) digunakan sebagai indikator karena amilum (kanji) dapat
bereaksi dengan iod (I) membentuk suatu kompleks yang berwarna biru kuat (biru
kehitaman). Kanji merupakan suatu polisakarida yaitu amilum bereaksi dengan iod
(yang nantinya dilepaskan dalam reaksi oksidasi-reduksi) membentuk kompleks
berwarna biru kuat yang berperan sebagai uji kepekaan terhadap iod serta dapat
terlihat pada konsentrasi iod yang sangat rendah. Kompleks biru gelap atau biru
kuat tersebut disebabkan oleh molekul-molekul iodin yang tertahan di permukaan
β-amilosa atau amilosa (1,4) dari amilum (Basset et al, 1994). Penambahan
indikator kanji dilakukan saat mendekati titik akhir titrasi yaitu pada saat warna
larutan sudah sangat muda yang menunjukkan konsentrasi iod yang sangat rendah,
hal ini dilakukan karena kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan yang kecil
dalam air jika ditambahkan saat awal titrasi, selain itu hal tersebut dilakukan
sebagai sensitifitas warna karena warna kuning dan bening susah untuk dibedakan
yang memeliki tingkat kekeliruan yang tinggi. Setelah ditambahkan indikator kanji
dilakukan titrasi kembali hingga warna biru menghilang dan wara larutan yang
dititrasi kembali seperti semula yaitu warna kuning. Hal ini dilakukan untuk
mereaksikan iod yang bersisa dengan titran Na2S2O3 sehingga dapat diketahui iod
yang terbentuk. Jika indikator kanji ditambahkan terlalu cepat maka indikator kanji
akan berikatan dengan iod sehingga sedikit yang bereaksi dengan Na2S2O3 selain
25
itu iod juga akan terikat oleh indikator kanji (amilum) dan sukar untuk lepas
kembali (Widodo, dkk., 2010).
Natrium tiosulfat merupakan suatu senyawa baku sekunder sehingga dalam
penggunaannya harus dilakukan standarisasi terlebih dahulu. Larutan Na2S2O3
dilakukan standarisasi sebanyak tiga kali titrasi. Hal ini dikarenakan untuk
membuktikan presisi dan akurasi data yang diperoleh (Gandjar dan Rohman, 2007).
Titrasi I berfungsi sebagai kontrol, titrasi II berfungsi sebagai pembanding dan
titrasi III sebagai pengoreksi ketiga titrasi tersebut. Pada proses standarisasi
Na2S2O3 di dalam erlenmeyer ditambahkan 6,25 mL KIO3 yang berfungsi sebagai
sumber dari iod yang dapat diketahui kadarnya dalam titrasi, selanjutnya pada
erlenmeyer juga ditambahkan KI dan asam sulfat dimana KI berfungsi sebagai
sumber iod berlebih, iod dibuat berlebih karena iod memiliki sifat yang sangat
mudah menguap sehingga perlu adanya sumber iod lain agar iod yang terbentuk
tidak menguap sepenuhnya dalam proses pembentukan ion triiodida yang mudah
larut air, iod berlebih ini yang nantinya akan bereaksi dengan asam askorbat.
Sedangkan asam sulfat ditambahkan bertujuan untuk menciptakan suasana asam
pada larutan dan sebagai katalis, suasana asam tersebut diperlukan karena iod yang
dihasilkan dari KIO3 dan KI tidak dapat digunakan dalam medium netral atau
medium dengan keasaman rendah. Pada proses penambahan KI dan asam sulfat
terbentuk warna coklat yang menandakan adanya iod berlebih dan setelah dititrasi
menghasilkan bening yang menandakan iod telah habis bereaksi dengan tiosulfat
pada ketiga titrasi yang dilakukan. Penambahan indikator kanji dilakukan saat
volume titran mencapai 6 mL karena sesuai dengan hasil perhitungan stoikiometri
secara teoritis, volume tersebut mendekati titik ekuivalen dari titrasi ini. Berikut ini
reaksi keseluruhan dari proses standarisasi:
IO3- + 8I- + 6H+ → 3I3- + 3H2O |×3|
2S2O32- + I3- → S4O62- + 3I- |×8| +
3IO3- + 16S2O32- + 18H+ → 8S4O62- + I3-+ 9H2O
Penetapan kadar vitamin C dilakukan dengan mengunakan sampel vitamin
C. Masing-masing sampel merupakan tablet vitamin C yang terlebih dahulu
ditimbang bobot total kemudian digeruk hingga menjadi serbuk yang kemudian
26
ditimbang kembali untuk penimbangan sampel penetapan kadar. Sehingga dari
hasil perbandingan dengan bobot tablet total dan pada kemasan, ditimbang
sebanyak 0,2553 g pada serbuk vitamin C (I), 0,2551 g untuk serbuk vitamin C (II),
dan 0,2547 g untuk serbuk vitamin C (III). Dalam Erlenmeyer, ditambahkan 10 mL
larutan H2SO4 0,5 M dan 5 mL akuades kemudian dilakukan proses sonikasi selama
5 menit. Proses sonikasi bertujuan untuk memperluas kontak antara sampel dengan
pelarut dan mendapatkan larutan yang homogen sehingga vitamin C yang berada
dalam sampel terlarut secara merata (Delmifiana, 2013). Kemudian ditambahkan
6,25 ml larutan KIO3 dan 0,5 gram KI. Titrasi penetapan kadar vitamin C dilakukan
sebanyak tiga kali sesuai dengan jumlah sampel untuk menjamin akurasi dan presisi
data yang diperoleh (Gandjar dan Rohman, 2007). Erlenmeyer yang telah berisi
campuran vitamin C dan reagen dititrasi dengan Na 2S2O3 yang telah dibakukan
sebelumnya sampai 1 mL volume titran. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
kelebihan volume titran sehingga mencapai titik akhir titrasi yang salah atau
melewati titik akhir titrasi. Pada volume titran 1 mL tersebut ditambahkan beberapa
tetes indikator kanji hingga larutan berwarna biru tua coklat. Adanya warna coklat
pekat ini terjadi karena masih terdapat iod dengan konsentrasi yang berlebih.
Larutan tersebut dititrasi kembali hingga biru tua coklat tersebut menjadi warna
kuning awal vitamin C. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa semua iod telah
habis bereaksi pada vitamin C maupun Na2S2O3 atau telah mencapai titik
ekuivalennya. Adapun volume Na2S2O3 yang digunakan pada masing-masing
titrasi I, II dan III berturut-turut adalah 2,45 mL; 2,1 mL; 2,25 mL. Konsentrasi
asam askorbat yang bereaksi dapat diketahui dengan cara mengurangi jumlah mol
triodida (I3-) yang terbentuk berlebih di awal pencampuran sampel dikurangi
dengan jumlah mol triodida (I3-) yang bereaksi dengan tiosulfat (S2O32-). Asapun
reaksi titrasi penetapan kadar vitamin C sebagai berikut :
2S2O32- + I3- → S4O62- + 3I-
3IO3- + 8C6H8O6 + 2H+ → 8C6H6O6 + I3- + 9H2O
8C6H8O6 + 2S2O32- + 3IO3- + 2H+ → C6H6O6 + S4O62- + 3I- + 9H2O
Akurasi merupakan parameter dalam suatu analisis yang menggambarkan
ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur dengan nilai yang
27
diterima. Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali pada
suatu pengukuran (Gandjar dan Rohman, 2007). Akurasi ini sederhananya dapat
dikatakan persen perolehan kembali dari suatu sampel. Pada analisis ini, nilai %
perolehan kembali sesuai dengan yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi V
yaitu tablet asam askorbat mengandung asam askorbat tidak kurang dari 90% dan
tidak lebih dari 110% dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes RI, 2014). Kadar
etiket tablet Vitamin C yang di analisis yaitu sebesar 50 mg.
Presisi merupakan nilai dari suatu proses analisis yang menggambarkan ukuran
keterulangan metode analisis dan biasanya diekspresikan sebagai simpangan baku
atau simpangan baku relatif dari sejumlah sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
Dari penetapan kadar vitamin C diperoleh simpangan baku relative (RSD) sebesar
2,87%. Simpangan baku relatif yang diijinkan dalam proses analisis adalah tidak
lebih dari 2% (Gandjar dan Rohman, 2007). Pada proses ini, simpangan baku relatif
yang diperoleh lebih dari 2% sehingga dapat dikatakan metode analisis yang
dilakukan tidak memenuhi syarat presisi untuk menetapkan kadar suatu sampel
yang dalam hal ini adalah kadar vitamin C hal ini terjadi karena kurang telitinya
praktikan saat proses titrasi sehingga menghasilkan nilai simpangan baku yang
besar.
VIII. PENUTUP
8.1 Kesimpulan
8.1.1 Pada praktikum ini, dilakukan penetapan kadar vitamin C pada tablet dengan
titrasi redoks (reduksi oksidasi) yang merupakan titrasi perpindahan elektron
antara titran dan analit. Titrasi redoks yang digunakan adalah titrasi
iodometri.
8.1.2 Standarirasi Na2S2O3 dilakukan dengan larutan baku primer yaitu KIO3
dengan ditambahkan KI sebagai sumber iod berlebih.
8.1.3 Molaritas rata- rata Na2S2O3 yang diperoleh adalah 0,08967 M dengan standar
deviasi realtif ± 0,64387 %.
8.1.4 Kadar rata- rata vitamin C pada tablet yang diperoleh adalah 18,88 % b/b
dengan rata- rata % recovery 96,57 %
28
8.2 Saran
8.2.1 Disarankan bagi praktikan lainnya untuk lebih teliti dalam melakukan titrasi
saat pengaturan laju aliran larutan baku dengan keran agar dapat menentukan
titik equivalent yang benar sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan
volume titran dari titik ekuivalen titrasi.
8.2.2 Disarankan bagi praktikan lain agar lebih teliti dan sigap dalam melakukan
percobaan sehingga tidak terjadi kesalahan metode.
29
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
a b
a b
31