Anda di halaman 1dari 9

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI

POTONG DALAM MENDUKUNG PROGRAM


SWASEMBADA DAGING SAPI DAN
KERBAU TAHUN 2014

Dwi Priyanto

Balai Penelitian Ternak, Jalan Banjarwaru, Ciawi, Kotak Pos 221 Bogor 16002, Telp. (0251) 8240752,
Faks. (0251) 8240754, E-mail: balitnak@litbang.deptan.go.id

Diajukan: 05 Oktober 2010; Diterima: 24 Maret 2011

ABSTRAK
Laju permintaan daging sapi meningkat tajam seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, perbaikan pendapatan
per kapita, dan perubahan selera konsumen. Namun, sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara net
importir daging sapi karena 35% pasokan dipenuhi dari impor. Oleh karena itu, upaya mencapai swasembada daging
sapi dan kerbau (PSDSK) tahun 2014 difokuskan pada pengembangan usaha peternakan rakyat dengan memanfaatkan
sumber daya lokal. Strategi untuk mendukung PSDSK meliputi pengembangan sentra-sentra produksi sapi potong
dan penggalian sumber pakan (padang penggembalaan), khususnya untuk usaha pembibitan, serta pengembangan
aspek teknis dan teknologi, yang meliputi penyelamatan sapi betina produktif untuk meningkatkan populasi
ternak, menunda pemotongan ternak untuk mencapai bobot potong yang optimal, memperpendek jarak beranak
(calving interval) untuk efisiensi reproduksi, dan penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) untuk memperoleh
bobot badan yang tinggi. Keempat komponen tersebut mampu memberi kontribusi terhadap produksi daging sapi
sebesar 58,43% dari target swasembada 400.000 t/tahun, dengan menerapkan pola integrasi dan inovasi kelembagaan.
Kebijakan pemerintah dengan mengendalikan impor daging dan sapi bakalan berperan penting pula dalam melindungi
peternakan rakyat. Koordinasi antarinstitusi pusat dan daerah sangat diperlukan dalam implementasi program di
lapangan, termasuk pemantauan dan evaluasi secara periodik.
Kata kunci: Sapi potong, kerbau, usaha ternak, produksi daging, swasembada daging

ABSTRACT
Strategy of beef cattle development to support beef self-sufficiency program in 2014

Beef cattle demand increases significantly in line with the increasing population, improving income per capita, and
change in consumers' preference. However, Indonesia until now is still as net importer of beef as 35% of supply is
supported by import. In achieving beef self-sufficiency in 2014, effort was focused on the development of
domestic farming system through utilization of local resources. Strategies to support beef self-sufficiency include
development of beef cattle production centers and utilization of grass land to increase carrying capacity, particularly
at cow calf production, and improvement of technical aspects and innovations of technology which include
protection of slaughtering female productive cow to increase population, delaying slaughtering to increase body
weight, shortening lambing interval to optimize reproduction, and introducing artificial insemination (AI) to
produce final stocks with optimum body weight. These components could support beef production up to 58.43%
from self-sufficiency target of 400,000 tons/year, by implementing integrated model and innovation of institution.
Government policy in limitation of beef and cattle import is also important to protect domestic cattle farming.
Coordination of institutions from central until regional levels is needed in implementing program in specific area,
and supported by monitoring and evaluation.
Keywords: Beef cattle, buffaloes, farming systems, beef production, beef self-sufficiency

L aju peningkatan jumlah penduduk,


yang diikuti dengan perbaikan taraf
hidup dan perubahan selera konsumen
mengarah pada protein hewani asal ternak.
Daging, telur, dan susu merupakan komo-
ditas pangan berprotein tinggi, yang
mahal dibanding bahan pangan lainnya
(Soedjana 1997).
Daging sapi sebagian besar dihasil-
telah mengubah pola konsumsi yang umumnya memiliki harga yang lebih kan oleh usaha peternakan rakyat. Kebu-

108 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


tuhan daging sapi meningkat dari tahun oleh berbagai terobosan dalam inovasi faktor, yaitu: 1) penyediaan daging pada
ke tahun, demikian pula impor terus teknologi, kelembagaan, dan kebijakan. awalnya masih tidak sesuai dengan
bertambah dengan laju yang makin Strategi percepatan swasembada daging permintaan yang masih terjadi excess
tinggi, baik impor daging maupun sapi sap i dan kerbau yang dicanangkan demand, 2) meningkatnya pendapatan
bakalan. Indonesia merupakan negara Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjen- rumah tangga yang cenderung meng-
net importir produk peternakan, termasuk nak) dilakukan melalui kegiatan teknis, ubah pola konsumsi yang mengarah pa-
daging sapi. Kondisi demikian menuntut yang meliputi 1) pengembangan sentra da protein hewani asal ternak, termasuk
para pemangku kepentingan (stake- perbibitan dan penggemukan, 2) revitali- daging sapi, dan 3) perubahan selera
holders) menetapkan suatu strategi sasi kelembagaan dan SDM di lapangan, masyarakat yang cenderung mengarah
pengembangan peternakan sapi potong dan 3) dukungan sarana dan prasarana, pada konsumsi daging sapi (steak dan
nasional untuk mengurangi ketergan- serta kegiatan nonteknis seperti dukungan produk olahan lainnya).
tungan pada impor, dan secara bertahap finansial dan pengembangan wilayah Peningkatan konsumsi daging sapi
mampu berswasembada dalam menye- (Badan Litbang Pertanian 2009). belum dapat diimbangi oleh peningkatan
diakan kebutuhan daging nasional. Tulisan ini mengulas model pengem- produksi dalam negeri, baik kualitas mau-
Program swasembada daging sapi bangan usaha ternak sapi potong dalam pun kuantitasnya, sehingga terjadi jurang
telah dicanangkan selama dua periode (5 mendukung PSDSK 2014. Aspek yang yang semakin besar antara permintaan dan
tahunan), dan terakhir ditargetkan tercapai dibahas meliputi rekomendasi teknologi penawaran (Subagyo 2009). Kondisi ini
pada 2010 melalui berbagai terobosan, dan kelembagaan, kebijakan, serta koor- tercermin pada impor sapi bakalan mau-
namun upaya tersebut belum berhasil. dinasi institusi dalam implementasi prog- pun daging yang cenderung meningkat.
Menurut Yusdja et al. (2004), ketidak- ram di lapangan. Impor sapi bakalan mencapai 570.100
berhasilan swasembada daging yang di- ekor pada tahun 2008 dan meningkat
canangkan pada tahun 2000 dan berakhir 40,84%/tahun. Demikian pula impor
pada 2004 disebabkan tidak tercapainya daging sapi mencapai 45.708,5 ton de-
sasaran program. Penyebabnya adalah: 1) PERKEMBANGAN SUMBER ngan peningkatan 37,58%/tahun (Tabel
kebijakan program tidak disertai dengan DAYA DAN POPULASI SAPI 1). Target swasembada daging sapi
rencana operasional yang rinci dan kegi- POTONG adalah 9095% dari kebutuhan, semen-
atan riil di lapangan, 2) program bersifat tara sisanya (510%) dapat dipenuhi
top down dan berskala kecil dibandingkan Pemenuhan kebutuhan daging sapi nasi- melalui impor (Badan Litbang Pertanian
dengan sasaran yang ingin dicapai, 3) onal ditentukan oleh beberapa faktor 2009).
strategi implementasi program disama- yang terkait dengan data dukung yang Endik (2010) menyatakan, swasem-
ratakan dengan tidak memprioritaskan tersedia dan peluang dalam menarik bada daging sapi berarti harus menggali
wilayah unggulan, tetapi berorientasi pada kebijakan ke depan. Populasi penduduk seluruh potensi dan kemampuan dalam
komoditas unggulan, 4) implementasi sebagai faktor utama dalam pemenuhan negeri untuk memenuhi kebutuhan tanpa
program tidak memungkinkan untuk kebutuhan daging cenderung meningkat perlu melakukan impor. Pengembangan
mengevaluasi dampak program, dan 5) dengan laju 1,2%/tahun (BPS 2009a), sapi dilakukan dengan melibatkan peter-
program tidak secara jelas memberikan sementara laju peningkatan populasi nak sebagai pelaku utama. Namun, luas
dampak pada pertumbuhan populasi sapi potong mencapai 5,3% (BPS 2009b). area padang rumput sebagai sumber pa-
ternak secara nasional. Laju pemotongan ternak sapi mencapai kan ternak menurun dengan laju 6,2%.
Selanjutnya, dicanangkan program 4,9% dan laju produksi daging 3,1% Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam
swasembada daging sapi dan kerbau (Ditjennak 2009). Laju peningkatan pro- pengembangan sapi potong melalui
(PSDSK) yang diharapkan dicapai pada duksi daging tersebut tidak mampu penggembalaan, khususnya untuk usaha
tahun 2014. Program tersebut didukung memenuhi permintaan karena berbagai pembibitan.

Tabel 1. Perkembangan populasi penduduk dan ternak sapi serta luas area penggembalaan di Indonesia, 20052008.

Tahun Peningkatan/
Peubah
2005 2006 2007 2008 tahun (%)

Populasi penduduk (000 jiwa)1 218.869 221.654,5 224.196 226.766,6 1,20


Populasi sapi potong (ekor) 10.569.312 10.575.125 11.514.671 12.256.604 5,32
Pemotongan (ekor) 1.653.770 1.799.781 1.885.950 1.899.107 4,94
Produksi daging sapi (t) 358.704 395.840 339.480 392.511 3,14
Impor sapi bakalan (000 ekor) 256,2 265,7 414,2 570,1 40,84
Impor daging sapi (t) 21.484,5 25.949,2 39.400 45.708,5 37,58
1999 2000 2002 2003
Padang rumput2 2.424.459 2.208.923 2.155.015 2.041.671 -6,25
1 2
Sumber: BPS (2009a); Ditjennak (2008; 2009).

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011 109


SUMBER PRODUKSI DAN samping harga sapi lokal yang lebih dikendalikan karena persaingan usaha
KEBUTUHAN DAGING SAPI mahal dibanding sapi bakalan impor. cenderung dimenangkan pihak pemodal
Volume impor sapi bakalan menunjukkan besar yang menguasai pasar.
DI INDONESIA
trend yang semakin tinggi, yaitu 40,2%
Penyediaan daging sapi nasional berasal (Ditjennak 2009), dan berperan penting
dari tiga sumber utama, yakni: 1) usaha dalam mendukung penyediaan daging STRATEGI PENGEM-
peternakan rakyat, 2) industri pengge- nasional. Usaha penggemukan sangat BANGAN SAPI POTONG
menguntungkan walaupun dengan input
mukan sapi dengan melakukan impor MENDUKUNG PSDSK
sapi bakalan, dan 3) impor daging sapi tinggi karena merupakan usaha padat
(Gambar 1). Usaha ternak sapi potong rak- modal dan dalam jangka waktu pendek
Pelaksanaan PSDSK 2014 relatif singkat,
yat umumnya berupa usaha pembibitan investasi dapat kembali. Oleh karena itu,
yakni 4 tahun, sehingga perlu program
(produksi anak) atau pembesaran anak usaha penggemukan cukup berkembang.
terobosan yang mampu mendongkrak
dengan biaya rendah (low external input). Di satu sisi, impor sapi bakalan berpotensi
produksi daging nasional, dengan mem-
Manajemen usaha dilakukan secara tra- mendukung suplai daging nasional,
pertimbangkan kemudahan implementasi
disional dengan memanfaatkan sumber namun di lain pihak merupakan pesaing
dan efisiensi usaha. Untuk mendukung
daya lokal (padat tenaga kerja), tidak bagi usaha peternakan rakyat.
PSDSK 2014, beberapa program yang
berorientasi pada keuntungan karena Impor daging sapi cenderung me- dapat dilaksanakan diuraikan berikut
mengandalkan tenaga kerja keluarga, ningkat dari tahun ke tahun dengan laju ini.
dan diusahakan dalam skala kecil. 37,58%/tahun (Tabel 1). Impor daging
Usaha pembibitan kurang menarik sapi dilakukan oleh 16 importir yang ada
minat investor karena efisiensinya ren- di Indonesia (Subagyo 2009) dan 30
Pengembangan Sentra Produksi
dah dan jangka pengembalian modal importir daging beku (serta berbagai je-
nis daging lainnya). Berdasarkan UU No. Sapi Potong Berbasis Wilayah
panjang (Rayana 2009). Suplai daging
berasal dari sapi betina afkir atau dewasa, 18 tahun 2009 tentang pembukaan izin
impor, tercatat enam negara yang boleh Pengembangan sapi potong memerlukan
sapi jantan lokal, sapi perah afkir, dan
memasukkan daging sapi ke Indonesia, pengelompokan basis wilayah yang di-
anak sapi perah jantan. Peternak men-
antara lain Australia, Selandia Baru, sesuaikan dengan daya dukung (carrying
jual sapi berdasarkan kebutuhan. Sapi
Amerika Serikat, dan Kanada. Selama ini capacity) sebagai model pengembangan
jantan umumnya dijual ke pemilik modal
impor didominasi dari Australia (60%) ke depan. Terdapat 10 provinsi utama
untuk digemukkan.
dan Selandia Baru (30%) dari total impor produsen daging, meskipun mengalami
Impor sapi bakalan dilakukan oleh
70.000 t/tahun (Rayana 2009). Impor pergeseran dari tahun ke tahun (Tabel 2).
importir yang kemudian dikelola oleh
daging sapi di satu sisi dapat memenuhi Pada tahun 2004, produsen daging utama
feedloter untuk digemukkan, biasanya se-
kebutuhan, namun di sisi lain menjadi adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa
lama 34 bulan atau sampai siap potong.
pesaing usaha peternakan rakyat. Oleh Tengah, Banten, Sumatera Barat, Jakarta,
Impor sapi bakalan dilakukan karena
karena itu, impor daging sapi perlu Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Selatan,
sulitnya mendapat sapi bakalan lokal, di
dan Kalimantan Timur. Namun, pada ta-
hun 2008 Jawa Timur menjadi produsen
terbesar, disusul Jawa Barat dan Jawa
Tengah, sedangkan Jakarta, Bali, dan
Kalimantan Timur tidak masuk dalam 10
Sumber daging sapi Asal produk daging Sistem usaha
nasional besar produsen daging (Departemen
Pertanian 2009 dalam Subagyo 2009).
Jawa sebagai pusat konsumen daging
Sapi betina sapi merupakan sentra pemotongan ter-

Peternakan rakyat
nak terbesar.

(domestik)

Sapi jantan lokal untuk Tradisional dan Pola usaha umumnya berupa usaha
penggemukan semitradisional penggemukan, selain pembibitan dengan
 (padat tenaga kerja) pola intensif, dengan basis pengem-
Sapi perah afkir/
anak sapi perah jantan bangan usaha difokuskan pada industri
hilir. Potensi pakan terintegrasi dengan

 tanaman pangan, perkebunan, dan kehu-


Feedlodter
tanan dan sudah mengarah pada usaha

Sapi siap potong


Impor sapi bakalan (komersial/padat


modal) semikomersial. Inovasi teknologi ke arah
komersialisasi pengembangan produk

Impor daging Daging beku


Importir (komersial/ lebih diutamakan.


padat modal) Pemetaan wilayah pengembangan
usaha (sumber pertumbuhan baru) dengan
pola pembibitan maupun penggemukan
Gambar 1. Alur produksi usaha peternakan dalam mendukung ketersediaan daging diperlukan untuk mendukung peningkatan
nasional. populasi ternak. Usaha pembibitan dise-

110 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


Tabel 2. Sepuluh provinsi utama penggembalaan merupakan alternatif sembada 400.000 ton daging maka pela-
produsen daging sapi, 2004 pendukung mempercepat pencapaian rangan pemotongan sapi betina produktif
dan 2008. swasembada daging sapi, khususnya akan mendukung pasokan daging 3,68%.
pembibitan yang dikelola oleh masyarakat Oleh karena itu, kebijakan penyelamatan
Provinsi Persentase (pemeliharaan secara ekstensif). Meles betina produktif dipandang tepat.
(2009) menyatakan, pengembangan sapi Ilham (2006) menyatakan, faktor yang
Tahun 2004
Jawa Timur 17,4
potong perlu mempertimbangkan po- mendorong pemotongan sapi betina pro-
Jawa Barat 17,7 tensi sumber daya yang dimiliki daerah, duktif adalah: 1) peternak memerlukan
Jawa Tengah 14,5 seperti area penggembalaan atau area dana tunai untuk kebutuhan hidupnya
Sumatera Barat 3,0 pertanian, populasi ternak, sumber daya sehingga menjual sapi betina yang di-
Banten 3,6 manusia, teknologi tepat guna, sarana miliki, 2) harga sapi betina lebih murah
Jakarta 2,9
Sulawesi Selatan 2,7
pendukung, dan potensi pasar. dibanding sapi jantan, padahal harga jual
Bali 1,9 dagingnya sama sehingga menarik
Sumatera Selatan 1,9 pembeli, 3) adanya pemotongan di luar
Kalimantan Timur 1,5 rumah potong hewan (RPH) pemerintah,
Lainnya 32,7
Pengembangan Aspek Teknis
dan 4) banyak RPH yang hanya ber-
dan Teknologi
Tahun 2008 orientasi keuntungan sehingga mela-
Jawa Timur 23,6 kukan pemotongan sapi betina produktif.
Jawa Barat 14,9 Pengembangan usaha sapi potong ber-
Faktor ekonomi merupakan alasan utama
Jawa Tengah 13,9 dasarkan aspek teknis dan teknologi di-
Sumatera Barat 4,6
peternak menjual sapi betina produktif.
dasarkan pada pembelajaran kasus yang
Banten 4,6 Untuk mengatasi kondisi tersebut, perlu
terjadi di lapangan, yakni faktor peng-
Nanggroe Aceh Darussalam 3,5 dibentuk Badan Layanan Umum (BLU)
Sulawesi Selatan 3,4
hambat dan alternatif pemecahannya
yang berfungsi membeli sapi betina untuk
Sumatera Utara 2,8 melalui introduksi teknologi dan ke-
selanjutnya didistribusikan kembali ke
Sumatera Selatan 2,6 lembagaan, serta sarana pendukung
Nusa Tenggara Barat 2,2
peternak. Selain itu, perlu tersedia dana
lainnya.
Lainnya 23,9 cadangan untuk pembelian sapi betina
produktif dan perbaikan tata kelola RPH
di daerah.
Penyelamatan sapi betina
suaikan dengan daya dukung padang produktif
penggembalaan. Wilayah yang potensial Tunda potong untuk
untuk pengembangan usaha pembibitan Walaupun sudah ada undang-undang penggemukan
adalah Nusa Tenggara Timur, Kalimantan yang melarang pemotongan sapi betina
Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, Kali- produktif, fakta di lapangan menunjukkan Data Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
mantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan kasus tersebut masih banyak terjadi. menunjukkan, setiap tahun Indonesia
Sulawesi Tengah yang memiliki area Sekitar 200.000 ekor sapi betina produktif membutuhkan 350.000400.000 ton da-
padang rumput terluas (Tabel 3). dipotong setiap tahunnya (Rayana 2009). ging sapi, yang setara dengan pemotong-
Sampai saat ini, belum ada investor Jika 200.000 ekor sapi betina produktif an sapi 1,72 juta ekor (Rayana 2009).
yang tertarik pada usaha pembibitan sapi tersebut dapat diselamatkan maka akan Pada tahun 2007, populasi sapi potong
potong (Rayana 2009). Usaha pembibitan diperoleh tambahan anak 147.000 ekor/ mencapai 11.514.671 ekor dengan populasi
hanya dilakukan oleh peternakan rakyat tahun atau menambah produksi daging sapi induk 42,03% (Tabel 4). Bila jarak
dengan mengandalkan sumber daya lokal. 14.700 t/tahun bila satu ekor sapi setara beranak 16 bulan (Achmad 1983 dalam
Pengembangan dan pemanfaatan padang dengan 100 kg daging. Dengan target swa- Puslitbangnak 1994) dan mortalitas 2%
(Ditjennak 2008), dalam satu tahun akan
dihasilkan anak 3.557.117 ekor. Dengan
kondisi tersebut maka target pemotong-
an 2 juta ekor sapi untuk swasembada
Tabel 3. Enam provinsi di Indonesia dengan area padang rumput terluas,
daging dapat dicapai, dengan asumsi
yang potensial untuk pengembangan sapi dengan pola pembibitan.
bobot seekor sapi 200 kg (400.000 ton
Padang rumput daging). Namun, target produksi daging
Provinsi tiap ekor sapi tersebut menjadi perma-
Luas (ha) Persentase
salahan karena sapi lokal yang tercatat
Nusa Tenggara Timur 746.660 30,33 dalam populasi relatif kecil atau dipotong
Kalimantan Timur 726.798 29,52
saat belum mencapai bobot optimal se-
Nanggroe Aceh Darussalam 382.736 15,55
Kalimantan Selatan 294.098 11,95 hingga target bobot karkas per ekor
Sulawesi Selatan 157.460 6,39 (masih rendah) tidak tercapai. Oleh karena
Sulawesi Tengah 154.126 6,26 itu, rekomendasi tunda potong meru-
Indonesia 2.461.878 100 pakan salah satu alternatif dalam men-
dukung pertambahan bobot potong dan
Sumber: Ditjennak (2008).
bobot daging yang dihasilkan.

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011 111


tivitas IB, semen sebaiknya tidak didistri-
Tabel 4. Persentase struktur populasi sapi potong di Indonesia, 2003 dan busikan secara merata pada semua wi-
2007. layah, tetapi selektif pada wilayah dengan
pola pemeliharaan intensif, khususnya
Dewasa Muda Anak sumber bibit sapi potong. Tidak efektifnya
Tahun
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina distribusi semen menyebabkan persen-
tase kelahiran rendah akibat tingginya
2003 10,01 44,30 11,61 14,86 9,35 9,87
2007 12,22 42,03 10,70 13,63 10,08 11,25
service per conception (SC) dan rendah-
nya conception rate (CR). Keberhasilan
Sumber: Ditjennak (2009). IB ditentukan oleh beberapa faktor, yakni
SDM peternak, keterampilan insemina-
tor, dan sarana pendukung (peralatan)
(Sitepu et al. 1997).
Ternak lokal umumnya dipotong saat berahi pada usaha ternak intensif (dikan-
belum mencapai bobot optimal atau di- dangkan) sehingga dapat memperpendek
potong pada usia muda, dengan bobot jarak beranak, dan 3) melakukan penyu- PENGEMBANGAN FAKTOR
hidup 300350 kg sehingga menghasilkan luhan sistem perkawinan sehingga pe- PENDUKUNG
karkas atau daging yang rendah. Penun- ternak mampu mengawinkan ternak tepat
daan pemotongan melalui penggemukan waktu, baik dengan perkawinan alami Dengan rekomendasi pengembangan
akan meningkatkan produksi karkas dan maupun melalui IB. aspek teknis dan teknologi di atas, bila
daging. Apabila 50% anak yang dilahir- target swasembada daging sapi 400.000 t/
kan adalah jantan maka program tunda tahun maka komponen tersebut mampu
potong akan menambah produksi daging Pengembangan teknologi mendukung PSDSK 58,43%, yang terdiri
30 kg/ekor, atau meningkatkan produksi inseminasi buatan (lB) atas penyelamatan sapi betina produktif
daging per tahun sebesar 1.724.112 x 30 3,68%, tunda potong 12,93%, memper-
(tambahan bobot daging) atau 551.723,36 IB bertujuan untuk membentuk bangsa pendek jarak beranak 30,24%, dan pe-
ton, yang dapat mendukung program swa- baru ternak melalui persilangan dengan ngembangan IB 11,58%. Untuk mencapai
sembada daging 12,93%. Upaya tersebut pejantan unggul (Toelihere 1981). Dengan target swasembada, dalam kurun waktu 4
dapat dilakukan bekerja sama dengan teknologi IB akan dihasilkan pedet yang tahun, target tahunan harus dicapai sesuai
usaha penggemukan melalui kemitraan lebih besar dengan laju pertumbuhan rekomendasi dengan didukung beberapa
yang saling menguntungkan. Kerja sama yang cepat sehingga dapat diperoleh bo- kegiatan sebagai berikut.
peternakan rakyat dengan usaha peng- bot potong yang tinggi.
gemukan dapat mendukung program Priyanto (2003) menyatakan, pene-
tunda potong dengan memanfaatkan sapi rapan teknologi IB tidak berpengaruh ter- Pengembangan Model Integrasi
bakalan lokal. hadap penyediaan daging di Indonesia,
yang diprediksi berdasarkan distribusi Daya dukung pakan ternak terus menurun
semen beku tahunan. Kondisi tersebut akibat perkembangan populasi ternak
Memperpendek jarak beranak terjadi karena tidak seimbangnya distri- serta persaingan dalam pemanfaatan
busi semen beku dan angka kelahiran. lahan untuk usaha ternak (padang
Jarak beranak sapi peranakan ongole (PO) Pada tahun 19972000, rasio rata-rata penggembalaan) dengan pengembangan
cukup panjang, masing-masing 503 dan kelahiran pedet dibanding realisasi tanaman pangan, perkebunan, dan pe-
505 hari (sekitar 16 bulan) di Kabupaten distribusi semen hanya mencapai 38,26% rumahan. Kondisi demikian menuntut
Gunung Kidul dan Kulonprogo (Achmad atau tergolong rendah. Namun, pada adanya terobosan, antara lain pengem-
1983 dalam Puslitbangnak 1994). Dengan wilayah kantong ternak sapi potong, bangan sistem integrasi ternak dan
proporsi induk 42,03% dari total populasi teknologi IB dapat meningkatkan pro- tanaman (crop livestock system/CLS). Pola
dan jarak beranak 16 bulan akan diperoleh duktivitas sapi dengan bobot badan yang tersebut merupakan salah satu upaya
anak sebanyak 3.629.712 ekor/tahun tinggi (keturunan Limousin dan Simental), efisiensi usaha untuk meningkatkan pen-
(4.839.616 x 0,75). Jika jarak beranak dapat seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta dapatan petani dengan usaha multi-
diperpendek menjadi 12 bulan maka anak (Setiadi et al. 1997). Sebagai ilustrasi, komoditas (ternak dan tanaman). CLS
yang dihasilkan meningkat 1.209.904 ekor realisasi distribusi semen beku pada ta- mampu menekan input produksi dengan
menjadi 4.839.616 ekor/tahun. Dengan hun 19972000 mencapai 1.211.206 straw prinsip mengurangi risiko usaha melalui
asumsi produksi daging tiap ekor sapi 100 dengan angka kelahiran 38,26% dan hasil diversifikasi sehingga kelestarian sumber
kg maka produksi daging akan meningkat pedet 463.407 ekor (Priyanto 2003). De- daya lahan lebih terjaga (Diwyanto dan
120.990,40 ton atau menyumbang 30,24% ngan asumsi pertambahan bobot daging Handiwirawan 2004).
dari target swasembada. Upaya tersebut sapi hasil IB dibanding sapi lokal 100 kg/ Dalam konsep CLS, peternak diha-
dapat dilakukan dengan: 1) menyediakan ekor maka suplai daging akan bertambah rapkan mampu memanfaatkan limbah
pejantan karena telah terjadi kelangkaan 46.340,7 ton atau memberi kontribusi pertanian/perkebunan sebagai bahan ba-
pejantan unggul di lapangan karena 11,58% dari target swasembada. ku pakan ternak yang murah dan mudah
memelihara pejantan dianggap tidak Teknologi IB diminati peternak sapi diperoleh di lokasi sehingga menekan
menguntungkan, 2) mempertepat deteksi perah maupun sapi potong. Untuk efek- biaya produksi usaha ternak. Sebaliknya,

112 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


kompos dari kotoran ternak dimanfaatkan Aspek Kebijakan Research Strategic Analysis (IRSA)
sebagai pupuk tanaman untuk menekan (Adiprigandari dalam Rayana 2009)
biaya produksi tanaman. Pola ini telah PSDSK memiliki tantangan yang berat menyatakan, pembukaan kran impor da-
berkembang pada sapi, seperti integrasi dalam implementasi di lapangan, baik ging sebesar-besarnya akan menekan
padi-ternak (Haryanto et al. 2002; Yusran yang menyangkut aspek teknis pelak- usaha peternakan rakyat karena harus
dan Soleh 2004) dan sapi-sawit (Gubernur sanaan di tingkat peternak maupun bersaing untuk memperoleh pasar dalam
Provinsi Bengkulu 2004; Subagiyono pengusaha swasta (usaha penggemuk- negeri. Hal tersebut bertentangan dengan
2004) dan sangat potensial dalam pe- an). Oleh karena itu, diperlukan kebijakan Permentan No. 20/2009 tentang pema-
ngembangan peternakan spesifik lokasi. yang terkait langsung dengan kinerja sukan dan pengawasan peredaran karkas,
Pola integrasi akan meningkatkan daya pengembangan sapi potong di tingkat daging, dan jeroan dari luar negeri yang
dukung pakan dengan sentuhan inovasi nasional. Kebijakan tersebut dilakukan cenderung membuka peluang impor.
teknologi dalam pengolahan limbah ta- oleh pemerintah sebagai komponen Permentan tersebut menunjukkan ada-
naman untuk memperbaiki nilai gizi pakan. penunjang dalam konsep usaha agribisnis nya perubahan pola pikir dari ketahanan
(Saragih 2000), dengan meminimalkan per- pangan menjadi liberalisasi program
saingan antara usaha peternakan rakyat (Rayana 2009). Oleh karena itu, kebijakan
Pengembangan Kelembagaan dan pengusaha bermodal besar. pembatasan impor daging perlu dilaku-
Kebijakan Pembatasan lmpor Daging kan secara bertahap untuk menjamin
Pengembangan usaha ternak sapi potong Sapi. Kebijakan impor daging sapi awal- pertumbuhan peternakan rakyat sebagai
perlu didukung kelembagaan di tingkat nya dilakukan untuk menutup kekurangan langkah proteksi serta memacu pengem-
peternak maupun di tingkat institusi (koor- pasokan di dalam negeri. Hal ini sejalan bangan usaha ternak dalam negeri.
dinasi program) selain permodalan. Salah dengan penelitian Priyanto (2003) yang Kebijakan Pengaturan Impor Sapi
satu program pengembangan kelemba- menunjukkan bahwa peningkatan kon- Bakalan. Impor sapi bakalan meningkat
gaan adalah Program Peningkatan Pro- sumsi daging sapi nasional akan me- tajam dengan laju 40,2%/tahun. Indonesia
duktivitas Padi Terpadu (P3T) oleh Badan ningkatkan impor daging dan sapi ba- merupakan pengimpor terbesar sapi hidup
Litbang Pertanian (Zaini et al. 2002), yang kalan. Impor daging sapi pada tahun 2008 dari Australia, yang mencapai 75% dari
memasukkan komponen sapi potong seba- mencapai 45.708,5 ton dan cenderung total ekspor sapi hidup Australia ke pasar
gai model integrasi untuk merehabilitasi meningkat dari tahun ke tahun dengan dunia. Total nilai impor Indonesia
lahan pertanian. Program tersebut didu- laju 37,58%/tahun (tahun 20052008). mencapai 19 juta dolar Australia. Meat
kung oleh pengembangan kelembagaan Impor daging sapi beku dan segar and Livestock Australia (MLA), yaitu
permodalan, yakni Kelompok Usaha mencapai 35% dari kebutuhan daging perusahaan yang menjadi mitra industri
Agribisnis Terpadu (KUAT), yang meng- sapi nasional (Meles 2009). peternakan dan pemerintah Australia,
arah pada penumbuhan, penguatan, dan Rayana (2009) menyatakan, harga menyatakan Indonesia merupakan negara
pemantapan kelompok tani (Soentoro et daging impor jauh lebih rendah dibanding- tujuan ekspor dan mitra dagang penting
al. 2002). kan harga daging lokal. Harga daging (Pukesmaveta 2009).
Dalam pengembangan kelembagaan impor hanya Rp27.000Rp33.000/kg, Impor sapi bakalan yang tinggi meru-
peternakan sapi potong, kelompok diposi- sedangkan daging lokal Rp40.000 pakan pemborosan devisa negara dan
sikan sebagai: 1) target pembinaan, yakni Rp50.000/kg, walaupun penjualan da- perlu dihindari karena program swa-
peternak sebagai subjek pembinaan da- ging impor dikenakan retribusi Rp200/ sembada adalah mencukupi kebutuhan
lam pengembangan inovasi teknologi, 2) kg sedangkan retribusi daging lokal berbasis sumber daya dari dalam negeri.
target pengembangan sarana dan pra- Rp22.500/ekor. Maraknya impor daging Impor sapi bakalan mencapai 570.100 ekor
sarana, misalnya alsintan untuk pengo- juga didukung oleh UU No 18 tahun pada tahun 2008. Menurut Kadin,
lahan pakan dan kompos, sebagai lang- 2009, yang membuka izin impor daging kebutuhan daging di Indonesia mencapai
kah efisiensi dengan mengoptimalkan sapi dari Irlandia, setelah sebelumnya 400.000 t/tahun, yang setara dengan 2
kemampuan olah, jumlah pengguna, dan dari Brasil. Impor daging yang berlebihan juta ekor sapi. Jadi impor sapi bakalan
jangkauan wilayah, secara berkelanjutan, sangat menguntungkan importir, namun mendukung kebutuhan swasembada
3) pemenuhan target produksi dalam suatu berdampak buruk pada usaha peternakan daging 114.000 ton (570.000/2000.000 x
kawasan (target produksi ternak) terkait rakyat sehingga menyebabkan terjadinya 400.000 ton), atau 28,50%, yang kon-
dengan pemasaran hasil secara kontinu, kelesuan (Direktur Eksekutif Apfindo troversi dengan swasembada.
dan 4) wahana untuk menghimpun modal dalam Rayana 2009). Impor sapi bakalan sebesar itu sudah
kelompok sehingga mampu berperan Priyanto (2003) menyatakan, pening- jauh dari sasaran program swasembada
sebagai penjamin dalam penggalangan katan harga sapi lokal tidak mendorong (target impor 510%). Impor sapi bakalan
dana untuk pengembangan usaha ternak. pertumbuhan peternakan rakyat karena akan menekan harga sapi lokal karena sapi
Dengan adanya kelompok yang mantap usaha ternak bersifat tradisional. Se- impor dikelola oleh pihak swasta (padat
maka akan terbentuk usaha yang ber- baliknya, penurunan harga daging sapi modal), sebaliknya usaha peternakan
orientasi bisnis yang mampu meningkat- dari peternakan rakyat cenderung me- rakyak dikelola oleh peternak dengan
kan posisi tawar produk yang dihasilkan. nurunkan suplai daging lokal sehingga sistem padat tenaga kerja sehingga sulit
Melalui upaya ini diharapkan usaha ternak melemahkan usaha peternakan rakyat, bersaing tanpa ada proteksi (kebijakan)
dapat berkelanjutan dan mengarah pada yang salah satunya mengakibatkan pemerintah.
usaha agribisnis berbasis peternakan terjadinya persaingan impor daging yang Menurut Subagyo (2009) beberapa
(Saragih 2000). tidak terkendali. Peneliti Indonesia kendala dalam meningkatkan produksi

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011 113


daging sapi di Indonesia adalah: 1) usaha akibat membanjirnya sapi impor. Sebalik- dukung jajaran di bawahnya yakni: 1)
sapi bakalan calf-cow operation kurang nya, harga sapi di Magelang naik Rp2.000/ Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjen-
diminati pemilik modal karena kurang kg menjadi Rp22.000/kg bobot hidup nak), bertanggung jawab dalam strategi
menguntungkan dan membutuhkan wak- karena pemerintah menghentikan impor untuk merealisasikan program pengem-
tu lama, 2) adanya keterbatasan pejantan sapi. Kondisi demikian menggambarkan bangan peternakan berbasis wilayah
unggul pada peternakan rakyat, 3) bahwa impor sapi bakalan perlu diatur secara nasional, 2) Badan Litbang Per-
ketersediaan pakan tidak kontinu dan untuk melindungi peternak dalam me- tanian, sebagai sumber teknologi dan
kualitasnya rendah, terutama pada musim ngembangkan usahanya dalam rangka pendamping teknologi yang diintroduk-
kemarau, dan pemanfaatan limbah belum mendukung swasembada daging. sikan berdasarkan kesesuaian wilayah
optimal, serta 4) efisiensi reproduksi ma- dan sumber daya yang tersedia, dan 3)
sih rendah (jarak beranak panjang). Direktorat Jenderal terkait (Tanaman
Kompas 26 Juni 2010 melaporkan, dengan Koordinasi Antarinstitusi dalam Pangan, Perkebunan, Hortikultura, dan
masuknya impor sapi, peternak Jawa Implementasi Program PSDSK lainnya), berperan dalam pengembangan
Tengah merugi karena harga jual sapi daya dukung pakan melalui integrasi
turun hingga 30% (dari Rp12 juta Keberhasilan swasembada daging sapi tanaman-ternak. Koordinasi dalam pelak-
menjadi Rp8 juta/ekor), dan mengimbau memerlukan koordinasi dalam implemen- sanaannya disajikan pada Gambar 2, yang
pemerintah mengeluarkan kebijakan im- tasi di lapangan dari tingkat pusat sampai meliputi:
por sapi. Briliantono (2010) melaporkan, daerah. Kelembagaan di tingkat pusat 1) Aspek perencanaan. Koordinasi di
harga sapi di Jawa Tengah anjlog 13,6% adalah Kementerian Pertanian, yang di tingkat pusat berperan dalam meran-

Kementerian
Pertanian

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan/ Direktorat Jenderal Badan Litbang


Perkebunan/Hortikultura dll. Peternakan Pertanian

Puslitbang
Peternakan

  

Bbalitvet Balitnak Lolit Sapi



Dinas Provinsi
B P TP

Dinas Kabupaten/Kota

Wilayah pengembangan sapi potong terpilih berdasarkan agroekosistem


wilayah dan keunggulan komparatif

Inovasi teknologi Inovasi kelembagaan

Keunggulan kompetitif

Gambar 2. Mekanisme kerja dan koordinasi institusi dalam mendukung Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014.

114 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011


cang konsep dasar program, menen- ging, di samping wilayah yang memiliki 1) Pengembangan sentra-sentra pro-
tukan wilayah pengembangan ber- area padang penggembalaan sebagai duksi sapi potong dan penggalian
dasarkan analisis potensi wilayah, model pola pembibitan. Berdasarkan sumber daya dukung pakan murah,
serta menyusun juknis program, keunggulan komparatif tersebut, di- khususnya pada usaha pembibitan
rekomendasi teknologi berdasarkan terapkan inovasi teknologi dan kelem- (padang penggembalaan). Berdasar-
kondisi agroekosistem, mekanisme bagaan sehingga secara bertahap kan aspek teknis dan teknologi, di-
pelaksanaan di lapangan, serta peman- wilayah tersebut mampu memiliki rekomendasikan beberapa kegiatan,
tauan dan evaluasi. keunggulan kompetitif agar dapat yaitu penyelamatan sapi betina
2) Keterkaitan institusi (kelembagaan). bersaing dari segi efisiensi usaha, produktif, tunda potong untuk meng-
Masing-masing institusi yang terlibat yang meliputi aspek produktivitas, optimalkan bobot potong, memper-
dalam program memiliki peran dan stabilitas, keberlanjutan, dan kemera- pendek jarak beranak, dan menerap-
fungsi sesuai dengan tupoksinya. taan, dan mengarah pada konsep kan teknologi IB. Keempat kegiatan
Ditjennak berperan menentukan arah usaha agribisnis berbasis peternakan tersebut diharapkan mampu berkon-
pengembangan berkoordinasi de- (Saragih 2000). tribusi terhadap penyediaan daging
ngan Dinas Pertanian/Peternakan di 4) Pemantauan terpadu dan evaluasi. Pe- sapi sebesar 58,43% dari target swa-
tingkat provinsi maupun kabupaten/ mantauan dilakukan secara periodik sembada 400.000 t/tahun. Selain itu,
kota. Badan Litbang Pertanian mere- baik di tingkat pusat maupun daerah diperlukan perbaikan manajemen
komendasikan inovasi teknologi dan (provinsi/kabupaten/kota), yang meli- usaha melalui pola integrasi dan
kelembagaan untuk mendukung pe- puti perencanaan, pelaksanaan, dan inovasi kelembagaan.
laksanaan di lapangan melalui Pusat kemampuan program berdasarkan 2) Pengendalian impor daging dan sapi
Penelitian dan Pengembangan Peter- indikator yang telah ditentukan (indi- bakalan untuk melindungi usaha
nakan, Balai Besar Penelitian Veteriner kator teknis dan ekonomi). peternakan rakyat. Kebijakan tersebut
(teknologi penanganan penyakit diharapkan dapat menumbuhkem-
hewan), Balai Penelitian Ternak dan bangkan usaha peternakan rakyat
Loka Penelitian Sapi Potong (pen- KESIMPULAN agar dapat bersaing dengan peng-
dampingan inovasi teknologi dan usaha yang padat modal.
kelembagaan), serta Balai Pengkajian PSDSK dicanangkan tercapai pada tahun 3) Koordinasi antarinstitusi dari tingkat
Teknologi Pertanian (BPTP) dalam 2014, dengan target pemberdayaan pusat sampai daerah dalam implemen-
pengawalan inovasi teknologi. Insti- sumber daya peternakan rakyat dengan tasi program di lapangan. Koordinasi
tusi terkait di daerah berperan sebagai toleransi impor 510%. Untuk mewujudkan tersebut meliputi perencanaan dan
pelaksana. target tersebut diperlukan strategi yang implementasi program, keterkaitan
3) Strategi pengembangan. Sasarannya tepat dalam implementasi di lapangan. dan tanggung jawab masing-masing
adalah wilayah yang memiliki ke- Strategi dalam mendukung PSDSK meli- institusi, serta pemantauan dan eva-
unggulan komparatif, yaitu wilayah puti beberapa program terobosan sebagai luasi secara periodik.
potensial pendukung produksi da- berikut:

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2009. Model Pene- pola integrasi tanaman-ternak. hlm. 6380. dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 16
rapan Teknologi Litbang Sapi Potong Men- Prosiding Sistem Integrasi Tanaman dan hlm.
dukung PSDS. Badan Penelitian dan Pe- Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Ilham, N. 2006. Analisis sosial ekonomi dan
ngembangan Pertanian, Jakarta. Peternakan Bekerja sama dengan Balai
strategi pencapaian swasembada daging 2010.
Pengkajian Teknologi Pertanian Bali dan
BPS (Badan Pusat Statistik). 2009a. Estimasi Analisis Kebijakan Pertanian 4(2): 131
Crop-Animal Systems Research Network
Penduduk per Provinsi 20062010. BPS, 145.
(CASREN).
Jakarta.
Endik. 2010. Post a Comments. Harga daging Meles, W. 2009. Strategi pencapaian swasembada
BPS (Badan Pusat Statistik). 2009b. Statistik sapi impor lebih murah, kok bisa? http: daging sapi melalui penanganan gangguan
Indonesia. BPS, Jakarta. Udayrayana.blogspot. [21 Oktober 2009] reproduksi dan pemanfaatan limbah per-
tanian. Econ. Rev. (217): 5667.
Briliantono, E. 2010. Sapi impor rusak harga Gubernur Provinsi Bengkulu. 2004. Prospek
sapi lokal di Jawa Tengah. http:/net.bisnis. pengembangan sistem integrasi sapi kelapa Priyanto, P. 2003. Evaluasi Kebijakan Impor
com/umum/indonesiahariini/1kd 191452. sawit di Provinsi Bengkulu. hlm. 8792. Daging Sapi dalam Rangka Proteksi Peter-
html [21 Oktober 2009]. Prosiding Sistem Integrasi Tanaman-Ter- nak Domestik: Analisis penawaran dan
nak. Pusat Penelitian dan Pengembangan permintaan. Tesis Program Pascasarjana
Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan).
Peternakan bekerja sama dengan Balai Peng- Institut Pertanian Bogor.
2008. Statistik Peternakan. Ditjennak, Ja-
karta. kajian Teknologi Pertanian Bali dan Crop- Pukesmaveta. 2009. Indonesia importir terbesar
Animal System Research Network (CAS- sapi hidup Australia. http://www.mla.com.au/
Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). REN). general/page-net-found [04 Februari 2009].
2009. Statistik Peternakan. Ditjennak, Ja-
karta. Haryanto, B., I. Inounu, B. Arsana, dan K. Puslitbangnak (Pusat Penelitian dan Pengem-
Diwyanto. 2002. Panduan Teknis Sistem bangan Peternakan). 1994. Studi Peranan
Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan. 2004. Peran Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian Inseminasi Buatan dalam Upaya Pening-
litbang dalam mendukung usaha agribisnis

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011 115


katan Produktivitas dan Pengembangan Ter- Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dalam Subagyo, L. 2009. Potret komoditas daging sapi.
nak Sapi. Puslitbangnak, Bogor. Usaha Peningkatan Populasi dan Produk- Econ. Rev. 217: 3243.
tivitas Sapi Potong Nasional di Provinsi
Rayana, U. 2009. Harga daging sapi impor le- Toelihere, M.R. 1981. Inseminasi Buatan pada
Lampung. Laporan Hasil Penelitian. Pusat
bih murah, kok bisa? http://udayrayanan. Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.
Penelitian dan Pengembangan Peternakan
blogspot.com/2009/10.
bekerja sama dengan P4N, Bogor. Yusdja, Y., R. Sayuti, B. Winarso, L. Sadikin, dan
Saragih, B. 2000. Kumpulan Pemikiran: Agribisnis C. Muslim. 2004. Pemantapan Program dan
Soedjana, T.D. 1997. Penawaran, permintaan
Berbasis Peternakan. Edisi ke-2. USESE Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi
dan konsumsi produk peternakan di Indone-
Foundation dan Pusat Studi Pembangunan Daging Sapi. Pusat Penelitian Sosial
sia. Forum Penelitian Agroekonomi 15(1 dan
Institut Pertanian Bogor. Ekonomi Pertanian, Bogor.
2): 4554.
Setiadi, B., Subandriyo, P. Priyanto, T. Safriati, Yusran, M.A. dan M. Soleh. 2004. Pemacuan
Soentoro, M. Syukur, Sugiarto, Hendiarto, dan
N.K. Wardani, Supeno, Darodjat, dan usaha tani terpadu padi-sapi potong induk
H. Supriyadi. 2002. Panduan Teknis Pe-
Nugroho. 1997. Pengkajian Pemanfaatan secara swadaya. hlm. 203210. Prosiding
ngembangan Usaha Agribisnis Terpadu. Ba-
Teknologi Inseminasi Buatan (IB) dalam Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Pusat
dan Penelitian dan Pengembangan Perta-
Usaha Peningkatan Populasi dan Produk- Penelitian dan Pengembangan Peternakan
nian, Jakarta. 17 hlm.
tivitas Sapi Potong Nasional di Daerah bekerja sama dengan Balai Pengkajian
Istimewa Yogyakarta. Laporan Hasil Pene- Subagiyono, D. 2004. Prospek pengembangan Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal
litian. Pusat Penelitian dan Pengembangan ternak pola integrasi di kawasan perkebunan. System Research Network (CASREN).
Peternakan bekerja sama dengan P4N, Sistem integrasi tanaman ternak. Pusat
Zaini, Z., I. Las, Suwarno, B. Haryanto, Suntoro
Bogor. Penelitian dan Pengembangan Peternakan
dan E. Ananto. 2002. Pedoman Umum
bekerja sama dengan Balai Pengkajian
Sitepu, P., R. Dharsana, L.P. Gede, Soeripto, L.K. Kegiatan Percontohan Peningkatan Produk-
Teknologi Pertanian Bali dan Crop-Animal
Sutama, T.P. Chaniago, Nurcahyo, Tjahyo- tivitas Padi Terpadu. Badan Penelitian dan
System Research Network (CASREN), Bali.
wiyoso, T. Rohmat, B. Bakrie, Sukandar, dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 24 hlm.
hlm. 1317.
T. Asril. 1997. Pengkajian Pemanfaatan

116 Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011

Anda mungkin juga menyukai