Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Asma Bronchial

1. Pengertian

Epidural hematoma adalah hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber

perdarahannya adalah robeknya arteri meningea media. (NICNOC2015)

Epidural hematoma sebagai keadaan neurology yang bersifat emergency dan

biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar

sehingga menimbulkan perdarahan. (Anderson, 2005). Pada kejadian epidural hematoma

jika pendarahan membesar dilakukan tindakan pebedahan craniotomy. Craniotomy adalah

operasi membuka tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki

kerusakan yang diakibatkan oleh adanya luka yang ada di kepala.

2. Etiologi

Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deslerasi, akselerasi-

deselerasi, coup-countere coup, dan cedera rotasional. Cedera akselerasi terjadi jika objek

bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak (misalnya alat pemukul menghantam

kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala). 2. Cedera deselerasi terjadi jika kepala

yang bergerak membentur objek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobi ketika

kepala membentur kaca depan mobil. 3. Cedera akselerasi-deselerasi terjadi dalam kasus

kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan. 4. Cedera coup-counter coup

Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang cranial dan

dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang

pertamakali terbentur. Sebagai contoh : pasien dipukul dibagian belakang kepala. 5. Cedera
rotasional terjadi jika pukulan / benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga

tengkorak yang mengakibatkan perenggangan atau robeknya neuron dalam substansia alba

serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga

tengkorak.

3. Manisfestasi klinis

Pasien dengan EDH seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang

telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Tanda dan

gejala yang tampak pada pasien dengan edh antara lain:

1. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma.

2. Perubahan tanda vital. Biasanya kenaikan tekanan darah dan bradikardi.

3. Nyeri kepala yang hebat

4. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga.

5. Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.

6. Gangguan penglihatan dan pendengara.

7. Kejang otot.

8. Mual.

9. Pusing.

10. Muntah.

11. Berkeringat.

12. Sianosis / pucat.

13. Pupil anisokor yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

14. Susah bicara.


4. Patofisiologi

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan

durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang

arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di

daerah bersangkutan.Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital. Arteri

meningeamedia yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan

jalan antara duramater dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan

yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan

melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehinggahematom bertambah

besar. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan

pada

lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial

lobus mengalami herniasi dbawah pinggiran tentorium. Keadaan ini

menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.

Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formasi retikularis

di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat

nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi

pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang

berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral,

refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin

membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang

berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut

peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-

tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka

darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala

terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.

Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif

memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran

ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.Fenomena lucid

interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada

subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural

hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung

tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.


(sumber: www.radiopaedia.org)

5. Pathway

6. Pemerikasaan diagnostik
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih

mudah dikenali.

Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural

hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami

trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria

meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi

cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi

dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah

temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline

terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma,

Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya

peregangan dari pembuluh darah.

(sumber: www.researchgate.net)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi

duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat

menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan

yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

(sumber: emedicine.medscape.com)

7. Penatalaksanaan

Penanganan darurat : Dekompresi dengan trepanasi sederhana, Kraniotomi untuk

mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat

menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan

pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan

cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline

2. Mengurangi edema otak


Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak: a. Hiperventilasi.

Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh

darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme

anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2

dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg. b. Cairan hiperosmoler.

Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk “menarik” air dari ruang

intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.

Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang

cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.

Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa,

harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali

(diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.

c. Kortikosteroid.

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu

yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid

tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada

asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.

Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :

Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4

mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan

Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

d. Barbiturat.
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan

serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan

yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi,

walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan

yang ketat

e. Operasi

Operasi di lakukan bila terdapat :

1. Volume hamatom > 30 ml

2. Keadaan pasien memburuk

3. Pendorongan garis tengah > 5 mm

4. fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm

5. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan

GCS 8 atau kurang

6. Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian keperawatan

Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan sistem persarafan

sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya

komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi

anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian

psikososial.
a)    Anamnesis

Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis

kelamin (banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan motor tanpa

pengaman helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam

masuk rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan

kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan

tingkat kesadaran.

b)    Riwayat penyakit saat ini

Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas,

jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian yang didapat meliputi

tingkat kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah

simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran

pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang.

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan

perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai

perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.

Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak

sadar) tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering

terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut – ngebutan.

c)    Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat

cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat
– obat       antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, konsumsi alkohol

berlebihan.

d)    Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan

diabetes melitus.

e)    Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai

respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran

klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam

kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah

ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan

kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara

optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra diri)

              Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami

kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep

diri didapatkan kllien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan

tidak kooperatif.

f)     Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan

klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan pengkajian

anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1 – B6) dengan


fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan terarah dan

dihubungkan dengan keluhan – keluhan dari klien.

Keadaan umum

Pada keadaaan cedera kepala umumnya mengalami penurunan kesadaran (cedera

kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13 – 15, cedera kepala berat/ cedera otak

berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8 dan terjadi perubahan pada tanda-

tanda vital.

(1)  B1 (Breathing)

Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari perubahan

jaringa cerebral akibat trauma kepala. Pada beberapa keadaan, hasil dari

pemeriksaaan fisik dari sistem ini akan didapatkan :

(a).Inspeksi

Diddaptakan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,

penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat

retraksi klavikula/ dada, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada :

dinilai penuh/ tidak penuh dan kesimetrisannya. Ketidak simetrisan mungkin

menunjukan adanya atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur

tulang iga, pnemothoraks, atau penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi

yang kurang tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari

otot – otot interkostal, substernal, pernapan abdomen, dan respirasi paradoks


(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot – otot

interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.

(b).Palpasi

Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan

apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.

(c).Perkusi

Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada

thoraks/ hematothoraks

(d).Auskultasi

Bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien

dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun sering

didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.

(2)  B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)

hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang dan berat.

Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien cedera kepala pada beberapa keadaan

dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia

da aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis

tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia

merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat

menandakan adanya penurunan kadar hemaglobin dalam darah. Hipotensi

menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda -tanda awal dari suatu
syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan merangsang

pelepasan antidiuretik hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi tubuh

untuk mengeluarkan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus.

Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektolit meningkat sehingga

memberikan resiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada

sistem kardiovaskuler. 

(3)  B3 (Brain)

Cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama

disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya perdarahan

baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma dan epidural hematoma.

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap

dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

(a).Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator

paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Pada keadaan lanjut

tingkat kesadaran klien cedera kepala biasanya berkisar pada tingkat letargi,

stupor, semikomatosa, sampai koma.

(b).Pemeriksan fungsi serebral

Status mental : Observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai

gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada

klien cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.

Fungsi intelektual : Pada keadaan klien cedera kepala didapatkan penurunan

dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang Lobus
frontal : Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan bila trauma

kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori

atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak disfungsi ini

dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam

pemahaman, lupa dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini

menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah

psikologi lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas

emosional, bermusuhan, frustasi, dendam  da kurang kerja sama.

Hemisfer : Cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparase sebelah kiri

tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral

sehingga kemungkinan terjatuh kesisi yang berlawanan tersebut. Cedera

kepala pada hemisfer kiri, mengalami hemiparase kanan, perilaku lambat dan

sangat hati – hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,

afasia dan mudah frustrasi

(c).Pemeriksaan saraf kranial

Saraf I

Pada beberapa keadaan cedera kepala didaerah yang merusak anatomis

dan fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi

penciuman/anosmia unilateral atau bilateral

Saraf II

Hematoma palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan

lapangan penglihatan dan menggangu fungsi dari nervus optikus. Perdarahan

diruang intrakranial, terutama hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai


dengan perdarahan diretina. Anomali pembuluh darah didalam otak dapat

bermanifestasi juga difundus. Tetapi dari segala macam kalainan didalam

ruang intrakranial, tekanan intrakranial dapat dicerminkan pada fundus

Saraf III, IV da VI

Gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan

trauma yang merusak rongga orbital. pada kasus-kasus trauma kepala dapat

dijumpai anisokoria. Gejala ini harus dianggap sebagai tanda serius jika

midriasis itu tidak bereaksi pada penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium

adalah midriasis yang tidak bereaksi pada penyinaran. Paralisis otot – otot 

okular akan menyusul pada tahap berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat

anisokoria dimana bukannya midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang

bergandengan dengan pupil yang normal pada sisi yang lain, maka pupil yang

miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi dilobus frontalis

ipsilateral yang mengelola pusat siliospinal. Hilangnya fungsi itu berarti pusat

siliospinal menjadi tidak aktif sehingga pupil tidak berdilatasi melainkan

berkonstriksi.

Saraf V

Pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus

trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan menguyah

Saraf VII

Persepsi pengecapan mengalami perubahan

Saraf VIII
Perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan biasanya

tidak didapatkan penurunan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf

vestibulokoklearis

Saraf IX dan Xl

Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.

Saraf XI

Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan tidak

ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Saraf XII

Indra pengecapan mengalami perubahan 

(d).Sistem motorik

Inspeksi umum : Didapatkan hemiplegia  (paralisis pada salah satu sisi) karena

lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi

tubuh) adalah tanda yang lain.

Tonus otot : Didapatkan menurun sampai hilang.

Kekuatan otot : Pada penilaian dengan menggunakan grade kekuatan otot

didapatkan grade O Keseimbangan dan koordinasi : Didapatkan mengalami

gangguan karena hemiparase dan hemiplegia.

(e).Pemeriksaan reflek

Pemeriksaan reflek dalam : Pengetukan pda tendon, ligamentum atau

periosteum derajat refleks pada respon normal. Pemeriksaan refleks patologis ;

Pada fase akut refleks fisiologis sisi yag lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks

patologis.

(f).  Sistem sensorik

Dapat terjadi hemihipestasi persepsi adalah ketidakmampuan untuk

menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsivisual karena gangguan jaras

sensorik primer diantara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual

spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering

terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Kehilangan sensorik karena cedera

kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan

kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan

bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimulasi visual, taktil

dan auditorius.

(4)  B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik, termasuk

berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi

akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala klien mungkin

mengalami inkontinensia urine karena konfusi, ketidakmampuan

mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal

karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol sfingter

urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan

kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut

menunjukan kerusakan neurologis luas.

(5)  B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,

mual muntah pada fase akut. Mual dan muntah dihubungkan dengan

peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah

pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan

peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukan

kerusakan neurologis luas. Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan

penilaian ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat

menunjukan adanya dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau

tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi

abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan

peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas

usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yag berasal dari sekitar selang

endotrakeal dan nasotrakeal.

(6)  Tulang  (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh

ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu kelembapan dan turgor kulit. Adanya

perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukan adanya sianosis (ujung

kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat pada

wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar

haemaglobin atau syok. Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan

ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Joundice (warna kuning)

pada klien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran

darah portal akibat dari penggunaan pocked red cells (PRC) dalam jangka
waktu lama. Pada klien dengan kulit gelap. Perubahan warna tersebut tidak

begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya

demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus.

Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensorik

atau paralisis/ hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola

aktivitas dan istirahat.

2. Diagnosa keperawatan

1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma);

edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)

2. Resiko pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat

pernapasan otak).

3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau

defisit neurologis).

3. Intervensi keperawatan

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah

(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia

(hipovolemia, disritmia jantung).

Tujuan:  Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi

motorik/sensorik.

Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

Intervensi Rasional
          Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan          Penurunan tanda/gejala neurologis atau

koma/penurunan perfusi jaringan otak dan kegagalan dalam pemulihannya setelah

potensial peningkatan TIK. serangan awal, menunjukkan perlunya pasien

dirawat di perawatan intensif.


          Pantau /catat status neurologis secara

teratur dan bandingkan dengan nilai standar          Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial

GCS. peningkatan TIK dan bermanfaat dalam

menentukan lokasi, perluasan dan


          Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan
perkembangan kerusakan SSP.
antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.

          Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial


          Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi,
okulomotor (III) berguna untuk menentukan
frekuensi nafas, suhu.
apakah batang otak masih baik.

          Pantau intake dan out put, turgor kulit dan


          Peningkatan TD sistolik yang diikuti oleh
membran mukosa.
penurunan TD diastolik (nadi yang

          Turunkan stimulasi eksternal dan berikan membesar) merupakan tanda terjadinya

kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang. peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan

kesadaran.
          Bantu pasien untuk menghindari

/membatasi batuk, muntah, mengejan.           Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan

total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi


          Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad
jaringan.
sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.

          Memberikan efek ketenangan,


          Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan

meningkatkan istirahat untuk


          Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
mempertahankan atau menurunkan TIK.

          Berikan obat sesuai indikasi, misal:


          Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan
diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik,
intrathorak dan intraabdomen yang dapat
sedatif, antipiretik.
meningkatkan TIK.

          Meningkatkan aliran balik vena dari

kepala sehingga akan mengurangi kongesti

dan oedema atau resiko terjadinya

peningkatan TIK.

          Pembatasan cairan diperlukan untuk

menurunkan edema serebral, meminimalkan

fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK

          Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat

meningkatkan vasodilatasi dan volume darah

serebral yang meningkatkan TIK.

          Tindakan kolaboratif


2. Resiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler

(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi

trakeobronkhial.

Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif.

Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal

Intervensi Rasional

          Pantau frekuensi, irama, kedalaman          Pernapasan lambat, periode apnea dapat

pernapasan. Catat ketidakteraturan menandakan perlunya ventilasi mekanis.

pernapasan.
          Kemampuan memobilisasi atau

          Pantau dan catat kompetensi reflek membersihkan sekresi penting untuk

gag/menelan dan kemampuan pasien untuk pemeliharaan jalan napas.

melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan


Kehilangan refleks menelan atau batuk
napas sesuai indikasi.
menandakan perlunaya jalan napas buatan

          Angkat kepala tempat tidur sesuai atau intubasi.

aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.


          Untuk memudahkan ekspansi

          Anjurkan pasien untuk melakukan napas paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya

dalam yang efektif bila pasien sadar. kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat

jalan napas.
          Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-

hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat


karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.           Mencegah/menurunkan atelektasis.

          Auskultasi suara napas, perhatikan daerah          Penghisapan biasanya dibutuhkan jika

hipoventilasi dan adanya suara tambahan pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi

yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya

krekel. sendiri.

          Pantau analisa gas darah, tekanan          Untuk mengidentifikasi adanya masalah

oksimetri paru seperti atelektasis, kongesti, atau

obstruksi jalan napas yang membahayakan


          Lakukan ronsen thoraks ulang
oksigenasi cerebral dan/atau menandakan

          Berikan oksigen. terjadinya infeksi paru.

          Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.          Menentukan kecukupan pernapasan,

keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan

terapi.

          Melihat kembali keadaan ventilasi dan

tanda-tandakomplikasi yang berkembang

misal: atelektasi atau bronkopneumoni.

          Memaksimalkan oksigen pada darah arteri

dan membantu dalam pencegahan hipoksia.

Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin

diperlukan ventilasi mekanik.


          Walaupun merupakan kontraindikasi pada

pasien dengan peningkatan TIK fase akut

tetapi tindakan ini seringkali berguna pada

fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan

membersihkan jalan napas dan menurunkan

resiko atelektasis/

komplikasi paru lainnya.

3. Resiko terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.

Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi

tertekan (penggunaan steroid).

Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.

Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.

Intervensi Rasional

          Berikan perawatan aseptik dan antiseptik,          Cara pertama untuk menghindari

pertahankan tehnik cuci tangan yang baik. terjadinya infeksi nosokomial.

          Observasi daerah kulit yang mengalami          Deteksi dini perkembangan infeksi

kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, memungkinkan untuk melakukan tindakan

catat karakteristik dari drainase dan adanya dengan segera dan pencegahan terhadap

inflamasi. komplikasi selanjutnya.

          Pantau suhu tubuh secara teratur, catat          Dapat mengindikasikan perkembangan

adanya demam, menggigil, diaforesis dan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi
perubahan fungsi mental (penurunan atau tindakan dengan segera.

kesadaran).
          Peningkatan mobilisasi dan pembersihan

          Anjurkan untuk melakukan napas dalam, sekresi paru untuk menurunkan resiko

latihan pengeluaran sekret paru secara terus terjadinya pneumonia, atelektasis.

menerus.
          Terapi profilatik dapat digunakan pada

          Observasi karakteristik sputum. pasien yang mengalami trauma, kebocoran

Berikan antibiotik sesuai indikasi CSS atau setelah dilakukan pembedahan

untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi

nosokomia

Anda mungkin juga menyukai