Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan masalah kesehatan yang utama dalam masyarakat di


beberapa negara industri maju dan negara berkembang seperti Indonesia. Gagal jantung adalah
suatu keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa pasokan darah untuk
mempertahankan sirkulasi yang cukup sesuai kebutuhan tubuh, meskipun tekanan pengisian
cukup1. Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan berkaitan
dengan mortalitas dan morbiditas yang signifikan pada kelompok usia 65 tahun ke atas3.

Gagal jantung merupakan sebuah pandemi global, yang berpengaruh pada 26 juta jiwa di
seluruh dunia dan meningkat setiap tahunnya. Menurut American Heart Association (AHA) di
Amerika terdapat 5,8 juta orang yang mengalami gagal jantung dan setiap tahun terdiagnosis
600.000 kasus baru, dengan insidens 10 per 1000 orang 2. Menurut data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013, di Indonesia diperkirakan 229.696 orang atau sekitar 0,13% mengalami gagal
jantung berdasarkan diagnosis dokter. Risiko kematian dari penyakit gagal jantung setiap
tahunnya sebesar 5-10%, pada pasien dengan gejala ringan akan meningkat 30-40% hingga
berlanjutnya penyakit4.

Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan gagal jantung. Penyebab tersering gagal
jantung di negara maju adalah penyakit arteri koroner dan hipertensi, sedangkan penyebab
tersering di negara berkembang antara lain penyakit katup jantung dan malnutrisi 5. Penyakit
katup jantung dapat terjadi pada katup aorta, pulmonal, trikuspid maupun mitral dan pada masa
pembukaan maupun penutupan katup. Pada umumnya penyakit katup jantung disebabkan karena
infeksi rematik, kelainan degeneratif dan etiologi baru penyakit katup jantung, seperti infeksi
HIV, obat-obatan, dan kelainan idiopatik. Penyakit rematik masih cukup banyak dijumpai dalam
masyarakat Indonesia, baik di pedesaan maupun perkotaan. Tatalaksana definitif dari kelainan
ini adalah koreksi deformitas struktural katup, baik dengan intervensi bedah maupun non-bedah.
Keterlambatan intervensi akan mengakibatkan keadaan yang buruk dengan penurunan kualitas
hidup, serta peningkatan angka mortalitas dan morbiditas6.

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan dari laporan kasus ini adalah :


1. Penulis dan pembaca diharapkan dapat mengerti dan memahami tentang gagal jantung
kongesti.
2. Penulis dan pembaca diharapkan mampu menerapkan teori terhadap pasien dengan gagal
jantung kongesti.
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat Penulisan

Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan pembaca
terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan wawasan kepada masyarakat
umum agar lebih mengetahui dan memahami tentang gagal jantung kongestif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus memiliki
tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat
melakukan aktivitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema
pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istirahat7. Menurut panduan dari AHA, gagal jantung diartikan sebagai sindroma kompleks klinis
yang disebabkan oleh gangguan struktural atau fungsional jantung yang mengganggu
kemampuan ventrikel untuk mengisi maupun memompa darah8.

Demam reumatik adalah sekuel nonsupuratif dari infeksi tengorokan oleh bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A. Penyakit jantung rematik adalah sekuel jangka panjang
dari demam reumatik akut, yang melibatkan katup jantung dan berujung pada stenosis dan
regurgitasi, dengan gangguan hemodinamik15.

2.2. Klasifikasi

Pembagian klasifikasi gagal jantung oleh AHA dan New York Heart Association (NYHA)
menyediakan informasi yang berguna mengenai keadaan dan keparahan gagal jantung.
Klasifikasi oleh AHA menekankan pada progresivitas penyakit, sedangkan klasifikasi oleh
NYHA fokus terhadap kapasitas aktivitas dan simtomatik dari gagal jantung11.
Tabel 2.1. Klasifikasi gagal jantung

Stadium Definisi Deskripsi


A Berisiko Pasien dengan faktor risiko terjadinya penyakit jantung katup
B Progresif Pasien dengan penyakit jantung katup progresif (derajat
ringan-sedang dan asimtomatik)
C Berat Pasien asimtomatik yang memenuhi kriteria penyakit katup
asimtomatik jantung berat :
C1 : Pasien asimtomatik dengan penyakit katup jantung berat
tanpa disertai dekompensasi ventrikel kanan atau kiri
C2 : Pasien asimtomatik dengan penyakit katup jantung berat
yang disertai dekompensasi ventrikel kanan atau kiri.
D Berat Pasien dengan gejala dari penyakit katup jantung
simtomatik
Tabel 2.2. Klasifikasi penyakit katup berdasarkan keparahannya

2.3. Etiologi dan Patofisiologi


Kelainan katup penyakit jantung rematik adalah konsekuensi paling penting dari demam
rematik akut dan salah satu presentasi paling umum dari penyakit kardiovaskular di rumah sakit
di negara berkembang. Lesi katup bersifat progresif dan menyebabkan gagal jantung kronik.
Demam reumatik merupakan infeksi lambat dan komplikasi nonsupuratif dari faringitis yang
disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Penyakit jantung reumatik merupakan
sekuel dari demam reumatik, namun tidak mengikuti infeksi Streptococcus di kulit.15
Demam reumatik terjadi dari respons imun humoral dan dimediasi sel yang terjadi 1-3 minggu
setelah onset faringitis. Streptococcus menampilkan mimikri molekular yang dikenali oleh
sistem imun, khususnya protein M bakterial dan antigen seperti myosin dan endotel katup.
Antigen Streptococcus akan melekat pada sel pejamu dan mengalami aktivasi silang antibodi,
sehingga sel B dan CD4+ akan mengalami aktivasi autoreaktif. Antibodi antimiosin mengenali
laminin, yang merupakan bagian dari struktur membrana basalis katup. Sel T memulai respons
TH1 dengan keluarnya interferon γ. Sel T yang responsif terhadap protein M menginfiltrasi
katup melalui endotel katup tersebut, yang diaktifkan oleh menyatunya karbohidrat
antistreptokokus dengan tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin20. Sel T yang lain
berespons pada protein jantung seperti vimentin dan tropomiosin dan membentuk lesi
granulomatosa di endokardium. Aktivitas sistem imun pada protein jantung akan menyebabkan
pancarditis dan kerusakan katup.19 Kerusakan katup paling sering berbentuk valvulitis pada katup
mitral (50-60% kasus) dan gabungan antara katup aorta dan mitral (<20% kasus)20.

Gagal jantung kronis dapat terjadi akibat berbagai macam gangguan kardiovaskular. Etiologi
dapat dikelompokkan menjadi beberapa hal antara lain kerusakan kontraktilitas ventrikel,
peningkatan afterload, atau mengganggu relaksasi dan pengisian ventrikel. Kerusakan katup
pada penyakit jantung rematik berperan pada kerusakan kontraktilitas ventrikel akibat overload
violume kronik, yang akan menyebabkan gagal jantung dengan nilai ejeksi fraksi yang menurun
(disfungsi sistolik)11.

Pada regurgitasi mitral, sebagian stroke volume ventrikel kiri dialirkan ke atrium kiri selama
periode sistolik. Alhasil curah jantung menuju aorta menjadi kurang dari total curah jantung
ventrikel kiri. Sehingga konsekuensi langsung dari regurgitasi mitral meliputi peningkatan
volume dan tekanan atrium kiri, penurunan curah jantung ke aorta, dan stroke volume terkait
stress padaventrikel kiri karena volume regurgitasi akan kembali ke ventrikel kiri pada diastole
bersamaan dengan venous return pulmoner normal10.

Untuk mencapai kebutuhan sirkulasi normal, stroke volume ventrikel kiri harus meningkat.
Peningkatan ini dicapai dengan mekanisme Frank-Starling, dimana volume diastolik ventrikel
kiri yang meningkat menambah peregangan serat miofibril dan stroke volume tiap kali kontraksi.
Keparahan regurgitasi mitral dan rasio curah jantung yang mengalir balik dipengaruhi oleh lima
faktor yaitu ukuran orifisium mitral selama regurgitasi, gradien tekanan sistolik antara ventrikel
kiri dan atrium kiri, resistensi vaskular sistemik yang berlawanan arah dengan aliran darah
ventrikel kiri, pengisian atrium kiri dan durasi regurgitasi dalam setiap kontraksi sistolik10.

Pada regurgitasi mitral akut, tekanan di atrium kiri meningkat secara substansial ketika tiba-
tiba terpapar kepada volume regurgitasi. Tekanan yang meningkat ini merupakan untuk
mencegah regurgitasi lebih berat, namun tekanan yang tinggi ini juga mengalir balik ke sirkulasi
pulmoner. Sehingga dapat bermanifestasi pada kongesti pulmoner, edema, dan kegawatdaruratan
medik.10

Pada regurgitasi mitral kronik, perkembangan penyakit yang bertahap menjadikan atrium kiri
mengalami perubahan sesuai mekanisme kompensasi yaitu dilatasi atrium kiri yang mengurangi
efek regurgitasi pada sirkulasi pulmoner. Dilatasi atrium kiri dan peningkatan pengisian atrium
menjadikan atrium dapat menampung volume yang lebih besar tanpa peningkatan tekanan yang
substansial. Dilatasi atrium kiri juga mencegah peningkatan tekanan vena pulmonalis. Namun
adaptasi ini terjadi pada penurunan curah jantung, karena atrium kiri yang sudah diloatasi
mengurangi tekanan untuk ejeksi ke ventrikel. Konsekuensinya, seiring lebih banyak darah yang
mengalir ke atrium, maka gejala utama regurgitasi mitral kronik adalah akibat rendahnya curah
jantung. Lebih jauh lagi, dilatasi atrium kiri menjadi predisposisi untuk fibrilasi atrial. 10

Pada regurgitasi aorta, darah dari aorta mengalir ke ventrikel kiri selama diastolik. Dalam tiap
kali kontraksi, ventrikel kiri harus memompa volume regurgitan dan darah normal yang masuk
dari atrium kaan. Kompensasi hemodinamik bersandar pada mekanisme Frank-Starling untuk
menambah stroke volume. Faktor yang mempengaruhi keparahan regurgitasi aorta yaitu ukuran
orifisium aorta regurgitan, gradient tekanan pada katup aorta selama diastole, dan durasi
diastole10.
Pada regurgitasi aorta kronik, ventrikel kiri mengalami adaptasi akibat regurgitasi yang telah
berlangsung lama. Ventrikel berkompensasi melalui dilatasi kronik dan ketebalan yang
bertambah.. Seiring waktu, dilatasi menambah kemampuan pengisian ventrikel kiri dan dapat
menampung volume regurgitan yang lebih besar, mengurangi tekanan pada atrium kiri dan
sirkulasi pulmoner. Namun, dengan menampung volume regurgitan yang lebih besar, tekanan
diastolik pada aorta dan arteri sistemik jauh berkurang. Kombinasi dari stroke volume ventrikel
kiri yang tinggi dan tekanan diastolik rendah akan menyebabkan tekanan nadi yang melebar.
Hasil dari menurunnya tekanan diastolik aorta, tekanan perfusi arteri koroner menurun, yang
berpotensi menurunkan suplai oksigen miokardium. Hal ini, ditambah dengan pembesaran
ventrikel kiri (yang menyebabkan peningkatan tekanan pada dinding jantung dan kebutuhan
oksigen miokardium) dapat menyebabkan angina, walaupun tanpa aterosklerosis koroner10.

2.4. Penegakan Diagnosis

2.4.1. Anamnesis

Diagnosis gagal jantung tegak bila terdapat paling sedikit dua kriteria mayor atau satu kriteria
mayor dan dua kriteria minor.7

Kriteria Mayor :
o Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
o Distensi vena leher
o Ronki
o Kardiomegali
o Edema paru akut
o Gallop S3
o Peninggian tekanan vena jugularis lebih dari 16 cmH2O
o Waktu sirkulasi lebih dari atau sama dengan 25 detik
Kriteria Minor :
o Edema ekstremitas
o Batuk malam hari
o Dyspnea d’effort
o Hepatomegali
o Efusi pleura
o Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
o Takikardi >120x/ menit
Kriteria Mayor atau Minor :
Penurunan BB lebih dari atau sama dengan 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Tabel 2.3. Kriteria Framingham7

Demam reumatik

Diagnosis ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria
minor, bersamaan dengan bukti infeksi Streptococcus hemolitik grup A.

Kriteria Mayor
Populasi risiko tinggi Populasi risiko rendah
Karditis (klinis maupun subklinis) Karditis (klinis maupun subklinis)
Arthritis – hanya poliarthritis Arthritis – hanya poliarthritis
Chorea Poliarthralgia
Erythema marginatum Chorea
Nodul subkutan Erythema marginatum
Nodul subkutan
Kriteria Minor
Populasi risiko tinggi Populasi risiko rendah
Poliarthralgia Monoarthralgia
Hiperpireksia (≥38,5oC) Hiperpireksia (≥38,5oC)
LED ≥60 mm/jam atau CRP ≥3,0 mg/dL LED ≥60 mm/jam atau CRP ≥3,0 mg/dL
Interval PR memanjang Interval PR memanjang
Bila tidak ada karditis sebagai kriteria mayor Bila tidak ada karditis sebagai kriteria mayor
Tabel 2.4. Kriteria Jones untuk diagnosis demam reumatik18

Regurgitasi Mitral
Pasien dengan regurgitasi mitral akut biasanya mengalami gejala edema paru, yang
bersamaan dengan gejala gangguan ventrikel kiri, sepeti kelelahan, dispnea dan ortopnea. Pasien
dengan regurgitasi mitral kronik mengalami gejala yang berkaitan dengan curah jantung yang
menurun, seperti dispnea on exertion (DOE) dan kelelahan. Seiring waktu, pasien dapat
merasakan palpitasi bila atrial fibrilasi terjadi sebagai dampak dari dilatasi atrium kronik. Pasien
dengan regurgitasi mitral kronik juga dapat merasakan gejala kongesti paru dan edema. Bila
sudah terjadi maka gagal jantung menjadi ireversibel.11,12

Regurgitasi Aorta

Gejala awal yang muncul biasanya adalah palpitasi, yang disebabkan oleh peningkatan gaya
kontraksi jantung yang mengalami dilatasi. 13 Gejala umum regurgitasi aorta kronis meliputi
DOE, toleransi aktivitas yang menurun, dan perasaan tidak nyaman oleh karena denyut jantung
yang kuat yang berkaitan dengan tingginya tekanan nadi.7 Pada regurgitasi aorta derajat berat,
gejala utama disebabkan oleh peningkatan tekanan vena pulmonalis sehingga menimbulkan
sesak napas, ortopnea dan PND. Gagal jantung dan angina dapat ditemui pada 20% pasien.13

2.4.2. Pemeriksaan Fisik


Murmur dijelaskan dengan waktu, intensitas, nada, bentuk, lokasi, radiasi, dan responnya
terhadap manuver. Waktu mengacu pada apakah murmur terjadi selama sistol atau diastole, atau
kontinu. Intensitas biasanya dikuantifikasi oleh sistem penilaian. Nada murmur mengacu pada
frekuensi murmur, mulai dari tinggi ke rendah. Murmur frekuensi tinggi disebabkan oleh gradien
tekanan besar diantara ruang (mis., stenosis aorta). Murmur frekuensi rendah disebabkan oleh
gradien tekanan yang kecil diantara ruang (mis., stenosis mitral). Bentuk murmur menjelaskan
bagaimana perubahan intensitas murmur dari awal hingga selesai. Sebagai contoh, bentuk
crescendo-decrescendo (diamond shaped) yang pertama-tama muncul dan intensitasnya
meningkat. Lokasi murmur mengacu pada daerah murmur intesitas maksimum dan biasanya
dijelaskan sebagai area auskultasi spesifik. Murmur sering terdengar radiasinya ke area dada
lainnya, dan pola-pola penularannya seperti itu berkaitan dengan arah aliran turbulen. Jenis
murmur juga dapat dibedakan dengan lainnya dengan beragam manuver, seperti berdiri tegak,
valsava, atau mengepalkan tinju, dimana masing-masing mengubah penguatan jantung dan dapat
mempengaruhi intensitas murmur.14
Regurgitasi mitral

Terdapat pergeseran iktus kordis ke lateral akibat pembesaran ventrikel kiri. Dapat teraba
thrill di apeks yang merupakan tanda khas untuk regurgitasi mitral derajat berat. Lift dapat
terlihat pada linea sternalis sinistra, timbul jika terdapat dilatasi ventrikel kanan. Tanda yang
paling khas adalah murmur pansistolik berfrekuensi tinggi dan nyaring, dan radiasi ke aksila.
Dapat disertai dengan opening snap atau S3 yang jika salah diinterpretasikan akan terdengar
sebagai murmur mid diastolik.11,12

Regurgitasi Aorta

Dapat ditemukan adanya tanda tekanan nadi yang melebar. Murmur pada regurgitasi aorta
merupakan murmur early diastolic, yang dapat terdengar sepanjang batas kiri sternum. Murmur
paling baik didengar bila pasien dengan posisi lebih condong ke depan dan setelah ekspirasi.
Suara murmur mid diastolik berfrekuensi rendah dapat terdengar di apeks pada penderita
regurgitasi berat, disebut juga murmur Austin-Flint. Hal tersebut dapat membedakan dari
murmur mitral stenosis dengan tidak adanya penekanan pada presistolik.11

Tanda Deskripsi
Pulsasi Bisferiens Impuls sistolik ganda pada arteri karotid atau
brakialis.
Pulsasi Corrigan Pulsasi water-hammer dengan kolaps dan
distensi bermakna.
Tanda de Musset Pergerakan kepala pada tiap denyut sistolik.
Tanda Hill Tekanan sistolik poplitea lebih besar 60 mmHg
daripada tekanan sistolik brakialis
Tanda Muller Pulsasi sistolik di uvula
Tanda Quincke Pulsasi kapiler yang terlihat di ujung atau dasar
proksimal kuku
Tanda Traube Suara seperti tembakan pistol yang didengar di
arteri femoralis
Tanda Duroziez Murmur yang terdengar di arteri femoralis
dengan pembebatan ringan
Tabel 2.8. Temuan fisis terkait tekanan nadi yang melebar pada regurgitasi aorta kronik11

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang


Demam reumatik

Kultur tenggorok masih menjadi standar konfirmasi infeksi streptokokus grup A. Deteksi
antigen tidak sesensitif kultur tenggorok, namun spesifisitasnya lebih tinggi, sehingga hasil uji
rapid antigen menunjukkan hasil positif, maka dapat mengkonfimasi adanya infeksi
streptokokus.11

Uji titer antibodi meliputi uji Antistreptolisin O (ASO), antistreptokokus DNAse B (ADB),
dan antistreptokokus hialuronidase (AH). Kenaikan titer ASO merupakan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya. Biasanya nilainya lebih meningkat pada faring dibanding pada infeksi
kulit, sementara ADB akan meningkat dimanapun tempat infeksinya.11

Ekokardiografi dapat menunjukkan lesi regurgitasi katup pada pasien yang tidak tampak
manifestasi klinis dari karditis. Sekarang hal ini merupakan bagian integral dari evaluasi demam
reumatik18. Lesi stenosis katup terutama mitral juga ditemukan pada pasien demam rematik. Pada
pemeriksaan foto polos dada, tampak kardiomegali pada penderita karditis.11

Kriteria ekokardiografi untuk demam reumatik antara lain 18:

Ekokardiografi Doppler :

1. Regurgitasi mitral patologis (harus ditemukan seluruh kriteria):

 Terlihat sedikitnya pada dua proyeksi


 Panjang jet regurgitasi ≥2 cm sedikitnya pada satu proyeksi
 Peak velocity >3 m/s
 Pansistolik regurgitasi
2. Regurgitasi aorta patologis :
 \ Terlihat sedikitnya pada dua proyeksi
 Panjang jet regurgitasi ≥1 cm sedikitnya pada satu proyeksi
 Peak velocity >3 m/s
 Pandiastolik regurgitasi

Ekokardiografi morfologi :
1. Keterlibatan akut katup mitral :

 Dilatasi annulus mitral


 Perpanjangan korda tendinea
 Rupture korda tendinea dengan regurgitasi mitral akut
 Prolapsus leaflet anterior
 Lesi nodular pada leaflet
2. Keterlibatan kronik katup mitral :
 Penebalan leaflet
 Penebalan korda tendinea dengan fusi
 Mobilitas leaflet terbatas
 Kalsifikasi
3. Lesi pada katup aorta dan mitral :
 Penebalan fokal atau simetris dari leaflet
 Leaflet menutup saat systole
 Mobilitas leaflet terbatas
 Prolapsus leaflet

2.5. Tatalaksana

Pengelolaan medikamentosa untuk regurgitasi mitral dan aorta antara lain: 9

a. Vasodilator :

- ACE-I : captopril 3x12,5-100 mg

- ARB : valsartan 1-2x 20-160 mg

- Arterio dilator langsung : hidralazin 4x12,5-100 mg

b. Diuretik

- Furosemid : drip intravena sampai 20 mg/jam atau sampai 3x80 mg oral

- Diuretik hemat kalium : spironolakton sampai 1x100 mg


c. Antiaritmia

- Amiodaron : dari 3x400 mg dilanjutkan dengan 1x100 mg

- Digoksin oral : 1x0,125-0,25 mg tab

- penyekat β : metoprolol sampai 2x100 mg atau bisoprolol 1x1,25-10 mg.

d. Suplemen elektrolit

- Kalium klorida oral sampai 3x2 tablet

- KCl drip intravena sesuai rumus koreksi, tidak boleh >20 mEq/jam

e. Antikogulan / antitrombositoral :

- warfarin 1-6 mg/hari (target kadar INR 2-3)

- Aspirin 1 x80-160 mg (pada atrial fibrilasi usia <65 tahun tanpa riwayat hipertensi tau gagal
jantung).

Tindakan pembedahan berupa perbaikan/reparasi katup, penggantian katup bioprostetik atau


prostetik mekanik9. Katup bioprostetik membutuhkan intervensi ulang beberapa tahun setelah
pemasangan awal, sedangkan katup mekanik biasanya bebas dari kegagalan structural, namun
katup mekanik membutuhkan terapi antikoagulan seumur hidup. Perbaikan katup untuk
regurgitasi mitral terdiri dari edge-to-edge repair dan annuloplasty. Berikut rekomendasi dari
AHA mengenai intervensi katup prostetik (AHA 2017 focused update)17:

- Katup bioprostetik direkomendasikan pada pasien dengan kontraindikasi terapi antikoagulan,


atau dengan usia >70 tahun.

- Prostetik mekanis direkomendasikan pada pasien usia <50 tahun tanpa kontraindikasi terapi
antikoagulan

1. Regurgitasi mitral primer

Indikasi pembedahan pada regurgitasi mitral primer berat, antara lain15,16 :

- Pembedahan diindikasikan pada pasien simtomatik dengan ejeksi fraksi >30%.


- Pembedahan diindikasikan pada pasien asimtomatik dengan disfungsi ventrikel kiri
(dilatasi akhir sistolik ≥45mm dan/atau nilai ejeksi fraksi ≤60%)
- Pembedahan dipertimbangkan pada pasien asimtomatik dengan nilai ejeksi fraksi
preserved (>60%) dan fibrilasi atrial sekunder terhadap regurgitasi mitral atau hipertensi
pulmoner (tekanan sistolik pulmoner saat istirahat >50 mmHg) Pembedahan
dipertimbangkan pada pasien asimtomatik dengan nilai ejeksi fraksi preserved (>60%)
dan dilatasi ventrikel kiri akhir systole 40-44 mm.
- Perbaikan katup mitral dipertimbangkan pada psien simtomatik dengan disfungsi
ventrikel kiri yang berat (nilai ejeksi fraksi <30% dan/atau dilatasi akhir sistolik >55mm),
yang refrakter terhadap terapi obat-obatan, ketika kecenderungan untuk berhasi tinggi
dan komorbiditas rendah.
- Penggantian katup mitral dipertimbangkan pada pasien simtomatik dengan disfungsi
ventrikel kiri yang berat (ejeksi fraksi <30% dan/atau dilatasi akhir sistolik >55 mm).
Pada regurgitasi mitral akut, nitrat dan diuretik digunakan untuk mengurangi tekanan
pengisian ventrikel. Natrium nitropruside mengurangi afterload dan fraksi regurgitan. Agen
inotropik dan pompa balon intra-aorta digunakan pada hipotensi dan keadaan hemodinamik tidak
stabil. Pada regurgitasi mitral kronik dengan fungsi ventrikel yang baik, tidak ada bukti yang
menunjukkan penggunaan profilaktik dari vasodilator, termasuk ACE-I. namun, ACE-I sebaikya
dipertimbangkan ketika gagal jantung terjadi pada pasien yang tidak dapat dibedah atau gejala
menetap setelah pembedahan. Penyekat β dan spironolakton juga dapat dipertimbangkan.9
2. Regurgitasi mitral sekunder
Indikasi pembedahan pada regurgitasi mitral sekunder antara lain16 :
- Pasien dengan regurgitasi mitral sekunder berat yang telah dilakukan pemasangan CABG
dan nilai ejeksi fraksi >30%
- Pembedahan dipertimbangkan pada pasien simtomatik dengan regurgitasi sekunder berat,
nilai ejeksi fraksi <30% namun dengan pilihan revaskularisasi dan bukri viabilitas
miokardium
- Bila revaskularisasi tidak diindikasikan, pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan regurgitasi sekunder berat dan nilai ejeksi fraksi >30% yang tetap simtomatik
walaupun sudah diberikan terapi obat-obatan optimal dan memiliki risiko pembedahan
yang rendah
- Bila revaskularisasi tidak diindikasikan dan risiko pembedahan tinggi, prosedur edge-to-
edge perkutan dapat dipertimbangkan pada pasien dengann regurgitasi sekunder berat dan
nilai ejeksi fraksi >30% yang tetap simtomatik walaupun telah diberi obat-obatan yang
optimal dan dengan morfologi katup yang sesuai dari ekokardiografi, untuk menghindari
kegagalan.
- Pada pasien dengan regurgitasi sekunder berat dan nilai ejeksi fraksi <30% yang tetap
simtomatik walaupun sudah diberi obat-obatan optimal dan tidak punya pilihan untuk
revaskularisasi, maka dapat dipertimbangkan prosedur edge-to-edge perkutan atau bedah
katup setelah evaluasi cermat untuk alat bantu ventrikel atau transplantasi jantung,
tergantung pada karakteristik individual pasien.

Terapi obat yang optimal sejalan dengan panduan terapi gagal jantung, harus menjadi langkah
pertama dalam menangani seluruh pasien dengan regurgitasi mitral sekunder. Indikasi Cardiac
Resynchronization Therapy sebaiknya dievaluasi, sesuai dengan panduan terkait. Bila gejala
menetap setelah optimalisasi dari terapi konvensional gagal jantung, pilihan untuk intervensi
katup mitral sebaiknya dievaluasi16.

Indikasi pembedahan pada regurgitasi aorta berat, antara lain15:

- Pasien simtomatik

- pasien asimtomatik dengan nilai ejeksi fraksi ≤50% saat istirahat

- pasien yang sudah pernah dibedah untuk Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) atau
pembedahan katup

- Pasien asimtomatik dengan nilai ejeksi fraksi ≤50% saat istirahat dengan dilatasi ventrikel kiri
pada akhir diastole >70 mm dan pada akhir sistole >50 mm.

Tambahan daftar pustaka :

18. Szczygielska I, Hernik E, Kolodziejczyk B, et al. Rheumatic fever – new diagnostic criteria.
Reumatologia 2018;vol:56(1);37-41
19. Carapetis JR, Beaton A, Cunningham MW, et al. Acute rheumatic fever and rheumatic heart disease.
Nat Rev Dis Primers 2016 Jan 14;vol.2(15084)

20. Watkins DA, Beaton AZ, Carapetis JR, et al. Rheumatic Heart Disease Worldwide. J AM Coll Cardiol
2018 Sep 18;vol.72(12);1397-1416

16. Baumgartner H, Falk V, Bax JJ, et al. 2017 ESC/EACTS Guidelines for the management of valvular
heart disease. European Heart Journal 2017 Sep;vol.38(36);2739-91.

17. Nishimura RA, Otto CM, Bonow RO, et al. 2017 AHA/ACC Focused Update of the 2014 AHA/ACC
Guideline for the Management of Patients with Valvular Heart Disease : A Report of the ACC/AHA Task
force on Clinical Practice Guidelines. Circulation 2017; vol.135; e1159-95

Anda mungkin juga menyukai