Pelumpuh Otot Mela
Pelumpuh Otot Mela
PELUMPUH OTOT
Disusun Oleh :
Melati Ganeza
1102014153
Konsulen Pengampu :
dr. Cynthia Afriany
BAB I
PENDAHULUAN
1
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok obat
yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur pembedahan
dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada pasien yang
membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain yang digunakan
untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis (spasmolitik). Obat-obat
pelumpuh otot bekerja pada transmisi neuromuscular end-plate dan menurunkan aktivitas
sistem saraf pusat. Golongan ini sering digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi
umum untuk memfasilitasi intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan
dengan menimbulkan imobilitas dan pemberian ventilasi yang adekuat. Obat-obat
spasmolitik biasa disebut pelumpuh otot kerja pusat dan digunakan terutama untuk
menangani nyeri punggung kronis dan kondisi fibromialgia.
Neuromuscular junction (NM) adalah region di sekitar neuron motorik dan sel otot.
Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah sempit (20 nm) yaitu celah
sinaptik. Saat potensial aksi saraf mendepolarisasi terminalnya, terjadi influks ion kalsium
melalui voltage-gated calcium channel ke dalam sitoplasma sehingga memungkinkan
vesikel berfusi dengan membran terminal dan melepaskan asetilkolin yang disimpan.
Molekul asetilkolin berdifusi sepanjang celah sinaptik untuk berikatan dengan reseptor
kolinergik nikotinik pada bagian khusus membran sel otot, yaitu motor end-plate. Setiap
NM memiliki sekitar 5 juta reseptor, tetapi untuk aktivasi saat kontraksi otot normal hanya
dibutuhkan sekitar 500.000 reseptor.
Pada orang dewasa, reseptor NM terdiri dari 5 peptida: 2 peptida alfa, 1 beta, 1
gamma, dan 1 peptida delta. Ikatan dua molekul asetilkolin pada reseptor subunit α-β dan
δ-α menyebabkan pembukaan channel yang menimbulkan potensial motor end-plate.
Magnitudo potensial end-plate berhubungan secara langsung dengan jumlah asetilkolin
yang dilepaskan. Jika potensialnya kecil permeabilitas dan potensial end-plate kembali
normal tanpa penyampaian impuls dari ujung end-plate ke seluruh membran sel serabut
otot. Jika potensial end-plate besar, membran sel otot yang berdekatan akan terpolarisasi,
dan potensial aksi akan diteruskan ke seluruh serabut otot. Kontraksi otot kemudian akan
2
diinisiasi oleh proses kopling eksitasi-kontraksi. Asetilkolin dengan cepat dihidrolisis
menjadi asetat dan kolin oleh enzim substrat spesifik asetilkolinesterase. Enzim
kolinesterase spesifik atau kolinesterase asli ditemukan dalam end-plate membran sel
motorik yang berdekatan dengan reseptor asetilkolin. Akhirnya, terjadi penutupan ion
channel menimbulkan repolarisasi. Ketika pembentukan potensial aksi terhenti, channel
natrium pada membran sel otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum
sarkoplasma dan sel otot akan berelaksasi.
BAB II
Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot depolarisasi sangat
mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan pada reseptor asetilkolin dan
membentuk potensial aksi otot. Namun, obat-obat ini tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat
sehingga memperpanjang depolarisasi end-plate otot.
4
Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasi end-plate dapat menyebabkan
perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor asetilkolin, inisiasi depolarisasi
end-plate akan menurun dan membran mengalami repolarisasi. Meskipun membran
mengalami repolarisasi, membran tidak dapat dengan mudah mengalami depolarisasi lagi
karena telah mengalami desensitisasi. Mekanisme fase desensitisasi tidak diketahui, namun
beberapa bukti mengindikasikan bahwa blok channel mungkin lebih penting dari pada aksi
agonis pada reseptor dalam fase II aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara klinis
menyerupai blok obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengikat diri ke reseptor asetilkolin tapi tidak
mampu menginduksi perubahan konformasional yang dibutuhkan untuk pembukaan
channel. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan reseptornya, tidak tercetus
potensial end-plate. Blokade saraf-otot terjadi bila hanya satu subunit α yang diblok. Oleh
sebab itu, obat pelumpuh otot depolarisasi bekerja sebagai agonis reseptor, sedangkan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif.
5
Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi pada ujung saraf
dari NM. Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas, aksi prejunksional untuk
beberapa obat pelumpuh otot mungkin signifikan.
6
Gambar 2 .
Contoh
hubungan
dosis-
respons.
Angka
yang
tercantum
adalah
nilai
perkiraan
untuk
rocuronium.
Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat (mata,
digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah pemberian obat
pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang intens pada otot-otot
laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor pollicis). Efek sparing obat pelumpuh
otot nondepolarisasi pada otot-otot laring mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot
skeletal. Otot yang berperan dalam penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah tipe
kontraksi cepat, di mana m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat.
Konsentrasi reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan
jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot tipe
lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor pollicis
semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi pada otot-otot jalan
napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot laring adalah cepat
dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada m.adductor pollicis. Hal penting yang
harus diperhatikan adalah dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu
blokade diafragma adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan
blokade yang sama dari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring m.adductor
pollicis adalah indikator relaksasi otot laring yang jelek (m.cricothyroid) sedangkan
stimulasi saraf fasial dan monitoring respons m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset
7
blokade saraf-otot diafragma. Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada
m.adductor pollicis sebagai indikator blokade otot laring.
Klirens plasma, volume distribusi, dan waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot
dapat dipengaruhi oleh usia, anestesi volatil, dan penyakit hati atau ginjal. Eliminasi renal
dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar karena sifatnya yang mudah
mengalami ionisasi sehingga mempertahankan konsentrasi plasma obat yang tinggi dan
juga mencegah reabsorpsi renal obat yang dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi
farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak
terlalu kuat terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan
ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal obat
pelumpuh otot.
8
dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi
volatil.
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein, dehidrasi, atau
perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi
dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat
dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat
intravena.
9
Dosis
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV. Dosis
tersebut setara untuk 3,5 – 4 kali ED 95. Secara konsep, pemberian dosis 1mg/kgBB pada
pasien yang terpreoksigenasi akan dihubungkan dengan nafas spontan sebelum
hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan spontan terjadi dalam 5 menit setelah paralisis
akibat pemberian suksinilkolin. Durasi rata-rata sebelum mencapai 90% tingkat kedutan
setelah pemberian 1 mg/kgBB adalah lebih besar dari 10 menit. Dengan demikian,
diperkirakan orang dewasa yang sudah dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea
sebelum saturasi oksigen arteri menurun ke 90%.
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 – 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1 mg/kgBB
tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau pernafasan spontan. Selain
itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot penuh sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB
masih tepat.
Efek samping
Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara lain: 1) aritmia
jantung, 2) hiperkalemia, 3) mialgia, 4) mioglobinuria, 5) peningkatan tekanan intragastrik,
6) peningkatan tekanan intraokuler, 7) peningkatan tekanan intrakranial, dan 8) kontraksi
otot terus menerus. Efek samping ini dapat membatasi bahkan merupakan kontraindikasi
pemberian suksinilkolin.
10
1. Aritmia Jantung
Sinus bradikardi, junctional rhythm, dan bahkan sinus arrest dapat terjadi
setelah pemberian suksinilkolin. Efek kardiak ini mencerminkan efek suksinilkolin
pada reseptor kolinergik muskarinik di mana obat ini memiliki efek fisiologis yang
sama dengan asetilkolin. Disritmia kardiak paling sering terjadi setelah pemberian
dosis kedua yang kira-kira diberikan 5 menit setelah dosis pertama. Hal ini diduga
akibat kerja metabolit suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Pemberian
atropin dengan dosis 6 μg/kg IV, tidak mencegah penurunan denyut jantung
sebagai respons terhadap dosis kedua suksinilkolin.
2. Hiperkalemia
11
menunda waktu diagnosis. Oleh karena itu, klinisi lebih suka menghindari
pemakaian suksinilkolin pada pasien pediatrik bila respons yang hampir sama
dapat dicapai dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
3. Mialgia
Mialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot leher,
punggung dan abdomen, dapat terjadi setelah pemberian suksinilkolin, khususnya
dewasa muda setelah menjalani prosedur bedah minor. Mialgia yang terlokasi di
otot leher dianggap sebagai faringitis oleh pasien dan dihubungkan dengan intubasi
trakea oleh anestesiologis. Mialgia sendiri diduga terjadi akibat kontraksi otot
skeletal yang tidak sinkron serta dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian
obat pelumpuh otot nondepolarisasi mencegah atau mengurangi mialgia setelah
pemberian suksinilkolin.
4. Mioglobinuria
12
ini. Peningkatan tekanan intraokuler terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin
dengan pendalaman ruang anterior dan peningkatan resistensi aliran keluar aqueous
humor, sedikit peningkatan volume darah koroid dan peningkatan tekanan vena
sentral.
Relaksasi otot rahang yang tidak sempurna dan rigiditas masseter setelah
pemberian halotan-suksinilkolin cukup sering terjadi pada anak-anak dengan
insidens 4,4% dari jumlah pasien dan dianggap sebagai respons normal. Kesulitan
yang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai respons normal tidak mudah
dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat hipertermia malignan.
Spasme otot skeletal juga dapat terjadi pada pemberian suksinilkolin pada
pasien dengan kongenital miotonia atau distrofi miotonia. Kontraksi yang terus-
menerus dapat mempengaruhi ventilasi paru dan membahayakan hidup.
Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama, kerja
sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih, metabolisme, dan
klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu obat dibanding obat yang
lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi
karena perbedaan farmakokinetik.
Respons otot skeletal saat terjadi blokade saraf-otot nondepolarisasi seperti yang
dicetuskan oleh stimulasi elektrik dari stimulator saraf perifer, antara lain: a) penurunan
respons kedutan terhadap stimulus tunggal, b) respons tidak bertahan (lemah) selama
13
stimulasi berkelanjutan, c) rasio TOF < 0,7, d) potensiasi post-tetanik, e) potensiasi obat
pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain, f) antagonisme untuk obat antikolinesterase, g)
tidak terjadi fasikulasi saat onset blokade saraf-otot nondepolarisasi.
Kontraksi otot skeletal adalah fenomena all or none. Setiap serabut otot skeletal
berkontraksi dengan maksimal atau tidak berkontraksi sama sekali. Oleh karena itu, ketika
respons kedutan menurun beberapa serabut berkontraksi normal, sedangkan yang lain
terblok secara total. Kontraksi otot skeletal yang lemah terhadap stimulasi elektrik terus
menerus menerangkan bahwa beberapa serabut otot lebih suseptibel untuk diblok oleh obat
pelumpuh otot membutuhkan pelepasan asetilkolin lebih besar yang berkelanjutan untuk
mencetus responsnya.
Intubasi
Tidak satu pun dari obat pelumpuh otot yang tersedia saat ini menyamai onset
cepat atau durasi kerja singkat suksinilkolin. Namun, onset obat pelumpuh otot dapat
dipercepat dengan menggunakan dosis yang lebih besar atau dosis awal. ED95 adalah dosis
efektif obat pada 95% individu. Satu sampai dua kali dosis ED 95 biasa dipakai untuk
intubasi. Meskipun dengan dosis intubasi yang lebih besar mempercepat onset, namun
dapat mengeksaserbasi efek samping dan memperpanjang durasi blokade. Sebagai contoh
dosis 0,15 mg/kgBB pancuronium dapat memberi kondisi intubasi dalam 90 detik, tapi
akan timbul hipertensi dan takikardia yang lebih nyata- dan blok yang ireversibel selama
lebih dari 60 menit. Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang
terjadi dalam membalikkan blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien usia tua
dan mereka yang menjalani pembedahan abdomen. Menurut aturan umum, semakin poten
obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin panjang kecepatan onsetnya, namun
potensi yang lebih besar membutuhkan dosis yang lebih kecil, yang kemudian akan
menurunkan pengantaran obat ke NMJ.
Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan penggunaan dosis
awal. Secara teoritis pemberian 10 – 15% dari dosis intubasi sebelum induksi akan
membantu penempatan cukup banyak reseptor sehingga paralisis akan cepat terjadi saat
relaksans yang seimbang diberikan. Penggunaan dosis awal dapat memberikan kondisi
yang sesuai untuk intubasi dalam waktu 60 detik pemberian rocuronium atau 90 detik
14
setelah pemberian obat nondepolarisasi kerja sedang lain. Dosis awal biasanya tidak
mencapai paralisis yang signifikan secara klinis, yang membutuhkan sekitar 75 – 80%
reseptor yang terblok (batas aman saraf – otot). Pada beberapa pasien, dosis awal
menempati cukup banyak reseptor untuk membuat distres, dispneu, diplopia, atau disfagia;
pada keadaan demikian, pasien harus ditenangkan dan induksi anestesi harus dilanjutkan
tanpa menunda. Dosis awal dapat menyebabkan deteriosasi signifikan dalam fungsi
respirasi (misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat menuju desaturasi oksigen pada
pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek negatif ini sering terjadi pada pasien usia tua.
Perlu diingat bahwa kelompok otot memiliki variasi dalam sensitivitas obat
pelumpuh otot. Sebagai contoh, otot-otot laring yang sangat penting dalam intubasi pulih
dari blokade lebih cepat dari pada m. adductor pollicis yang dimonitor oleh stimulator
saraf perifer.
Mencegah Fasikulasi
Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi obat pelumpuh
otot nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin. Meskipun sebagian besar
obat nondepolarisasi dapat digunakan untuk tujuan ini, tubocurarine dan rocuronium
adalah yang paling baik efikasinya. Karena terdapat antagonisme antara sebagian besar
obat nondepolarisasi dengan fase I blok, dosis suksinilkolin yang berikutnya harus
dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.
15
Potensiasi oleh Anestesi Inhalasi
Pada dosis klinis, obat nondepolarisasi mungkin mempunyai perbedaan efek yang
signifikan pada reseptor kolinergik muskarinik dan nikotinik. Beberapa agen yang lebih
tua (tubocurarine dan pada cakupan yang lebih sempit, metocurine) memblok ganglia
otonom, menghambat kemampuan sistem saraf simpatis untuk meningkatkan kontraktilitas
dan denyut jantung sebagai respons terhadap hipotensi dan stres intraoperatif yang lain.
Sebaliknya, pancuronium (dan gallamine) memblok reseptor vagal muskarinik di nodus
sinoatrial, berakibat pada takikardi. Semua obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang baru
termasuk atracurium, cisatracurium, mivacurium, doxacurium, vecuronium, dan
pipecuronium adalah obat-obat tanpa efek otonom dalam penggunaan dosis yang
direkomendasikan.
Pelepasan Histamin
Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme, flushing kulit, dan
hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium maupun mivacurium adalah dua agen
yang dapat mencetus pelepasan histamin, khususnya pada dosis yang lebih tinggi.
Penyuntikan lambat dan premedikasi antihistamin H1 dan H2 mengurangi efek samping
ini.
16
Metabolisme di Hati
Ekskresi Renal
1. Suhu
2. Keseimbangan Asam-Basa
4. Usia
5. Interaksi Obat
Penyakit saraf atau otot memiliki efek yang besar pada respons individual
terhadap pelumpuh otot. Sirosis hepatis dan gagal ginjal kronik berakibat pada
peningkatan volume distribusi dan penurunan konsentrasi plasma pada obat-obat
yang larut dalam air seperti pelumpuh otot. Di sisi yang lain, obat yang bergantung
pada ekskresi melalui hati atau ginjal mungkin memperpanjang klirens. Oleh
karena itu, bergantung pada obat yang terpilih, dibutuhkan dosis inisial yang lebih
tinggi, namun dengan dosis rumatan yang lebih besar.
7. Kelompok Otot
Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot. Hal ini
mungkin karena perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi sentral, atau tipe
serabut otot yang berbeda. Lebih jauh, sensitivitas relatif terhadap sekelompok otot
18
mungkin bergantung pada pemilihan pelumpuh otot. Secara umum, diafragma,
rahang, laring, dan otot-otot wajah (m.orbicularis oculi) berespons dan pulih lebih
cepat dari relaksasi otot dibanding ibu jari. Muskulatur glotis juga cukup resisten
terhadap blokade yang seringkali terbukti selama laringoskopi. ED95 otot-otot laring
hampir dua kali m.adductor pollicis. Kondisi intubasi yang baik biasanya
dihubungkan dengan respons kedutan m.orbicularis oculi yang hilang.
1. Atracurium
Struktur Fisik
19
metabolisme. Pertama, hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase nonspesifik,
bukan oleh asetilkolinesterase atau pseudokolinesterase. Kedua, melalui eliminasi
Hoffmann di mana penghancuran kimia nonenzimatik spontan terjadi pada pH dan
suhu fisiologis.
Dosis
Kebutuhan dosis tidak bervariasi sesuai usia, namun atracurium dapat bekerja lebih
singkat pada anak-anak dan bayi dari pada orang dewasa.
Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL, yag sebaiknya disimpan pada suhu
2–8°C karena potensinya akan berkurang 5 – 10% tiap bulan bila terekspos suhu
ruangan. Pada suhu ruangan obat ini harus digunakan dalam waktu 14 hari untuk
menjaga potensi.
Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi kecuali dosis melebihi 0,5 mg/kg
diberikan. Atracurium juga dapat menimbulkan penurunan transien resistensi vaskuler
sistemik dan peningkatan indeks kardiak yang tidak terpengaruh oleh pelepasan
histamin. Injeksi lambat meminimalkan efek ini.
Bronkospasme
Atracurium harus dihindari pada pasien dengan asma karena bronkospasme berat
dapat terjadi bahkan pada pasien dengan riwayat asma.
20
Toksisitas Laudanosine
Inkompatibilitas Kimia
Atracurium akan berubah menjadi asam bebas bila dimasukkan melalui saluran
intravena yang mengandung cairan alkali seperti tiopental.
Reaksi Alergi
2. Cisatracurium
Struktur Fisik
21
Seperti atracurium, cisatracurium mengalami degradasi dalam plasma pada pH dan
suhu fisiologis melalui eliminasi Hoffman yang tidak tergantung organ. Metabolitnya
(acrylate monokuartener dan laudanosine) tidak memiliki efek blokade saraf-otot
intrinsik. Karena potensinya yang besar, jumlah laudanosine yang dihasilkan lebih
sedikit dibandingkan atracurium. Esterase nonspesifik tidak berperan dalam
metabolisme cisatracurium. Metabolisme dan eliminasi tidak terpengaruh oleh
keadaan ginjal maupun hati. Variasi minor dalam pola farmakokinetik yang berkaitan
dengan umur tidak menyebabkan perubahan signifikan pada durasi kerja.
Dosis
Dosis intubasi adalah 0,1 – 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan menghasilkan
blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan infus adalah antara 1,0 – 2,0
μg/kg/menit. Potensi cisatracurium sama dengan vecuronium dan lebih poten
dibanding atracurium.
3. Mivacurium
Struktur Fisik
22
Metabolisme dan Ekskresi
Dosis
Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15 – 0,2 mg/kg. Infus menetap untuk relaksasi
intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase tapi dapat diinisiasi 4 – 10
μg/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada orang dewasa
jika dosis dihitung berdasarkan berat badan, namun tidak demikian bila berdasarkan
luas permukaan tubuh. Mivacurium dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan
pada suhu ruangan.
23
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak dengan atracurium.
Efek samping kardiovaskuler dapat diminimalkan dengan injeksi lambat selama 1
menit. Namun, pasien dengan penyakit jantung dapat mengalami penurunan tekanan
darah signifikan yang meskipun jarang dapat terjadi setelah pemberian dosis lebih
besar dari 0,15 mg/kg dengan suntikan lambat. Waktu onset mivacurium sama dengan
atracurium (2-3 menit). Keuntungan utamanya adalah durasi kerjanya yang singkat
(20 – 30 menit), yang masih 2 hingga 3 kali lebih lama dibanding blok fase I
suksinilkolin, namun setengah dari durasi atracurium, vecuronium, atau rocuronium.
Pada anak-anak onset lebih cepat dan durasi kerja lebih singkat. Meskipun
pemulihannya cepat, dalam pemberian mivacurium semua pasien harus dimonitor
untuk menentukan apakah pembalikan farmakologis diperlukan. Durasi kerja
mivacurium yang pendek cukup nyata memanjang dengan pemberian pancuronium.
4. Doxacurium
Struktur Fisik
Relaksans kerja lama dan poten ini mengalami tingkat hidrolisis yang rendah oleh
kolinesterase plasma. Seperti obat pelumpuh otot kerja lama yang lain, rute utama
eliminasinya adalah melalui ekskresi ginjal. Ekskresi hepatobiliaris hanya sedikit
berperan dalam klirens doxacurium.
Dosis
5. Pancuronium
Struktur Fisik
Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul asetilkolin yang
termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener).
Dosis
Dosis 0,08 – 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang adekuat untuk
intubasi dalam 2 – 3 menit. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan memberikan 0,04
mg/kg dosis inisial diikuti dengan dosis 0,01 mg/kg setiap 20 – 40 menit.
25
Anak – anak perlu dosis pancuronium yang lebih tinggi. Pancuronium tersedia
dalam larutan 1 atau 2 mg/mL dan disimpan pada suhu 2–8°C tapi stabil sampai 6
bulan pada suhu ruangan.
Aritmia
Reaksi Alergi
6. Pipecuronium
Struktur Fisik
26
Metabolisme dan Ekskresi
Dosis
Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis intubasi adalah
antara 0,06 – 0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat dikurangi sekitar 20% bila
dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh lebih sedikit pipecuronium pada dasar
dosis per kilogram dari pada anak-anak atau dewasa. Profile farmakologi
pipecuronium tidak berubah secara relatif pada pasien usia lanjut.
7. Vecuronium
Struktur Fisik
27
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener (pelumpuh
otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur memberi efek samping
menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi.
Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini sangat
bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi ginjal. Vecuronium
adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal, durasi kerjanya akan
memanjang dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja vecuronium yang singkat
disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang lebih pendek dan klirens yang lebih
cepat dibandingkan pancuronium. Pemberian vecuronium jangka panjang pada pasien
yang dirawat dalam perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade (sampai
beberapa hari), yang mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi,
perubahan klirens obat, atau perkembangan dari polineuropati. Faktor risikonya antara
lain jenis kelamin wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis
tinggi, dan sepsis. Oleh karena itu, pasien-pasien ini harus dimonitor dengan ketat dan
dosis vecuronium harus dititrasi dengan hati-hati. Pemberian pelumpuh otot jangka
panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik
postsinaptik yang lama, dapat menimbulkan keadaan yang mirip denervasi kronik dan
disfungsi reseptor dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien
dengan AIDS. Toleransi terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga dapat
terjadi setelah pemakaian lama.
Dosis
28
15 – 20 menit membantu relaksasi intraoperatif. Sebagai alternatif, infus 1 – 2
μg/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi yang baik.
Kardiovaskuler
Gagal Hati
Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium biasanya tidak
memanjang dengan signifikan pada pasien dengan sirosis, kecuali diberikan dengan
dosis yang lebih tinggi 0,15 mg/kg.
8. Rocuronium
Struktur Fisik
29
Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium, namun dirancang
untuk memberikan onset kerja yang cepat.
Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan
sedikit oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi oleh penyakit ginjal, tapi
cukup memanjang oleh gagal hati berat dan kehamilan. Rocuronium tidak memiliki
metabolit aktif, dan mungkin merupakan pilihan yang lebih baik dari pada vecuronium
untuk infus yang lama (misal pada unit perawatan intensif). Pasien usia lanjut dapat
mengalami durasi kerja yang memanjang karena massa hati yang menurun.
Dosis
Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain. Dosis untuk
intubasi 0,45 – 0,9 mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis yang lebih
rendah dari 0,4 mg/kg dapat memungkinkan pembalikan 25 menit setelah intubasi.
Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg untuk bayi, 2 mg/kg untuk anak-anak)
menyebabkan paralisis pita suara dan diafragma untuk intubasi, namun belum akan
terjadi 3 – 6 menit kemudian (injeksi deltoideus onsetnya lebih cepat dari pada
quadricep) dan dapat dibalikkan setelah 1 jam.
30
Infus rocuronium membutuhkan dosis 5 – 12 μg/kg/menit. Rocuronium durasi
kerjanya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Dosis inisial akan meningkat pada
penyakit hati lanjut, kemungkinan akibat volume distribusi yang lebih besar.
Pemilihan Obat
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset kerja, durasi
kerja, dan kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat karena kerja obat pada
tempat lain selain NMJ. Efek samping yang tidak diharapkan adalah respons kardiovaskuler
karena pelepasan histamin yang dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi
benzylisoquinolinium. Onset yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan
oleh suksinilkolin dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat saat
intubasi trakea merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot. Rocuronium adalah
satu-satunya obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang onset kerjanya singkat menyerupai
suksinilkolin, tapi dengan durasi kerja yang lebih panjang. Jika diperlukan blokade saraf-
otot yang dipertahankan dalam periode tertentu maka obat pelumpuh otot nondepolarisasi
adalah obat pilihan untuk dosis intermiten atau sebagai infus kontinu. Saat tidak diperlukan
onset cepat blokade saraf-otot, relaksasi otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat dipilih
obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat
menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang signifikan akibat pelepasan histamin
(atracurium atau mivacurium) atau dapat meningkatkan denyut jantung (pancuronium).
Efek sirkulasi yang dicetus oleh obat ini biasa dihindari bila terdapat keadaan seperti
hipovolemia, penyakit arteri koroner, atau penyakit katup jantung. Sebaliknya, bradikardi
yang dicetuskan oleh anestetik opioid yang ditutupi sampai batas tertentu oleh efek
peningkatan denyut jantung oleh pancuronium dan tidak dapat ditutupi oleh obat pelumpuh
otot nodepolarisasi yang tidak memiliki efek sirkulasi (vecuronium, rocuronium,
cisatracurium, doxacurium, pipecuronium).
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Neuromuscular blocking agents. In:
Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw Hills Company. 2006.
2. White PF, Katzung BG. Skeletal muscle relaxants. In: Basic and clinical
pharmacology. 10th ed. McGraw Hills Company. 2007.
3. Francois D, Bevan DR. Pharmacology of muscle relaxants and their antagonists. In:
Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia. 6th ed. Lippincott
Williams & Wilkins. 2006.
33
4. Stoelting RK. Neuromuscular blocking drugs. In: Pharmacology and physiology in
anaesthetic practice. 4th ed. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
5. Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic ganglia. In:
Brunton LL, ed. Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of therapeutics.
11th ed. New York: McGraw Hills Company. 2006.
34
AGEN Kelompok Sifat Farmakologis Waktu Onset (Menit) Durasi Kerja Cara Eliminasi
Senyawa (Menit)
Suksinilkolin Dikolin ester Durasi sangat singkat; 1-1.5 5-8 Hidrolisis oleh plasma
depolarisasi kolinesterase
D-Tubocurarine Alkaloid alami Durasi lama; kompetitif 4-6 80-120 Eliminasi ginjal; klirens hati
(cyclic
benzylisoquinoline)
Atracurium Benzylisoquinoline Durasi sedang; kompetitif 2-4 30-60 Degradasi Hoffman;
(TRACRIUM) Hidrolisis oleh plasma
kolinesterase, eliminasi
ginjal
Doxacurium Benzylisoquinoline Durasi lama; kompetitif 4-6 90-120 Eliminasi ginjal
(NUROMAX)
Mivacurium Benzylisoquinoline Durasi singkat; kompetitif 2-4 12-18 Hidrolisis oleh plasma
(MIVACRON) kolinesterase
Pancuronium Ammonio steroid Durasi lama; kompetitif 4-6 120-180 Eliminasi ginjal
(PAVULON)
Pipecuronium Ammonio steroid Durasi lama; kompetitif 2-4 80-100 Eliminasi ginjal;
(ARDUAN) metabolisme hati dan klirens
Rocuronium Ammonio steroid Durasi sedang; kompetitif 1-2 30-60 Metabolisme hati
(ZEMURON)
Vecuronium Ammonio steroid Durasi sedang; kompetitif 2-4 60-90 Metabolisme hati dan
(NORCURON) klirens; Eliminasi ginjal
35