Anda di halaman 1dari 19

Hikmah Ramadhan

Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani

Perjalanan waktu terus berlangsung. Tanpa terasa


sekian ramadhan telah dilewati. Ini membuktikan bahwa masa sudah saling
berdekatan sebagaimana yang di beritakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Barangkali sebagian kita telah melalui ramadhan selama enam puluh tahun, ada pula
yang lima puluh tahun, empat puluh tahun, tiga puluh tahun, dua puluh tahun, atau
lebih maupun kurang. Namun apa hasil yang sudah kita raih untuk kebaikan agama
dan akherat kita. Sudahkah tempaan bulan suci ramadhan mampu meningkatkan
kualitas ketakwaan kita kepada Allah. Atau masihkah tingkah laku kita sama dengan
masa sebelumnya bahkan malah lebih parah. Kita memohon kepada Allah ampunan
dan rahmat-Nya.

Wahai segenap kaum muslimin, marilah kita merenungi Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang berikut ini, (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan
atas orang –orang yang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa (kepada Allah)”.
(Al Baqarah: 183)

Apabila bertakwa kepada Allah menjadi tujuan yang utama dalam melaksanakan puasa
ramadhan berarti pemenangnya adalah orang yang berhasil meningkatkan mutu
ketakwaannya selepas bulan yang suci ini. Tentu sangat ironis, jika seorang yang berpuasa di
bulan ramadhan justru lebih jauh dari Allah pada bulan-bulan yang berikutnya. Bahkan
merupakan kesalahan yang besar bila seorang yang berpuasa mau menahan diri dari hawa
nafsu dan syahwat hanya  dalam bulan suci ramadhan dan tak lebih dari itu. Semestinya,
fenomena rasa antusias yang sedemikain tinggi untuk melaksanakan ibadah dan menjauhi
kemaksiatan dalam bulan suci ramadhan bisa ditularkan pada perputaran waktu yang
selanjutnya.

Wahai segenap kaum muslimin, marilah kita menghilangkan dari benak kita asumsi bahwa
ramadhan hanya sekadar seremonial ritual agama yang di gelar karena adat istiadat umat
islam.  Selepasnya, kita kembali kepada kemerosatan keyakinan dan moral yang sudah
berlangsung sebelumnya dengan sangat parah dan rendah.                                              
Marilah kita menjadikan ramadhan sebagai pendidikan spiritual yang mampu membentuk
kita sebagai manusia-manusia berkualitas di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wahai segenap kaum muslimin, sesungguhnya bulan suci ramadhan ini mengandung
berbagai pelajaran dan hikmah yang cukup banyak. Ibarat buah yang sudah ranum diatas
pohonnya dan hanya tinggal menanti siapa yang datang untuk memetiknya. Dalam tulisan
yang ala kadarnya ini, kami mencoba untuk menyuguhkan sebagian pelajaran dan hikmah
bulan suci ramadhan bagi para pembaca yang budiman, dengan harapan semoga Allah
memberkati kehidupan kita dari waktu ke waktu yang kita lalui, sehingga kita menjadi
semakin baik dan lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berpuasa

Berpuasa adalah syariat dahulu kala yang diwarisi oleh para nabi dan rasul sampai kepada
nabi kita Muhammad shallahu ‘alihi wasalam. Berpuasa menyimpan keberkatan dan
kemanfaatan yang banyak sekali, baik dari sisi agama maupun kehidupan. Oleh karena itu,
islam mensyariatkan amalan yang mulia ini bukan hanya pada bulan suci ramadhan. Selain
puasa ramadhan disana masih terdapat puasa-puasa yang lainnya, Ada yang wajib dan ada
pula yang sunnah.  Yang wajib, misalnya seperti puasa qadha`, puasa kaffarah, dan puasa
nadzar. Adapun yang sunnah, misalnya seperti puasa nabi Daud yaitu sehari berpuasa dan
sehari berbuka, Puasa hari senin dan kamis, puasa hari-hari putih yaitu tanggal tiga belas,
empat belas, dan limas belas dari setiap pertengahan bulan hijriyah dan lain sebagainya.

Berpuasa disyariatkan oleh Allah melalui Rosul-Nya adalah dalam rangka meningkatkan
mutu ketakwaan kita. Disamping itu, berpuasa dapat menghindarkan kita dari segala gejolak
hawa nafsu dan syahwat yang menyesatkan. Singkatnya, dengan berpuasa, kita bisa
menyelamatkan diri dari amukan api neraka. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, (yang artinya):

“Berpuasa itu adalah tameng yang dengannya seorang hamba bisa membentengi diri dari
amukan api neraka”. (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang selain keduanya, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dengan sanad yang hasan)

Ya, berpuasa adalah tameng yang membentengi kita dari amukan api neraka. Bagaimana
tidak? Dengan berpuasa, kita telah menutup pintu-pintu syaithan yang berada dalam tubuh
kita.  Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, (yang artinya):

“Sesungguhnya syaithan itu mengalir pada diri seorang anak Adam laksana aliran darah”.
(HR. Al Bukhari dan Muslim dari Shafiyyah radhiyallahu ‘anha)

Maka dengan berpuasa, kita telah menutup pintu syaithan untuk menyelusup ke dalam diri
kita. Sebab kita telah meninggalkan makan, minum, dan syahwat kita selama berpuasa karena
Allah. Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman, (yang artinya):

“Setiap amalan anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu
adalah untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya. Dia meninggalkan makan, minum, dan
syahwatnya karena Aku”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Wahai segenap kaum muslimin, ketahuilah, bahwa lambung yang penuh merupakan sarang
syaithan yang paling kotor. Dari lambung yang penuh itu, dia akan menggoda seorang
manusia untuk durhaka kepada Allah. Seorang hamba yang lambungnya penuh memiliki
tenaga, kekuatan, daya, dan potensi yang cukup besar untuk berbuat apa saja. Maka syaithan
menggunakan peluang emas ini untuk menggodanya agar memuaskan segenap hawa nafsu
dan syahwat dunia yang diinginkannya tanpa harus memperdulikan syariat Allah. Oleh
karena itu, barangsiapa yang ingin mampu mengendalikan berbagai dorongan hawa nafsu dan
syahwat kesenangan dunia yang sedang bergejolak hebat dalam dirinya, maka hendaklah dia
berpuasa. Maka dengan berpuasa, dia akan terbebas dari segala ajakan hawa nafsu dan
syahwat yang bisa menjerongkokkannya ke dalam berbagai lembah hitam yang rendah lagi
nista. Termasuk syahwat dunia yang bisa dia redam dengan berpuasa adalah syahwat
terhadap wanita-wanita yang diharamkan atasnya. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, (yang artinya):

“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu, maka
hendaklah dia segera menikah, karena yang demikian itu lebih menundukkan pandangannya
dan menjaga kehormatannya, dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah dia
berpuasa, karena yang demikian itu buat dirinya adalah tameng”. (HR. Al Bukhari dan
Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Betapa banyak para pria yang terjungkal ke dalam lembah neraka jahannam disebabkan oleh
fitnah wanita. Intinya, bahwa berpuasa adalah senjata ampuh guna meredam dan
mengendalikan hawa nafsu dan syahwat yang durjana. Jika kita telah mengetahui hal ini,
maka berpuasa bukan hanya amalan rutinitas pada bulan suci ramadhan. Akan tetapi lebih
daripada itu, berpuasa adalah kebutuhan rohani yang semestinya ditunaikan sesuai prosedur
syariat islam yang benar demi menggapai kebaikan dunia dan akherat, sehingga kita menjadi
manusia-manusia yang lebih bertakwa dan berkualitas di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber : http://alhujjah.wordpress.com/2010/09/08/hikmah-ramadhan/

Hikmah dan Keutamaan dalam Berpuasa


 

1. Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-


Shaum

Ash-Shaum merupakan salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki keutamaan yang sangat
tinggi, serta memiliki berbagai faidah dan hikmah sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-
Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala :

ِّ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آَ َمنُوا ُكتِ َب َعلَ ْي ُك ُم ال‬


)١٨٣ :‫صيَا ُم َك َما ُكتِ َب َعلَى الَّ ِذينَ ِمنْ قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُونَ ( البقرة‬

”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian ash-shaum sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” [Al-Baqarah : 183]

Diantaranya :

1. Ash-shaum adalah salah satu sebab terbesar yang mengantarkan seseorang menuju
taqwa. [1]) Sedangkan taqwa itu akan mendorong orang yang menjalankan ibadah shaum
untuk meninggalkan berbagai larangan Allah Ta’ala, baik berupa minuman, makanan, dan
jima’ (hubungan suami-istri) dan beberapa larangan sejenisnya yang disukai oleh hawa nafsu,
dan shaum dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan
mengharapkan balasan di sisi-Nya.

2. Orang yang menjalankan ibadah shaum melatih jiwanya agar senantiasa merasa
diawasi oleh Allah (muroqobatullah) sehingga dia meninggalkan kemauan hawa nafsunya
meskipun mampu menurutinya, sebab dia mengetahui adanya pengawasan Allah Ta’ala
terhadap dirinya.

3. Ash-shaum dapat mempersempit ruang gerak syaithan karena ia masuk ke dalam


tubuh anak Adam melalui aliran darah. ([2])

4. Ash-shaum akan melemahkan kekuatan syaithan, sehingga orang tersebut semakin


terjauhkan dari kemaksiatan.

5. Orang yang menunaikan ash-shaum, mayoritasnya akan melakukan banyak


ketaatan dan itu merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta’ala

6. Terkhusus bagi orang kaya bila merasakan pedihnya lapar karena ash-shaum maka
akan muncul dalam dirinya kepedulian kepada fuqara`, dan hal ini juga merupakan
bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. ([3])

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ketika ditanya tentang hikmah ash-shaum, beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam menjawab antara lain : bahwa ash-shaum mememiliki beberapa hikmah dalam hal
sosial kemasyarakatan, antara lain munculnya perasaan di tengah-tengah kaum muslimin
bahwa mereka adalah umat yang satu, makan dan bershaum di waktu yang sama. [4])

Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam ([5]) menyebutkan hikmah lain dari ibadah
ash-shaum, di antaranya :

1. Mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah dan mengingat berbagai nikmat-Nya.

2. Memiliki manfaat kesehatan, yaitu memberikan kesempatan pada alat pencernaan untuk
istirahat.

———————————–
[1] Oleh karena itu, kalau kita perhatikan dengan seksama ayat pertama yang padanya Allah
memerintahkan kaum mu`minin untuk bershaum diakhiri dengan penyebutan tujuan tersebut,
yaitu ayat ke-183 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :

) َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ “Agar kalian bertaqwa”

Begitu pula Allah mengakhiri ayat terakhir tentang perintah ash-shaum ini dengan
penyebutan tujuan tersebut pula, yaitu ayat ke-187 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :

َ‫لَ َعلَّ ُه ْم تَتَّقُون‬ “Agar mereka bertaqwa”

[2] Dari Shafiyyah radiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda :

‫ان َم ْجرى الدَّم‬


ِ ‫س‬ ِ َ‫ش ْيطَانَ يَ ْج ِري ِمن‬
َ ‫اإل ْن‬ َّ ‫إِنَّ ال‬

“Sesungguhnya Syaithan berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darahnya.”
[HR. Al-Bukhari 2035, 2038, 2039, 3101, 3281, 6219, 7171; Muslim 2175]

[3] Tafsir As-Sa’di tafsir Al-Baqarah ayat 183..

[4] Lihat Fatawa Ash-Shiyam karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin hal. 24. lihat pula
Fatawal-’Ulama`il-BaladilHaram hal. 277.

[5] Taudhihul Ahkam (3/123)

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=235, judul asli Hikmah dan Fadhilah


(Keutamaan) Ash-Shaum)

2. Fadhilah Ash-Shaum secara umum

Sementara Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum telah banyak disebutkan dalam berbagai hadits,
baik fadhilah ash-shaum secara umum, maupun fadhilah shaum Ramadhan secara khusus.
Dalam kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa di antaranya :

1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam berkata :

‫سي بِيَ ِد ِه لَ ُخلُوفُ فَ ِّم‬ َ ‫صيَا ُم ُجنَّةٌ فَالَ يَ ْرفُ ْث َوالَ يَ ْج َه ْل َوإِ ِن ا ْم ُر ٌؤ قَاتَلَهُ أَ ْو شَاتَ َمهُ فَ ْليَقُ ْل إِنِّي‬
ِ ‫صائِ ٌم – َم َّرتَ ْي ِن – َوالَّ ِذي نَ ْف‬ ِّ ‫اَل‬
َ َ
،‫صيَا ُم لِي َوأنَا أ ْج ِزي ِب ِه‬ َ
ِّ ‫ اَل‬،‫ش ْه َوتَهُ ِمنْ أ ْجلِي‬ َ ‫ يَ ْت ُر ُك طَ َعا َمهُ َو‬،‫س ِك‬
َ ‫ش َرابَهُ َو‬ ْ ‫ح ْال ِم‬ ِ ‫ب ِع ْن َد هللاِ تَ َعال َى ِمنْ ِر ْي‬ َ
ُ َ‫صائِ ِم أ ْطي‬
َّ ‫ال‬
]‫ش ِر أ ْمثالِ َها [متفق عليه‬ َ َ ُ َ
ْ ‫سنة بِ َع‬ ْ
َ ‫َوال َح‬

“Ash-Shiyam adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan
tidak berbuat jahil. ([1]) Dan bila ada yang mengajak bertengkar atau mencelanya maka
katakan : “Sesungguhnya saya sedang shaum” – dua kali – Dan demi Dzat yang jiwaku ada
di tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum daripada bau misk di sisi
Allah, ‘ Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Dan Aku
sendiri yang akan membalas amalan baiknya (ash-shaum) dan ketahuilah bahwa satu
kebaikan dilipat gandakan balasannya sampai sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq ‘alaih].([2])

Dalam hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :
a. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.

Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa`i dari shahabat
‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api
neraka). Lafazh hadits tersebut adalah :

ِ‫سو َل هللا‬ُ ‫س ِمعْتُ َر‬َ : ‫صائِ ٌم؛ فَقَا َل‬ ِ ‫ف قَا َل د ََخ ْلتُ َعلَى ُع ْث َمانَ ْب ِن أَبِي ا ْل َعا‬
َ ‫ إِنِّي‬: ُ‫ فَقُ ْلت‬،‫ فَ َدعَا ِبلَبَ ٍن‬،‫ص‬ ٍ ‫ عَنْ ُمطَ ِّر‬r : ‫يَقُو ُل‬
)) ‫َال‬ ْ ُ َ َّ َ َّ ٌ َّ
ِ ‫ص ْو ُم ُجنة ِمنْ النا ِر ك ُجن ِة أ َح ِدك ْم ِمنْ القِت‬ َّ ‫(( ال‬

Dari Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin Abil ‘Ash, kemudian beliau
hendak menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata : “Sesungguhnya aku sedang
bershaum. Maka beliau (’Utsman bin Abil ‘Ash) berkata : Sungguh aku telah mendengar
Rasulullah [D] bersabda :

“Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka), seperti perisai salah seorang dari
kalian dalam peperangan.” [3])

Dalam hadits lain, dari shahabat Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

ْ َ‫صيَا ُم ُجنَّةٌ ي‬
]‫ستَ ِجنُّ بِ َها ا ْل َع ْب ُد ِمنْ النَّا ِر [رواه أحمد‬ ِّ ‫إِنَّ َما ال‬

“Sesungguhnya shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri
dari (adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])

b. Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah dibandingkan
aroma wangi misk. [5])

c. Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara langsung
oleh Allah sendiri.

[lihat ulang Fathul Bari syarh hadits no. 1894]

2. Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.

Hadits dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
berkata :

َّ ‫ أَيْنَ ال‬: ‫ يُقَا ُل‬،‫ الَ يَد ُْخ ُل ِم ْنهُ أَ َح ٌد َغ ْي ُر ُه ْم‬،‫صائِ ُمونَ يَ ْو َم ا ْلقِيَا َم ِة‬
‫صائِ ُمونَ ؟‬ َّ ‫إِنَّ فِي ا ْل َجنَّ ِة بَابًا يُقَا ُل لَهُ ال َّريَّانُ يَد ُْخ ُل ِم ْن ِه ال‬
]‫ [متفق عليه‬.ٌ‫ق فَلَ ْم يَد ُْخ ْل ِم ْنهُ أَ َحد‬ َ ِ ‫ل‬‫غ‬ْ ُ ‫أ‬ ‫وا‬ َ ‫ل‬ َ
‫َخ‬ ‫د‬ ‫ا‬ َ
‫ذ‬ ‫إ‬َ ‫ف‬
ِ ْ ُْ‫م‬‫ه‬ُ ‫ر‬ ‫ي‬ َ
‫غ‬ ‫د‬
ٌ ‫ح‬ َ
َ ُ ِ ُ َ‫فَيَقُ ْو ُمونَ الَ ي‬
‫أ‬ ‫ه‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬ ‫ل‬ ُ
‫ْخ‬ ‫د‬

“Sesungguhnya di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan yang masuk
melaluinya pada Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak akan
masuk seorang pun melaluinya selain mereka, kemudian diserukan, “Manakah orang-orang
yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak ada seorang pun yang akan
masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk semua, maka pintu
itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya.” [Muttafaqun ‘Alaih].
([6])

Dalam riwayat riwayat lain dengan tambahan :

(( ‫ش ِر َب لَ ْم يَ ْظ َمأْ أَبَدًا‬ َ ‫]رواه النسائي و أحمد[ )) َمنْ د ََخ َل فِي ِه‬


َ ْ‫ش ِر َب َو َمن‬

“Barangsiapa yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan barangsiapa yang minum
maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad] ([7])

3. Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70) tahun.

Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam berkata :

]‫س ْب ِعيْنَ َخ ِر ْيفًا [متفق عليه‬


َ ‫سبِ ْي ِل هللاِ إِالَّ َبا َع َد هللاُ ِبذلِكَ َو ْج َههُ َع ِن النَّا ِر‬
َ ‫ص ْو ُم يَ ْو ًما فِي‬
ُ ‫َما ِمنْ َع ْب ٍد َي‬

“Tidaklah seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan
wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di hari kiamat, sejauh 70 tahun.” [Muttafaq
‘alaih] ([8])

Sebagian ‘ulama mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan jihad, antara lain Al-Imam
Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan hadits ini dalam Kitabul Jihad was Sair
dengan judul bab : ِ‫سبِ ْي ِل هللا‬ َ ‫ص ْو ِم فِي‬ َّ ‫ض ِل ال‬ ْ َ‫ف‬ (Keutamaan Ash-Shaum di jalan Allah). Begitu pula
Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan
ِ ‫ض َر ٍر َوال تَ ْف ِوي‬
judul : ٍّ‫ت َحق‬ َ ‫سبِي ِل هللاِ لِ َمنْ يُ ِطيقُهُ بِال‬
َ ‫صيَ ِام فِي‬ ْ َ‫(ف‬Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah
ِّ ‫ض ِل ال‬
bagi yang mampu tanpa adanya kemudharatan dan pengabaian tugas).

Sehingga atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam hadits di atas hanya khusus bagi
yang bershaum ketika berjihad fi sabilillah.

Namun Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna Fi Sabilillah di sini adalah :


ketaatan kepada Allah secara umum. Sehingga makna hadits adalah : “Barangsiapa yang
bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”. Atas dasar itu keutamaan tersebut tidak hanya
terbatas pada shaum ketika berjihad fi sabilillah.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua kemungkinan makna di atas
memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas, sekaligus sebagai makna hadits berikut
ini. [9])

4. Parit penghalang dari adzab An-Nar.

 
Hadits dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :

ِ ‫س َما ِء َواألَ ْر‬


(( ‫ض‬ َّ ‫سبِي ِل هللاِ َج َع َل هللاُ بَ ْينَهُ َوبَيْنَ النَّا ِر َخ ْن َدقًا َك َما بَيْنَ ال‬
َ ‫صا َم يَ ْو ًما فِي‬
َ ْ‫]رواه الترمذي[ )) َمن‬

“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jadikan antara
dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang (yang lebarnya) sejauh langit dan bumi.” [At-
Tirmidzi] ([10])

5. Allah jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun

Hadits dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :

(( ‫َام‬ ِ ‫سبِي ِل هللاِ بَا َع َد هللاُ ِم ْنهُ َج َهنَّ َم َم‬


ٍ ‫س ْي َرةَ ِمائَ ِة ع‬ َ ‫صا َم يَو ًما فِي‬
َ ْ‫]رواه النسائي و ابن أبي عاصم و الطبراني[ )) َمن‬

“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api
Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu Abi ‘Ashim, Ath-
Thabarani] [11])

Masalah : Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ini disebutkan “sejauh
perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu ‘anhu disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan ini memunculkan
suatu pertanyaan.

Untuk menjawabnya, ada dua jawaban :

a. Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka
menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-
Imam Al-Qurthubi dan dipertegas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.

- Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :

‫ورد ذكر السبعين إلرادة التكثيركثيرا‬

“Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan
betapa sangat jauhnya.”

Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :

‫ويؤيده أن النسائي أخرج الحديث المذكور عن عقبة بن عامر والطبراني عن عمرو بن عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن‬
) ‫أنس فقالوا جميعا في رواياتهم ( مائة عام‬.

“Memperkuat pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i meriwayatkan hadits tersebut dari


shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian juga Ath-Thabarani meriwayatkannya dari shahabat
‘Amr bin ‘Abasah, dan Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin Anas, semuanya
menyebutkan dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“. [12])
Jawaban senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan An-Nasa`i,
bahwa penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun bukan sebagai batasan mutlak,
tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. [13])

b. Ada kemungkinan, Allah subhanahu wata’ala hendak menambah fadhilah dan pahala bagi
orang yang bershaum sehingga menyempurnakan jauhnya jarak tersebut menjadi seratus
tahun perjalanan setelah sebelumnya sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua ini
disampaikan oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa`i. [14])

Terkait dengan fadhilah di atas, ada beberapa hadits yang sering diriwayatkan namun secara
sanad lemah. Di antara hadits-hadits tersebut :

- Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

َ ْ‫ َمن‬U ‫ب طَا َر َو ُه َو فَ ْر ٌخ َحتَّى َماتَ َه ِر ًما‬


(( ُ‫ َبعَّ َدهُ هللا‬،‫صا َم يَ ْو ًما ا ْبتِ َغا َء َو ْج ِه هللاِ تَ َعالَى‬ ٍ ‫ [ )) ِمنْ َج َهنَّ َم َكبُ ْع ِد ُغ َرا‬،‫رواه أحمد‬
‫ و الطبراني‬،‫ و البيهقي‬،‫]أبو يعلى‬

“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap wajah Allah, niscaya
Allah jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh perjalanan terbang burung Gagak, semenjak
burung Gagak tersebut baru menetas hingga mati di usia yang tua. ” [Ahmad, Abu Ya’la,
Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [15])

- Hadits dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam berkata :

(( ‫ض َّم ِر‬
َ ‫الج َّوا ِد ال ُم‬
َ ‫س‬ ِ ‫ض الفَ َر‬ ٍ ‫َن النَّا ِر ِمائَةَ ع‬
َ ‫ َر ْك‬،‫َام‬ َ ‫صا َم يَ ْوما ً ِفي‬
ِ ‫سبِي ِل هللاِ؛ بَ َّع َد هللاُ َو ْج َههُ ع‬ َ ْ‫رواه عبد الرزاق و [ )) َمن‬
‫]الطبراني‬

“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api
Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun, dengan kecepatan kuda tunggangan
gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [17])

—————————

[1] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang jahil seperti
berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( ‫سفَه‬
َّ ‫اَل‬ ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush
Shaum hadits no. 1894).

[2] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.

[3] An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-
Nasa`i no. 2231.

[4] HR. Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut
Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul Jami’ish Shaghir no. 4308.

[5] Hal ini tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan untuk membiarkan bau
mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang yang bershaum untuk bersiwak,
sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz bin Jabal dalam sebuah atsar yang
disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil I/106 . Lihat
pembahasan lengkap pada bab halaman ………………..

[6] Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.

[7] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam
Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.

[8] Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.

[9] Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2840.

[10] At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.
563.

[11] An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2, Ath-Thabarani dalam
Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 2565.

[12] Fathul Bari syarh hadits no. 2840.

[13] Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.

[14] Ibid.

[15] Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah seorang perawi yang
lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang perawi yang majhulul hal sebagaimana
dinyatakan oleh Ibnul Qaththan; Al-Hafizh juga berkata tentangnya : mastur. Dalam
sanadnya juga ada rawi yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits ini didha’ifkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.

[16] Tentang makna (Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari syarh hadits no.
2870, 6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi, syarh hadits no. 2828.

[17] ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul


Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata tentang
hadits ini : “Munkar dengan konteks secara lengkap seperti di atas. Karena pada sanadnya
terdapat kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang semuanya dha’if (lemah), yaitu : ‘Ali
bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan Al-Mutharrih.”

Dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal :
dha’if (lemah).

Kemudian tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun Yukhthi’ (jujur namun
berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).

Adapun tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).

Oleh karena itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id melemahkan
hadits di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid ini. beliau berkata : “Hadits ini
diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, namun dalam sanadnya terdapat
Mutharrih, dia adalah seorang perawi yang dha’if.” (lihat Adh-Dha’ifah no. 6910).

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=236, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara


umum 1)

3. Fadhilah Ash-Shaum secara umum

6. Hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam
Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
berkata:

)‫ص َدقَةُ (متفق عليه‬ َّ ‫فِ ْتنَةُ ال َّر ُج ِل فِي أَ ْهلِ ِه َو َمالِ ِه َو َجا ِر ِه تُ َكفِّ ُرهَا ال‬
ِّ ‫صالَةُ َو ال‬
َّ ‫صيا ُم َو ال‬

“Dosa yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga, harta, atau tetangganya
dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.” [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])

7. Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

َ ِ‫صائِ ِم فَ ْر َحتَا ِن يَ ْف َر ُح ُه َما إِ َذا أَ ْفطَ َر فَ ِر َح بِفِ ْط ِر ِه َوإِ َذا لَقِ َي َربَّهُ فَ ِر َح ب‬
(( ‫ص ْو ِم ِه‬ َّ ‫]متفق عليه[ )) لِل‬

“Bagi orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika berbuka dia bergembira
dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya (Allah) dia bergembira dengan (pahala)
shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh Muslim] ([2])

8. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

(( ‫ فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬،‫ص ْو ِم‬


َّ ‫ست َِط ْع فَ َعلَ ْي ِه بِال‬ َ ‫ص ِر َوأَ ْح‬
ِ ‫صنُ لِ ْلفَ ْر‬
ْ َ‫ َو َمنْ لَ ْم ي‬،‫ج‬ ُّ ‫ فَإِنَّهُ أَ َغ‬،‫ستَطَا َع ا ْلبَا َءةَ فَ ْليَتَزَ َّو ْج‬
َ َ‫ض لِ ْلب‬ ْ ‫متفق[ )) َمنْ ا‬
‫]عليه‬

“Barangsiapa yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah, karena sesungguhnya
pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun
barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya
shaum tersebut berfungsi sebagai perisai baginya. [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])

Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di antara hikma ash-shaum berfungsi
sebagai perisai seorang hamba dari kejahatan syahwatnya. Sekaligus sebagai salah satu jalan
keluar bagi para pemuda yang belum mampu melakukan pernikahan.

9. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

(( ‫شفَّ ْعنِي فِي ِه؛‬ َ َ‫ت بِالنَّ َها ِر ف‬ ِ ‫ش َه َوا‬ َّ ‫ أَي َر ِّب إِنِّي َمنَ ْعتُهُ الطَّ َعا َم َو ال‬:‫صيَا ُم‬
ِّ ‫ يَقُو ُل ال‬،‫ان لِ ْل َع ْب ِد يَ ْو َم القِيَا َم ِة‬
ِ ‫شفَ َع‬
ْ َ‫صيَا ُم و القُرآنُ ي‬
ِّ ‫ال‬
‫ان‬‫ع‬
ِ َ َّ ‫ف‬ ‫ش‬
َ ُ ‫ي‬َ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫ي‬‫ف‬
ِ ِ ِ‫ي‬ ‫ن‬‫ع‬ْ ِّ ‫ف‬ ‫ش‬
َ َ ‫ف‬ ‫ل‬‫ي‬ْ َّ
ِ ِ َ ْ‫ل‬‫ال‬ ‫ب‬ ‫م‬ ‫و‬َّ ‫ن‬ ‫ال‬ ُ ‫ه‬ُ ‫ت‬ ‫ع‬
ْ َ ‫ن‬‫م‬ ‫ب‬ِّ
َ َ ‫ر‬ : ُ‫آن‬ ‫ر‬ْ ُ ‫ق‬ ‫ال‬ ‫ل‬‫و‬
ُ َُ ‫ق‬‫ي‬ ))

“Ash-Shiyam dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada Hari
Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb, sesungguhnya aku telah menghalanginya dari
makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an
berkata : Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka
terimalah syafa’atku untuknya. Maka keduanya memberikan syafa’at [Ahmad dan Ath-
Thabarani] ([4])

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :

‫ (( و هذا القول يحتمل أنه حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق هللا فيه‬: ‫ قال المناوي‬،‫ يشفعهما هللا فيه و يدخله الجنة‬: ‫أي‬
)) ‫ و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل‬،(‫النطق ) َوهَّللا ُ َعلَى ُك ِّل ش َْي ٍء قَ ِدي ٌر‬.

‫ كمثل‬،‫ و األول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا وفي أمثاله من األحاديث التي فيها تجسيد األعمال و نحوها‬: ‫قلت‬
‫ و تأويل مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف‬.‫ و نحوه كثير‬،‫ تجسيد الكنـز شجاعا أقرع‬y، ‫بل هو طريقة المعتزلة‬
‫ فحذار أن تحذو‬،٣ :‫ب( البقرة‬ ِ ‫ و ذلك مما ينافي أول شروط اإليمان )الَّ ِذينَ يُؤْ ِمنُونَ ِبا ْل َغ ْي‬،‫و من سلك سبيلهم من الخلف‬
‫ اهـ‬.‫ و العياذ باهلل‬،‫ فتضل و تشقي‬،‫حذوهم‬

Maksudnya adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam keduanya diizinkan oleh Allah untuk
memberi syafa’at kepada orang tersebut sekaligus memasukkannya ke dalam Al-Jannah. Al-
Munawi berkata : “Ada kemungkinan bahwa maksud perkataan di atas adalah secara hakekat
sebenarnya, yaitu dengan Allah rupakan dalam bentuk fisik ganjaran kedua amalan tersebut,
kemudian Allah ciptakan untuk keduanya kemampuan untuk berbicara.

)‫(وهَّللا ُ َعلَى ُك ِّل ش َْي ٍء قَ ِدي ٌر‬


َ

“dan Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”

Ada juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas permisalan dan majaz.”

Menanggapi pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Kemungkinan


pertama itulah yang benar dan harus dipastikan dalam permasalahan dan yang semisalnya
dari berbagai bentuk hadits yang di dalamnya disebutkan tentang dirupakannya amalan dalam
bentuk jasad (fisik) dan yang semisalnya. …. sementara penta’wilan (pemalingan maksud
hadits dari makna sebenarnya kepada makna majaz) terhadap nash-nash seperti ini bukanlah
metode generasi salaf radhiallahu ‘anhum, bahkan itu adalah metode kelompok Al-
Mu’tazilah dan pihak-pihak yang mengikuti jejak mereka dari kalangan kaum khalaf. Cara
penakwilan seperti itu sangat bertentangan dengan syarat pertama keimanan, yaitu :

ِ ‫الَّ ِذينَ يُؤْ ِمنُونَ بِا ْل َغ ْي‬،


)٣ :‫ب( البقرة‬

“orang-orang yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]

Maka waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka (kaum mu’tazilah) yang
menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka. Wal’iyyadzubillah. –selesai–

10. Hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :

ِ ُ‫ َو َدع َْوةُ ا ْل َم ْظل‬،‫صائِ ُم َحتَّى يُ ْف ِط َر‬


(( ‫وم‬ َّ ‫ َوال‬،‫ ا ِإل َما ُم ا ْل َعا ِد ُل‬: ‫)) … ثَالَثَةٌ الَ تُ َر ُّد َد ْع َوتُ ُه ْم‬

“Tiga pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin yang adil, seorang yang
bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang yang terzhalimi, …” [At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah] [5])
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa do’a seorang yang bershaum
ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga datangnya waktu ifthar adalah do`a yang
mustajab. Sementara hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

(( ٌ‫ست ََجابَة‬
ْ ‫صائِ ٍم ِع ْن َد فِ ْط ِر ِه َد ْع َوةٌ ُم‬
َ ‫)) لِ ُك ِّل‬

“Setiap orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).”
[Ibnu ‘Adi] [6])

Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari shahabat ‘Abdillah bin
‘Amr bin Al-’Ash dengan lafazh :

(( ‫صائِ ِم ِع ْن َد فِ ْط ِر ِه َدع َْوةٌ الَ تُ َر ُّد‬


َّ ‫)) إِنَّ لِل‬

“Sesungguh orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar”

Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad mengisyarahkan tentang lemahnya
hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini lemah. [7])

——————————

[1] Al-Bukhari 1895 , Muslim 144.

[2] Al-Bukhari 1904, Muslim 1151.

[3] Al-Bukhari 1905, Muslim 1400.

[4] Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam Shahihut Targhib no. 984 beliau
menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula Tamamul Minnah hal. 394-395.

[5] At-Tirmidzi 3598, Ibnu Majah 1752.

[6] Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq Al-
Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini adalah seorang perawi yang haditsnya
tidak menyerupai hadits para perawi yang jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani berkata bahwa Al-
Imam Shalih Jazarah dan selainnya menyatakan bahwa orang ini pendusta. Lihat penjelasan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.

[7] Lihat Al-Irwa` no. 921.

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=237, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara


umum 2)

4. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 )

1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , sesungguhnya Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam berkata :
ْ ‫ضانَ ُم َكفِّ َراتُ َما بَ ْينَ ُهنَّ إِ َذا‬
(( ‫اجـتَـنَ َب ا ْل َكبَائِ َر‬ َ ‫ َو َر َم‬،‫ َوا ْل ُج ُم َعةُ إِلَى ا ْل ُج ْم َع ِة‬،‫س‬
َ ‫ضانُ إِلَى َر َم‬ ُ ‫صلَ َواتُ ا ْل َخ ْم‬
َّ ‫]رواه مسلم[ )) اَل‬

“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya


merupakan penghapus dosa-dosa selama masih meninggalkan dosa-dosa besar.” [HR.
Muslim] ([1])

Namun keutamaan dan fungsi Ramadhan sebagai penghapus dosa sangat bergantung kepada
sikap dan kemauan hamba untuk menjauhi Al-Kaba`ir , yaitu dosa-dosa besar. Hal ini
sebagaimana ditegaskan pula oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosamu yang kecil)
dan kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (Al-Jannah).” [An-Nisa` : 31]

Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di radhiallahu ‘anhu tentang ayat di atas :

“Tentu ini merupakan bentuk keutamaan dan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya
yang mu`min. Allah menjanjikan kepada mereka bahwa jika mereka menjauhi dosa-dosa
besar yang terlarang, maka pasti Dia akan mengampuni seluruh dosa dan kesalahannya,
serta akan memasukkan mereka ke tempat yang mulia dan penuh kebaikan, yaitu Al-Jannah
yang meliputi segala keindahan yang belum pernah dilihat oleh mata, dan belum pernah di
dengar oleh telinga, bahkan belum pernah terbetik dalam sanubari manusia.

Termasuk pula dalam upaya menjauhkan diri dari Al-Kaba`ir adalah menunaikan berbagai
kewajiban, yang apabila ditinggalkan maka pelakunya tergolong telah melakukan dosa
besar, seperti shalat lima waktu, dan shalat Jum’at, serta shaum Ramadhan, sebagaimana
sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

“Antara shalat lima waktu, dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, serta antara Ramadhan
ke Ramadhan berikutnya berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara
keduanya selama masih dijauhi dosa-dosa besar”

Definisi Al-Kaba`ir yang terbaik adalah sebuah dosa yang diancam dengan hukuman pidana
di dunia, atau ancaman adzab di akhirat, atau penafian iman (dari pelakunya), terkenainya
laknat dan marah Allah atasnya.” [2])

Dari keterangan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil :

1. Bahwa shaum Ramadhan tidak akan berfungsi sebagai penebus dosa atau penghapus
kesalahan kecuali apabila pelakunya berupaya meninggalkan Al-Kaba`ir (dosa-dosa besar).

2. bahwa kita harus mengetahui definisi dan batasan Al-Kaba`ir, sehingga dengan itu kita
dapat menghindarkan diri kita darinya, dan tentunya hal itu tidak mungkin tercapai kecuali
dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i).

2. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

(( ‫سابًا ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِمنْ َذ ْنبِ ِه‬ ْ ‫ضانَ إِي َمانًا َو‬
َ ِ‫احت‬ َ ‫صا َم َر َم‬
َ ْ‫)) َو َمن‬
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka
pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])

Hadits ini memiliki kemiripan dengan hadits yang sebelumnya, yaitu dari sisi bahwa
barangsiapa yang bershaum pada bulan Ramadhan akan diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu. Namun keutamaan tersebut memang hanya bisa diraih dengan dua syarat :

a. Shaum yang dia lakukan berdasarkan kepada keimanan, yaitu keimanan bahwa shaum
Ramadhan merupakan syari’at yang haq yang datangnya dari Allah dan telah diwajibkan
kepada kaum mu`minin.

b. Shaum yang dia lakukan berdasarkan sikap ihtisab (mengharapkan) pahala dan ridha Allah
subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong dia untuk melakukannya dengan penuh
keikhlasan, tanpa ada unsur kepentingan duniawi.

Sehingga barangsiapa yang melakukan shaum Ramadhan tanpa dilandasi dua sikap di atas,
dia tidak akan mendapatkan keutamaan yang dijanjikan.

Terkait dengan permasalahan di atas, ada beberapa hadits dha’if yang perlu diketahui, antara
lain :

a. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’ dengan lafadz :

(( ‫سابًا؛ ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِمنْ َذ ْنبِ ِه َو َما تَأ َ َّخ َر‬ ْ ‫)) َو َمنْ قَا َم لَ ْيلَةَ القَ ْد ِر إِي َمانًا َو‬. ‫رواه النسائي في الكبرى‬
َ ِ‫احت‬

“Barangsiapa yang beribadah pada malam lailatul qadr karena dorongan iman dan
mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan
datang. [An-Nasa`i] [4])

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Hadits ini dengan tambahan lafazh (( ‫)) َو َما تَأ َ َّخ َر‬
adalah hadits yang Syadz (ganjil).

b. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :

(( ‫ كفر ما قبله‬،‫ وتحفظ مما كان ينبغي أن يتحفظ منه‬،‫ )) من صام رمضان وعرف حدوده‬. ‫رواه أحمد والبيهقي‬

“Barangsiapa yang bershaum di bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batas (syar’i) nya,
serta dia berupaya menjaga diri dari segala sesuatu yang semestinya ia menjaga dirinya
dari hal itu, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Ahmad dan Al-
Baihaqi]

Hadits ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Tamamul Minnah. [5]) Karena pada sanadnya ada seorang perawi yang majhul, yaitu
‘Abdullah bin Quraith. Al-Imam Al-Haitsami berkata, bahwa perawi ini telah disebutkan oleh
Ibnu Abi Hatim namun beliau tidak menyebutkan tentangnya, baik jarh (cercaan) atau pun
ta’dil (rekomendasi). Disebutkan dalam kitab Ta’jilul Manfa’ah bahwa Al-Husaini berkata
tentang perawi ini dalam kitab Rijalul Musnad : bahwa dia adalah seorang perawi yang
majhul.
3. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

ُ ‫ضانُ فُتِ َحتْ أَ ْب َو‬


(( ‫اب ا ْل َجنَّ ِة‬ َ ‫)) إِ َذا َجا َء َر َم‬

“Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al-Jannah [Muttafaqun


‘alaihi] ([6])

————————————

[1] Muslim 233

[2] Tafsir As-Sa’di surat An-Nisa` : 31.

[3] Al-Bukhari 1901, Muslim 760.

[4] An-Nasa`i dalam As-Sunanul Kubra. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5083.

[5] Lihat Tamamul Minnah hal. 395.

[6] Al-Bukhari 1898, Muslim 1079.

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=239, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan (


1 ))

5. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 )

1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :

(( ُ‫اطين‬
ِ َ ‫شي‬ ِ ‫س ْل‬
َّ ‫سلَتْ ال‬ ُ ‫ َو ُغلِّقَتْ أَ ْب َو‬،‫س َما ِء‬
ُ ‫ َو‬،‫اب َج َهنَّ َم‬ ُ ‫ضانَ فُت َِّحتْ أَ ْب َو‬
َّ ‫اب ال‬ َ ‫)) إِ َذا د ََخ َل‬
َ ‫ش ْه ُر َر َم‬

“Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan ditutuplah pintu-
pintu Jahannam, serta dibelenggulah para syaithan. [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])

Dalam riwayat Muslim disebutkan pula dengan lafazh :

ُ ‫)) … فُت َِّحتْ أَ ْب َو‬


(( … ‫اب ال َّر ْح َم ِة‬

“… maka dibukalah pintu-pintu rahmat … “

Dari tiga riwayat hadits di atas, kita mengetahui adanya tiga lafazh yang berbeda, yaitu :

- dibukakannya pintu Al-Jannah

- dibukakannya pintu rahmat

- dibukakannya pintu langit

sepintas nampak kontradiktif, namun pada hakekatnya tidak demikian.


Maksud “dibukakannya pintu langit” adalah dalam rangka naiknya berbagai perkataan baik
kepada Allah, baik dalam bentuk dzikir maupun kalimat tauhid Lailaha Illallah, serta
diangkatnya berbagai amalan shalih menuju kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :

١٠ :‫صالِ ُح يَ ْرفَ ُعهُ فاطر‬ ُ ِّ‫ص َع ُد ا ْل َكلِ ُم الطَّي‬


َّ ‫ب َوا ْل َع َم ُل ال‬ ْ َ‫إِلَ ْي ِه ي‬

“kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”
[Fathir : 10]

Sehingga dengan itu langit lebih banyak dibuka pada bulan Ramadhan, karena banyaknya
perkataan baik dan amalan shalih padanya.

Sementara “dibukanya pintu rahmah” ada dua kemungkinan makna :

1. Dalam rangka rahmat Allah turun kepada hamba-hamba-Nya yang mu`min, yang rahmat
itu sendiri merupakan sebab masuk Al-Jannah, sehingga hamba-hamba Allah tidaklah masuk
Al-Jannah kecuali dengan sebab rahmat Allah, bukan karena amalan mereka.

2. Makna rahmat dalam hadits ini adalah Al-Jannah. Karena dalam beberapa keterangan Al-
Jannah terkadang diistilahkan dengan “rahmat”, sebagaimana dalam hadits :

)) ‫ت َر ْح َمتِي أَ ْر َح ُم ِب ِك َمنْ أَشَا ُء ِمنْ ِعبَا ِدي‬


ِ ‫ (( أَ ْن‬: ‫قَا َل هللاُ تَبَا َر َك َوتَ َعالَى لِ ْل َجنَّ ِة‬

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada Al-Jannah : ‘Engkau adalah rahmat-Ku yang
denganmu Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki dari kalangan hamba-hamba-Ku’.”
[Muttafaqun ‘alaih] [2])

Penjelasan tentang maksud : « ‫» وصفدت الشياطين‬

Di antara yang sering ditanyakan adalah maksud kalimat « ‫» وصفدت الشياطين‬ (dan


dibelenggulah para syaithan).

Ketahuilah bahwa maksud kalimat di atas bukanlah seluruh jenis syaithan. Namun hanya
terbatas pada jenis syaithan yang diistilahkan dengan Al-Maradah ( ُ‫ال َم َر َدة‬ ), yaitu para
syaithan yang tingkat kejahatan dan kedurhakaanny paling besar. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh para ‘ulama, antara lain :

1. Ibnu Khuzaimah rahimahullah. dalam kitab Shahihnya, beliau menyebutkan :

‫ باب ذكر البيان أن النبي‬r ‫ ال جميع الشياطين‬،‫ « وصفدت الشياطين » مردة الجن منهم‬: ‫إنما أراد بقوله‬

Bab : Penjelasan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hanyalah memaksudkan


dengan perkataannya : « ‫» وصفدت الشياطين‬ (dan dibelenggulah para syaithan) adalah jenis jin
yang maradah (paling durhaka), bukan seluruh jenis syaithan.

Kemudian beliau menyebutkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :

ِ ُ‫اطيْنُ َم َر َدة‬
1776 – « ِّ‫الجن‬ ِ َ ‫شي‬ ِ ‫صفِّ َد‬
َّ ‫ت ال‬ َ ‫إِ َذا َكان أَ َّو ُل لَ ْيلَ ٍة ِمنْ َر َم‬، … »
ُ َ‫ضان‬
“Jika pada malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari jenis
maradatul jin (jin yang paling durhaka), … ” –selesai dari Ibnu Khuzaimah–

Disebutkan pula dalam Sunan An-Nasa`i, juga dari hadits Abu Hurairah, dengan lafazh :

(( … ‫ين‬
ِ ‫اط‬ َّ ‫ َوتُ َغ ُّل فِي ِه َم َر َدةُ ال‬، … ))
ِ َ ‫شي‬

“… dan padanya dibelenggu para syaithan yang paling durhaka. … ” [An-Nasa`i] [3])

2. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhish Shalihin berkata :

“Maksud (dibelenggulah para syaithan) adalah jenis maradah (yang paling durhaka) di
antara mereka. sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat lain. Sementara yang dimaksud
dengan Al-Maradah adalah : yaitu para syaithan yang paling besar permusuhan dan
kebencianya terhadap anak Adam.” ([4])

Namun ada sebagian ‘ulama yang memberikan lain dari yang kami sebutkan di atas, antara
lain Al-Imam Al-Hulaimi, beliau berkata :

“yang dimaksud adalah para syaithan pencuri berita (dari langit). Tidakkah engkau
perhatikan Rasulullah menyebut (( ‫)) مردة الشياطين‬، (para syaithan yang sangat durhaka)
karena bulan Ramadhan adalah waktu turunnya Al-Qur`an ke langit bumi, yang upaya
penjagaan (terhadap) Al-Qur’an dilakukan dengan cara bintang-bintang (yang
dilemparkan), sebagaimana firman Allah Ta’ala :

(‫ش ْيطَا ٍن َما ِر ٍد‬


َ ‫ ) َو ِح ْفظًا ِمنْ ُك ِّل‬٧ :‫الصافات‬

“dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat
durhaka.” [Ash-Shaffat : 7] [5])

Sehingga dengan itu pembelengguan semakin diperketat pada bulan Ramadhan, dalam
rangka penjagaan yang lebih serius (terhadap Kalamullah). [6])

2. Hadits dari shahabat ’Amr bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu , beliau berkata :

‫ جاء رجل إلى النبي‬r ،‫ وصليت الصلوات الخمس‬،‫ يا رسول هللا أرأيت إن شهدت أن ال إله إال هللا وأنك رسول هللا‬: ‫فقال‬
]‫ (( من الصديقين والشهداء )) [رواه البزار وابن خزيمة وابن‬: ‫ فممن أنا؟ قال‬،‫ وصمت رمضان وقمته‬،‫وأديت الزكاة‬

Seseorang datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah,
bagaimana pendapat engkau jika saya bersaksi La ilaha Illallah dan bahwa engkau adalah
Rasulullah, saya melaksanakan shalat lima waktu, saya menunaikan zakat, dan saya
bershaum di bulan Ramadhan dan saya laksanakan shalat (pada malam harinya), maka dari
golongan manakah aku?

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Dari kalangan Ash-Shiddiqin dan Asy-
Syuhada’ ” [Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban] [7])

Dari keterangan di atas, kita tahu bahwa seorang hamba yang menunaikan shaum Ramadhan
dan rajin melakukan Qiyamullail (shalat malam) padanya, maka dia akan digolongkan dalam
golongan para syuhada` dan shiddiqin.
3. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri :

(( ‫)) إن هلل تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة – يعني في رمضان – وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة‬
‫رواه البزار‬

“Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan (dari adzab An-Nar) pada
setiap siang dan malam –yakni di bulan Ramadhan– dan sesungguhnya setiap muslim
memiliki do’a yang mustajab pada setiap siang dan malam” [Al-Bazzar] [8])

4. Hadits dari shahabat Ka’b bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam berkata :

(( ‫ (( آمين ))؛ فلما )) احضروا المنبر‬: ‫ (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثانية قال‬: ‫فحضرنا فلما ارتقى درجة قال‬
‫ (( إن‬: ‫ يا رسول هللا لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه؟ قال‬: ‫ (( آمين ))؛ فلما نزل قلنا‬: ‫ارتقى الدرجة الثالثة قال‬
‫ بعد من‬: ‫ فلما رقيت الثانية قال‬،‫ قلت آمين‬،‫ بعد من أدرك رمضان فلم يغفر له‬: ‫ فقال‬،‫جبريل عليه السالم عرض لي‬
‫ من أدرك أبويه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخاله‬: ‫ فلما رقيت الثالثة قال بعد‬،‫ فقلت آمين‬،‫ذكرت عنده فلم يصل عليك‬
‫ قلت آمين )) رواه الحاكم وقال صحيح اإلسناد‬،‫الجنة‬

“Hadirlah kalian di sekitar mimbar” maka kami pun segera hadir. Ketika menaiki tangga
pertama beliau mengucapkan “Amin” ; dan ketika menaiki tangga kedua beliau
mengucapkan “Amin”; begitu pula ketika menaiki tangga ketiga, beliau mengucapkan
“Amin”. Ketika beliau telah turun dari mimbar, kami bertanya : “Wahai Rasulullah sungguh
kami telah mendengar darimu sesuatu pada hari ini yang belum pernah kami mendengar
sebelumnya?” maka beliau menjawab : “Sungguh telah datang kepadaku Jibril, kemudian
dia berkata : ‘Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak
diampuni.’ Maka aku berkata : Amin. Kemudian ketika aku menaiki tangga kedua, Jibril
berkata : ‘Celakalah seseorang yang disebutkan namamu di hadapannya namun dia tidak
bershalawat untukmu.’ Maka aku pun mengucapkan Amin. Dan ketika aku menaiki tangga
ketiga, Jibril berkata : ‘Celakalah seorang yang menemui kedua orang tuanya pada masa
tua, atau salah satu di antara keduanya, namun (keberadaan) keduanya tidak mampu
memasukkan dia ke dalam Al-Jannah.’ Maka aku pun mengucapkan Amin.” [HR. Al-Hakim]
[9]

Dalam hadits di atas, ada sebuah penekanan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sehingga hendaknya setiap
mu`min berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Karena apabila dia gagal
mendapatkan ampunan di bulan Ramadhan maka dia akan mendapatkan do`a celaka dari
malaikat Jibril ‘alaihis salam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah
melindungi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai