Anda di halaman 1dari 4

ARTIKEL AQIDAH ISLAM

“BAHAYA SESAJEN DALAM PRESPEKTIF AQIDAH ISLAM”

Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena aqidah yang benar
merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan
menjadi mangsa bagi persangkaan dan keragu-raguan yang lama-kelamaan mungkin menumpuk dan
menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan, sehingga hidupnya terasa
sempit lalu ia ingin terbebas dari kesempitan tersebut dengan menyudahi hidup, sekali pun dengan bunuh
diri, sebagaimana yang terjadi pada banyak orang yang telah kehilangan hidayah aqidah yang benar.

Perlu diketahui bersama bahwa Islam adalah agama kaffah (sempurna) yang mencakup semua sisi
kehidupan manusia. Termasuk dalam hal budaya atau adat istiadat (tradisi), Islam memberikan porsi
khusus tentangnya. Selama tidak bertentangan dengan syariat islam maka adat boleh diterapkan bahkan
dianjurkan untuk diamalkan.

Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus/jin yang dianggap sebagai
penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu adalah kebiasaan syirik (menyekutukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat
kita. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kemampuan untuk memberikan kebaikan atau
menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen
tersebut mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan
mereka dipenuhinya.

Kebiasan ini sudah ada sejak zaman Jahiliyah sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala semata) dan memerangi syirik dalam segala bentuknya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

‫ال ِم َن ْال ِج ِّ;ن فَ َزا ُدوهُ ْ;م َرهَقًا‬ ;َ ‫س يَعُو ُذ‬


ٍ ‫ون بِ ِر َج‬ َ ‫َوأَنَّهُ; َك‬
ِ ‫ان ِر َجا ٌ;ل ِم َن اإْل ِ ْن‬
“Dan bahwasannya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada
beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan .”
(Qs. al-Jin: 6).
Artinya, orang-orang di zaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan
mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih hewan
kurban (sebagai tumbal), bernadzar, meminta pertolongan dan lain-lain.

Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[3], adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung
yang hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,

;ُ ْ‫ك أ ُ ِمر‬
َ‫ت َوأَنَا; أَ َّو ُل ْال ُم ْسلِ ِمين‬ َ ِ‫ك لَهُ َوبِ َذل‬ ;َ ‫ي َو َم َماتِي هَّلِل ِ َربِّ ْال َعالَ ِم‬
ِ ‫ين اَل ش‬
َ ‫َري‬ َ ‫قُلْ إِ َّن‬
ُ ُ‫صالتِي َون‬
;َ ‫س ِكي َو َمحْ يَا‬

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (Qs. al-An’aam: 162-
163).

Oleh karena itu, maka mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah  Subhanahu wa Ta’ala (baik
itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri
kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar,
bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam
(menjadi kafir).[5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

;ِ ‫نزير َو َما; أ ُ ِه َّل بِ ِه; لِ َغي ِْر هَّللا‬


ِ ‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُ;م ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َ;م َولَحْ َ;م ْال ِخ‬

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan
yang dipersembahkan kepada selain Allah.” (Qs. al-Baqarah: 173).

Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-
Nya.”(HR.Muslim no.1978)

Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya,
dengan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini
termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah  Subhanahu wa
Ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
dijauhkan dari rahmat-Nya.

Saat ini yang menjadi permasalahan adalah banyak kaum muslimin berkeyakinan bahwa acara sesajen
merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini
pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa dibersi sesaji lalu pada suatu waktu tidak
diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat.

Sesajen merupakan warisan budaya Hindu Budha yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh
tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan, gunung, lembah, laut) dan lain-lain yang
mereka yakin dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. Seperti: Upacara menjelang
panen yang mereka persembahkan kepada Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan) yang masih di
praktekkan di sebagian daerah Jawa, Upacara nadran yang mempersembahkan sesaji kepada penguasa
laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus ritual tolak bala (keselamatan) dan Upacara labuhan
gunung untuk memberi sesaji kepada roh halus penghuni gunung.

SOLUSI MENYIKAPINYA :

 Penyimpangan-penyimpangan aqidah islam tidak bisa dibiarkan terjadi begitu saja. Sudah sepatutnya
penyimpangan tersebut segera ditangani dan dihilangkan agar umat islam bisa kembali kedalam ajaran
yang sesuai dengan syariat islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan hadist. Upaya yang dapat
dilakukan antara lain :

1. Kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah

Kembali kepada kitabullah dan sunnah rasulullah untuk mengambil aqidah yang lurus dari keduanya. Hal
ini sebagaimana dilakukan para salafush shalih zaman dahulu dimana mereka menyandarkan aqidah
mereka pada keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah). Akhir umat ini tidak akan kembali baik kecuali
dengan sesuatu yang telah memperbaiki generasi awalnya. Bersamaan dengan itu juga mengenali aqidah
kelompok-kelompok yang menyimpang dan mengetahui syubhat-syubhat mereka untuk membantah dan
memperingatkan darinya. Barangsiapa tidak mengetahui kejelekan maka ditakutkan akan terjatuh
kedalamnya.

2. Perhatian terhadap pendidikan aqidah yang lurus


Perhatian terhadap pembelajaran aqidah yang lurus – yaitu aqidah para salafush shalih – di seluruh
jenjang pendidikan. Hendaknya masalah aqidah diberi porsi yang cukup dalam kurikulum pendidikan.

3. Mempelajari kitab-kitab salafush shalih

Mempelajari kitab salafush shalih yang murni dan menjauhi kitab-kitab kelompok menyimpang
seperti shufiyah, jahmiyah, mu’tazilah dan yang lainnya, kecuali untuk membantah dan memperingatkan
darinya.

4. Berdirinya para da’i yang menyeru pada aqidah salafus shalih dan membantah penyimpangan
darinya.
5. Umat islam diwajibkan untuk peduli dengan manusia lainnya, baik satu kepercayaan atau
dengan umat yang berkepercayaan lainnya.

Sebagai umat islam kita harus memperingatkan kepada yang lainnya jika memang orang tersebut
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan syariat islam. Islam mengajarkan untuk memperingatkan
orang lain dengan cara yang baik karena islam merupakan agama yang damai yang bebas dari paksaan.

Anda mungkin juga menyukai