Word Gangguan Psikotik
Word Gangguan Psikotik
PENGERTIAN PSIKOTIK
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu menilai
kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau atau aneh.
ETIOLOGI PSIKOTIK
Sifat gangguan menyatakan bahwa perpisahan orang yang tunduk, orang yang memiliki
gangguan psikotik terbagi, dari orang dominan harus menyebabkan pemilihan dan hilangnya
gejala psikotik. Pada kenyataannya, hal tersebut kemungkinan terjadi kurang dari 40% dari
semua kasus. Sering kali orang yang tunduk memerlukan pengobatan dengan obat antipsikotik,
demikian juga dengan orang yang dominan membutuhkan obat antipsikotik untuk gejala psikotik
yang dideritanya. Karena pasien hampir selalu berasal dari keluarga yang sama, mereka biasanya
berkumpul kembali bersama setelah dipulangkan dari rumah sakit.
a.Skizofrenia
Memenuhi criteria umum diagnosis skizofrenia, dimana adanya gejala-gejala khas tersebut
telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
non psikotik prodromal).
b.Gangguan Skizotipal
c.Gangguan Waham Menetap
Kelompok ini meliputi gangguan dengan waham-waham yang berlangsung lama (paling
sedikit selama 3 bulan) sebagai satu-satunya gejala klinis yang khas atau yang paling mencolok
dan tidak dapat digolongkan sebagai gangguan mental organic, skizofrenia atau gangguan
efektif.
Memiliki onset yang akut (dalam masa 2 minggu), kesembuhan yang sempurna biasanya
terjadi dalam 2-3 bulan, sering dalam beberapa minggu atau bahkan beberapa hari, dan hanya
sebagian kecil dari pasien dengan gangguan ini berkembang menjadi keadaan yang menetap
dan berhendaya.
Jika ada alasan untuk percaya bahwa duaorang yang tinggal bersama mempunyai gangguan
psikotik yang terpisah, maka tidak satupun diantaranya boleh dimasukkan dalam kode
diagnosis ini.
f.Gangguan Skizoafektif
Merupakan gangguan yang bersifa episodic dengan gejala afektif dan skizofrenik yang sama-
sama menonjol dan secara bersamaan ada dalam episode yang sama.
Gangguan psikotik yang tidak memenuhi criteria untuk skizofrenia atau untuk gangguan afektif
yang bertipe psikotik, dan gangguan-gangguan yang psikotik yang tidak memenuhi kriteria
gejala untuk gangguan waham menetap.
a.Episode Manik
Kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan
kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai derajat keparahan.
Gangguan ini bersifat episode berulang (sekurang-kurangnya 2 episode) dimana afek pasien
dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada wktu tertentu terdiri dari peningkatan afek
disertai penembahan energy dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa
penurunan afek disertai pengurangan energy dan aktivitas (depresi)
c.Episode Depresi
Gejala utama berupa afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya
energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas. Pada
episode depresi, dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan sekurang-kurangnya 2
minggu untuk menegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika
gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Terbagi atas episode depresi ringan, episode depresi sedang dan episode depresi berat. Masing-
masing episode tersebut rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi frekuensinya lebih jarang
dibandingkan dengan gangguan bipolar.
Terbagi atas
Kategori sisa untuk gangguan suasana perasaan menetap yang tidak cukup parah atau tidak
berlangsung lama untuk memenuhi criteria skilotimia dan distimia.
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis gejala pasti gangguan psikotik akut adalah sebagai berikut :
Psikosis Autoskopik
Penjelasan klasik mengenai fenomena menyatakan bahwa pada sebagian besar kasus
sindroma tidak progresif maupun tidak menimbulkan ketidakmampuan.
Sindroma Capgras
Gejala sindroma ini berespon terhadap terapi. Tetapi jika pasien memiliki gejala
sindroma Capgras sebagai gejala tunggal dari gangguan psikotiknya, klinis harus melakukan
pemeriksaan neuropsikologis yang luas untuk mengidentifikasi adanya lesi organik yang
mungkin menyebabkan sindroma.
Sindroma Cotard
Sindroma biasanya berlangsung hanya beberapa hari sampai minggu dan berespon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada gangguan dasar. Bentuk sindroma jangka panjang
biasanya berhubungan dengan sindroma yang menyebabkan demensia, seperti demensia tipe
Alzheimer.
Psikosis Pascapersalinan
Perjalanannya mirip dengan orang pada gangguan mood. Secara spesifik, gangguan mood
biasanya merupakan gangguan episodik, dan pasien dengan psikosis pasca persalinanmengalami
episode gejala lainnya dalam satu atau dua tahun setelah persalinan. Kehamilan selanjutnya
adalah berhubungan dengan peningkatan resiko menderita episode lainnya.
Gangguan Skizofreniform
Prognosis gangguan skizofreniform adalah bervariasi, sesuai kenyataan yang dijawab
didalam DSM-IV dengan membedakan pasien dengan dan tanpa ciri prognostik yang baik. Ciri
prognostik baik yang dinyatakan di DSM-IV digali dari literatur. Tetapi keabsahan ciri tersebut
telah dipertanyakan. Konfusi atau kebingungan pada puncak episode psikotik adalah ciri yang
paling baik dihubungkan dengan hasil akhir yang baik. Keabsahan ciri lain masih tidak pasti.
Di samping itu, semakin singkat episode penyakit, semakin baik prognosisnya. Terdapat resiko
bunuh diri yang bermakna. Mereka kemungkinan memiliki suatu periode depresi ringan setelah
periode psikotik, san psikoterapi ditujukan untuk membantu pasien mengerti episode psikotik
tampaknya memperbaiki prognosis dan kecepatan pemulihan pasien. Perawatan di rumah sakit
seringkali diperlukan dalam pengobatan pasien dengan gangguan skizofreniform.
Gangguan Skizoafektif
Prognosisnya jauh lebih buruk daripada pasien dengan gangguan depresif, lebih buruk dari pada
pasien dengan gangguan bipolar, dan memiliki prognosis yang lebih baik dari pada pasien
dengan skizofrenia. Insidensi bunuh diri di antara pasien dengan gangguan skizoafektif
diperkirakan sekurangnya 10%.
Modalitas terapi yang utama untuk gangguan skizoafektif adalah perawatan di rumah sakit,
medikasi, dan intervensi psikososial. Prinsip dasar yang mendasari farmakoterapi untuk
gangguan psikoafektif adalah bahwa protokol anti depresan dan antimanik diikuti jika semuanya
diindikasikan dan bahwa antipsikotik digunakan hanya jika diperlukan untuk pengendalian
jangka pendek. Jika protokol thymoleptic tidak efektif di dalam mengendalikan gejala atas dasar
berkelanjutan, medikasi antipsikotik dapat diindikasikan. Pasien dengan gangguan skizoafektif,
tipe bipolar, harus mendapatkan percobaan lithium, carbamazepine (Tegretol), valproate
(Depakene), atau suatu kombinasi obat-obat tersebut jika satu obat saja tidak efektif. Pasien
dengan gangguan skizoafektif, tipe depresif, harus diberikan percobaan antidepresan dan terapi
elektrokonvulsif (ECT) sebelum mereka diputuskan tidak responsif terhadap terapi antidepresan.
Gangguan Delusional
Gangguan delusional diperkirakan merupakan diagnosis yang cukup stabil. Kurang dari
25% dari semua pasien gangguan delusional menjadi skizofrenia, kurang dari 10% menjadi
gangguan mood. Kira-kira 50% pasien pulih pada follow-up jangka panjang, 20% lainya
mengalami penurunan gejalanya dan 30% lainnya tidak mengalami perubahan. Pasien dengan
waham kejar, somatik dan erotik diperkirakan memiliki prognosis yang lebih baik daripada
pasien dengan waham kebesaran dan cemburu.
Pada umumnya, pasien dengan gangguan delusional dapat diobati atas dasar rawat jalan. Tetapi,
klinis harusi harus mempertimbangkan perawatan di rumah sakit karena sejumlah alas an
tertentu. Pertama, diperlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap pada diri pasien
untuk menentukan apakah terdapat kondisi medis nonpsikiatrik yang menyebabkan gangguan
delusional. Kedua, pasien perlu diperiksa tentang kemampuannya mengendalikan impuls
kekerasan, seperti bunuh diri dan membunuh, hal tersebut mungkin berhubungan dengan
material waham. Ketiga, perilaku pasien tentang waham mungkin secara bermakna telah
mempengaruhi kemampuannya untuk berfungsi di dalam keluarga atau pekerjaannya, dengan
demikian memerlukan intervensi professional untuk menstabilkan hubungan sosial atau
pekerjaan Jika dokter yakin bahwa pasien akan paling baik jika diobati di rumah sakit, harus
diusahakan untuk membujuk pasien supaya menerima perawatan di rumah sakit; jika hal tersebut
gagal, komitmen hukum mungkin diindikasikan. Seringkali, jika dokter meyakinkan pasien
bahwa perawatan di rumah sakit adalah diperlukan, pasien secara sukarela masuk ke rumah sakit
untuk menghindari komitmen hukum.
Pada umumnya pasien dengan gangguan psikotik singkat memiliki prognosis yang cukup
baik. Kecil kemungkinannya untuk menderita episode selanjutnya dan skizofrenia atau suatu
gangguan mood.
Jika seorang pasien psikotik secara akut, perawatan singkat di rumah sakit mungkin diperlukan
untuk pemeriksaan dan perlindungan pasien. Pemeriksaan pasien membutuhkan monitoring ketat
terhadap gejala dan pemeriksaan tingkat bahaya pasien terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
Di samping itu, lingkungan rumah sakit yang tenang dan terstruktur dapat membantu pasien
memperoleh kembali rasa realitasnya. Sambil klinisi menunggu lingkungan dan obat
menunjukkan efeknya, pengurungan, pengikatan fisik, atau monitoring berhadap-hadapan
dengan pasien mungkin diperlukan.
FARMAKOTERAPI
Pada keadaan gawat darurat, seorang pasien yang teragitasi parah harus diberikan suatu
obat antipsikotik secara intramuskular. Walaupun percobaan klinik yang dilakukan secara
adekuat dengan sejumlah pasien belum ada, sebagian besar klinisi berpendapat bahwa obat
antipsikotik adalah obat terpilih untuk gangguan delusional. Pasien gangguan delusional
kemungkinan menolak medikasi karena mereka dapat secara mudah menyatukan pemberian obat
ke dalam system wahamnya. Dokter tidak boleh memaksakan medikasi segera setelah perawatan
di rumah sakit, malahan, harus menggunakan beberapa hari untuk mendapatkan rapport dengan
pasien. Dokter harus menjelaskan efek samping potensial kepada pasien, sehingga pasien
kemudian tidak menganggap bahwa dokter berbohong.
Riwayat pasien tentang respon medikasi adalah pedoman yang terbaik dalam memilih suatu obat.
Seringkali, dokter harus mulai dengan dosis rendah ― sebagai contoh, haloperidol (haldol) 2 mg
― dan meningkatkan dosis secara perlahan-lahan. Jika pasien gagal berespon dengan obat pada
dosis yang cukup dalam percobaan selama enam minggu, antipsikotik darikelas lain harus
dicoba. Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa pimozide (Orap) mungkin efektif dalam
gangguan delusional, khususnya pada pasien dengan waham somatik. Penyebab kegagalan obat
yang tersering adalah ketidakpatuhan, dan kemungkinan tersebut harus diperhitungkan.
Jika pasien tidak mendapatkan manfaat dari medikasi antipsikotik, obat harus dihentikan.Pada
pasien yang berespon terhadap antipsikotik, beberapa data menyatakan bahwa dosis
pemeliharaan adalah rendah. Walaupun pada dasarnya tidak ada data yang mengevaluasi
penggunaan antidepresan, lithium (Eskalith), atau antikonvulsan ― sebagai contohnya,
carbamazepine (Tegretol) dan valproate (Depakene) ― di dalam pengobatan gangguan
delusional, percobaan dengan obat-obat tersebut mungkin diperlukan pada pasien yang tidak
responsif terhadap obat antipsikotik. Percobaan dengan obat-obat tersebut harus dipertimbangkan
jika seorang pasien memiliki ciri suatu gangguan mood atau suatu riwayat keluarga adanya
gangguan mood.
PSIKOTERAPI
Elemen penting dalam psikoterapi yang efektif adalah menegakkan suatu hubungan
dimana pasien mulai mempercayai ahli terapi. Terapi individual tampaknya lebih efektif
daripada terapi kelompok. Terapi suportif berorientasi-tilikan, kognitif, dan perilaku seringkali
efektif. Pada awalnya, ahli terapi tidak boleh setuju atau menantang waham pasien. Walaupun
ahli terapi harus menanyakan tentang waham untuk menegakkan luasnya, pertanyaan terus
menerus tentang waham kemungkinan harus dihindari. Dokter dapat menstimulasi motivasi
untuk mendapatkan bantuan dengan menekankan kemauan untuk membantu pasien mengatasi
kecemasan atau iritabilitasnya, tanpa menyatakan bahwa waham yang diobati. Tetapi, ahli terapi
tidak bolehsecara aktif mendukung gagasan bahwa waham merupakan kenyataan.
Kejujuran ahli terapi yang kokoh adalah penting. Ahli terapi harus tepat pada waktunya dan
membuat perjanjian seteratur mungkin, tujuan yang akan dikembangkan adalah hubungan yang
kuat dan saling mempercayai dengan pasien. Kepuasan yang berlebihan malahan dapat
meningkatkan permusuhan dan kecurigaan pasien karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan
dapat dipenuhi. Ahli terapi dapat menghindari kepuasan yang berlebihan dengan tidak
memperpanjang periode perjanjian yang telah ditentukan, dengan tidak memberikan perjanjian
ekstra kecuali mutlak diperlukan, dan tidak toleran terhadap bayaran.
Ahli terapi tidak boleh membuat tanda-tanda yang meremehkan tentang waham atau gagasan
pasien tetapi dapat secara simpatik menyatakan pada pasien bahwa keasyikan mereka dengan
wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan yang konstruktif.
Jika pasien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, ahli terapi dapat meningkatkan tes realitas
dengan meminta pasien memperjelas permasalahan mereka. Faktor psikodinamika.
Pengalaman internal dari pasien delusional adalah bahwa mereka merupakan korban dunia yang
menyiksa diri mereka. Proyeksi adalah mekanisme pertahanan yang utama, dan semua kebencian
diproyeksikan kepada orang-orang atau institusi di lingkungan. Dengan mensubtitusi ancaman
eksternal dengan ancaman internal, pasien delusional merasakan suatu pengendalian. Kebutuhan
untuk mengendalikan setiap orang di sekitar mereka mencerminkan harga diri yang rendah pada
inti paranoia. Pasien paranoid mengkompensasi perasaan kelemahan dan inferioritas dengan
menganggap bahwa mereka adalah sangat penting sehingga badan pemerintah, orang penting,
dan orang penting lain di dalam lingkungan semuanya sangat memperhatikan diri mereka dan
mencoba menyiksanya.
Klinisi yang berusaha mengobati pasien dengan gangguan delusional harus menghormati
kebutuhan pasien akan pertahanan proyeksi. Ahli psikoterapi harus mau berperan sebagai
penampung semua perasaan negatif yang diproyeksikan oleh pasien; tiap usaha untuk
mengembalikan perasaan tersebut secara prematur akan menyebabkan pasien merasa diserang
dan dipermalukan. Satu akibat wajar dari prinsip tersebut adalah bahwa waham tidak boleh
ditantang saat bekerja secara psikoterapi dengan pasien delusional. Malahan, ahli terapi harus
semata-mata meminta penjelasan lebih jauh tentang persepsi dan perasaan pasien.
Pendekatan lain yang berguna dalam membangun ikatan terapetik adalah bersikap empati dengan
pengalaman internal pasien yang sedang dilanda penyiksaan. Mungkin membantu mengeluarkan
komentar, “Anda pasti merasa lelah, mengingat apa yang telah anda lalui.” Tanpa menyetujui
setiap mispersepsi delusional, ahli terapi dapat menyadari bahwa, dari pandangan pasien,
persepsi tersebut menciptakan penghilangan ketegangan yang baik. Tujuan akhir adalah
membantu pasien memiliki keraguan tentang persepsinya. Saat pasien menjadi kurang kaku,
perasaan kelemahan dan inferioritas yang menyertai depresi dapat timbul. Saat pasien
membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi, suatu hubungan terapetik yang positif telah
ditegakkan, dan pekerjaan terapetik yang konstruktif menjadi dimungkinkan.
Terapi keluarga
Jika anggota keluarga hadir, klinisi dapat memutuskan untuk melibatkan mereka di dalam
rencana pengobatan. Tanpa menjadi terlihat berpihak pada musuh, klinisi harus berusaha
mendapatkan keluarga sebagai sekutu di dalam proses pengobatan. Sebagai akibatnya, baik
pasien dan anggota keluarganya perlu mengerti bahwa konfidensialitas dokter-pasien akan dijaga
oleh ahli terapi dan komunikasi dengan sanak saudara akan dibicarakan pada suatu saat dengan
pasien. Keluarga akan mendapat manfaat dengan membantu ahli terapi dan dengan demikian
membantu pasien.
Hasil terapi yang baik tergantung pada kemampuan dokter psikiatrik untuk berespon terhadap
ketidakpercayaan pasien terhadap orang lain dan konflik interpersonal, frustasi, dan kegagalan
yang dihasilkannya. Tanda terapi yang berhasil mungkin adalah suatu kepuasan penyesuaian
sosial, bukannya menghilangkan waham pasien.
FARMAKOTERAPI
Dua kelas utama obat yang harus dipertimbangkan di dalam pengobatan gangguan
psikotik singkat adalah obat antipsikotik antagonis reseptor dopamine dan benzodiazepine. Jika
dipilih suatu antipsikotik, suatu antipsikotik potensi tinggi ― sebagai contohnya, haloperidol
(Haldol) ― biasanya digunakan. Khususnya pada pasien yang berada dalam resiko tinggi untuk
mengalami efek samping ekstrapiramidal (sebagai contohnya, orang muda), suatu obat
antikolinergik kemungkinan harus diberikan bersama-sama dengan antipsikotik sebagai
profilaksis terhadap gajala gangguan pergerakan akibat medikasi. Selain itu, benzodiazepine
dapat digunakan dalam terapi singkat psikosis. Walaupun benzodiazepine memiliki sedikit
kegunaan atau tanpa kegunaan dalam pengobatan jangka panjang gangguan psikotik, obat dapat
efektif untuk jangka singkat dan disertai dengan efek samping yang lebih jarang daripada
antipsikotik. Pada kasus yang jarang benzodiazepine disertai dengan peningkatan agitasi, dan
pada kasus yang lebih jarang lagi, dengan kejang putus obat (withdrawal seizure), yang biasanya
hanya terjadi pada penggunaan dosis tinggi terus menerus. Penggunaan obat lain dalam terapi
gangguan psikotik singkat, walaupun dilaporkan di dalam laporan kasus, belum didukung oleh
penelitian skala besar. Tetapi, medikasi hipnotik seringkali berguna selama satu sampai dua
minggu pertama setelah resolusi episode psikotik. Pemakaian jangka panjang medikasi harus
dihindari dalam pengobatan gangguan ini. Jika medikasi pemeliharaan diperlukan, klinisi harus
mempertimbangkan ulang diagnosis.
Penyakit jiwa, sampai saat ini masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan,
menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada
tingkat yang paling kronis, seperti hilang ingatan, dengan sebutan yang sebenarnya sangat kasar
seperti: sinting, otak miring atau gila (istilah yang menurut seorang psikolog sudah tidak dipakai
lagi dalam dunia psikologi) serta sebutan-sebutan kasar lainnya. Yang lebih menyedihkan, orang
yang sakit jiwa, yang sering kita temui di keramaian atau dijalanan, oleh masyarakat kita
dianggap sebagai, meminjam istilah Irwanto, Phd, “sampah sosial” yang kotor dan hina. Lihat
saja kenyataan, orang-orang—mungkin termasuk kita sendiri jika melihat atau berpapasan
dengan orang yang sakit jiwa, dengan sepontan akan menertawakan, mencemooh, memaki-maki
bahkan melemparinya. Menganggap orang yang sakit jiwa sebagai mahluk kotor, rendah dan
hina, bahkan mungkin dianggap lebih hina dari hewan.
Apa yang diungkapkan di atas adalah persepsi umum masyarakat yang sebenarnya keliru
terhadap penderita kelainan mental dalam kadar yang paling kronis yaitu hilang ingatan. Persepsi
masyarakat terhadap penderita kelainan jiwa dalam pengertian yang lebih luas pun mengarah
pada persepsi yang keliru ini.
Penyakit mental dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status
sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.
Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit mental,
ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang
menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan
yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat
pengobatan secara cepat dan tepat.
SKIZOFRENIA
DEFINISI
Skizofrenia berasal dari dua kata, yaitu Skizo; yang artinya retak atau pecah (split), dan
Frenia; yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah
seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian. Dewasa ini ilmu
kedokteran mengalami kemajuan yang pesat dengan ditemukannya mekanisme terjadinya
skizofrenia dan obat-obatan anti-skizofrenia, sehingga penderita skizofrenia dapat pulih kembali
dan dapat kembali menjalani kehidupan yang normal.
ETIOLOGI
Penyebab skizofrenia belum diketahui dengan pasti. Tetapi, dalam decade yang lalu
semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di otak,
termasuk sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling
berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi primer
didaerah lainnya. Dua jenis penelitian telah melibatkan sistem limbik sebagai suatu tempat
potensial untuk patologi primer pada sekurangnya satu bagian, kemungkinan bahkan pada
sebagian besar pasien skizofrenik.
Menurut pendapat lain. Skizofrenia merupakan aktifitas dopamine otak yang berlebihan.
Dilaporkan juga bahwa kadar 5-hydroxyindoleacetic acid (5 HIAA) menurun pada
skizofreniakronik dan pada pasien skizofrenia dengan pelebaran vertikel. Faktor genetik juga
mempunyai peranan penting. Seseorang mempunyai kecenderungan skizofrenia bila mempunyai
keluarga seorang skizofrenia, demikian juga pada kembar monozigot. Ditinjau dari aspek
psikososial,disebutkan terdapat defek dan disintegrasi ego.
PATOFISIOLOGI
Hipotesis dopamine pada skizofrenia adalah yang paling berkembang dari berbagai
hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Hipotesis ini menyatakan
bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Beberapa bukti
yang terkait hal tersebut yaitu: (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyekat reseptor D2
pasca sinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik frontal; (2) obat-obat
yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti evodopa (suatu precursor), amphetamine
(perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis reseptor dopamine langsung), baik yang
dapat mengakibatkan skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor
dopamine telah terbukti, postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah
dirawat dengan obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan
peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak
dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang tidak menderita
skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah
jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamine, di cairan serebrospinal, plasma,
danurine. Namun teori dasar tidak menyebutkan hiperaktivitas dopaminergik apakah karena
terlalu banyaknya pelepasan dopaminergik, terlalu banyaknya reseptor dopaminergik atau
kombinasi mekanisme tersebut. Neuron dopaminergik di dalam jalur mesokortikal dan
mesolimbik berjalan dari badan selnya di otak tengah ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik
dan korteks serebral. Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok , yaitu primer
dan sekunder.
GEJALA
Gejala-Gejala Primer
Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan dengan apa yang disuruh.
Otomatisme komando (“command automatism”) sebetulnya merupakan lawan dari
negativisme : semua perintah dituruti secara otomatis, bagaimana ganjil pun. Termasuk
dalam gangguan ini adalah echolalia (penderita meniru kata-kata yang diucapkan orang lain)
dan ekophraksia (penderita meniru perbuatan atau pergerakan orang lain).
Gejala-Gejala Sekunder
1. Waham
Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre. Tetapi
penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya adalah fakta dan tidak dapat
diubah oleh siapapun. Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan,
umpamanya penderita berwaham bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main dengan air
ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. waham dibagi dalam dua
kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder, waham sistematis atau tafsiran
yang bersifat waham (delutional interpretations).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari
luar. Halini hampir patognomonis buat skizofrenia. Umpamanya istrinya sedang berbuat
serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali, atau seorang
penderita berkata “dunia akan kiamat sebab ia melihat seekor anjing mengangkat kaki
terhadap sebatang pohon untuk kencing.
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan merupakan cara
bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham dinamakan
menurut isinya : waham kebesaran atau ekspansif, waham nihilistik, waham kejaran,
waham sindiran, waham dosa, dan sebagainya.
2. Halusinasi
Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan
gejala yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling sering pada keadaan
sskizofrenia ialah halusinasi (oditif atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi
barang-barang atau siulan. Kadang-kadang terdapat halusinasi penciuman (olfaktorik),
halusinasi citra rasa (gustatorik) atau halusinasi singgungan (taktil). Umpamanya
penderita mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang yang menyinarinya
dengan alat rahasia atau ia merasa ada racun dalam makanannya Halusinasi penglihatan
agak jarang pada skizofrenia lebih sering pada psikosa akut yang berhubungan dengan
sindroma otak organik bila terdapat maka biasanya pada stadium permulaan misalnya
penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang menakutkan.
Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi tidak
menurun pada skizofrenia. Penderita sering dapat menceritakan dengan jelas
pengalamannya dan perasaannya. Kadang-kadang didapati depersonalisasi atau “double
personality”, misalnya penderita mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan
menganggap dirinya sudah tidak adalagi. Atau pada double personality seakan-akan
terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya atau yang menguasai dan
menyuruh penderita melakukan sesuatu.
Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan dunia luar
ia seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan apa yang terjadi
disekitarnya.
Depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan sebagai gejala primer.
Tetapi juga ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi karena sangat terganggunya afek
dan kemauan.
Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis skizofrenia adalah:
1) Tidak ada symptom atau gejala klinis yang patognomonik untu skizofrenia. Artinya
tidak ada simptom yang khas atau hanya terdapat pada skizofrenia. Tiap simptom
skizofrenia mungkin ditemukan pada gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf
lainnya. Karena itudiagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakkan dari pemeriksaan
status mental saat ini. Riwayat penyakit pasien merupakan hal yang esensial untuk
menegakkan diagnosis skizofrenia.
2) Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis subtipenya dari perawatan
sebelumnya (yang lalu). Bahkan dalam satu kali perawatanpun diagnosis subtipe
mungkin berubah.
3) Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar belakang sosial
budaya pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat dari sosial budaya tertentu
mungkin dipandang sebagai suatu hal yang aneh bagi budaya lain. Contohnya
memakai koteka di Papua merupakan hal yang biasa namun akan dipandang aneh jika
dilakukan di Jakarta. Selain itu hal yang tampaknya merupakan gangguan realitas
mungkin akibat keterbatasan intelektual dan pendidikan pasien.
KLASIFIKASI
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam PPDGJ
III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-
masing, yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Skizofrenia Paranoid·
- Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
- Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau
bunyi tawa.
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain
perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion
of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of
passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas.
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata / menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skizofrenik
terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya.
Pasienyang sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan
social yangdapat membantu mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid
cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi.
2. Skizofrenia Hebefrenik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau
dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
- Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri
(solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
- Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan
kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang
khas berikut ini memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; adakecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai
oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum
sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner),
tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda
gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
(reiterated phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol
(fleeting andfragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive)
dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga
perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan
tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan
bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
3. Skizofrenia Katatonik
- Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
- Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);
b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal).
c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang
berlawanan);
e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya);
f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis
terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
- Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang
memadai tentang adanya gejala-gejala lain.
- Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik
untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan
metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan
afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan
pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang
lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan,
hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.
4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated)
Seringkali Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam
salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci.
Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III yaitu:
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau
katatonik.
- Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
5. Depresi Pasca-Skizofrenia
- Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum
skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit
2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode
depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus
tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
- Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua :
a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,
komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negative” dari skizofrenia;
d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi
kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative
tersebut.
Tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya gangguan
skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup
untuk memenuhi tipelain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan social,
perilaku eksentrik, pikiran yangtidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah
sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan maka hal
tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
7. Skizofrenia Simpleks
- Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung
pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
- gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu,
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
- Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia
lainnya. Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala
utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang
sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin
penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya
menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan
menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia YTT
Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya antara lain :
- Bouffe delirante (psikosis delusional akut). Konsep diagnostik Perancis dibedakan
dari skizofrenia terutama atas dasar lama gejala yangkurang dari tiga bulan. Diagnosis
adalah mirip dengan diagnosis gangguan skizofreniform didalam DSM-IV. Klinisi
Perancis melaporkan bahwa kira-kira empat puluh persen diagnosis delirante
berkembang dalam penyakitnya dan akhirnya diklasifikasikan sebagai media
skizofrenia.
- Skizofrenia laten.
Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat terdapat
konseptualisasi diagnostic skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien harus sangat sakit
mental untuk mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi pada konseptualisasi
diagnostik skizofrenia yang luas, pasien yang sekarang ini tidak terlihat sakit berat
dapat mendapatkan diagnosis skizofrenia. Sebagai contohnya, skizofrenia laten sering
merupakan diagnosis yangdigunakan gangguan kepribadian schizoid dan skizotipal.
Pasien tersebut mungkin kadang-kadang menunjukkan perilaku aneh atau gangguan
pikiran tetapi tidak terus menerus memanifestasikan gejala psikotik. Sindroma juga
dinamakan skizofrenia ambang (borderline schizophrenia) di masa lalu.
- Oneiroid
Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien mungkin pasien
sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi terhadap waktu dan tempat.
Istilah “skizofrenik oneiroid” telah digunakan bagi pasien skizofrenik yang
khususnya terlibat didalam pengalaman halusinasinya untuk mengeluarkan
keterlibatan didalam dunia nyata. Jika terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus
berhati-hati dalam memeriksa pasien untuk adanya suatu penyebab medis atau
neurologist dari gejala tersebut.
- Parafrenia.
Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk “skizofrenia paranoid”. Dalam
pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit yang memburuk secara
progresif atau adanya system waham yang tersusun baik. Arti ganda dari istilah ini
menyebabkannya tidak sangat berguna dalam mengkomunikasikan informasi.
- Pseudoneurotik.
Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu seperti
kecemasan, fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan gejala gangguan
pikiran dan psikosis. Pasien tersebut ditandai oleh gejala panansietas, panfobia,
panambivalensi dan kadang-kadang seksualitas yang kacau. Tidak seperti pasien yang
menderita gangguan kecemasan, mereka mengalami kecemasan yang mengalir bebas
(free-floating) dan yang sering sulit menghilang. Didalam penjelasan klinis pasien,
mereka jarang menjadi psikotik secara jelas dan parah.
- Skizofrenia Tipe I.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom positif
yaitu asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan bertambah banyaknya
pembicaraan. Disertai dengan struktur otak yang normal pada CT dan respon yang
relatif baik terhadap pengobatan.
- Skizofrenia tipe II.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom negative
yaitu pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan pembicaraan atau isi
pembicaraan, penghambatan (blocking), dandanan yang buruk, tidak adanya motivasi,
anhedonia, penarikan sosial, defek kognitif, dan defisit perhatian. Disertai dengan
kelainan otak struktural pada pemeriksaan CT dan respon buruk terhadap pengobatan.
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda;atau
-“thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya; dan
- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.
b. - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
-“delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
suatu kekuatan dari luar; (tentang “dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan
tubuh atau anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginraan khusus);
-“delusional perception” = pengalaman indrawi yang tak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau mikjizat;
c. Halusinasi auditorik
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap prilaku pasien, /
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (di antara berbagai suara
yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil misalnya perihal keyakinan agama atau politik
tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain.
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca-indra apa saja, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-
menerus;
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi daya tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
d. Gejala-gejala “negatif”, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan
diri dari pergaulan sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fese nonpsikotik prodromal;
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku peribadi (personal behavour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap
larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi, karena 75%
penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat neuroleptika. Kontra indikasi
meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti klorpromazin, molindone, dan
thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate atau glaucoma sudut tertutup. Antara
sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia dapat membaik dengan lithium. Namun
krenlithium belum terbukti lebih baik dari neuroleptika, penggunan disarankan sebatas obat
penopang. Meskipun terapi elektrokonvulsif (ECT) lebih rendah dibanding dengan neuroleptika
bila dipakai sendirian, penambahan terapi ini pada regimen neuroleptika menguntungkan
beberapa penderita skizofrenia.
Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial. Hal ini dilakukan dengan
menurunkan stressor lingkungan atau mempertinggi kemampuan penderita untuk
mengatasinya,dan adanya dukungan social.
MITOS MENGENAI SKIZOFRENIA
Penyakit jiwa, sampai saat ini masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan,
menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada
tingkat yang paling kronis, seperti hilang ingatan, dengan sebutan yang sebenarnya sangat kasar
seperti: sinting, otak miring atau gila (istilah yang menurut seorang psikolog sudah tidak dipakai
lagi dalam dunia psikologi) serta sebutan-sebutan kasar lainnya. Yang lebih menyedihkan, orang
yang sakit jiwa, yang sering kita temui di keramaian atau dijalanan, oleh masyarakat kita
dianggap sebagai, meminjam istilah Irwanto, Phd, “sampah sosial” yang kotor dan hina. Lihat
saja kenyataan, orang-orang—mungkin termasuk kita sendiri jika melihat atau berpapasan
dengan orang yang sakit jiwa, dengan sepontan akan menertawakan, mencemooh, memaki-maki
bahkan melemparinya. Menganggap orang yang sakit jiwa sebagai mahluk kotor, rendah dan
hina, bahkan mungkin dianggap lebih hina dari hewan.
Mengapa masyarakat kita menganggap dan memperlakukan orang-orang yang sakit jiwa
seperti itu? Bukankah mereka juga manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang sebelumnya sama
mulianya seperti manusia lainnya? Lalu karena suatu hal, suatu musibah, mereka kehilangan
kewarasannya, kehilangan akal sehatnya. Setelah itu, pantaskah kita menganggapnya sebagai
makhluk hina dan tak berharga? Pantaskah keluarganya, orang-orang terdekatnya dan
lingkungannya, menganggapnya sebagai aib?
Apa yang diungkapkan di atas adalah persepsi umum masyarakat yang sebenarnya keliru
terhadap penderita kelainan mental dalam kadar yang paling kronis yaitu hilang ingatan. Persepsi
masyarakat terhadap penderita kelainan jiwa dalam pengertian yang lebih luas pun mengarah
pada persepsi yang keliru ini.
Penyakit mental dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun
status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.
Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit
mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang
menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan
yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat
pengobatan secara cepat dan tepat.