Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan elemen yang penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena

itu kepastian kepemilikan tanah sangat diperlukan untuk kepastian hukum.

Sehingga kepemilikan tanah perlu di daftarkan. Untuk tercapainya kepastian

pendaftaran tanah tersebut maka Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (selanjutnya akan disebut sebagai PP

10/1961) yang telah berlaku sejak tahun 1961 dipandang memiliki substansi yang

sudah tidak dapat lagi memenuhi tuntutan zaman untuk memberikan kepastian atas

pendaftaran tanah tersebut.

Oleh karenanya pada tanggal 8 Juli 1997 pemerintah menetapkan dan

mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah (selanjutnya akan disebut sebagai PP 24/1997) untuk menggantikan PP

10/1961 tersebut. PP ini berlaku tiga bulan sejak tanggal diundangkannya (Pasal

66) yang berarti secara resmi mulai berlaku diseluruh wilayah Indonesia sejak

tanggal 8 Oktober 1997 dengan Peraturan Pelaksananya adalah Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 (selanjutnya akan disebut

sebagai PerMen 3/1997). Sementara semua peraturan perundang-undangan sebagai

pelaksana dari PP 10/1961 yang telah ada masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan PP 24/1997 ini (Pasal 64 ayat

(1).

PP 24/1997 yang menggantikan PP 10/1961 ini merupakan peraturan

pelaksana dari amanat yang ditetapkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya

akan disebut UUPA) yang mengatur:"Untuk menjamin kepastian hukum oleh

Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Maka untuk menjamin kepastian hukum maka mendaftarkan hak atas tanah

merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini dilakukan guna menjamin

kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah serta pihak lain yang

berkepentingan dengan tanah tersebut. Pendaftaran tanah dilakukan di kantor

Badan Pertahanan Nasional (BPN) serta dibantu oleh pejabat pembuat akta tanah

(PPAT) yang berada di wilayah kabupaten atau kota. Di lndonesia system

pendaftaraan tanah masih menimbulkan banyak polemik. Masih banyak

masyarakat lndonesia yang suka utuk dapat mengatasi masalah ini dengan baik.

Sabagian besar penduduk mengira masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan

uang. Cara instan ataupun cepat yang dilakukan dengan semakin besar mereka

mengeluarkan uang maka akan semakin cepat pula penyelesaianya. Padahal sesuai

kenyataan, cara yang di ambil ini salah. Pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang

menjadi oknum menyelesaikan urusan dalam pendaftaran tanah mereka akan


masuk ke dalam kas Negara dan bukan masuk ke saku pribadi dan proses ini biasa

disebut uang administrasi.1

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Pendaftaran Tanah?

2. Bagaimana Penyelesaian Sengketa yang Tidak Bersetifikat (Studi Kasus :

Pembelian Tanah tidak Bersertifikat di Daerah Parapat ) ?

1
Adrian Sutedi, Sertifikat Hak Atas Tanah.(Jakarta:Sinar Grafika,2012) hlm.59.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendaftaran Tanah

Pengertian Pendaftaran Tanah menurut ketentuan Pasal 1

angka 1 PP No.24 Tahun 1997 adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus,

berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data

fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai

bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk

pemberian surat tanda bukti haknya bagi biang-bidang tanha

yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun

serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Menurut A.P. Parlindungan, sebagaimana dikutip oleh Urip

Santoso, pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre, yang

dalam bahasa Belanda disebut Kadaster. Cadastre adalah suatu

istilah teknis untuk suatu recocrd (rekaman) yang menunjukkan


kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak)

terhadap suatu bidang tanah. Kata Cadastre berasal dari bahasa

latin Capistrtum.2

Adapun asas-asas penyelenggaraan Pendaftaran Tanah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PP No.24 Tahun 1997

adalah sebagai berikut:

1. Asas Sederhana, agar ketentuan-ketentuan pokok dan

prosedurnya mudah dipahami oleh pihak-pihak yang

berkepentingan terutama para pemegang hak atas tanah.

2. Asas Aman, agar diselenggarakan secara teliti dan cermat,

sehingga hasilnya dapat memberikan kepastian hukum sesuai

dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

3. Asas Terjangkau, maksudnya yaitu pelayanan yang diberkan

dalam rangka peyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa

tterjangkau bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya

dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan

golongan ekonomi lemah.

4. Asas Mutakhir, yaitu adanya kelengkapan yang memadai

dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam

2
Wibowo Tunardy, “Pendaftaran Tanah”, Jurnal Hukum No.4 Vol.02 November
2013, hlm.4.
pemeliharaan datanya. Data yang disediakan harus

menunjukkan keadaan yang mutakhir.

5. Asas Terbuka, bahwa dalam pendaaftaran tanah hendaknya

selalu bersifat terbuka bagi semua pihak,sehingga bagi yang

membutuhkan informasi tentang suatu tanah akan mudah

untuk memperoleh keterangan-keterangan yang diperlukan.3

Pasal 19 UUPA menentukan bahwa pendaftaran tanah

diselenggarakan oleh pemerintah. Selanjutnya dalam PP No.

10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, penyelenggaraan

Pendaftaran Tanah dilaksanakan oleh Jawatan Pendaftaran

Tanah (Pasal 1). Sedangkan dengan berlakunya PP No. 24

Tahun 1997, Pasal 5 menentukan bahwa pendaftaran tanah

diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.4

Kemudian dengan terbentuknya PP No. 10 Tahun 2006

tentang Badan Pertanahan Nasional, maka tugas

penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan oleh Deputi

Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah. Penyelenggaraan

Pendaftaran Tanah secara garis besar meliputi kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data

pendaftaran tanah. Kedua hal tersebut sama-sama

3
Arba,Hukum Agraria Indonesia.(Jakarta: Sinar Grafika, 2015)hlm.151-152.
4
Ibid., hlm.159.
pentingnya, karena jika salah satunya kurang diperhatikan

maka menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan dikemudian

hari.

Indonesia menganut sistem stelsel negatif yaitu pemilikan

tanah secara individual jika hanya mengandalkan kepada

ingatan atau keterangan saksi pasti tidak teliti, karena

ingatan bisa saja kabur dan saksi-saksi hidup satu masa akan

meninggal dunia, apalagi seperti di Indonesia, tanah sudah

ada sejak dahulu dalam artian bahwa hubungan manusia

dengan tanah telah ada sejak dahulu, namun karena tidak

tertulis apalagi tidak terdaftar hanya secara lisan diketahui

tanah itu milik siapa dan batas-batasnya, atau setidak-

tidaknya satu bidang tanah itu umum diketahui adalah milik

seseorang ataupun warisan seseorang pada ahli warisnya.

Lebih jauh A.P. Parlindungan mengatakan bahwa sistem

hal ini juga diinsafi dengan adanya lembaga examiner of title

(di Indonesia: Panitia Tanah) sehingga memberi kesempatan

kepada orang atas pihak yang merasa haknya lebih

benar/kuat dari yang terdapat dalam sertifikat untuk

mengklaim hal ini dengan mengajukannya kepada Pengadilan

Negeri setempat dengan adagium siapa yang merasa berhak


harus mengajukan bukti-buktinya. Jika hal ini meyakinkan,

Hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa sertifikat itu

batal, dan menyatakan orang yang mengajukan perkara

tersebut lebih berhak dan meyakinkan.

Pelaksanaan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

Indonesia didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997. Pelaksanan pendaftaran tanah diselenggarakan

oleh Badan Pertanahan Nasional Pelaksanaan pendaftaran

tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali

dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Pasal 11). 5

Pendaftaran tanah untuk pertama kali (Pasal 13)

dilakukan melalui dua cara, yaitu:

1. Secara sistematik, didasarkan pada suatu rencana kerja

dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan

oleh Menteri.

2. Secara sporadik, pendaftaran tanah dilaksanakan atas

permintaan pihak yang berkepentingan.

B. Penyelesaian Sengketa yang Tidak Bersetifikat (Studi Kasus : Pembelian

Tanah tidak Bersertifikat di Daerah Parapat )

Permasalahan : Terjadi transaksi pembelian tanah di daerah Parapat Pak Budi dari

Pak Majol dan membangun rumah, terdapat surat kepemilikan tanah, namun belum
5
Ibid., hlm.162.
terdapat sertifikat nasional. Setelah 7 tahun ada pihak yang mengklaim (si A)

bahwa tanah Pak Majol adalah milik mereka, akibatnya 28 rumah terkena klaim

kepemilikan si A, yang sudah tinggal berpuluh-puluh tahun lamanya. Setelah

ditelusuri dan mengambil jalur hukum, si penuntut tidak menahu soal batas-batas

tanah miliknya, karena tanah Pak Majol dan si penuntut dulunya adalah warisan

nenek moyang mereka, jadi dari pihak tergugat mendatangkan saksi orang tua

(kakek-kakek) ataupun orang yang mengerti batasan-batasan tanah dan mengaku

tahu bahwa tanah yang kami tinggali bukanlah bagian dari tanah si A. Karena

waktu pembagian tanah dia ikut sebagai saksi zaman dahulu, sementara saksi dari

si penggugat adalah saksi yang tidak menahu batas-batas tanah tapi mengklaim itu

tanah si A. Pak Majol sendiri sudah meninggal sesudah perkara ini. Dalam

persidangan si A memenangkan perkara dan tergugat akan mengajukan banding ke

tingkat kasasi. Bagaimana analisis dan penyelesaian sengketanya ?

Pada dasarnya, setiap pemindahan hak atas tanah wajib dibuktikan melalui

akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagaimana

dijelaskan pada Pasal 37 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), sebagai berikut:

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual

beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum

pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat

didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”


Jadi secara prinsip, seharusnya jual beli yang dilakukan menuangkan di dalam

Akta Jual Beli (AJB) yang disahkan oleh PPAT, dan kemudian disampaikan

kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran tanah (perolehan

surat tanda bukti kepemilikan tanah atau sertifikat).

Diasumsikan bahwa sertifikat nasional yang dimaksud di sini adalah

pendaftaran AJB yang disahkan oleh PPAT pada Kantor Pertanahan yang nantinya

akan dijadikan sebagai dasar perolehan sertifikat tanah (AJB sebagai dasar

perolehan sertifikat tanah), dengan tidak adanya pendaftaran AJB tersebut, maka

kekuatan pembuktian yang menandakan terjadinya pemindahan hak atas tanah

yang menjadi sengketa mau tidak mau tidak kuat, terutama di pengadilan.

Selain itu perlu diketahui bahwa AJB saja tidak cukup untuk membuktikan

kepemilikan tanah. AJB memang dapat membuktikan telah terjadi transaksi jual

beli tanah. Akan tetapi, untuk pembuktian yang kuat mengenai kepemilikan atas

tanah hanya dapat dibuktikan oleh adanya sertifikat tanah sebagai surat tanda bukti

hak atas tanah.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 32 PP 24/1997, yaitu:

1. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat

di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan

data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
2. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah

atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut

dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang

merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut

pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak

diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis

kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang

bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai

penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Untuk itu jika ingin membuktikan bahwa tanah tersebut merupakan

tanah hak milik pak Budi yang telah dibeli dari pak Majol, maka idealnya

harus dibuktikan dengan adanya AJB sebagai bukti telah terjadi transaksi jual

beli dan sertifikat kepemilikan atas tanah tersebut.

Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang

tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun susun

sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik

atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor

Pertanahan, sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang

namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli

waris.
Namun, mengenai hal ini, bukti-bukti dapat diajukan di dalam

persidangan dan ditanyakan kepada Kantor Pertanahan terkait, jika memang

tanah warisan tersebut telah didaftarkan secara sah dan perndaftaran tanah

tersebut menunjukkan bahwa hak atas tanah telah ada pada pihak A. Jika tidak

ada bukti-bukti mengenai pendaftaran peralihan hak karena pewarisan di

Kantor Pertanahan akibat pewarisan sudah terjadi jauh sebelum

dikeluarkannya kewajiban pendaftaran tanah ini, maka kita dapat lanjut pada

isu selanjutnya.

Sengketa Batas Tanah. Bahwa penentuan batas-batas tanah (patok-patok

tanah) diselenggarakan pertama kali setelah Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Pokok Agraria \ berlaku, sehingga dianggap penentuan batas-

batas tanah ini sebagai penyelenggaraan pendaftaran tanah yang pertama kali.

Di dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, dilakukan

pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah

dan peralihan hak tersebut beserta dengan pemberian surat-surat tanda bukti

hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Maka dari itu, memang benar perlu dihadirkan saksi-saksi yang

berkaitan pada saat pengukuran tanah berlangsung, tetapi jika tidak dilengkapi

dengan dokumen-dokumen yang menguatkan keterangan saksi, maka berlaku

adagium unus testis nullus testis (satu saksi bukanlah saksi, jika hanya

terdapat satu saksi maka harus sesuai dengan alat bukti lain), sehingga

keterangan saksi pihak Penggugat menjadi ditiadakan. 


Ditambah lagi dengan adanya saksi tandingan yang dihadirkan oleh

Tergugat, meskipun memang akhirnya keterangannya dianggap tidak

berdasar, tetapi karena sifat hukum acara perdata yang menerapkan hakim

yang bersifat pasif, maka harus dibuktikan oleh Penggugat bahwa keterangan

saksi Tergugat memanglah tidak berdasar.

Langkah Hukum telah dijelaskan di dalam duduk perkara, bahwa

perkara ini sudah pada tahap banding di Pengadilan Tinggi. Maka langkah

hukum selanjutnya adalah jelas mengajukan upaya kasasi di Mahkamah

Agung. Pemeriksaan tingkat kasasi yang bersifat judex juris yakni memeriksa

penerapan hukum atau penerapan asas-asas hukum pada putusan tingkat di

bawahnya, maka tidak dapat diajukan alat-alat bukti baru, kecuali pada tingkat

Peninjauan Kembali, jika memang perkara harus sampai pada tingkat

Peninjauan Kembali.

Akan tetapi pada tingkat kasasi ini, masih dapat diusahakan bahwa

terjadi kekeliruan penerapan asas hukum oleh hakim di tingkat Pengadilan

Negeri atau Pengadilan Tinggi, seperti misalnya hakim di tingkat peradilan di

bawah Mahkamah Agung tidak mempertimbangkan beberapa alat bukti yang

diajukan atau sebaliknya, hakim justru mempertimbangkan saksi yang sama

sekali tidak relevan terhadap kasus, padahal hakim diwajibkan untuk

mempertimbangkan kesesuaian kesaksian dengan alat bukti lainnya atau dapat

pula diinvestigasi apakah sebenarnya saksi yang dihadirkan oleh Penggugat

adalah saksi yang benar-benar independen atau ternyata disewa oleh pihak
Penggugat untuk membela pihak mereka. Hal ini dapat dilihat dari latar

belakang saksi yang dihadirkan oleh Penggugat. Jika terbukti bahwa saksi

tersebut tidak independen, maka keterangan saksi tersebut dapat tidak

dihiraukan oleh hakim.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

1. Pendaftaran Tanah

Salah satu tujuan dari Pendaftaran Tanah yaitu  untuk memberikan

kepastian hukum hak milik atas tanah terhadap masyarakat sesuai pasal 3

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 , namun seutuhnya belum

terlaksana dengan baik sebagai bukti bahwa peringkat pertama di setiap

pengadilan Negeri di Indonesia masih ditempati oleh konflik-konflik sengketa

pertanahan dan terkait dengan pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa

pihak yang merasa mempunyai sesuatu kepentingan terkait hak atas tanah yang

didaftarkan oleh seseorang, dibatasi hanya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun

sejak diterbitkannya sertifikat tanah, dapat melakukan gugatan dalam rangka

mempertahankan haknya, kecuali dapat dibuktikan tidak adanya itikad baik

dalam perolehan sertifikat tersebut. Sesuai dengan pasal ini secara jelas dan tegas

pembentuk UU bersifat mendua.

Disatu sisi mempunyai keinginan untuk memberikan kepastian hukum bagi

pemilik tanah yang sudah bersertifikat, tetapi di sisi lain juga tidak mempunyai

keyakinan atas kebenaran data fisik maupun data yuridis yang digunakan untuk

melakukan pendaftaran tanah hingga terbitnya sertifikat. Oleh karena itu sampai

saat ini janji untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah belum

dirasakan oleh masyarakat.  Sertifikat berlaku hanya sebagai alat pembuktian

yang kuat, artinya  selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data
yuridis yang tercantum di dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang

benar baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di

pengadilan.

2.Analisis Kasus

Pendaftaran tanah dewasa ini sangat penting dilakukan mengingat tanah adalah

bentuk harta yang tidak akan terpengaruh oleh waktu dan jaman dan lebih

menguntungkan dibanding bentuk-bentuk kekayaan lain. wajib untuk melindungi

kepemilikan tanah agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Dan untuk mewujudkan

itu, maka tanah perlu didaftarakan secara resmi.

Dalam Kasus ini masing-masing pihak tergugat maupun penggugat harus dapat

membuktikan bahwa tanah tersebut milik nya dengan menggunakan saksi dari

masing-masing pihak karena sifat hukum acara perdata yang menerapkan hakim

yang bersifat pasif.


DAFTAR PUSTAKA

Arba. 2015. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Sutedi, Adrian. 2012. Sertifikat Hak Atas Tanah. Jakarta:Sinar Grafika.

Wibowo Tunardy. “Pendaftaran Tanah”. Jurnal Hukum No.4

Vol.02 November 2013


Tugas Makalah

Penyelesaian Sengketa yang Tidak Bersetifikat


(Studi Kasus : Pembelian Tanah tidak Bersertifikat di Daerah
Parapat )

Diajukan sebagai tugas mata kuliah Teori dan Kebijakan Pendaftaran Tanah
Dosen Pengajar : Dr. Ana Silviana, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh :

Muhammad Mizan Aufa 11000219410039


Kelas A2

Program Studi Magister Kenotariatan


Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro
2020

Anda mungkin juga menyukai