Anda di halaman 1dari 4

Terjebak dalam Tradisi

Karya: Kurnia Setyo Wibowo


Email: kurniasetyo.2018@student.uny.ac.id

Suara kokok ayam bersahut-sahutan, air sungai mengalir dengan


derasnya dan angin semilir bertiup sepoi-sepoi. Saat itu seorang wanita
duduk termenung dirumah kecil beralaskan tanah dengan atap yang bocor
disana sini. Dia sedang dirundung duka walau ia tahu perutnya kian
membuncit dan tengah menunggu waktu keahiran buah hati yang
dikandungnya. “Ningsih?” terdengar suara memanggil. Ningsih tersentak
dari lamunannya. “Iya Kang, pripun?” Timpal Ningsih menjawab
sahutannya. “Kandunganmu sudah usia tujuh bulan biar dapat berkah dari
Gusti kita baiknya melaksanakan syukuran (mitoni)” jawab Kang Bima
menjelaskan. “Owalah Kang, Kang. Beli beras saja kita masih sulit”
tanggapan Ningsih dengan raut muka murung sambil berjalan kaki ke dapur.
“Eh, apa to kui, Dik? Ra wedi dilaknat Gusti koe?” sanggah Kang Bima
dengan muka memerah. Ningsih hanya diam tak menanggapi lagi. Dia
mempercepat langkahnya kedapur. Kondisi keluarga tersebut memang
sedang sedikit renggang akhir-akhir ini. Walaupun awalnya dihiasi dengan
kebahagian ketika tahu bahwa Si Ningsih mengandung, hal itu ternyata
menimbulkan masalah juga. Kang Bima tetap teguh dengan pendapatnya
,walaupun sang istri telah menolak mentah-metah keinginannya karena
kondisi perekonomian yang tak baik.

Hari berganti, minggu terus bergulir. Kang Bima dengan susah payah
bergelut dengan pekerjaannya yang hanya sebagai buruh harian demi
memenuhi keinginananya untuk melaksanakan mitoni. Namun apalah daya
hendak dikata, Uang yang terkumpul tak cukup untuk membeli keperluan
mitoni. “Wis to tidak usah susah payah begitu kerjanya. Buat santai saja,
seperti dikejar hutang saja kamu” kata salah seorang kawan Bima ditempat
kerja. “Hutang-hutang! Walau kayak begini hutangku tidak segembel
(sebanyak) kamu. Aku gelem seperti ini demi kelancaran lahiran anakku.
Aku mau mitoni.” Tanggap Kang Bima berusaha untuk tetap tenang.
“Owalah ya syukur nek bojomu wis ngandung. Tapi apa ya tidak terlalu
berat dengan kondisimu yang seperti ini. Aku lihat koe tidak pernah istirahat
beberapa minggu ini.” Kata temannya Bisma lagi. “Wis to meneng! Ini
urusanku bukan urusanmu!” Sanggah Kang Bima dengan geramnya. Karena
melihat ekspresi muka Bima yang berubah, Paijo memutuskan untuk tidak
melanjutkan pembicaraannya.

“Allah hu Akbar… Allah hu Akbar…”. Terdengar sayup-sayup suara


adzan dari surau kecil didekat rumah Ningsih. Kang Bima masih terlihat
berbaring dengan lemasnya di kursi panjang ruang tamu. Rasa lelah yang
luar biasa sedang dirasakannya, sendi-sendi dipergelang tangannya terasa
sakit bila digerakkan. “Ningsih, tolong pijitin tangan kakang ini.” pinta Bima
memelas. “Iya, sebentar kang ini lagi masak, sebentar lagi selesai.” Jawab
Ningsih. Tak berselang lama Ningsih datang menghampiri Kang Bima
sambil membawa segelas kopi hitam kesukaan Kang Bima. “Jadi gini, Kang,
uang-uang yang Kakang kasih kemarin itu sebagian sudah tak buat bayar
hutang. Rencananya sisa uang kemarin Ningsih akan tabung buat persiapan
lahiran.” Kata Ningsih sambil terus mijitin tangan Kang Bima. “Sudah
berapa kali Kakang bilang itu buat mitoni dulu bukan buat lahiran.” Timpal
Bima sambil keningnya berkerut. “Nggak, cukup Kang. Buat beli ayam nanti
sudah seratus ribu, belum buat beli sayur dan bahan-bahan lainnya.” Sahut
istirinya Kang Bima berusaha meyakinkan. “Kakang nggak mau tahu,
pokoknya harus bisa” tandas Kang Bima sambil menyingkirkan dengan
kasar tangan Ningsih. Mendapat kelakuan itu Ningsih hanya bisa terdiam
seribu bahasa walau sebenarnya hatinya gusar.
Singkat cerita, akhirnya kegiatan mitoni coba dilaksanakan oleh
keluarga kecil itu. Beberapa tetangga sekitar ikut sibuk membantu memasak
makanan. Sanak saudara juga datang untuk membantu. Dilihat dari
gebyarnya tak terlalu mewah persiapan itu. Hanya ada beberapa potong tahu
yang sedang dipersiapkan untuk dimasak. Beberapa buah tempe juga sedang
digoreng salah satu tetangga Ningsih. “Ya Allah!” Tiba-tiba terdengar
teriakan keras dari dalam kamar Ningsih mengagetkan para warga yang
sedang sibuk memasak di dapur. Merekapun saling menoleh kekanan dan
kekiri penasaran serta bingung dengan teriakan itu. Di dalam kamar, kaki
Ningsih terasa mati rasa. Tubuhnya menggigil ketakutan. “Kemarin kakang
ngomong apa? Hayo jawab!” Tanya Bima dengan geramnya. “Suruh be..beli
a..ayam Kang” Jawab Ningsih dengan gemetaran. “Nah sekarang mana
ayamnya?” Tanya Bima lagi. “Maaf u..uangnya nggak cukup kang.” timpal
Ningsih memelas sambil berkata terbata-bata. “Iki kamu jangan berani-
berani bermain sama Gusti, kalau anak kita kena petaka bagaimana? Kalau
anak kita cacat bagaimana? Kamu itu sebenarnya paham tidak to?” Kang
Bima bertanya dengan nada tinggi. Mendengar kegaduhan itu para warga
saling bertanya-tanya sebenarnya sedang ada masalah apa. Akhirnya salah
seorang tokoh agama disana memberanikan diri mengetuk pintu kamar
Ningsih. Mendengar ketukan pintu kamar si Bima langsung reflek bertanya
“Siapa?”. “Ini aku Kang. Hasan.” Mendengar nama Hasan, Bima langsung
membuka pintu kamar dan meminta maaf karena tadi menjawab dengan nada
yang tinggi. Hasan atau yang biasa dipanggil Ustadz Hasan adalah seorang
guru ngaji yang biasa mengajar anak-anak TPA di surau kecil desa. Kang
Bima sangat segan dengan beliau karena selama ia mengajar mengaji tak
sepeserpun dia menarik uang dari warga. “Yuk, kita bicarakan masalah
kalian baik-baik diruang tamu.” Pinta Hasan kepada sepasang suami istri
yang tengah bergaduh. Bima menurut saja, mereka berjalan ke luar Ningsih
turut ikut dibelakang. Di ruang tamu, Bima menjelaskan segala duduk
permasalahannya. Setelah mencermati dengan seksama cerita Bima, Ustadz
Hasan mencoba memberikan saran. Setelah berdiskusi dengan begitu alot
akhirnya Bima mau menerima saran yang diberikan Ustadz Hasan dan
memperbolehkan istrinya melaksanakan mitoni karena pada hakekatnya
terletak pada bagaimana niat kita memberi bukan apa yang kita beri.

Anda mungkin juga menyukai