Anda di halaman 1dari 7

PAPER DASAR PERIKANAN TANGKAP

TENTANG KRISIS

Dosen pengampu: Kurniawan, S.Pi., M.Si.

Disusun Oleh:
Kelas: MSP B
Kelompok 5
Carolin (2021911044)
Irdian Meida Susanto (2021911050)
Melica (2021911009)
Nada Chyntia Kharisma (2021911028)
Winda Amelia Sari (2021911060)

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG


FAKULTAS PERTANIAN PERIKANAN DAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
BALUNIJUK
2020
Perikanan tangkap adalah usaha penangkapan ikan dan organisme air lainnya di alam liar
(laut, sungai, danau, dan badan air lainnya). Di zaman primitif, kegiatan penangkapan ikan hanya
mungkin dilakukan ketika banyak ikan menepi ke pantai, sungai, atau mungkin juga danau
dengan kondisi oseanografi (arus dan gelombang) serta cuaca yang bersahabat. Barangkali
karena aktivitas penangkapan ikan inilah yang pada awal sejarah kemanusiaan membuat hampir
permukiman berlokasi di tepi sungai dan laut.

Para ahli sejarah perikanan dunia membagi periode sejarah perikanan tangkap pada tataran
global menjadi 3 periode, yakni praindustri, industri, dan krisis. Sejak 1995 perikanan dunia
sudah memasuki periode ke-3 yakni periode krisis. Dunia perikanan dan kelautan di seluruh
belahan dunia sedang mengalami krisis sumberdaya. Peneliti perikanan menemukan bahwa stok
ikan berbagai jenis turun akibat kegiatan tangkap lebih maupun tangkap penuh. Apabila cara-
cara kita mengelola usaha perikanan tangkap tidak segera diperbaiki, boleh jadi industri
perikanan tangkap dunia akan ambruk (collapse).

Di Indonesia, krisis perikanan juga terjadi karena penangkapan yang menggunakan bom ikan
maupun racun. Akibat dari pengelolaan yang tak lestari, Indonesia mengalami kerugian besar
USD 2 juta setiap tahun. Untuk mengurangi kerugian tersebut pemerintahan menerapkan
pengelolaan perikanan tangkap Indonesia sebesar 80 persen dari nilai maksimum sustainable
yield (MSY) yang nilainya ditaksir 5,0 juta ton per tahun. MSY yang dikenal dan pakai ini
merupakan alat ukur penentuan batas variabel perikanan untuk menentukan apakah suatu daerah
masih memungkinkan pengelolaan perikanan atau tidak sama sekali.

Bila dilihat dari stok SDI (sumber daya ikan) yang masih tersedia di laut dan perairan umum
(danau, sungai, waduk, rawa) dan dibandingkan dengan tingkat penangkapannya maka status
perikanan tangkap berada pada periode ke-2 (masa industri), namun sudah di persimpangan
jalan. Sebelum terbentuknya DKP, pada tahun 1999 total produksi perikanan tangkap dan laut
mencapai 3,5 juta ton atau sekitar 55% dari potensi lestari (6,4 juta ton/tahun).

Namun demikian beberapa jenis SDI (khususnya udang penaeid, ikan demersal, terubuk, dan
lemuru) telah mengalami overfishing di sebagian perairan Selat Malaka, sepanjang Pantai Utara
Jawa, Selat Bali, Pantai Selatan Sulawesi dan sebagian Laut Arafura. Sementara itu, keadaan
ekosistem pesisir utama (seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan estuaria) sebagai
tempat pemijahan (spawning grounds), tempat asuhan (nursery grounds), dan tempat mencari
makan (feeding grounds) sudah banyak yang rusak.

Belum lagi tekanan pencemaran yang berasal dari kegiatan manusia (pembangunan) di
daratan dan laut yang semuanya bermuara ke laut. Atas dasar kondisi ini, kebijakan dan program
pembangunan perikanan tangkap mestinya menerapkan pendekatan manajemen kehati-hatian
(precautionary principles) dan rehabilitas kerusakan lingkungan.

Sebagai negara berkembang yang sedang seru-serunya dilanda badai krisis moneter dan
ekonomi sejak medio 1997, berdirinya DKP juga sangat diharapkan dapat memberikan
kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan
kesejahteraan rakyat. Bahkan harapan tersebut dirasakan sangat tinggi. Boleh jadi,
overekspektasi tersebut juga karena keberhasilan DKP dalam menyosialisasikan potensi ekonomi
kelautan dan perikanan yang sangat besar, yaitu US$ 82 miliar per tahun yang berasal dari
perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengelolaan hasil perikanan, dan industri
bioteknologi perairan.

Atau, pada awal 2000 ada sebagian komponen bangsa yang menyangka bahwa tugas pokok
dan fungsi DKP mencakup semua kegiatan (sektor) ekonomi kelautan, termasuk perhubungan
laut, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, dan industri maritim. Padahal tupoksi ekonomi
DKP hanya meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil
perikanan, industri bioteknologi perairan, sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, barang
berharga dari muatan kapal tenggelam (BMKT), dan pasir laut. Dan, tupoksi ekonomi ini pun
diserahkan kepada DKP secara bertahap.

Sampai pertengahan 2000, perikanan budidaya masih berada di bawah Departemen Pertanian.
Kendati demikian, atas dasar potensi ekonomi perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri
pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi perairan saja adalah wajar bila rakyat
mengharapkan sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi
kemajuan dan kemakmuran bangsa. Berangkat dari argumen ini, maka kebijakan dan program
pembangunan sektor kelautan dan perikanan sewajarnya memprioritaskan peningkatan laju
pemanfaatan SDKP (Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) baik melalui usaha perikanan
tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi, maupun
topoksi ekonomi DKP lainnya.

Kondisi perikanan tangkap Indonesia yang berada ‘di persimpangan jalan’ harus diupayakan
menuju ke sosok industri perikanan tangkap (sustainable capture fisheries) sebagaimana yang
berhasil diwujudkan oleh Islandia, Australia, dan Selandia Baru. Banyak faktor yang
menyebabkan perikanan tangkap pada tataran dunia sebagian besar gagal dan menuju ambang
kehancuran, namun ada 3 faktor yang paling menentukan.

Pertama adalah kesalahpahaman tentang pengertian SDI sebagai sumber daya dapat pulih
(renewable resource). Pada awalnya sumber daya dapat pulih dianggap sebagai sumber daya
yang dapat eksploitasi seberapa saja dan tak akan pernah habis. Kesadaran bahwa sumber daya
dapat pulih seperti ikan juga bisa habis (punah) bila di eksploitasi terus menerus tanpa batas baru
muncul pada tahun 1940-an setelah ditemukannya rumus dinamika populasi ikan pertama oleh
ilmuwan perikanan Inggris, Russel (1932). Namun kesalahpahaman tersebut diantara para
nelayan dan pengusaha perikanan tangkap dunia masih berlangsung hingga tahun 1970-an.

Kedua adalah bahwa sebelum adanya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable


development) pada 1986, tujuan pembangunan perikanan tangkap hampir di semua negara
adalah bagaimana memaksimalkan hasil tangkap (volume produksi).

Ketiga adalah karena kebanyakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan


tangkap di seluruh dunia mempersepsikan usaha perikanan tangkap sebagai sesuatu yang
terpisah yakni ikan di laut, nelayan di kapal ikan (fish in the sea, fishermen in fishing boats).
Padahal kenyataannya, ikan hidup di dalam ekosistem laut dimana terjadi interaksi dinamis
antara ikan dan komponen biotic lainnya, dan antara ikan dan komponen abiotik yang menyusun
ekosistem laut termaksud.

Pada saat yang sama, nelayan juga bukan hanya hidup di atas kapal ikan, tetapi juga hidup
dalam sebuah rumah tangga yang merupakan bagian tak terpisahkan dan sebuah masyarakat
yang lebih besar. Para nelayan berhubungan dengan kelompok masyarakat lainnya ketika mereka
menjual hasil tangkapnya, membeli perbekalan untuk melaut, dan interaksi sosial-ekonomi dan
budaya lainnya.
Sebagai contoh adalah konflik yang terjadi antara nelayan rawai, nelayan jaring batu dan
nelayan trawl yang beroperasi di Perairan Provinsi Riau merupakan peristiwa yang terjadi di
wilayah Pantai Timur Sumatera. Konflik dengan nelayan rawai disebabkan pengusaha perikanan
jaring batu dan trawl menangkap ikan pada jalur penangkapan nelayan rawai, yaitu dibawah 3
mil lautdari garis pantai. Nelayan rawai mengalami penurunan hasil tangkapan, sebagai akibat
ketidakmampuan untuk bersaing dengan nelayan jaring batu (bottom drift gillnet) ataupun
nelayan trawl. Kondisi ini menyebabkan nelayan rawai mengadakan perlawanan dengan
melakukan pembakaran dan penyanderaan terhadap beberapa kapal jaring batu dan trawl.
Konflik pemanfaatan sumber daya perikanan di kawasan ini telah muncul sejak tahun 1980-an
yang pada umumnya disebabkan oleh adanya introduksi teknologi dengan dalih modernisasi.
Modernisasi pada berbagai sektor telah banyak menciptakan masalah, ketimpangan dan
ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam.

Modernisasi yang terjadi pada perikanan tangkap telah memperbesar intensitas upaya
eksploitasi terhadap sumber daya perikanan di Perairan Kecamatan Bantan yang mengakibatkan
terganggunya sistem sosial masyarakat setempat. Hal ini berakibat terancamnya mata
pencaharian dan sistem nilai yang berlaku di tengah masyarakat. Keadaan ini memperpanjang
daftar kasus konflik antara nelayan rawai Kecamatan Bantan dengan nelayan jaring batu yang
dikuasai oleh para pemodal yang dirasakan semakin berkembang secara tajam.

Konflik antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu memiliki kedinamisan yang tinggi.
Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode konflik. Data
lapangan menunjukkan bahwa konflik semakin terbuka dengan munculnya perilaku-perilaku
yang kontra produktif (saling bertentangan) diantara pelaku konflik. Pentahapan konflik menurut
Fisher et al (2000) yang membagi 5 tahapan konflik yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat
dan pascakonflik.

Faktor mendasar pendorong terjadinya konflik belum banyak mendapat perhatian dan
dijadikan dasar dalam penyelesaiannya adalah:

1). Dilatarbelakangi kultur nelayan rawai Kecamatan Bantan dalam mengelola dan
memanfaatkan sumber daya perikanan yang tidak mendapat pengakuan dari nelayan jaring batu.
2). Faktor sosial yang cenderung melakukan perebutan wilayah tangkap, dimana kehadiran
nelayan jaring batu telah dianggap mengganggu ketentraman dan kenyamanan nelayan rawai.

3). Faktor yuridis yaitu keberadaan peraturan dan perundangan yang mengatur pemanfaatan
sumber daya perikanan yang tidak sesuai dengan karakteristik daerah dan sistem nilai yang
berlaku di masyarakat nelayan Kecamatan Bantan.

Dengan demikian, jika ingin berhasil membangun perikanan tangkap nasional yang dapat
menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat
(khususnya nelayan) secara berkelanjutan maka mesti mengelola pembangunan perikanan
tangkap dengan menerapkan pendekatan sistem (system approach) yang intinya terdiri dari 3
subsistem, yakni alam (ekosistem), manusia, dan manajemen. Selanjutnya sebagai sistem
terbuka, sistem perikanan tangkap juga berinteraksi dengan sistem-sistem lainnya. Atas dasar
komponen, struktur, dan interaksi dinamis antar komponen dalam sistem perikanan tangkap serta
mempertimbangkan pengaruh faktor eksternal inilah seharusnya visi, misi, tujuan, kebijakan dan
program pembangunan perikanan tangkap dirumuskan, diimplementasikan dan dikendalikan.
DAFTAR PUSTAKA

Food and Agriculture Organization. 1985. FAO Species Catalogue Vol. 6. Snappers Of The
World. FAO Fisheries Synopsis No. 125, Volume 6. Food And Agriculture Organization Of
The United Nations.

Fisher, S. Jawed, L. Steve, W. Dekha, I, A. Richard, S. dan Sue, W. 2001. Mengelola Konflik,
Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council Indonesia

Sari, T, E, Y. Wisudo, S, H. Monintja, D, R. dan Purwaka, T. 2010. Konflik Perikanan Tangkap


di Perairan Kabupaten Bangkalis Provinsi Riau. Journal of Marine Fisheries. 01(1): 11-20

Anda mungkin juga menyukai