Taxation 2
Taxation 2
By ;
Rico Stevanus
B1034171012
Pajak (PPN) Keluaran merupakan PPN terutang yang wajib dipunggut oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan Barang Kena Pajak (BKP),
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), atau ekspor Barang Kena Pajak (BKP).
Tarif Pajak Keluaran adalah sebesar 10% (sepuluh persen) untuk penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha
Kena Pajak. Tarif 0% (nol persen) untuk ekspor Barang Kena Pajak berwujud
atau tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dapat berupa harga jual, penggantian, atau nilai
ekspor. Sebelum dikalikan dengan tarif, DPP merupakan harga/nilai yang tidak
termasuk PPN.
Contoh 1
Pengusaha Kena Pajak A menjual Barang Kena Pajak kepada pelanggan Z dengan
harga jual sebesar Rp 25.0000.000.
PPN yang terutang = 10% × Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000
PPN sebesar Rp 2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang
dipungut oleh pengusaha kena pajak A.
Contoh 2
Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan
memperoleh penggantian sebesar Rp 20.000.000.
PPN yang terutang = 10% × Rp 20.000.000 = Rp 2.000.000
PPN sebesar Rp 2.000.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang
dipunggut oleh pengusaha kena pajak B.
Contoh 3
Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan nilai
impor sebesar Rp 30.000.000.
PPN yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% × Rp 30.000.000 = Rp 3.000.000
PPN sebesar Rp 3.000.000 tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan pada pajak keluaran apabila memenuhi ketentuan yang
berlaku.
Contoh 4
Pengusaha Kena Pajak C melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan nilai
ekspor sebesar Rp 15.000.000.
PPN yang terutang = 0% × Rp 15.000.000 = Rp 0
PPN sebesar Rp 0 merupakan pajak keluaran bagi pengusaha kena pajak
C.
Contoh 5
Pengusaha Kena Pajak D menggunakan Barang Kena Pajak untuk keperluan
perusahaan sendiri dengan harga jual sebesar Rp 25.000.000. Harga tersebut
termasuk laba sebesar Rp3.000.000.
PPN yang terutang = 10% × (Rp25.000.000 – Rp3.000.000) =
Rp2.200.000
PPN Rp2.200.000 merupakan pajak keluaran bagi pengusaha kena pajak
D.
Contoh 6
Pengusaha Kena Pajak E menyerahkan Barang Kena Pajak senilai Rp 9.600.000
untuk kegiatan promosi. Nilai penyerahan tersebut termasuk laba kotor sebesar 20
persen. Kegiatan ini termasuk pemberian cuma-cuma.
PPN yang terutang atas penyerahan tersebut adalah:
Harga jual Rp 9.600.000
Laba kotor = 20/120 × Rp 9.600.000 Rp 1.600.000 (–)
Dasar Pengenaan Pajak Rp 8.000.000
PAJAK MASUKAN
Pajak (PPN) Masukan adalah PPN yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) karena impor Barang Kena Pajak (BKP) atau penerimaan Jasa Kena Pajak
(JKP) atau pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak F melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada
Pengusaha Kena Pajak G dengan harga jual Rp 190.000.000.
Pajak Keluarn bagi PKP F = 10% × Rp 190.000.000 = Rp 19.000.000
Pajak Masukan bagi PKP G = 10% × Rp 190.000.000 = Rp 19.000.000
PPN sebesar Rp 19.000.000 merupakan Pajak Masukan bagi pembeli
(PKP G) dan Pajak Keluaran bagi penjual (PKP F).
Dalam suatu masa pajak, Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran.
Pajak Masukan dapat dikreditkan dari Pajak Keluaran apabila memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Pajak Masukan berkaitan langsung dengan kegiatan usaha
b. Pajak Masukan atas BKP dan/atau JKP dimanfaatkan untuk penyerahan yang
bersifat terutang PPN
c. Pajak Masukan disertai dengan Faktur Pajak yang sah
d. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama tiga bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.
Namun, Pajak Masukan dimungkinkan tidak dapat dikreditkan dari Pajak
Keluaran. Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan dari Pajak Keluaran apabila
berasal dari:
a. perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
b. perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station
wagon kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan
d. pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah
Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
e. perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan atau
tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima
JKP
f. pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah
Pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan
g. perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan
ketetapan pajak
h. perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT
Masa PPN, yang ditemukan pada waktu pemeriksaan
i. perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi
j. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP, impor BKP, dan/atau
pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN
k. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP atas kegiatan
membangun sendiri yang tidak dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaan
l. Pajak Masukan yang dibayar oleh PKP yang melakukan penyerahan jasa
pengiriman paket dan jasa biro perjalanan atau jasa biro wisata, karena dalam
nilai lain sudah diperhitungkan Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau
JKP dalam rangka usaha tersebut
Contoh 1
PKP H adalah perusahaan integrated (terpadu) yang bergerak di bidang
perkebunan jagung dan pabrik minyak jagung. Sebagian jagung yang
dihasilkannya diolah lebih lanjut menjadi minyak jagung dan sebagian lainnya
dijual kepada pihak lain.
1) Pada April 2014, PKP H membeli truk yang digunakan baik untuk perkebunan
jagung maupun untuk pabrik minyak jagung dengan harga perolehan sebesar
Rp 200.000.000 dengan PPN Rp 20.000.000. Berdasarkan data yang dimiliki,
diperkirakan persentase rata-rata jumlah penyerahan minyak jagung terhadap
penyerahan seluruhnya adalah 70%. sedangkan 30% merupakan penyerahan
jagung kepada pihak lain.
Berdasarkan data tersebut maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam
SPT Masa PPN Masa Pajak April 2014 sebesar:
Rp 20.000.000 × 70% = Rp 14.000.000
2) Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2014
adalah Rp100.000.000.000, yang berasal dari penjualan jagung kepada pihak
lain sebesar Rp40.000.000.000 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp
60.000.000.000. Masa manfaat truk sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi
untuk tujuan penghitungan Pajak Masukan berdasarkan Peraturan Menteri ini
ditetapkan 4 (empat) tahun.
Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat
dikreditkan selama tahun buku 2014 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret
2015 adalah:
Rp 60.000 .000 .000 Rp20.000 .000
× =Rp 3.000 .000
Rp 100.000 .000 .000 4
Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah:
Rp 14.000 .000
=Rp3.500 .000
4
Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak
Masukan untuk Masa Pajak Maret 2015 adalah sebesar:
Rp 3.500.000 – Rp 3.000.000 = Rp 500.000
Jumlah ini dimasukkan dalam SPT Masa PPN (formulir 1111 AB) angka
III.B.3. Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan di atas
dilakukan setiap tahun sampai dengan masa manfaat truk berakhir.
Contoh 2
Kelanjutan dari Contoh 1, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun
buku 2015 adalah Rp100.000.000.000, yang berasal dari penjualan jagung sebesar
Rp10.000.000.000 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp90.000.000.000.
Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan
selama tahun buku 2015 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2016 adalah:
Rp 90.000 .000 .000 Rp20.000 .000
× =Rp 4.500 .000
Rp 100.000 .000 .000 4
Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah:
Rp 14.000 .000
=Rp3.500 .000
4
Jadi, Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan menambah Pajak
Masukan untuk Masa Pajak Maret 2016 adalah sebesar:
Rp 4.500.000 – Rp 3.500.000 = Rp 1.000.000
Contoh 3
Kelanjutan dari Contoh 2, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun
buku 2016 adalah Rp100.000.000.000, yang berasal dari penjualan jagung sebesar
Rp30.000.000.000 dan penjualan minyak jagung sebesar Rp70.000.000.000.
Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan trukyang dapat dikreditkan
selama tahun buku 2016 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2017 adalah:
Rp 70.000 .000 .000 Rp20.000 .000
× =Rp 3.500 .000
Rp 100.000 .000 .000 4
Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa
manfaat truk tersebut adalah:
Rp 14.000 .000
=Rp3.500 .000
4
Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali adalah sebesar:
Rp 3.500.000 – Rp 3.500.000 = Rp 0
PPN kurang disetor wajib dibayar oleh PKP paling lambat pada akhir
bulan berikutnya sebelum penyampaian SPT Masa PPN.
PPN lebih disetor dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya atau
dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun.
Contoh 1
Pada Mei 2015, pengusaha kena pajak Ananda melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak senilai Rp 210.000.000. Pada bulan yang sama membeli barang kena
pajak senilai Rp150.000.000. Atas pembelian tersebut diperoleh faktor pajak yang
memenuhi syarat sebagai faktur pajak yang dapat dikreditkan.
Pajak Keluaran = 10% × Rp 210 000.000 Rp 21.000.000
Pajak Masukan = 10% × Rp 150.000.000 Rp 15.000.000
PPN kurang disetor/dibayar Rp 6.000.000
Kekurangan PPN tersebut wajib dibayar oleh PKP Ananda ke Kas Negara paling
lambat akhir Juni 2015 sebelum penyampaian SPT Masa PPN.
Contoh 2
Pada Juni 2015, pengusaha kena pajak Ananda melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak senilai Rp 200.000.000. Pada bulan yang sama membeli Barang Kena
Pajak senilai Rp250.000.000. Atas pembelian tersebut diperoleh faktur pajak yang
memenuhi syarat sebagai faktur pajak yang dapat dikreditkan.
Pajak Keluaran = 10% × Rp200.000.000 Rp 20.000.000
Pajak Masukan = 10% × Rp250.000.000 Rp 25.000.000
PPN lebih disetor/dibayar Rp 5.000.000
Kelebihan PPN tersebut dikompensasikan pada Masa Pajak Juli 2015 atau
diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun.
Contoh 3
Pada Juli 2015, pengusaha kena pajak Ananda melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak senilai Rp 300.000.000. Pada bulan yang sama membeli Barang Kena
Pajak senilai Rp240.000.000. Atas pembelian tersebut diperoleh faktur pajak yang
memenuhi syarat sebagai faktur pajak yang dapat dikreditkan.
Pajak Keluaran = 10% × Rp300.000.000 Rp 30.000.000
Pajak Masukan = 10% × Rp240.000,000 Rp 24.000.000
PPN kurang disetor/dibayar Rp 6.000.000
Kompensasi kelebihan bayar Juli 2015 Rp 5.000.000
PPN kurang disetor/dibayar sesungguhnya Rp 1.000.000
RESTITUSI
Kelebihan pembayaran Pajak Masukan dibanding Pajak Keluaran dapat terjadi
karena:
1. Jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran dalam
suatu masa pajak karena;
a. Pembelian BKP atau perolehan JKP yang dilakukan sebelum usaha
dimulai atau pada saat awal usaha dimulai
b. PKP melakukan kegiatan ekspor BKP
c. PKP menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN
d. PKP menyerahkan BKP dan/atau JKP sehubungan dengan proyek milik
Pemerintah yang dananya berasal dari bantuan luar negeri baik berupa
hibah maupun pinjaman
e. PKP melakukan penyerahan BKP untuk diolah lebih lanjut atau bahan
pengemas di Kawasan Berikat.
2. Kesalahan pemungutan pajak yang dilakukan oleh PKP. PKP melakukan
kesalahan memungut pajak dan pajak yang salah dipungut tersebut telah
dilaporkan. Dalam keadaan seperti ini PKP yang memungut pajak tersebut
tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipungut. Namun, pajak yang
salah dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak terpungut (pembeli
barang/penerima jasa/pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak
berwujud/pihak yang memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean) sepanjang
pajak yang dibayar tersebut belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai
biaya.
Pasal 9 ayat (4a) UU PPN menyebutkan bahwa apabila dalam suatu Masa Pajak,
Pajak Masukan yang dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Kelebihan Pajak Masukan juga dapat diajukan permohonan pengembalian
(restitusi) pada akhir tahun buku. Dalam kondisi tertentu, kelebihan Pajak
Masukan di atas Pajak Keluaran dapat diajukan permohonan pengembalian pada
setiap Masa Pajak oleh:
1. Pengusaha kena pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak berwujud
2. Pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak pertambahan
nilai
3. Pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang pajak pertambahan nilainya tidak
dipungut
4. Pengusaha kena pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak tidak
berwujud;
5. Pengusaha kena pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak
6. Pengusaha kena pajak dalam tahap belum berproduksi.
2. Impor BKP
a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
b. Surat Setoran Pajak (SSP) atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai
c. Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS), sepanjang termasuk wajib LPS
d. Surat kuasa kepada Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK)
untuk pengurusan barang impor, dalam hal pengurusan dikuasakan kepada
PPJK.
3. Ekspor BKP
a. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan Persetujuan
Ekspor (PE) oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang
berwenang dan dilampiri dengan faktur penjualan (satu kesatuan dengan
PEB)
b. Surat Persetujuan Ekspor, dalam hal ekspor menggunakan fasilitas
Electronic Data Interchange (EDI)
c. Instruksi pengangkutan (melalui darat, udara, atau laut), ocean B/L (Bill of
Lading) atau AWB (Airway Bill) dan packing list
d. Fotokopi wesel ekspor/bukti penerimaan uang lainnya (dilegalisasi), asli
atau fotokopi yang telah dilegalisasi polis asuransi (dalam hal BKP yang
diekspor diasuransikan)
e. Sertifikasi instansi tertentu atau badan lain (dalam hal wajib sertifikasi)
4. Penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN
a. Kontrak/Surat Perintah Kerja (SPK) surat pesanan/dokumen sejenis
b. Surat Setoran Pajak (SSP)
Restitusi hanya berlaku untuk Wajib Pajak atau PKP yang menyelenggarakan
pembukuan, baik Wajib Pajak Badan, Wajib Pajak Orang Pribadi, maupun Bentuk
Usaha Tetap (BUT). Penghitungan lebih bayar biasanya tidak dijumpai pada
Wajib Pajak atau PKP yang menghitung pajak pertambahan nilai tidak melalui
mekanisme kredit pajak masukan, seperti pengusaha kena pajak yang melakukan
penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran, penyerahan emas secara
eceran, pengusaha kena pajak tertentu dengan peredaran usaha tidak melebihi
jumlah tertentu.
Dalam hal SPT Masa PPN lebih bayar dan dimintakan pengembalian (restitusi)
dengan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU
KUP, SPT tersebut harus dilampiri dengan seluruh dokumen dalam bentuk
hardcopy berupa (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24 Tahun 2014):
1. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena
Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, yang dilaporkan dalam Formulir
1111 A1
2. Faktur Pajak Keluaran dan Nota Retur/Nota Pembatalan yang telah dilaporkan
dalam Formulir 1111 A2
3. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) atas impor Barang Kena Pajak dan/atau
Surat Setoran Pajak atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud/Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah dilaporkan
dalam Formulir 1111 B1
4. Faktur Pajak Masukan dan Nota Retur/Nota Pembatalan yang telah dilaporkan
dalam Formulir 1111 B2
5. Faktur Pajak Masukan dan Nota Retur/Nota Pembatalan yang telah dilaporkan
dalam Formulir 1111 B3
Faktur Pajak berbentuk hardcopy untuk Angka 2, 3, 4, dan 5 tidak perlu
dilampirkan dalam proses restitusi apabila Pengusaha Kena Pajak menyampaikan
Faktur Pajak dalam bentuk elektronik (e-faktur).
REFERENCES
Resmi, Siti. 2015. Perpajakan Teori dan Kasus Edisi 8 Buku 2. Jakarta: Salembat
Empat
Sukardji, Untung. 2015. Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers