Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Nga
Umur : 36 Tahun
Tanggal lahir : 07 Agustus 1983
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Kp. Ranca Garut RT/RW 002/003, Ds. Sangiangtanjung
Kec. Kalanganyar
Tanggal masuk : 05 Maret 2020

1.2 Anamnesis (12/07/19 pukul 01.25)


Keluhan utama : Keluar darah dari jalan lahir

Riwayat penyakit sekarang :


Os datang ke IGD RSUD Ajidarmo dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir sejak
subuh tadi. Darah berwarnah merah kehitaman disertai adanya gumpalan-gumpalan darah
seperti jaringan bentuk bulat kecil-kecil. Os juga merasakan nyeri perut seperti mulas-mulas,
keram dan nyeri pada pinggang. Os juga mengatakan tidak tahu bahwa dirinya hamil. Os
mengatakan sering terlambat haid dikarenakan lupa tanggal pasti dan mengatakan
menggunakan KB pil yang sudah 10 tahun terakhir ini.
Selain keluhan keluar darah dari jalan lahir, os mengatakan tidak ada keluhan tambahan.
Os juga mengatakan makan dan minum biasa. Serta BAK dan BAB kesan normal.

Riwayat penyakit :
Os mengatakan tidak ada riwayat penyakit hepatitis, namun hasil Laboratorium pada
pasien didapatkan HBSAG Reaktif. Saat dikonfirmasi kembali ke os, os tetap tidak
mengetahuinya. Os juga mengatakan selama kehamilan dan persalinan tidak pernah melalukan
pemeriksaan darah hanya control saja ke bidan dan melahirkan secara normal di bidan.
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi, gula, jantung, asma, alergi disangkal oleh os.

1
Riwayat penyakit keluarga :
Os mengatakan tidak mengetahui riwayat penyakit pada orangtua dan saudara
kandungnya.

Riwayat Haid :
Os mengatakan lupa.

Riwayat pernikahan :
Pertama kali dengan suami sekarang pada tahun 2000.

Riwayat persalinan :
1. Perempuan, berat lahir kurang lebih 4200 gram, tahun 2001, sehat, ditolong Bidan.
2. Perempuan, berat lahir kurang lebih 3800 gram, tahun 2009, sehat, ditolong bidan
3. Hamil ini

Riwayat kontrasepsi :
os mengatakan menggunakan kontrasepsi suntik per tiga bulan selama 8 tahun dan
sekarang sedang menggunakan pil selama 10 tahun terakhir ini. Os mengatakan teratur dalam
mengkonsumsi pil.

Riwayat social ekonomi :


Os seorang ibu rumah tangga dengan mengurus ke dua orang anaknya. Os tinggal
Bersama. Suami os seorang buruh. Makan dan minum dikatakan os seadanya.

1.3 Pemeriksaan Fisik


A. Keadaan Umum dan Tanda-tanda vital
Kesadaran : Kompos mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 85x / menit (reguler, isi cukup)
Pernafasan : 18x / menit (reguler, retraksi -)
Suhu : 36,5˚C

2
B. Status Generalis

1. Kepala Normocepal
2. Mata CA -/-, Sklera ikterik -/-, RCL +/+, RTCL +/+
3. THT Dalam batas Normal, Tidak ada kelainan
4. Paru Simetris, Auskultasi: Vesikuler +/+, Rhonki -/-,
Wheezing -/-
5. Jantung BJ I-II regular, Murmur(-), Gallop(-)
6. Abdomen Supel, Nyeri tekan(-), TFU tidak teraba
7. Genital v/u tenang.
VT: pembukaan 1 cm, teraba jaringan(+),
perdarahan (+) tidak aktif
8. Ekstremitas Akral hangat, CRT<2s, Pucat(-)

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium (05-03-2020 Pukul 17.36 WIB)


INDIKATOR HASIL NILAI NORMAL
Hematologi
Darah Lengkap 1
Hemoglobin 10.90 11,70 - 15,50 g/dL
Lekosit 10730 3.600 – 11.000 /uL
Eritrosit 3.74 3.80 – 5.20 g/dL
Trombosit 294 150 – 440 103/uL
Hematokrit 31.6 35,0 – 47,0 %
MCV 84.5 80.0 – 100.0
MCHC 34.5 32.0 – 36.0 g/dL
MCH 29.1 26.0 – 34.0 pg
Hitung Jenis
Basofil 1 0–1%
Eosinofil 1 2–4%

3
Batang 0 3–5%
Segmen 80 50 – 70 %
Limfosit 12 25 – 40 %
Monosit 6 2–8%
Hemostatis
Masa Protrombin
PT (pasien) 9.9 9.9 – 11.8 s
PT (nilai control) 10.6 s
INR 0.97
APTT Mix
APTT (pasien) 27.3 25.5 – 42.1 s
APTT (kontrol) 34.1 s
Kimia Klinik
GDS 104 < 100 : Bukan DM
100 – 199 : Belum pasti DM
>200 : DM
Imunoserologi
Anti HIV
Anti HIV Skrining Non Reaktif Non Reaktif
Reagen-1 Non Reaktif Intec Non Reaktif
HBsAg (ICT- Reaktif Non Reaktif
Determine)
Urinalisa
Tes Kehamilan (strip) Positif

2. Ultrasonografi Transabdominal
Kesimpulan : Sisa konsepsi

1.4 Diagnosis Kerja


Diagnosa Kerja
• Abortus Inkomplit

4
1.5 Penatalaksanaan
1. Terapi saat di IGD
• IVFD RL 500 cc, 20 tpm
• Pro Kuretase dr. Priyono, Sp.OG
• Puasa
• Sio (+)
• Konsul Anestesi : dr. Musa, Sp.An = ACC

2. Laporan Operasi Kuretase dr. Priyono, Sp.OG :


Nama Spesialis OG : dr. Priyono, Sp.OG
Nama Spesialis Anestesi : dr. Musa, Sp.An
Diagnosis Pre-operatif : Abortus inkomplit
Diagnosis Post-Operatif : Post kuretase ai Abortus inkomplit
Nama operasi : Kuretase
Tanggal Operasi : 05-03-2020
Laporan operasi :
1. pasien terlentang dalam anesthesia iva
2. aseptic antiseptic
3. pasang speculum atas bawah
4. jepit portio dengan tenaculum
5. sonde uterus 10
6. dilakukan kuretase dan didapatkan jaringan
7. perdarahan 200cc
8. operasi selesai.
Intruksi pasca bedah :
1. IVFD RL 500cc 20 tpm
2. Cefadroxil 2 x 500mg tab po
3. Asam mefenamat 3 x 500mg tab po
4. Methergin 2 x 0.125mg tab po
5. Sf 1x tab po
6. Observasi perdarahan. Keluhan membaik
diperbolehkan pulang.

5
1.6 Prognosis
• Ad vitam : dubia ad bonam
• Ad fungsionam : dubia ad bonam
• Ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan yaitu berat badan kurang dari 500 gram atau usia kehamilan kurang dari (ACOG
memberi batasan 20 minggu,1 FIGO memberi batasan 22 minggu,2 Hanretty memberikan
batasan 24 minggu,3 WHO memberi batasan 28 minggu4).

2.2. Epidemiologi
Dari 210 juta kehamilan, 75 juta dianggap tidak direncanakan5 di mana sekitar 15%
kehamilan akan berakhir pada aborsi.6 Sekitar 500.000 wanita meninggal akibat komplikasi
persalinan, 7 juta wanita mengalami gangguan kesehatan setelah melahirkan. Pada negara
berkembang, prevalensi abortus mencapai 160 per 100000 kelahiran hidup dan paling tinggi
terdapat di Afrika yaitu 870 per 100000 kelahiran hidup.4

Guttmacher, et al. (2003) menunjukkan bahwa angka abortus di AS mencapai 1278.000


kasus dengan rasio 20,8 per 1000 kelahiran pada wanita usia produktif (15-49 tahun). Di
Indonesia, ditunjukkan prevalensi abortus sebesar 2 juta kasus pada tahun 2000 dengan rasio
37 per 1000 kelahiran pada wanita usia produktif pada 6 wilayah. Motif sebagian besar kasus
abortus adalah abortus kriminalis.

7
Sekitar 75% abortus spontan ditemukan pada usia gestasi kurang dari 16 minggu dan
62% sebelum usia gestasi 12 minggu. Insiden abortus inkomplit belum diketahui secara pasti,
namun demikian disebutkan sekitar 60% dari wanita hamil dirawat di rumah sakit dengan
perdarahan akibat mengalami abortus inkomplit. Inisidensi abortus spontan secara umum
disebutkan sebesar 10% dari seluruh kehamilan.7
Risiko abortus spontan semakin meningkat dengan bertambahnya paritas di samping
dengan semakin lanjutnya usia ibu dan ayah. Frekuensi abortus yang dikenali secara klinis
bertambah dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, menjadi 26% pada wanita
yang berumur di atas 40 tahun. Untuk usia paternal yang sama, kenaikannya adalah dari 12%
menjadi 20%. Insiden abortus bertambah pada kehamilan yang belum melebihi umur 3 bulan.8
Penelitian Basama, et al. (2009) pada 182 dengan abortus imminens menunjukkan
bahwa 29% janin akan keluar pada usia gestasi 5-6 minggu; 8,2% pada usia gestasi 7-12
minggu; dan 5,6% pada usia gestasi 13-20 minggu.9 Biasanya abortus imminens akan berlanjut
menjadi abortus komplit 10-14 minggu setelah pasien mengeluhkan keluar bercak-bercak
darah.10 Pada penelitian Johns et al. (2006) ditunjukkan bahwa risiko abortus komplit pada
pasien abortus imminens atau insipiens dengan usia gestasi rata-rata 8 minggu adalah 9,3%.11

2.3. Faktor Risiko


Faktor risiko abortus yaitu:
1. Bertambahnya usia ibu:
Abortus meningkat dengan pertambahan umur, OR 2,3 setelah usia 30 tahun. Risiko
berkisar 13,3% pada usia 12-19 tahun; 11,1% pada usia 20-24 tahun; 11,9% pada usia
25-29 tahun; 15% pada usia 30-34 tahun; 24,6% pada usia 35-39%; 51% usia 40-44
tahun; 93,4% pada usia 45 tahun ke atas.
Peningkatan usia ayah merupakan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya abortus.
Penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan bahwa risiko abortus tertinggi ditemukan
pada pasangan dimana usia wanita ≥35 tahun dan pria ≥40 tahun.12
2. Riwayat reproduksi abortus:
Risiko pasien dengan riwayat abortus untuk kehamilan berikutnya ditentukan dari
frekuensi riwayatnya. Pada pasien yang baru mengalami riwayat 1 kali berisiko 19%, 2
kali berisiko 24%, 3 kali berisiko 30%, dan 4 kali berrisiko 40%. Menurut Malpas dan
Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami
abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya Warton dan Fraser memberikan
prognosis yang lebih baik yaitu 25,9% dan 39%.13

8
3. Kebiasaan orang tua:
a. Merokok dihubungkan dengan peningkatan risiko abortus. Risiko abortus meningkat 1,2-
1,4 kali lebih besar untuk setiap 10 batang rokok yang dikonsumsi setiap hari. Asap rokok
mengandung banyak ROS yang akan mendestruksi organel seluler melalui kerusakan
mitrokondria, nukleus, dan membran sel.14 Selain itu, secara tidak langsung ROS akan
menyebabkan kerusakan sperma. Hal ini menyebabkan fragmentasi DNA rantai tunggal
maupun ganda sperma.15
Plasenta normal diatur oleh invasi arteri spiral uterina yang diatur oleh genomik trofoblas
yang normal. Pada organogenesis embrionik dalam menjamin invasi trofoblas, tekanan
oksigen rendah, dan metabolisme cenderung anaerob. Oleh karena itu, produksi ROS
biasanya menurun. Tekanan oksigen rendah membantu implantasi sedangkan tekanan
tinggi membentuk proliferasi sel tropoblas.16
Transisi trimester 1 ke 2 membawa banyak perubahan metabolisme. Pada akhir trimester
satu, ada peningkatan tekanan oksigen dari <20 mmHg menjadi >50 mmHg
menyebabkan stres oksidatif. Pada abortus, stres oksidatif juga dipicu oleh zymosan
opsonisasi dan stimulai N-formil-metionil-leucil-fenilalanin. Dengan faktor pemicu asap
rokok, stres oksidatif akan semakin buruk.17 Stres oksidatif sendiri dapat menyebabkan
apoptosis yang mengganggu invasi plasenta dan abortus dini. ROS akan bereaksi dengan
molekul pada berbagai sistem biologi sehingga dapat terjadi kerusakan sel yang ekstensif
dan disrupsi fungsi sel.18 Dengan risiko stres oksidatif, pasien tidak pernah mengonsumsi
vitamin yang berperan sebagai antioksidan sehingga meningkatkan risiko abortus.
b. Konsumsi alkohol selama 8 minggu pertama kehamilan. Tingkat aborsi spontan dua kali
lebih tinggi pada wanita yang minum alkohol 2x/minggu dan tiga kali lebih tinggi pada
wanita yang mengonsumsi alkohol setiap hari. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa
risiko abortus meningkat 1,3 kali untuk setiap gelas alkohol yang dikonsumsi setiap
hari.20
c. Kafein dosis rendah tidak mempunyai hubungan dengan abortus. Akan tetapi pada
wanita yang mengonsumsi 5 cangkir (500mg kafein) kopi setiap hari menunjukkan
tingkat abortus yang sedikit lebih tinggi.21

9
2.3. Etiologi
1. Faktor Genetik
Lima puluh persen sampai tujuh puluh persen abortus spontan terutama abortus rekuren
disebabkan oleh kelainan genetik. Kelainan genetik menjadi penyebab 70% 6 minggu
pertama, 50% sebelum 10 minggu, dan 5% setelah 12 minggu. Kelainan ini dapat
disebabkan faktor maternal maupun paternal. Gamet jantan berkontribusi pada 50%
material genomik embrio. Mekanisme yang dapat berkontribusi menyebabkan kelainan
genetik adalah kelainan kromosom sperma, kondensasi kromatin abnormal, fragmentasi
DNA, peningkatan apoptosis, dan morfologi sperma yang abnormal. Sekitar 42%
struktur vili korionik abnormal akibat gangguan genetik.22
a. Kelainan kromosom
Sekitar 50% abortus trimester satu disebabkan oleh abnormalitas kromosom di mana
prevalensi ini menjadi 75% pada wanita berusia di atas 35 tahun dan pada wanita dengan
abortus rekuren. Sekitar 25% abortus terjadi pada trimester satu. Tipe kelainan
kromosom parental yang paling banyak adalah translokasi seimbang, baik resiprokal
(segmen distal kromosom saling bertukar), Robertsonian (dua kromosom akrosentrik
bersatu pada wilayah sentromer dengan hilangnya lengan pendek), gonosomal mosaik,
dan inversi.23 Keadaan ini dapat menyebabkan abortus, anomali fetus, atau bayi lahir
mati.24 Secara struktural abnormalitas kromosom yang dapat terjadi yaitu delesi,
translokasi, inversi, dan duplikasi. Walaupun begitu, hanya translokasi dan iversi yang
memainkan peranan penting pada abortus dan abortus rekuren.25
Aneuploid disebabkan oleh non disjungsi selama meiosis yang menghasilkan tambahan
atau hilangnya kromosom. Triploidi dan tetraploid terkait dengan fertilisasi yang tidak
normal. Triploidi biasanya terjadi karena fertilisasi oosit oleh dua spermatozoa atau
akibat kegagalan salah satu bagian pematangan baik pada oosit maupun pada
spermatozoa. Tetraploid biasanya disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan
pemisahan zigotik pertama. Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis
sitogenetik konvensional melaporkan insiden trisomi, poliploid dan monosomi X pada
jaringan adalah 52%, 21% dan 13%.26 Trisomi 16 adalah trisomi yang paling sering
terjadi yaitu mencakup 32% dari seluruh kasus trisomi. Kondisi lain adalah trisomi (pada
kromosom 13, 14, 15, 121, 22), poliploid, monosomi X, dan translokasi tidak seimbang.
Secara rinci, pada usia gestasi 1 minggu, yang paling sering terjadi adalah trisomi 17, 3
minggu trisomi 16 dan tetraploidi, 6 minggu trisomi 22, 5 minggu triploidi, 6 minggu
monosomi X.27

10
Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan kesalahan tahap meiosis sebagai efek
peningkatan usia ibu. Trisomi biasanya disebabkan oleh dispermia dan kegagalan
meiosis sel maternal saat pembelahan oosit diploid. Biasanya pertumbuhan janin
terhambat dan plasenta besar kistik. Beberapa hasil konsepsi triploid muncul sebagai
mola parsial yang ditandai dengan kantong kehamilan yang besar dan degenerasi kistik
plasenta. Tetraploid jarang berkembang di bawah usia kehamilan 4 atau 5 minggu.
Monosomi X merupakan kelainan kromosom tunggal yang paling sering terjadi di antara
aborsi spontan, kira-kira 15%-20% dari seluruh kasus abortus.28
Pada genomik mosaik, dua atau lebih jalur genetik akan dipresentasikan masing-masing.
Inaktivasi kromosom X terjadi di mana salah satu atau dua kromosom X inaktif selama
embriogenesis dini di mana seharusnya proses ini penting sebagai kompensasi untuk gen
kromosom X yaitu delesi pada Xq28.29 Mikrodelesi kromosom Y yang menyebabkan
kegagalan spermatogenik.30
b. Kelainan gen
Gangguan genetik ini akan menyebabkan gangguan fenotipe yang memiliki implikasi
penting dalam kejadian abortus.
i. Mutasi gen reseptor progesteron31
ii. Mutasi gen hemostatik: mutasi FV dan mutasi gen protrombin G20210A
meningkatkan risiko 2 sampai 4,9 kali.32 Mutasi protein C/S meningkatkan 3,5-15,4
kali risiko abortus. Mutasi misense gen MTHFR C677T dan A1298C.33
iii. Mutasi gen inflamasi: mutasi gen SCO2 yang diperlukan dalam oksidase sitokrom
c.34 Polimorfisme A/G intron 6 dari gen eNOS,35 dan VEGF.36

11
iv. Ekspresi gen plasenta: mutasi Mash1 dan Hand1.37 Peningkatan gen apoptosis
menyebabkan kematian vili korionik.38 Mutasi PP14, MUC1, CD95, aneksin II
reaksi imunolofik fetomaternal.39
v. Mutasi gen mitokondria.40
c. Kelainan HLA
Ligase CD40 pada trimester awal menginhibisi aksis HPA.41

2. Gangguan plasenta
Mayoritas kasus abortus berkaitan dengan kelainan genetik maupun kelainan
perkembangan plasenta terutama pada vili korionik yang berperan sebagai unit
fungsional plasenta dalam hal transpor oksigen dan nutrisi pada fetus.42
Penelitian histologi Haque, et al. pada 128 sisa konsepsi abortus, ditunjukkan bahwa 97%
menunjukkan vili plasenta berkurang, 83% vili mengalami fibrosis stroma, 75%
mengalami degenerasi fibroid, dan 75% mengalami pengurangan pembuluh darah.
Inflamasi dan gangguan genetik dapat menyebabkan aktivasi proliferasi mesenkim dan
edema stroma vili.43 Keadaan ini akan berlanjut membentuk sisterna dan digantikan
dengan jaringan fibroid. Pada abortus, pendarahan yang merembes melalui desidua akan
membentuk lapisan di sekeliling vili korionik. Kemudian, material pecah dan
merangsang degenerasi fibrinoid.44
Penelitian Ladefogd, et al. pada 269 jaringan abortus menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan hidropik yang signifikan antara jaringan abortus spontan dan jaringan abortus
lainnya (p<0,001).45

12
3. Kelainan uterus
Pada pasien dengan abortus, prevalensi pasien dengan anomali uterus bervariasi dari
1,8%-37,6% terutama pada kehamilan trimester akhir.46 Kelainan uterus dapat dibagi
menjadi kelainan akuisita dan kelainan yang timbul dalam proses perkembangan janin,
defek duktus mulleri yang dapat terjadi secara spontan atau yang ditimbulkan oleh
pemberian dietilstilbestrol (DES). Cacat uterus akuisita yang berkaitan dengan abortus
adalah leiomioma dan perlekatan intrauteri. Leiomioma uterus yang besar dan majemuk
sekalipun tidak selalu disertai dengan abortus, bahkan lokasi leiomioma tampaknya lebih
penting daripada ukurannya. Mioma submokosa, tapi bukan mioma intramural atau
subserosa, lebih besar kemungkinannya untuk menyebabkan abortus. Namun demikian,
leiomioma dapat dianggap sebagai faktor kausatif hanya bila hasil pemeriksaan klinis
lainnya ternyata negatif dan histerogram menunjukkan adanya defek pengisian dalam
kavum endometrium. Miomektomi sering mengakibatkan jaringan parut uterus yang
dapat mengalami ruptur pada kehamilan berikutnya, sebelum atau selama persalinan.
Perlekatan intrauteri (sinekia atau sindrom Ashennan) paling sering terjadi akibat
tindakan kuretase pada abortus yang terinfeksi atau pada missed abortus atau mungkin
pula akibat komplikasi postpartum. Keadaan tersebut disebabkan oleh destruksi
endometrium yang sangat luas. Selanjutnya keadaan ini mengakibatkan amenore dan
abortus habitualis yang diyakini terjadi akibat endometrium yang kurang memadai untuk
mendukung implatansi hasil pembuahan.47
Inkomptensi serviks adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan suatu
kehamilan oleh karena defek fungsi maupun struktur pada serviks. Inkompetensi serviks
biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua dengan insidensi 0,5-8%. Keadaan
ini juga dapat menyebabkan hilangnya barrier mekanik yang memisahkan kehamilan dari
flora bakteri vagina dan kebanyakan asimptomatik. Serviks merupakan barier mekanik
yang memisahkan kehamilan dari flora bakteri vagina. Ekspulsi jaringan konsepsi terjadi
setelah membran plasenta mengalami ruptur pada prolaps yang disertai dengan balloning
membran plasenta ke dalam vagina.48

4. Kelainan endokrin
a. Defek Fase Luteal dan Defisiensi Progesteron
Defek fase luteal disebut juga defisiensi progesteron merupakan suatu keadaan dimana
korpus luteum mengalami kerusakan sehingga produksi progesteron tidak cukup dan
mengakibatkan kurang berkembangnya dinding endometrium.

13
b. Sindrom ovarium polikistik, hipersekresi LH, dan hiperandrogenemia
Sindrom ovarium polikistik terkait dengan infertilitas dan abortus. Dua mekanisme yang
mungkin menyebabkan hal tersebut terjadi adalah peningkatan hormon LH dan efek
langsung hiperinsulinemia terhadap fungsi ovarium.
c. Faktor Endokrin Sistemik seperti DM atau hipotiroid.
d. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus luteum
atau plasenta mempunyai hubungan dengan kenaikan insiden abortus. Karena
progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara
teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut berperan
dalam peristiwa kematiannya.24,48

5. Kelainan Koagulasi dan Imunologi


Kehamilan adalah suatu keadaan di mana hemostatis berada dalam kondisi prokoagulasi
dengan peningkatan konsentrasi faktor koagulan dan penurunan faktor antikoagulan.49
Mikropartikel prokoagulan yang bersirkulasi berada dalam keadaan tidak stabil.50 Pasien
dengan abortus rekuren selalu berada dalam kondisi protombotik.51
HCG dan glikodelin diproduksi dalam kadar yang tinggi oleh desidualisasi endometrium.
Glikodelin spesifik dan oligosakarida membentuk struktur yang disebut struktur
LacdiNAc. Glikodelin memicu pembentukan mRNA hCG, produksi protein pada
trimester pertama, dan perkembangan sel tropoblas trimester tiga.52 hCG membawa
struktur SLeX dan SLea yang menyebabkan pencegahan pelekatan selektin E, L, atau P
dari leukosit maternal ke sinsitiotropoblas janin.
Pada pasien abortus, glikodelin menurun sehingga terjadi aktivasi sistem imun maternal
sehingga terjadi rejeksi janin.53
Penelitian Gardiner pada 22 pasien abortus rekuren trimester awal menunjukkan
penurunan kadar tissue factor pathway inhibitor yang penting dalam regulasi aktivasi
protein C/S.54
a. Trombofilia: mekanisme yang berhubungan adalah trombosis uteroplasenta sehingga
mengganggu oksigenase ke janin.
b. Antibodi antifosfolipid: patogenesis aPL terkait dengan trombosis plasenta yang
menyebabkan cacat desidualisasi pada endometrium dan kelainan fungsi dan diferensiasi
tropoblas dini.
c. Defek Trombofilik yang diturunkan: penyakit ini merupakan kelainan faktor pembekuan
yang diturunkan secara genetik yang dapat menyebabkan trombosis patologis akibat

14
ketidakseimbangan antara jalur pembekuan darah dan antikoagulasi. Teori yang paling
banyak menjelaskan tentang hal ini adalah resistensi terhadap protein C yang disebabkan
oleh mutasi faktor V Leiden atau yang lainnya, penurunan atau tidak adanya aktivitas
antitrombin III, mutasi gen protrombin dan mutasi gen untuk methylene tetrahydrofolate
reductase yang menyebabkan peningkatan kadar homosistein serum
(hiperhomosisteinemia).24,48

6. Kelainan Imunologi
Sekitar 15% dari 1000 wanita dengan abortus habitualis memiliki faktor autoimun.
Faktor autoimun misal SLE, APS, antikoagulan lupus, antibodi antikardiolipin. Insidensi
berkisar 1-5% tetapi risikonya mencapai 70%. Selain itu, faktor alloimun dapat
mempengaruhi melalui HLA. Bila kadar atau reseptor leptin menurun, terjadi aktivasi
sitrokin proinflamasi, dan terjadi peningkatan risiko abortus. Mekanismenya
berhubungan dengan timbal balik aktif reseptor di vili dan ekstravili tropoblas.55

7. Inflamasi
Sitokin pada fetomaternal penting dalam survival fetus dan ibu juga angiogenesis.
Ketidakseimbangan Th1/Th2, keseimbangan aktivasi inhibisi sel NK berperan penting
dalam mengatur hal ini.56 Penurunan ekspresi Ki-67 dan peningkatan materi apoptosis
ditemukan pada pemeriksaan sinsiotropoblas jaringan abortus yang mana menandakan
adanya hubungan antara mekanisme inflamasi dan apoptosis dalam abortus.57
Kokawa et al. Menunjukkan adanya fragmen DNA internukleosomal dan perubahan
apoptosis pada vili korionik manusia dan desidua selama kehamilan trimester pertama.58
Lea et al. juga menunjukkan adanya peningkatan apoptosis pada sel epitel di sekeliling
uterus saat implantasi plasenta.59

8. Infeksi
Berbagai macam infeksi dapat menyebabkan abortus pada manusia, tetapi hal ini tidak
umum terjadi. Organisme seperti Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis,
Neisseria gonorhoeae, Streptococcus agalactina, virus herpes simpleks,
sitomegalovirus, Listeria monocytogenes dicurigai berperan sebagai penyebab abortus.
Toxoplasma juga disebutkan dapat menyebabkan abortus. Isolasi Mycoplasma hominis
dan Ureaplasma urealyticum dari 4 traktus genetalia sebagaian wanita yang mengalami
abortus telah menghasilkan hipotesis yang menyatakan bahwa infeksi mikoplasma yang

15
menyangkut traktus genetalia dapat menyebabkan abortus. Dari kedua organisme
tersebut, Ureaplasma Urealyticum merupakan penyebab utama.24,48

9. Trauma
Sekitar 7% wanita mengalami trauma selama kehamilan tetapi banyak kasus yang tidak
dilaporkan. Berdasarkan studi kasus yang terjadi, mekanisme trauma paling banyak
adalah kecelakaan lalu lintas (55%), jatuh (13%), penyiksaan diri sendiri (10%), jatuh
dari sepeda (4%), jatuh saat berjalan (4%), atau penyebab lainnya (11%). Pada umumnya,
mekanisme trauma yang paling banyak adalah jatuh sendiri dan kesengajaan. Data
epidemiologi 16 negara menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas, kebakaran, dan jatuh
yang paling banyak menyebabkan mortalitas maternal. Keadaan ini akan menyebabkan
abrupsi plasenta, pendarahan fetomaternal, rupture uteri, trauma janin langsung.60
Kontraksi preterm ditemukan pada 25% pasien trauma dan semakin meningkat sesuai
dengan ISS.
Penelitian Ikossi, et al. (2004) pada 1195 wanita hamil yang mengalami trauma
menunjukkan bahwa 17 meninggal dan dari wanita hamil yang selamat, 66 mengalami
risiko tinggi abortus. 5,1% pasien melahirkan secara normal, 75% dengan sectio caesarea
yang dilakukan <24 jam melahirkan. Indikasi dilakukan sectio caesarea cito adalah fetal
distress, maternal distress, atau kombinasi keduanya.61
Penelitian Shah, et al. pada 114 pasien, ditunjukkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan abortus adalah kematian maternal, trauma abdomen berat, syok
hemoragik. Pasien dengan ISS >15, trauma terutama pada toraks, abdomen, atau
ekstremitas inferior (AIS >2) atau AIS pada kepala > 2 akan memiliki risiko tinggi untuk
mengalami keguguran. Hal ini berkaitan dengan hipoksia janin dan vaskokontriksi
pembuluh darah maternal.62 Penelitian Ali, et al. pada 20 wanita hamil menunjukkan
bahwa ISS>12 menunjukkan 65% abortus dengan 1 kematian maternal 25. Kematian
fetal dibanding maternal berkisar 3-9:1 26.63
Pada trauma kapitis, terjadi perubahan fungsi HPA sehingga regulasi hormon yang
menyokong kehamilan menjadi terganggu.64
Kelley, et al. menunjukkan adanya hipopituarisme pada 40% pasien dengan trauma
kapitis.65
Penelitian Weiss, et al. pada 761 wanita hamil yang mengalami trauma, biasanya berusia
muda.66

16
Trauma akibat laparotomi kadang-kadang dapat mencetuskan terjadinya abortus. Pada
umumnya, semakin dekat tempat pembedahan tersebut dengan organ panggul, semakin
besar kemungkinan terjadinya abortus. Meskipun demikian, sering kali kista ovarii dan
mioma bertangkai dapat diangkat pada waktu kehamilan apabila mengganggu gestasi.
Peritonitis dapat menambah besar kemungkinan abortus.24

2.5. Klasifikasi
Abortus dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. Tujuan
a. Abortus medis:
abortus yang sengaja dilakukan dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan dapat
membahayakan jiwa ibu. Pertimbangan ini dilakukan oleh minimal 3 dokter
spesialis yaitu spesialis kebidanan dan kandungan, spesialis penyakit dalam, dan
spesialis jiwa, bila perlu ditambah dengan pertimbangan dari tokoh agama yang
terkait.

17
b. Abortus kriminalis:
abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak
berdasarkan indikasi medis.48,67
c. Abortus spontan:
abortus yang terjadi tanpa tindakan apa pun.
2. Jenis (dibahas pada diagnosis)
3. Waktu
Menurut Shiers (2003), disebut abortus dini bila abortus terjadi pada usia kehamilan <12
minggu.68

2.6. Patogenesis & Patofisiologi


Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian embrio
akibat adanya perdarahan minimal pada desidua yang menyebabakn nekrosis jaringan.
Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan
terjadinya kontraksi uterus dan mengawali adanya proses abortus. Karena hasil konsepsi
tersebut terlepas dapat menjadi benda asing dalam uterus yang menyebabkan uterus kontraksi
dan mengeluarkan isinya.

Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus
dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto, meskipun
sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di kanalis servikalis.
Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi. Pada kehamilan 8-14
minggu biasanya diawali dengan pecahnya selaput ketuban dan diikuti dengan pengeluaran
janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Jenis ini sering
menimbulkan perdarahan pervaginam banyak. Pada kehamilan minggu ke 14-22, janin
biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian.
Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menimbulkan gangguan
kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam banyak. Perdarahan pervaginam umumnya
lebih sedikit namun rasa sakit lebih menonjol.
Pada abortus hasil konsepsi yang dikeluarkan terdapat dalam berbagai bentuk yaitu
kantong amnion kosong, di dalam kantung amnion terdapat benda kecil yang bentuknya masih
belum jelas (blighted ovum), atau janin telah mati lama. Plasenta tidak adekuat sehingga sel
tropoblas gagal masuk ke dalam arteri spiralis. Akibatnya, terjadi peredaran darah prematur
dari ibu ke anak.24,48,67

18
2.7. Diagnosis
Bentuk perdarahan bervariasi diantaranya sedikit-sedikit dan berlangsung lama,
sekaligus dalam jumlah yang besar dapat disertai gumpalan, dan akibat perdarahan tidak
menimbulkan gangguan apa pun atau syok. Disebut pendarahan ringan-sedang bila Doek
bersih selama 5 menit, darah segar tanpa gumpalan, darah yang bercampur dengan mukus.
Pendarahan berat bila pendarahan yang banyak, merah terang, dengan atau tanpa gumpalan,
Doek penuh darah dalam waktu 5 menit, dan pasien tampak pucat.3
Diagnosis abortus dilakukan berdasarkan jenisnya, yaitu: 24,48,67,70,71
1. Abortus Imminens
Pendarahan dari uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu, hasil konsepsi masih di
dalam uterus dan tidak ada dilatasi serviks. Pasien akan atau tidak mengeluh mules-
mules, uterus membesar, terjadi pendarahan sedikit seperti bercak-bercak darah
menstruasi tanpa riwayat keluarnya jaringan terutama pada trimester pertama kehamilan.
Pada pemeriksaan obstetrik dijumpai tes kehamilan positif dan serviks belum membuka.
Pada inspekulo dijumpai bercak darah di sekitar dinding vagina, porsio tertutup, tidak
ditemukan jaringan.
2. Abortus Insipiens
Pendarahan kurang dari 20 minggu karena dilatasi serviks uteri meningkat dan hasil
konsepsi masih dalam uterus. Pasien akan mengeluhkan mules yang sering dan kuat,
keluar darah dari kemaluan tanpa riwayat keluarnya jaringan, pendarahan Segar mengalir
biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan. Pada inspekulo, ditemukan darah
segar di sekitar dinding vagina, porsio terbuka, tidak ditemukan jaringan.
3. Abortus inkomplit
pengeluaran hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih terdapat
sisa hasil konsepsi tertinggal dalam uterus. Pada anamnesis, pasien akan mengeluhkan
pendarahan berupa darah segar mengalir terutama pada trimester pertama dan ada
riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir.
4. Abortus Komplit
keadaan di mana semua hasil konsepsi telah dikeluarkan. Pada penderita terjadi
perdarahan yang sedikit, ostium uteri telah menutup dan uterus mulai mengecil.
Pendarahan biasanya tinggal bercak-bercak dan terdapat riwayat keluarnya jaringan dari
jalan lahir. Pada inspekulo ditemukan darah segar di sekitar dinding vagina, porsio
terbuka, tidak ditemukan jaringan.

19
5. Missed Abortion
kematian embrio atau fetus dalam kandungan >8 minggu sebelum minggu ke-20. Pada
anamnesis akan ditemukan uterus berkembang lebih rendah dibanding usia
kehamilannya, bisa tidak ditemukan pendarahan atau hanya bercak-bercak, tidak ada
riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir. Pada inspekulo bisa ditemukan bercak darah
di sekitar dinding vagina, portio tertutup, tidak ditemukan jaringan
6. Abortus rekuren
abortus spontan sebanyak 3x/ lebih berturut-turut. Pada anamnesis akan dijumpai satu
atau lebih tanda-tanda abortus di atas, riwayat menggunakan IUD atau percobaan aborsi
sendiri, dan adanya demam.
7. Abortus Septik:
Penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritonium. Hasil diagnosis
ditemukan: panas, lemah, takikardia, sekret yang bau dari vagina, uterus besar dan ada
nyeri tekan dan bila sampai sepsis dan syok (lelah, panas, menggigil)
8. Blighted ovum
Keadaan di mana embrio tidak terbentuk tetapi terdapat kantung gestasi. Kofirmasi tidak
ada embrio pada kantung gestasi (diameter minimal 25 mm) dengan USG.

2.8. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk abortus meliputi:3,48,72
1. Ultrasonografi
Pada usia 4 minggu, dapat terlihat kantung gestasi eksentrik dengan diameter 2-3 mm.
Pada usia gestasi 5 minggu, terlihat diameter kantung gestasi 5 mm, kantung telur 3-8
mm. Pada usia gestasi 6 minggu, terlihat diameter kantung gestasi 10 mm, embrio 2-3
mm, dan terdapat aktivitas jantung. Pada usia gestasi 7 minggu, diameter kantung gestasi
20 mm, terlihat bagian kepala dan badan yang menyatu. Pada usia gestasi 8 minggu,
diameter kantung gestasi 25 mm, herniasi midgut, terlihat rhombencephalon, dan limb
buds. Pada usia gestasi 9 minggu, tampak pleksus koroidalis, vertebra, dan ekstremitas.
Pada usia gestasi 10 inggu, telah terlihat bilik jantung, lambung, kandung kemih, dan
osifikasi tulang, pada usia gestasi 11, usus telah terbentuk dan struktur lainnya
cenderung telah terbentuk dengan baik. Abortus dapat ditegakkan dari USG
transabdominal bila pada embrio >8 mm tidak ditemukan aktivitas jantung.

20
2. Beta hCG
Serum beta HCG >2500 IU per mL disertai dengan USG transvaginalà90% KDR
Serum beta HCG >6500 IU per mL disertai dengan USG abdomen à90% KDR

2.9. Diagnosis banding24,48,67,70,71


Diagnosis Gejala Pemeriksaan fisik Pemeriksaan
banding penunjang
Abortus - perdarahan dari - TFU sesuai dengan - tes kehamilan urin
iminens uterus pada umur kehamilan masih positif
kehamilan sebelum - Dilatasi serviks (-) - USG : gestasional sac
20 minggu berupa (+), fetal plate (+),
flek-flek fetal movement (+),
- nyeri perut ringan fetal heart movement
- keluar jaringan (-) (+)
Abortus - perdarahan banyak - TFU sesuai dengan - tes kehamilan urin
insipien dari uterus pada umur kehamilan masih positif
kehamilan sebelum - Dilatasi serviks (+) - USG : gestasional sac
20 minggu (+), fetal plate (+),
- nyeri perut berat fetal movement (+/-),
- keluar jaringan (-) fetal heart movement
(+/-)
Abortus - perdarahan banyak / - TFU kurang dari - tes kehamilan urin
inkomplit sedang dari uterus umur kehamilan masih positif
pada kehamilan - Dilatasi serviks (+) - USG : terdapat sisa
sebelum 20 minggu - teraba jaringan dari hasil konsepsi (+)
- nyeri perut ringan cavum uteri atau
- keluar jaringan masih menonjol pada
sebagian (+) osteum uteri
eksternum
Abortus - perdarahan (-) - TFU kurang dari - tes kehamilan urin
komplit - nyeri perut (-) umur kehamilan masih positif
- keluar jaringan (+) - Dilatasi serviks (-) bila terjadi 7-10 hari
setelah abortus.

21
USG : sisa hasil
konsepsi (-)
Missed - perdarahan (-) - TFU kurang dari - tes kehamilan urin
abortion - nyeri perut (-) umur kehamilan negatif setelah 1
- biasanya tidak - Dilatasi serviks (-) minggu dari
merasakan keluhan terhentinya
apapun kecuali pertumbuhan
merasakan kehamilan.
pertumbuhan - USG : gestasional sac
kehamilannya tidak (+), fetal plate (+),
seperti yang fetal movement (-),
diharapkan. Bila fetal heart movement
kehamilannya > 14 (-)
minggu sampai 20
minggu penderita
merasakan rahimnya
semakin mengecil,
tanda-tanda
kehamilan sekunder
pada payudara mulai
menghilang.
Mola - Tanda kehamilan (+) - TFU lebih dari umur - tes kehamilan urin
hidatidosa - Terdapat banyak atau kehamilan masih positif
sedikit gelembung - Terdapat banyak atau (Kadar HCG lebih dari
mola sedikit gelembung 100,000 mIU/mL)
- Perdarahan banyak / mola - USG : adanya
sedikit - DJJ (-) pola badai salju
- Nyeri perut (+) (Snowstorm).
ringan
- Mual - muntah (+)
Blighted - Perdarahan berupa - TFU kurang dari usia - tes kehamilan urin
ovum flek-flek kehamilan positif
- Nyeri perut ringan - OUE menutup - USG : gestasional sac
- Tanda kehamilan (+) (+), namun kosong
(tidak terisi janin).
KET - Nyeri abdomen (+) - Nyeri abdomen (+) - Lab darah : Hb rendah,
- Tanda kehamilan (+) - Tanda-tanda syok eritrosit dapat
- Perdarahan (+/-) : hipotensi, meningkat, leukosit
pervaginam (+/-) pucat, ekstremitas dapat meningkat.
dingin. - Tes kehamilan positif
- Tanda-tanda akut - USG : gestasional sac
abdomen (+) : perut diluar cavum uteri.
tegang bagian
bawah, nyeri tekan
dan nyeri lepas
dinding abdomen.
- Rasa nyeri pada
pergerakan servik.
- Uterus dapat teraba
agak membesar dan
teraba benjolan
disamping uterus
yang batasnya sukar
ditentukan.
- Cavum douglas
menonjol berisi
darah dan nyeri bila
diraba

22
2.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abortus secara spesifik disesuaikan dengan jenis abortusnya yaitu:
1. Abortus imminens
Tirah baring tidak memberikan hasil lebih baik namun dianjurkan untuk membatasi
aktivitas agar meminimalkan kemungkinan rangsangan prostaglandin. Tidak dianjurkan
terapi dengan hormon estrogen dan progesteron. Meta analisis menunjukkan bahwa
tatalaksana abortus imminens dengan preparat progesteron dengan plasebo menunjukkan
hasil yang hampir sama (RR 0,53; 95CI 0,35-0,79). Regimen progesteron yang dipakai
yaitu dydrogesteron oral 40 mg lalu 10 mg dilanjutkan sampai 16 minggu, pervaginam
25-90 mg sampai 14 hari berhenti berdarah, dan dydrogesteron oral 10 mg dilanjutkan
sampai 1 minggu setelah berhenti berdarah.74
Terapi dydrogesteron dipertimbangkan dengan asumsi farmakodinamik untuk
menyokong pertumbuhan uterus. Akan tetapi, penelitian menunjukkan bahwa
perbandingan abortus antara kelompok yang menerima dydrogesteron dengan kelompok
kontrol tidak menunjukkan hasil yang berbeda (p<0,001) dengan konsentrasi progesteron
yang hampir sama.75
Akan tetapi, penelitian Zibdeh et al. menunjukkan adanya pengurangan insidensi
abortus rekuren pada kelompok yang diterapi dydrogesteron dibanding kelompok kontrol
(OR 0,38, p<0,001).76 Begitu juga pada kasus abortus iminens (OR 3,77).77
Vitamin diberikan dengan asumsi fungsi antioksidan untuk mengatasi penyebab stres
oksidatif pada kasus abortus. Penelitian Rumbold, et al. (2005) pada 35353 kehamilan
menunjukkan bahwa pemberian vitamin A gagal menunjukkan penurunan angka abortus tetapi
pemberian vitamin C dan E menunjukkan hasil sebaliknya.79

2. Abortus insipiens
Umumnya harus dirawat. Karena tidak ada kemungkinan kelangsungan hidup bagi janin,
maka dapat diberikan misoprostol untuk mengeluarkan konsepsi. Dapat analgetik
mungkin diberikan. Demikian pula, setelah janin lahir, kuretase mungkin diperlukan.74
Pada kehamilan kurang dari 12 atau 16 minggu biasanya perdarahan tidak banyak namun
bahaya perforasi lebih besar pada kerokan sehingga proses abortus harus dipercepat.
Dengan pemberian infuse oksitosin janin dapat keluar. Regimen lain yang dapat
diberikan adalah ergometrin im (dapat diulang setelah 15 menit bila perlu) atau
misoprostol 400 µg oral (dapat diulang sekali setelah 4 jam bila perlu). Apabila plasenta
masih tertinggal pengeluaran plasenta dilakukan secara manualdan disusul kerokan.

23
Namun bahaya yang perforasi yang terakhir ini tidak begitu besar karena dinding uterus
jadi lebih tebal karena hasil konsepsi telah keluar.48,67

3. Abortus inkomplit
Abortus inkomplit dapat ditatalaksana dengan rawat ekspektatif, pembebahan, maupun
medikamentosa. Efektivitas rawat ekspektatif berkisar antara 52%-81% setelah follow
up 2 minggu.81 Terapi medikamentosa dengan misoprostol menunjukkan efektivitas 80%
ke atas. Namun, tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara keduanya.82 Reynold
et al. (2005) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan statistik yang signifikan mengenai
efikasi medikamentosa dan pembedahan dalam penatalaksanaan abortus inkomplit.
Namun, terdapat peningkatan risiko infeksi pelvik pada penatalaksanaan secara surgikal
(p<0,001). Hal ini berlaku saat kantung gestas <24 mm. Setelahnya, efikasi
medikamentosa dibanding pemebdahan akan berkurang 85%.83 Penelitian Weeks et al.
Dengan 600 mcg misoprostol oral dengan aspirasi vakum manual menunjukkan bahwa
lebih baik dengan misoprostol, tetapi tidak bermakna (96,3 vs 91,4).85
a. Perbaiki keadaan umum: volume intravaskuler efektif harus dipertahankan untuk
memberikan perfusi jaringan yang adekuat.
b. Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat: Sekitar 13% abortus bersifat
infeksius baik pre dan post operasi. Fawcus et al. (1997) menunjukkan 49,5% wanita
hamil dengan abortus inkomplit diberikan terapi antibiotik dan transfusi.83 Penelitian
Chow et al. (1997) pada 77 pasien abortus menunjukkan penatalaksanaan dengan
penicillin + chloraphenicol lebih baik dibanding chloramphenicol tunggal.86 Seeras
(1989) menunjukkan tidak ada perbedaan insidensi sepsis antara kelompok kontrol
dengan kelompok yang menerima tetrasiklin kapsul 500 mg 4 kali sehari (RR 1,36, 95CI
0,86-2,14).87 Pada RCT yang menilai profilaksis doksisiklin sebelum kuretase,
ditunjukkan tidak ada efek yang bermakna terhadap penurunan motralitas infeksi pasca
kuretase.88
c. Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi, bila perlu dilakukan laparotomi eksplorasi,
sampai pengangkatan rahim: Pada perdarahan ringan dan kehamilan <16 minggu, dapat
dilakukan pengeluaran hasil konsepsi yang terjepit pada serviks dengan jari atau forceps
cincin. Bila perdarahan sedang-berat dan usia kehamilan <16 minggu, dilakukan
evakuasi hasil konsepsi dari uterus dengan pilihan aspirasi vakum. Indikasi aspirasi
vakum manual adalah pada kasus abortus insipien atau inkomplit <16 minggu (sumber
lain menyebutkan batasan usia kehamilan <12-14 minggu). Bila evakuasi tidak

24
memungkinkan untuk segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang
setelah 15 menit bila diperlukan) atau misoprostol 400 µg oral (dapat diulang setelah 4
jam bila diperlukan). Pada kehamilan >16 minggu, dilakukan induksi ekspulsi janin infus
oksitosin 40 IU dalam 1 L kristaloid dengan kecepatan 40 tetes per menit sampai ekspulsi
hasil konsepsi terjadi. Bila perlu, dapat diberikan misoprostol 200 µg per vaginam tiap 4
jam hingga terjadi ekspulsi, dosis total tidak lebih dari 800 µg. Setelah itu, mengevakuasi
sisa hasil konsepsi yang tersisa dari uterus.74
Beberapa studi menganjurkan terapi misoprostol.90 Efikasi misoprostol berkisar 13%-
96% dengan banyak faktor yang mempengaruhinya misal, abortus, dan ukuran kantung
gestasi. Angka keberhasilan tinggi (70%-96%) ditemukan pada kasusu abortus inkomplit
dengan misoprostol dosis tinggi (1200 mcg-2400 mcg) yang berikan pervaginam.91,92

Chung et al. menunjukkan bahwa 400 mcg misoprostol oral setiap 4 jam menunjukkan
efikasi yang baik dengan dosis maksimum 1200 mcg.93 Gonlund yang membandingkan
rawat ekspektatif dengan misoprostol vaginal 400 mcg menunjukkan keberhasilan 90%
lebih baik dengan evaluasi pada hari 8 dan 14.94 Studi yang membandingkan rute oral
dan vaginal menunjukkan bahwa vaginal lebih baik.95 Meka et al. menganjurkan
penatalaksanaan dengan 600 mcg misoprostol pervaginam dan kontrol tes kehailan urin
setelah 3 minggu tatalaksana.96
Mengenai efektivitas melalui rute apa misoporstol harus diberikan masih kontroversial.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa misoprostol lebih efektif diberikan per bukal
atau per vaginam agar tidak perlu melalui proses first pass metabolism. Meta analisis
pada 15 penelitian (2118 wanita) menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna
kejadian abortus pada kelompok yang diberikan progestogen oral/im/vaginal dan
plasebo. Mittal et al. (2004) juga menunjukkan efikasi misoprostol yang sama antara
kedua kelompok.91 Wiebe et al (2004) pada wanta abortsi menunjukkan bahwa terapi
misoprostol vaginal lebih efektif dibanding bukal setelah terapi metroteksat.95 Akan

25
tetapi, Middleton et al. (2005) pada 442 wanita menunjukkan bahwa efikasi terapi
misoprostol bukal lebih baik dibanding vaginal setelah mifepriston.96

4. Abortus komplit
a. Perbaiki keadaan umum
b. Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat
c. Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi, bila perlu dilakukan laparotomi
eksplorasi, sampai pengangkatan rahim.48,74

5. Abortus rekuren
Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh karena itu,
penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang
sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan
hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai
pengaruh psikologis. Risiko perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu diperhatikan
adanya tanda-tanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil serta tanda-tanda vital. Jika
pasien hipotensi, diberikan secara intravena-bolus kristaloid untuk stabilisasi
hemodinamik, memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang ada, ke rumah sakit
untuk diperiksa.48

6. Missed abortion
Bila gestasional <12 minggu, bisa langsung dilakukan dilatasi dan kuretase jika seviks
memungkinkan. Bila gestasional >12 minggu / <20 minggu, dilakukan induksi (untuk
mengeluarkan janin) & diberi Invus (iv) cairan oksitosin (untuk profilaksis retensi

26
cairan). Terdapat tehnik pemberian prostagalandin untuk induksi serta berefek pd
pembukaan ostium serviks, dgn pemberian mesoprostol (sublingual).24

7. Abortus infeksi atau septik


Kuretase dilakukan setelah 6 jam diberikan antibiotika yang adekuat. Pada infeksi berat,
diberikan ampisilin intravena 2 g setiap 6 jam, gentamisin 5 mg/kgBB intravena selama
24 jam, dan metronidazole 500 mg intravena setiap 8 jam. Pada infeksi ringan, cukup
diberikan amoxicillin oral 3 kali sehari selama 5 hari, metronidazole oral 400 mg 3 kali
sehari selama 5 hari, dan gentamisin intravena 5 mg/kgBB bila perlu.92

8. Blighted ovum
Dilatasi dan kuraetase secara selektif.

2.11. Prognosis
Selain pada kasus antibodi antifosfolipid dan serviks inkompeten, angka kesembuhan
setelah tiga kali abortus berturut-turut berkisar antara 70 dan 85 %, apapun terapinya. Bahkan,
Warburton dan Fraser (1964) menunjukkan kemungkinan abortus rekuren adalah 25-30%
berapapun jumlah abortus sebelumnya. Poland, et al. (1977) mencatat bahwa apabila seorang
wanita pernah melahirkan bayi hidup, risiko untuk setiap abortus rekuren adalah 30%. Namun,
apabila wanita belum pernah melahirkan bayi hidup dan pernah mengalami paling sedikit satu
kali abortus spontan, risiko abortus adalah 46%. Wanita dengan abortus spontan tiga kali atau
lebih berisiko lebih besar mengalami pelahiran preterm, plasenta previa, presentasi bokong,
dan malformasi janin pada kehamilan berikutnya (Thom dkk, 1992).24,48

27
DAFTAR PUSTAKA
1. DeCherney AH, Nathan L, & Goodwin TM. Spontaneous Abortion. Robertson A (editor). In:
Current Diagnosis and Treatment in Obstetric and Gynecology. New York: McGraw-Hill, 2003.
2. Hadijanto B. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro
GH (editor), In: Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo, 2010.
3. Hanretty KP. Vaginal Bleeding in Pregnancy. Smith H (editor), In: Obstetrics Illustrated, 6th
Edition. London: Churchill-Livingstone, 2003.
4. World Health Organization. Managing incomplete abortion. WHO, 2008
5. Sharing responsibility: women, society and abortion worldwide. New York, The Allan
Guttmacher Institute,1999.
6. Christopher P. Crum. The Female Genital Tract. In: Ramzi S. Cotran, Vinay Kumar, Tucker
Collins. Pathologic Basis of Disease.7th ed. Philadelphia: WB. Saunders 2004; 1079-80.
7. Greenwold N, Jauniaux E. Collection of villous tissue under ultrasound guidance to improve the
cytogenetic study of early pregnancy failure. Hum Reprod 2002; 17: 452–56.
8. Regan L, Rai R. Epidemiology and the medical causes of miscarriage. Baillieres Best Pract Res
Clin Obstet Gynaecol 2000; 14: 839–54.
9. Basama FM, Crosfill F. The outcome of pregnancies in 182 women with threatened miscarriage.
Arch Gynecol Obstet 2004; 270:86-90
10. Weiss JL, Malone FD, Vidaver J, et al. Threatened abortion: A risk factor for poor pregnancy
outcome, a population-based screening study. Am J Obstet Gynecol 2004; 190:745-50.
11. Johns J, Jauniaux E. Threatened miscarriage as a predictor of obstetric outcome. Obstet Gynecol
2006; 107:845-50.
12. Tien JC & Tan TYT. Non surgical intervensions for threatened and recurrent miscarriages.
Singapore Med J, 2007; 48(12): 1074.
13. Backos, M and Regan, L. Recurrent Miscarriage. In: James, et al. (eds), High Risk Pregnancy
Management Options. 3rd Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2006; 160-182.
14. Pierce GB, Parchment RE, Lewellyn AL. Hydrogen peroxideas a mediator of programmed cell
death in the blastocyst. Differentiation 1991;46:181–186.
15. Suganuma R, Yanagimachi R, Meistrich ML. Decline in fertility of mouse sperm with abnormal
chromatin during epididymal passage as revealed by ICSI. Hum Reprod 2005; 20: 3101-3108.
16. Caniggia I, Mostachfi H & Winter J. Hypoxia-inducible factor-1 mediates the biological effects
of oxygen on human trophoblast differentiation through TGF-beta. J Clin Invest 2000; 105: 577-
587.
17. Gupta S, Agarwal A, Banerjee J & Alvarez J. The role of oxidative stress in spontaneous abortion
and recurrent pregnancy loss: a systematic review. CME Review Article 2012; 62(5): 335-347.
18. Cohen RK & Koren G. Antioxidants and fetal protection against ethanol teratogenicity: review
of the experimental data and implications to humans. Neurotoxicol Teratol 2003; 25: 1-9.
19. Vural P, Akgul C, Yildirim A, et al. Antioxidant defence in recurrent abortion. Clin Chim Acta
2000; 295: 169-177.
20. Burd L, Roberts D, Odendaal H. ethanol and the placenta: a review. Journal of maternal–fetal
and neonatal medicine 2007, 20(5):361–375.
21. Weng X, Odouli R & Li DK. Maternal caffeine consumption during pregnancy and the risk of
miscarriage: a prospective cohort study. Am J Obstet Gynecol 2008; 198: 279-308.
22. Miozzo M & Simoni G. The role of imprinted genes in fetal growth. Biol Neonate 2002;81:217-
228.
23. Korevaar JC, Leschot NJ, Bossuyt PM, Knegt AC, Schoorl KB, Wouters CH, et al. Selective
chromosome analysis in couples with two or more miscarriages: case–control study. BMJ 2005;
331: 137-141.
24. Cunningham. Recurrent Miscarriage: Abortion. Mark E (editor), In: Williams Obstetrics 23rd
Edition. New York: McGraw-Hil Companies, Inc. 2010.
25. Stirrat GM. Recurrent miscarriage I: definition and epidemiology. Lancet 1990; 336: 673-675
26. Godjin M. Chromosome abnormalities in first-trimester pregnancy loss. University of
Amsterdam, 2003; 1: 1-19.

28
27. Dhont, Marc. Recurrent Miscarriage. Current Women’s Health Reports 2003, 3: 361-366.
28. Robinson WP, McFadden DE & Stephenson MD. The origin of abnormalities in recurrent
aneuploidy/polyploidy. Am J Hum Genet. 2001; 69(6): 1245-1254.
29. Shi Q & Martin RH. Aneuploidy in human sperm: a review of the frequency and distribution of
aneuploidy, effects of donor age and lifestyle factors. Cytogenet Cell Genet 2000, 90:219-226.
30. Schweikert A, Rau T, Berkholz A, Allera A, Daufeldt S, Wildt L, et al. Association of
progesterone receptor polymorphism with recurrent abortions. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol
2004: 113; 67-72.
31. Lebedev N, Nazarenko SA. Tissue-Specific Placental Mosaicism for Autosomal Trisomies in
Human Spontaneous Abortuses. Russian J of Genet 2001, 37(11):1224-1237.
32. Lee RM, Silver RM. Recurrent pregnancy loss: Summary and clinical recommendations. Semin
Reprod Med 2000, 18: 433-440.
33. Brosens JJ, Hodgetts A, Zaidi FF, Sherwin JR, Fusi L, Salker MS, et al. Proteomic analysis of
endometrium from fertile and infertile patients suggests a role for apolipoprotein A-I in embryo
implantation failure and endometriosis. Mol Hum Reprod 2010;16:273-285.
34. Teklenburg G, Salker M, Heijnen C, Macklon NS & Brosens JJ. The molecular basis of recurrent
pregnancy loss: impaired natural embryo selection. Mol Hum Reprod, 2010: 16(12): 886-895.
35. Suryanarayana V, Rao L, Kanakavalli M, Padmalatha V, Raseswari T, & Deenadayal M.
Association between novel HLA-G genotypes and risk of recurrent miscarriages: A case-control
study in a South Indian population. Repro Sci, 2008; 15: 817-824.
36. Rossant. Placental development: lessons from mouse mutants. Nat Rev Genet, 2001; 2(7): 538-
548.
37. Choi HK, Choi BC, Lee SH, Kim JW, Cha KY & Baek KH. Expression of angiogenesis- and
apoptosis-related genes in chorionic villi derived from recurrent pregnancy patients. Mol Reprod
Dev, 2003; 66:24-33.
38. Laird SM, Tuckerman EM, Cork BA, Linjawi S, Blakemore AF, Li TC, et al. A review of
immune cells and molecules in women with recurrent miscarriage. Human Reproduction Update
2003: 9(2); 163-174.
39. Salmon JE. A noninflammatory pathway for pregnancy loss:innate immune activation.
40. Novak RF. A Brief Review of Anatomy, Histology and ultrastructure of the full term placenta.
Archives of Pathology & Laboratory Medicine 1991;115: 654-659.
41. Haque AU, Siddique S, Jafari M, Hussain I & Siddiqui S. Pathology of chorionic villi in
spontaneous abortions. International Journal of Pathology 2004; 2(1): 5-9
42. Emmrich P. Pathology of the placenta. Zentralbl Pathol 1992; 138: 1-8.
43. Ladefoged C. A histopathological investigation of 260 early abortions. Acta Obstet Gynecol
Scand 1980; 59: 509-512.
44. Salim R, Regan L, Woelfer B, Backos M & Jurkovic D. A comparative study of the morphology
of congenital uterine anomalies in women with and without a history of recurrent first trimester
miscarriage. Hum. Reprod. 2003: 18; 162-166.
45. Dhont, Marc. Recurrent Miscarriage. Current Women’s Health Reports 2003, 3:361–366.
Current Science Inc. ISSN 1534–5874 Copyright © 2003 by Current Science Inc
46. Prawirohardjo,S. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2006. Hal.302-304; 309-310
47. Brenner, B., 2004. Haemostatic changes in pregnancy. Thromb. Res. 114, 409–414
48. Roberts, D., Schwartz, R.S., 2002. Clotting and hemorrhage in the placenta—a delicate balance.
N. Engl. J. Med. 347, 57–59
49. Rai, R., Tuddenham, E., Backos, M., Jivraj, S., El’gaddal, S., Choy, S., Cork, B., Regan, L.,
2003. Thromboelastography, whole-blood haemostasis and recurrent miscarriage. Hum. Reprod.
18, 2540–2543.
50. Jeschke, U., Richter, D.U., Walzel, H., Bergemann, C., Mylonas, I., Sharma, S., Keil, C., Briese,
V., Friese, K., 2003a. Stimulation of hCG and inhibition of hPL in isolated human trophoblast
cells in vitro by glycodelin A. Arch. Gynecol. Obstet. 268, 162–167.
51. Toth B, Bastug M, Scholz C, Arck P, Schulze S & Kunze S, et al. Leptin and peroxisome
proliferator-activatedreceptors: impact on normal and disturbed first trimester human pregnancy.
Histol. Histopathol., 2008; 23:1465-1475.

29
52. Gardiner C, Cohen S, Austin S, Machin SJ, & Mackie IJ. Pregnancy loss, tissue factor pathway
inhibitor deficiency, and resistance to activated protein C. J Thromb Haemost 2006; 4: 2724-
2726.
53. Lappas M, Permezel M & Rice GE. Leptin and adiponectin stimulatethe release of
proinflammatory cytokines and prostaglandinsfrom human placenta and maternal adipose tissue
via nuclear factorkappaB,peroxisomal proliferator-activated receptor-gamma andextracellularly
regulated kinase 1/2. Endocrinology, 2005; 146: 3334-3342.
54. Hiby SE, Regan L, Lo W, Farrell L, Carrington M & Moffett A. Association of maternal killer-
cell immunoglobulin-like receptors and parental HLA-C genotypes with recurrent miscarriage.
Hum. Reprod., 2008; 23; 972-976.
55. Expression of Ki-67, Bcl-2 and Bax in the First Trimester Abortion Materials.
56. Kokawa K, Shikone T, Nakano R: Apoptosis in human chorionic villi and decidua during normal
embryonic development and spontaneous abortion in the first trimester. Placenta 1998, 19:21-26
57. Lea RG, Al-Sharekh N, Tulppala M, Critchley HOD: The immunolocalization of Bcl-2 at the
maternal-fetal interface in healthy and failing pregnancies. Hum Reprod 1997, 12:153-158.
58. foley_ch18_p213-222.pdf
59. Ikossi DG, Lazar AA, Morabito D, Fildes J, & Knudson MM. Profile of mothers at risk: an
analysis of injury and pregnancy loss in 1195 trauma patients. J Am oll Surg, 2004; 9(16): 49-
56.
60. Connor JP, Brudney A, Ferrer K & Fazleabas AT.Glycodelin-A expression in the uterine
cervix. Gynecol Oncol., 2000; 79: 216–219.
61. Eblen AC, Gercel-Taylor C, Shields LBE, Sanfilippo JS, Nakajima ST & Taylor DD. Alterations
in humoral immune responses associated with recurrent pregnancy loss. Fertil Steril 2000;
73;305–313.
62. Segal-Lieberman G, Karasik A, Shimon I. Hypopituitarism following closed head injury.
Pituitary 2000;3:181–184
63. Kelly DF, Gonzalo IT, Cohan P, et al. Hypopituitarism following traumatic brain injury and
aneurysmal subarachnoid hemorrhage: a preliminary report. J Neurosurg 2000;93:743–752
64. Weiss HB, Songer TJ, Fabio A. Fetal deaths related to maternal injury. JAMA 2001;286:1863–
1868..
65. Mochtar, Rustam., S., Amru. 2012. Abortus. Dalam: Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi &
Obstetri Patologi). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
66. Toth B, Jeschke U, Rogenhofer N, Scholz C, Wufel W, Thaler CJ, et al. Recurrent miscarriage:
current concepts in diagnosis and treatment. Journal of Reproductive Immunology 2010; 12(6):
1-8.
67. Dolitzky, M., Inbal, A., Segal, Y., Weiss, A., Brenner, B., Carp, H., 2006. A randomized study
of thromboprophylaxis in women with unexplained consecutive recurrent miscarriages. Fertil.
Steril. 86, 362–366.
68. Norwitz, E.R., Schorge, J.O, 2008. At a Glance Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Penerbit
Erlangga; Sastrawinata, S., Martaadisoebrata, D., Wirakusumah, F.F., 2005. Ilmu Kesehatan
Reproduksi: Obstetri Patologi. Ed. 2. Jakarta : EGC
69. Evans & Arthur T. Manual of Obstetric 7th. Lippincott Williams and Wilkins. 2007.
70. NICE. Ectopic pregnancy and miscarriage. NICE, 2012; 154: 1-38.
71. POGI. Standar Pelayanan Medik. POGI, 2006.
72. The Impact of Dydrogesterone Supplementation on Hormonal Profile and Progesterone-induced
Blocking Factor Concentrations in Women with Threatened.
73. El-Zibdeh MY. Dydrogesterone in the reduction of recurrent spontaneous abortion. J Steroid
Biochem Mol Biol 2005; 97:431-4
74. Omar MH, Mashita MK, Lim PS, Jamil MA. Dydrogesterone in threatened abortion: pregnancy
outcome. J Steroid Biochem Mol Biol 2005; 97:421-5
75. Yost NP, Owen J, Berghella V, et al. Effect of coitus on recurrent preterm birth. Obstet Gynecol
2006; 107:793-7
76. Rumbold A, Middleton P, Crowther CA. Vitamin supplementation for preventing miscarriage.
Cochrane Database Syst Rev 2005; CD004073

30
77. Qureshi NS, Edi-Osagie EC, Ogbo V, Ray S, Hopkins RE. First trimester threatened miscarriage
treatment with human chorionic gonadotrophins: a randomised controlled trial. BJOG 2005;
112:1536-41.
78. Bui Q. Management Options for Early Incomplete Miscarriage. University of California.
79. Sur SD, Raine-Fenning NJ. The management of miscarriage. Best Pract Res Clin Obstet
Gynaecol. 2009;23(4):479-491.
80. Reynolds A, Ayres-de-Campos D, Costa MA & Montenegro N. How should success be defined
when attempting medical resolution of first-trimester missed abortion?. Eur J Obstet Gynecol
Reprod Biol 2005;118:71–6
81. Wood SL, Brain PH. Medical management of missed abortion: a randomised controlled trial.
Obstet Gynecol 2002;99:563–6..
82. Fawcus S, McIntyre J, Jewkes RK, Rees H, Katzenellenbogen JM,Shabodien R, et al.
Management of incomplete abortions at South African public hospitals. National Incomplete
Abortion Study Reference Group. S Afr Med J 1997;1(4):438–442
83. Chow AW, Marshall, JR, Guze LB. A double-blind comparison ofclindamycin with penicillin
plus chloramphenicol in treatment of septic abortion. J Infect Dis 1977;135(Suppl):S35–39
84. Zhang J, Giles JM, Barnhart K, Creinin MD,Westhoff C, Frederick MM. A comparison of
medical management with misoprostol and surgical management for early pregnancy failure. N
Engl J Med 2005;353:761–9..
85. Gulmezoglu MW & Thike BK. Antibiotics for incomplete abortion. Cochrane, 2012; 1: 1-10.
86. Heath V, Chadwick V, Cooke I, Manek S & MacKenzie IZ. Should tissue from pregnancy
termination and uterine evacuation routinely be examined histologically?. BJOG 2000;107:727–
30
87. Misoprostol for treatment for incomplete abortion
88. Tang OS, Lau WNT, Ng EHY, Lee SWH, & Ho PC. A prospective randomized study to compare
the use of repeated doses of vaginal with sublingual misoprostol in the management of first
trimester silent miscarriages. Hum Reprod 2003;18:176–81;
89. IGO_incomp_Blum.pdf chung et al
90. Sagili H & Divers M. Review modern management of miscarriage. RCOG 2007; 9: 102-108.
91. Ngoc NT, Blum J,Westheimer E, Quan TT,Winikoff B. Medical treatment of missed abortion
using misoprostol. Int J Gynecol Obstet 2004;87:138–42
92. Corrado F, Dugo C, Cannata M, Di Bartolo M, Scilipoti A & Stella N. A randomised trial of
progesterone prophylaxis aftermidtrimester amniocentesis. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology 2002; 100(2): 196-8.
93. Wiebe et al. Reducing surgery in management of spontaneous abortions. Can Fam Physician,
1999: 45: 1-10.
94. Hure AJ, Powers JR & Loxton D. Misarriage, preterm delivery, dan stillbirth. PLoS One, 2012;
7(5): 1-9.
95. World Health Organization. Managing incomplete abortion. WHO, 2008.
96. Pernoll ML. Habitual Abortion. Dalam: Benson and Pernoll’s Handbook of Obstetrics and
Gynecology. New York: McGraw-Hill Companies, 2001.

31

Anda mungkin juga menyukai