Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN ANALISA SINTESA TINDAKAN KEPERAWATAN

DI INSTALANSI GAWAT DARURAT (IGD) RSUD TUGUREJO SEMARANG


Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Praktik Klinik Stase Gawat Darurat

Pembimbing Klinik : Ns. Hilmia Maulin S.Kep


Pembimbing Akademik : Suhartini, S.Kp., MNS., Ph.D

Oleh:
HALIMAH WENNY YULINA ASTUTI
22020115120032
A.15.1

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018
LAPORAN ANALISA SINTESA TINDAKAN KEPERAWATAN
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RS TUGUREJO SEMARANG

Inisial pasien : Tn. S


Usia : 59 th
Tanggal masuk : 1 Oktober 2018

1. Diagnosa keperawatan dan dasar pemikiran


a. Diagnosa Keperawatan
DO: klien terlihat sesak dan terus memegangi dada, mengeluarkan keringat
dingin di seluruh wajah dan kesulitan menjawab pertanyaan.
-GCS : 15 compos mentis
-TD : 118/92 mmHg
-HR: 98x/menit
-Suhu : 36 0C
-RR: 28x/menit
-SpO2: tidak dikaji
DS: klien mengatakan sesak napas dan batuk, tetapi dahak susah dikeluarkan.
Klien mengatakan memiliki riwayat penyakit paru sejak 5 tahun yang lalu
dan sering kambuh setidaknya satu minggu sekali jika klien sedang
kelelahan. Klien mengatakan dulu prenah menjadi perokok aktif.
Diagnosa keperawatan : ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan
dengan mukus berlebihan terkait PPOK.
b. Dasar Pemikiran
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai
dengan gejala pernapasan dan keterbatasan aliran udara yang terus menerus,
disebabkan oleh abnormalitas saluran napas atau kelainan alveolar dan
biasanya kambuh akibat paparan gas atau partikel berbahaya. Gejala paling
umum dari penyakit ini adalah batuk, sesak napas, dan/atau produksi sputum
(Agusti et al, 2017).
Beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor risiko bagi PPOK adalah
riwayat merokok (aktif, pasif, bekas perokok), riwayat terpajan polusi udara
di lingkungan atau tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi
saluran napas bawah berulang dan defisiensi antitripsin alfa -1, namun sangat
jarang dijumpai di Indonesia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus.
Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan
silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan
penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme
penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan (Jackson, 2014).
Jumlah mukus berlebihan dan sulit dikeluarkan oleh penderita PPOK
menyebabkan terjadinya hambatan pada jalan napas, sehingga memenuhi
kriteria diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas, yaitu
ketidakmampuan membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran napas
untuk mempertahankan jalan napas (NANDA-1, 2018).
2. Tindakan keperawatan yang dilakukan
Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menangani masalah
ketidakefektifan bersihan napas berhubungan dengan mukus berlebihan terkait
PPOK adalah pemberian terapi nebuliser.
3. Prinsip-prinsip tindakan
Tindakan pemberian nebuliser dilakukan dengan prinsip berikut (Lencana,
2015):
a. Tindakan prinsip bersih
b. Obat yang digunakan sesuai indikasi dan mempertimbangkan kontraindikasi
serta efek samping.
c. Obat dihirup hingga habis, selanjutnya respon klien dievaluasi.
Prosedur terapi nebuliser antara lain:
a. Tahap persiapan
 Persiapan alat (nebuliser, obat bronkodilator, masker oksigen, akuades,
tisu)
 Menjaga privasi klien
 Menjelaskan tujuan dan prosedur pada klien
 Meminta persetujuan klien
b. Tahap pelaksanaan
 Mencuci tangan dan memakai handscoon
 Mengatur posisi klien semi fowler/duduk
 Mengisi nebuliser dengan akuades sesuai takaran
 Memasukkan obat pada tabung masker sesuai dosis
 Memasang masker pada klien
 Menghidupkan mesin nebuliser
 Meminta klien menghirup obat sampai habis
 Mematikan mesin nebuliser
 Membersihkan mulut dan hidung klien dengan tisu
 Bereskan alat
 Lepas handscoon dan cuci tangan
c. Tahap terminasi
 Evaluasi perasaan klien
 Dokumentasikan prosedur dan hasil
4. Analisa tindakan keperawatan
Terapi nebuliser merupakan tindakan kolaboratif dan merupakan bagian dari
rencana intervensi untuk menangani masalah keperawatan ketidakefektifan
bersihan jalan napas berhubungan dengan produksi mukus berlebihan pada klien.
Perawat sudah terlebih dahulu mengkaji penyebab dipsnea yang dialami Tn. S.
Terapi nebuliser bertujuan untuk mengencerkan mukus/dahak klien yang tidak
dapat dikeluarkan sehingga menghalangi jalan napas klien.
Perawat, sesuai saran dari dokter penanggung jawab klien, memberikan obat-
obat khusus untuk menangani gangguan pernapasan, yaitu combivent dan
pulmicort yang diberikan melalui inhalasi. Sambil menunggu obat disiapkan,
perawat memberikan terapi oksigenasi 3 liter menggunakan nasal kanul untuk
meringankan dipsnea klien serta mengatur posisi klien menjadi semi fowler untuk
meningkatkan ventilasi. Ketika obat siap, perawat segera melakukan nebuliser
pada klien dan meminta klien menghirup obat hingga habis. Jika obat telah habis,
perawat akan mengevaluasi status pernapasan dan respon klien.
5. Bahaya yang dapat terjadi
Pemberian terapi nebuliser yang tidak tepat atau tidak adekuat dapat
menimbulkan beberapa komplikasi, antara lain (Djaharuddin et al, 2015 dan
Nottingham University Hospital, 2018):
a. Henti napas
b. Spasme bronkus atau iritasi saluran napas
c. Akibat efek obat yang digunakan seperti salbutamol (short acting beta-2
agonist) dosis tinggi akan menyebabkan gangguan pada sistim sekunder
penyerapan obat. Hipokalemi dan disritmia dapat ditemukan pada pasien
dengan kelebihan dosis.
d. Infeksi
e. Ketidaknyamanan pasien
f. Penurunan saturasi oksigen secara mendadak
6. Hasil yang didapat dan maknanya
S: Klien mengatakan sudah tidak terlalu sesak, tetapi masih batuk.
O: Klien masih mengenakan masker, napas sudah lebih teratur, RR: 22x/menit,
CRT <2 detik, tidak terdapat bunyi napas tambahan, klien tidak batuk ketika
dievaluasi.
A: Masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas teratasi.
P: Lanjutkan pemberian nebuliser sampai obat habis dan klien tidak lagi sesak.
7. Tindakan keperawatan lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi diagnosa
keperawatan di atas (mandiri & kolaboratif)
Beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk menangani
masalah keperawatan ini, antara lain:
a. Positioning
 Posisikan klien semi fowler/duduk untuk memaksimalkan ventilasi.
b. Oxygen therapy
 Pertahankan kepatenan jalan napas.
 Berikan terapi oksigen dengan nasal kanul/masker sesuai kebutuhan.
 Pantau aliran oksigen secara berkala.
 Pantau adanya reaksi hipoventilasi, atau komplikasi lainnya.
c. Airway management
 Mengajarkan klien cara batuk efektif.
 Mengajarkan klien cara menggunakan inhaler.
 Melakukan fisioterapi dada.
 Lakukan suction bila perlu.
 Ajarkan klien cara menggunakan inhaler bila pelu.
 Berikan terapi nebuliser bila perlu.
 Pantau status pernapasan dan oksigenasi pasien.
d. Melakukan pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan laboratorium.
e. Memberikan terapi medikasi.
f. Menyarankan klien untuk kontrol ke dokter spesialis paru.
8. Evaluasi diri
Dalam memberikan terapi nebuliser, mulai dari persiapan alat hingga
pemberian ke klien hendaknya perawat melakukan cuci tangan terlebih dahulu
dan memakai handscoon. Sebelum memberikan obat, sebaiknya masker oksigen
dan tabung tempat obat dibersihkan dengan menggunakan kapas alkohol. Perawat
harus memastikan klien memahami cara menghirup nebuliser. Suara napas,
frekuensi napas, saturasi oksigen dan status respirasi hendaknya dikaji sebelum
dan sesudah pemberian terapi untuk mengetahui efektifitas terapi. Perawat harus
selalu memantau perubahan respon klien terhadap terapi untuk menghindari
terjadinya komplikasi.
9. Kepustakaan
a. Agusti, Alvar, Marc Decramer, Bartolome R. Celli et al. (2017). Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease.
b. Bulechek, Gloria M, Howard K. Butcher, Joanne M. Dochterman, Cheryl M.
Wagner. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC). Elsevier.
c. Djaharuddin, Irawaty, Nur Ahmad Tabri, M. Harun Iskandar et al. (2015).
Keterampilan Klinis Terapi Inhalasi.
d. Herdman, T. Heather & Shigemi Kamitsuru. (2018). NANDA-1 Diagnosis
Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2018-2010. Jakarta : EGC.
e. Jackson, D. (2014). Keperawatan Medikal Bedah edisi 1. Yogyakarta : Rapha
Publishing.
f. Lencana, Putra Satya. (2015). Laporan Analisa Sintesa Tindakan
Keperawatan Pemberian Nebulizer di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD
Ambarawa.
g. Nottingham University Hospital. (2018). Hypertonic Saline 7% and
Administration (adults).
h. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK): Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai