Anda di halaman 1dari 9

Spirituality

PERAWATAN SPIRITUAL DALAM PANDANGAN ISLAM

Kusman Ibrahim, S.Kp., MNS

(Staf Pengajar Bagian Keperawatn Klinik, Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran)

PENDAHULUAN

Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk dan struktur yang paling sempurna dibanding
mahluk-mahluk lainnya (QS, 95:4). Hal ini dikarenakan manusia dikaruniai akal, dan dengan
akal itulah manusia bisa bernalar dan mengembangkan peradaban. Dengan kelebihan potensi
akal yang dimiliki manusia, manusia juga dibebani tugas yang lebih berat dibanding mahluk
lainnya yaitu untuk beribadah kepada Allah sang Pencipta (QS, 51:56). Amanah ibadah yang
diemban manusia adalah sebagai wakil Allah di muka bumi (khalifatul fil-ardy) dan sebagai
pemelihara bumi (riayatul ardy). Tugas ini merupakan tugas yang berat, dan manusia akan
diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Untuk menjalankan tugas yang berat manusia
perlu mengoptimalkan potensi-potensi yang dimilikinya secara baik.

Selain akal, potensi manusia lainnya adalah fisik (jasad) dan ruuh. Ketiga komponen; fisik, ruuh,
dan akal tersebut masing-masing memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi agar tercapai
keseimbangan dalam hidup manusia. Orang yang cenderung hanya memperhatikan aspek fisik
saja maka banyak yang terjebak pada kehidupan yang materialistik yang lebih mengutamakan
hal-hal yang bersifat kebendaan (materi) sebagai ukuran dari suatu keberhasilan. Disisi lain, yang
mengutamakan akal atau pikiran pun akan terjebak pada rasionalisme yang hanya menerima
sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal pikirannya. Sehingga tidak jarang, kelompok ini tidak
percaya adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Kelompok berikutnya yang lebih
mengutamakan ruuh semata sehingga sampai pada kehidupan yang melepaskan dunia dan hanya
mengejar ketenangan diri dengan berkontemplasi dan terhindar dari kehidupan masyarakat pada
umumnya. Ajaran Islam menganjurkan agar ketida aspek tersebut dijalankan secara seimbang
(tawazun), proporsional, dan harmonis. Agar tercapai keseimbangan yang harmonis antara fisik,
akal, dan ruuh diperlukan pengenalan yang mendalam akan ketiga aspek tersebut dan selanjutnya
adalah memberikan perawatan yang sesuai karakteristik dan kebutuhannya.

Perhatian terhadap kebutuhan spiritual telah dinyatakan secara eksplisit dalam kesepakatan
lokakarya nasional keperawatan sejak tahun 1983. Namun jika dilihat penerapannya dalam
asuhan keperawatan pada klien, maka kita akan kesulitan untuk mencari bukti-bukti otentik
bagaimana pelayanan ini diberikan oleh para perawat. Disisi lain, jika dilihat dalam kurikulum
pendidikan perawat di Indonesia, muatan aspek spiritual klien pun sedikit sekali bobotnya
sehingga tidak mampu memberikan bekal yang memadai bagi para calon tenaga keperawatan.
Hal ini nampaknya mungkin disebabkan karena minimnya referensi tentang keperawatan
spiritual. Literature tentang keperawatan spiritual sebagian besar berdasar pada konteks budaya
barat yang bersumber pada filosofi sekularistik. Sedangkan aspek spiritual seseorang banyak
dipengaruhi oleh keyakinan, nilai-nilai, sosial, budaya, pengalaman, dan konteks masyarakat
atau siatuasi krisis dimana orang itu berada.
Orang yang hidup dalam tataran budaya Sunda yang mayoritas beragama Islam, akan berbeda
dalam memaknai spiritualnya dibanding dengan orang yang hidup dalam budaya lain dengan
keyakinan yang berbeda. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan spiritual bersifat unik untuk
setiap individu. Kondisi penyakit yang sedang diderita atau situasi kritis yang menimpa klien,
akan berpengaruh terhadap persepsi pemenuhan kebutuhan spiritualnya. Perawat sebagai tenaga
kesehatan yang memiliki kontak terlama dengan klien, perlu memahami bagaimana memberikan
asuhan keperawatan spiritual klien sesuai dengan latar belakang sosial budaya dan nilai-nilai
serta keyakinan klien.

SPIRITUAL DALAM LITERATURE KEPERAWATAN

Istilah spiritual berasal dari kata Latin; spiritus, spirit, yang berarti napas, udara, angin atau yang
menyebabkan hidupnya seseorang (Dombeck, 1995). Spiritual merupakan sumber kekuatan vital
yang memotivasi, mempengaruhi gaya hidup, perilaku, dan hubungan seseorang dengan yang
lainnya (Goldberg, 1998). Konsep spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau
keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika
menghadapi situasi krisis, stress emosiaonal, penyakit fisik atau kematian.

Dalam konteks budaya barat, tidak semua orang yang ingin mencari jati diri, pemberdayaan diri,
dan aktualisasi diri harus melalui agama tertentu. Mereka bisa mencarinya melalui cara-cara lain.
Menurut Wright (1999), spiritualitas dapat dilihat sebagai perpaduan nilai-nilai yang
mempengaruhi proses interaksi seseorang dengan dunia sekitarnya, sedangkan agama merupakan
jalan (dalam bentuk praktik ritual dan keyakinan) untuk menuju tuhan-tuhan yang diyakininya
Dalam konsep ini, dapat dilihat adanya perbedaan antara konsep spiritualitas dan agama.
Spiritual dipandang sebagai konsep yang lebih luas dibanding agama, karena orang yang tidak
memeluk suatu agama pun pada dasarnya memiliki kebutuhan spiritual. Keyakinan spiritual
tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan jiwa seseorang (Fowler dalam
Kozier dkk., 1991).

Agar konsep spiritual ini bisa dikaji untuk merumuskan intervensi yang tepat, beberapa ilmuwan
keperawatan menjabarkan konsep spiritual kedalam beberapa dimensi, seperti; Stool (dalam
Taylor, 2002) membagi dimensi spiritual menjadi konsep tentang Tuhan, sumber kekuatan dan
harapan, praktik keagamaan, hubungan antara keyakinan dengan praktik kesehatan, sedangkan
Dossey (dalam Taylor, 2002), membagi dimensi spiritual menjadi makna dan tujuan hidup,
kekuatan dari dalam, dan keterkaitan (interconnections). Dari dimensi-dimensi tersebut
dikembangkan instrument untuk menilai atau mengkaji kondisi spiritual klien.
Misalnya, ‘spiritual well-being scale’ yang dikembangkan oleh Ellison dan Palotzian (Kozier
dkk, 1991), ‘spiritual assessment scale’ dari O’Brien (1989).

Hasil pengkajian spiritual akan membantu dalam memformulasikan diagnosa keperawatan


spiritual yang relevan dengan kondisi klien. Beberapa diagnosa keperawatan yang berkaitan
dengan spiritual adalah ‘spiritual distress’ yang meliputi ‘spiritual pain, spiritual alienation,
spiritual anxiety, spiritual guilt, spiritual anger, dan spiritual despair’ (O’Brien dalam Kozier
dkk, 1991).
Penelitian pun terus dilakukan untuk mengidentifikasi intervensi keperawatan yang berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan spiritual. Beberapa intervensi yang disebut dalam literature
diantaranya:

 Mendengarkan aktif (Active listening)


 Bibliotherapy (membaca buku-buku spiritual)
 Mendekatkan diri kepada Tuhan dengan berdoa
 Menunjukan sikap penerimaan, menghargai, dan tidak menghakimi
 Membangun hubungan saling percaya
 Menunjukan sikap empati, peka, rendah hati, dan komitmen
 Memfasilitasi ekspresi pikiran, perasaan
 Memfasilitasi meditasi
 Memfasilitasi praktik keagamaan
 Memnggenggam tanga, sentuhan
 Memberikan harapan, keyakinan
 Mendengarkan musik
 Menghadirkan diri
 Merujuk pada petugas rohani
 Komunikasi teapeutik
 Klarifikasi nilai (terutama berhubungan dengan spiritual)

Meskipun konsep spiritualitas dalam keperawatan terus dikembangkan, namun dalam


pelaksanaannya di klinis terdapat beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut diantaranya:

Faktor personal,

 Perawat memandang kebutuhan spiritual pasien sebagai urusan  peribadi atau keluarga
atau tanggungjawab pemuka agama (Ustad, Pastur, Pendeta) bukan tanggungjawab
perawat
 Perawat merasa malu, kurang percaya diri, dantidak nyaman dengan spiritualitasnya
sendiri
 Perawat merasa tidak merasa nyaman berhadapan dengan situasi yang menyebabkan
spiritual distress seperti kematian, penderitaan, duka cita.

Faktor pengetahuan,

 Perawat kurang cukup bekal pengetahuan tentang spiritualitas dan keyakinan agama yang
berlainan
 Perawat keliru mengartikan kebutuhan spiritual sebagai kebutuhan psikososial  
 Perawat memiliki sedikit pengetahuan tentang spiritual dan perawatan spiritual
 Masih terbatasnya kepustakaan dan riset tentang intervensi keperawatan spiritual

Faktor lingkungan/institusi/ dan situasi,


 Tidak cukup waktu untuk memberikan perawatan spiritual karena harus merawat
kebutuhan pasien lainnya
 Kebijan institusi yang kurang mendukung, seperti tidak adanya SOP atau pedoman
pelayanan spiritual
 Kondisi lingkungan yang kurang kondusif untuk pemberian perawatan spiritual seperti
tehnologi tinggi, bising, dan tidak terjaminnya privacy.

ISLAM DAN KESEHATAN SPIRITUAL

Islam adalah ad-diin yang universal mencakup seluruh aspek kehidupan. Para ulama memandang
bahwa ajaran Islam memiliki tujun untuk memelihara lima hal utama yaitu agama, jiwa (nafs),
akal, kehormatan (keturunan), dan kesehatan (Shihab, 1992). Islam memandang sehat dalam
konteks yang menyeluruh (holistic sense), jika suatu bagian tubuh sakit maka bagian tubuh
lainnya pun akan merasakan sakit. Komponen sehat yang baik tidak hanya sehat fisik (jasad),
melainkan juga sehat mental (nafs), sosial, dan spiritual (ruuh). Bagi seorang muslim, sehat
dipandang sebagai anugrah Allah yang harus disyukuri. Oleh karenanya, memelihara kesehatan
merupakan amanah yang harus ditunaikan sebagai wujud syukur kepada Allah.

Kebanyakan manusia lebih memfokuskan perhatiannya pada aspek kesehatan fisik, dibanding
aspek kesehatan lainnya, padahal kesehatan komponen lainnya sama pentingnya dengan
kesehatan fisik bahkan dampaknya lebih berat ketimbang aspek fisik. Misalnya, sakit fisik atau
jasad akan berakhir ketika    ajal tiba, namun ruhani yang sakit akan terbawa konsekuensinya
sampai kehidupan akhirat. Dengan demikian kesehatan  ruhani sebenarnya merupakan esensi
dari kesehatan hidup seseorang.

Istilah spiritual identik dengan istilah ruuh (ruhani) atau soul. Para Ulama Islam lebih
merekomendasikan menggunakan istilah ruuh (ruhani) sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an,
ketimbang istilah spiritual atau soul yang berakar pada keyakinan Yahudi-Nashrani. Manusia
dapat mengetahui hal-hal yang bersifat fisik-material dengan proses pengenalan melalui panca
indra yang dimilikinya. Proses pengenalan ini melahirkan suatu pengetahuan tentang suatu
fenomena fisik atau material. Untuk hal-hal yang immateri, seperti halnya ruuh, manusia tidak
dapat mengandalkan panca indra karena proses pengindraan sangatlah terbatas. Hakikat yang
sesungguhnya dari ruuh hanyalah Allah yang tahu, sebagaimana Allah SWT berfirman:

‫امرربي ومآاوتيتم ّمن العلم االّ قليال‬


ْ ‫ويسءلونك عن الروحْ قاللروح من‬

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruuh. Katakanlah; ruuh itu termasuk urusan Tuhan-
ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS 17:85)”. 

Manusia tidak bisa mengetahui secara nyata bagaimana sebenarnya ruuh, cara yang terbaik untuk
mengetahui ruuh ini adalah melalui wahyu atau informasi yang diberikan Allah, karena Allah
yang menciptakan ruuh dan Allah lah yang mengetahui secara pasti hakikat ruuh tersebut. Ruuh
dijelaskan oleh beberapa ulama sebagai substansi yang halus dari manusia, merupakan kebalikan
jasad, bersifat tinggi, suci, memiliki daya. Menurut Al-ghazali, ruuh merupakan penggerak jasad
yang mampu berfikir, mengingat, dan mengetahui. Ruuh inilah yang kelak akan diminta
pertanggungjawaban dihadapan Allah.
Perkembangan Spiritual (Ruuh)

Dalam konsepsi Islam, ruuh ditiupkan kedalam janin yang dikandung oleh ibu ketika usia
kehamilan mencapai 120 hari. Hal ini berdasar pada sebuah hadits:

“Sesungguhnya awal kejadian seseorang diantara kamu (yaitu sperma dan ovum) berkumpul
dalam perut ibunya selama 40 malam, kemudian menjadi segumpal darah selama itu (juga), lalu
menjadi segumpal daging selama itu (juga). Kemudian Allah mengutus malaikat; setelah Allah
meniupkan ruuh kedalamnya, maka malaikat itu diperintahkan-Nya menulis empat kalimat, lalu
malaikat itu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan bahagia atau sengsaranya (HR Bukhari
dan Muslim)”

Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam tubuhnya Ruuh (ciptaan-Nya) dan
Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur (QS 32:9)”

Dengan ditiupkannya ruuh, berarti kehidupan janin sudah dimulai. Ketika janin itu lahir menjadi
seorang bayi, ruuh masih dalam keadaan fitrah, sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan:

“Setiap bayi yang terlahir itu dalam keadaan suci (fitrah), orangtuanyalah yang membentuk
anak itu menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi”

Kondisi fitrah sebenarnya merupakan kondisi dasar dari ruhani yang sehat. Fitrah seseorang
adalah untuk mengabdi pada penciptanya, mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 
Dalam perkembangan selanjutnya fitrah ini bisa tercemari oleh perilaku-perilaku manusia akibat
beriteraksi dengan lingkungan termasuk didalamnya unsur-unsur syaithoniah atau dorongan akan
berbuat inkar terhadap pencipta-Nya. Islam diturunkan adalah untuk mengembalikan dan
menjaga manusia agar tetap pada fitrahnya. Firman Allah SWT:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitral Allah,
(itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS 30:30)”

Dalam Al-Qur’an, ada beberapa istilah lain yang menurut para ulama memiliki esesnsi sama
dengan ruuh, yaitu nafs (jiwa), dan qalb (hati) (Kasule, 2005). Nafs merupakan gabungan antara
ruuh dan jasad, yang yang kedudukannya labil bisa cenderung pada kebaikan atau pada
kejahatan. Allah SWT berfirman:

 “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaan-Nya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu. Dan merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS 91:7-10)”

 Ada tiga tingkatan nafs yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu:


1. Nafs ammarah yang lebih besar kecenderungannya pada hal yang buruk, hedonis, dan
syahwat (QS 12:53). Sisi positif nafs ini adalah sebagai potensi untuk kehidupan biologis
dan bertahan hidup di dunia
2. Nafs Lawwamah yang cenderung pada penyesalan diri tetapi belum dapat
memperbaikinya, menyalahkan diri, penasaran, merasa lebih, tidak mudah percaya (QS
75:2). Sisi positif dari nafs ini adalah sebagai gerbang kesadaran dan taubat, pintu
keyakinan dan optimisme.
3. Nafs Muthmainah (QS 89: 27-28), cenderung pada ketenangan, kedamaian, kepuasan dan
keharmonisan diri. Tingkat ini merupakan tingkat perkembangan jiwa yang paling tinggi,
karena sudah menyadari bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara dan akan kembali
kepada Allah untuk menjalani kehidupan yang kekal di akhirat.

Selain nafs, hati pun dapat berubah-ubah kecenderungannya, bahkan dapat menjadi pusat
(central) bagi bagian tubuh lainnya. Dalam sebuah hadits disebutkan :

“Dalam tubuh manusia, ada segumpal daging. Apabila baik daging tersebut, maka baiklah
tubuhnya, dan apabila buruk daging tersebut, maka buruklah tubuhnya. Ketahuilah daging itu
adalah hati (qolb)”

Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa setiap anggota badan diciptakan untuk suatu fungsi
tertentu, sedangkan sakitnya anggota badan menyebabkan tidak berfungsinya anggota badan
tersebut atau terjadi ketidakstabilan. Hati secara dzahir memiliki fungsi tersendiri, namun tidak
ada bukti ilmiah yang menyangkal bahwa hati juga memiliki fungsi spiritual. Fungsi spiritual
hati adalah untuk mengenal Penciptanya, mencintai-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Ketika fungsi ini tidak berjalan, maka dapat dipastikan hati pun sedang dalam kondisi sakit.
Manifestasi penyakit hati yang bisa dilihat dapat berupa; takabur dan sombong (al-kibr wa al-
ghurur), ingin dipuji (al-riya), hasad, berburuk sangka, pemarah, bakhil, dan cinta dunia
(kekuasaan, harta, jabatan, keluarga) melebihi cintanya kepada Allah.

ISLAM, HEALING, DAN CARING

Konsepsi Islam terhadap spiritualitas berbeda dengan konsepsi barat yang membedakan spiritual
dengan agama. Dalam pandangan Islam, aspek spiritual dan agama (ad-diin) tidak dapat
dipisahkan. Konsep ad-diin merupakan payung dari spiritualitas. Dalam konteks Islam, tidak ada
spiritualitas tanpa keyakinan, ajaran, dan amal agama. Agama merupakan sistem hidup (way of
life) yang memberikan jalan spiritual untuk keselamatan dunia dan akhirat (Rassool, 2000).
Seorang muslim tidak mungkin mencapai derajat spiritual yang tinggi tanpa menjalankan
agamanya secara benar. Menurut Kasule (2005), hal ini bisa dijelaskan melalui tiga dasar pokok
agama (usul ad-diin) yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Islam berarti penyerahan diri kepada Sang
Pencipta, merupakan tahap awal dan bersifat dzahir (bisa dilihat), selanjutnya tahap yang lebih
tinggi yaitu Iman yang merupakan sikap bathiniah/hati. Ihsan merupakan tingkat tertinggi dari
keyakinan seorang muslim yang merupakan perpaduan antara keyakinan dan amal perbuatan.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa:

“Ihsan itu adalah beribadahlah kamu kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika
kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu”
Menurut para ulama, ihsan inilah merupakan kondisi tertinggi dari keyakinan spiritual. Seorang
muhsin, haruslah ia beriman, seorang mu’min haruslah dia Islam, tapi tidak semua muslim
beriman, apalagi sampai pada tahap ihsan.

Islam sebagai Diin yang komprehensif (syamil dan muttakamil) meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia termasuk juga sehat dan kesembuhan. Islam memberikan tuntunan
bagaimana mencapai kesembuhan yang hakiki ketika ditimpa sakit. Allah SWT berfirman:

“dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku (QS 26:80)”

Sehat dan sakit bagi seorang muslim bisa dipandang sebagai ujian atau kifarat bagi dosa-dosa
yang telah dilakukan, dan semua yang terjadi tidak luput dari kehendak Allah SWT. Sehingga
dalam mencari kesembuhan pun harus dengan cara-cara yang diridhai Allah SWT, karena
hakikat kesembuhan adalah dari Allah SWT. Dokter, perawat, petugas kesehatan, obat, dan
pihak lainnya hanyalah perantara (instrument) bagi kesembuhan dari Allah. Healing berbeda
dengan Cure atau Recovery. Cure dan recovery lebih menekankan pada penyebuhan dan
pemulihan fisik seseorang setelah mengalami sakit. Healing lebih mengacu pada proses
pemulihan fungsi kehidupan secara totalitas dan holistik dari individu setelah mengalami suatu
penyakit atau stress. Healing bukan hanya meliputi aspek fisik tapi juga aspek emosional, sosial,
kultural, dan spiritual. Sehingga dalam konsepsi Islam, healing ini bisa dipandang sebagai upaya
dakwah yang menyeru serta membimbing manusia kejalan Allah dengan hikmah (ilmu) dan
cara-cara yang baik, hingga manusia tersebut mengingkari dari thagut dan beriman kepada Allah
yang mengeluarkan dari kegelepan jahiliyah ke cahaya Islam. Oleh karenanya perawat ruhani
Islam, pada hakikatnya juga seorang da’i yang yang membantu proses penyembuhan secara
totalitas baik pada tingkat individu maupun masyarakat.

Aspek ‘caring’ yang menurut Watson diartikan sebagai kesadaran penuh perawat untuk
membangun hubungan professional perawat-klien yang terapetik yang meliputi unsur-unsur
‘trust, touch, presence, love, compassion, empathy, dan competence’. Dalam konteks Islam,
membangun hubungan ‘caring’ dengan klien harus didasarkan pada nas atau ayat yang
diturunkan Allah SWT. Dalam hal ini, berarti segala aktvitas pelayanan kepada klien didasarkan
pada niat yang ikhlas untuk semata-mata beribadah kepada Allah, bukan hanya hubungan
kontrak professional yang bersifat jasa atau komersial. Caring merupakan manifestasi fitrah
(wujud asli) dari refleksi terhadap kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya yang mengajarkan
menyayangi yang lemah, membesarkan hati yang sedang menderita sakit, serta menyelamatkan
kehidupan dan tidak berbuat kerusakan. Sehingga caring dalam pandangan Islam adalah
keinginan untuk bertanggungjawab, sensitif, sadar akan niat dan perbuatan untuk beristiqomah di
jalan yang benar untuk mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat (Rassool, 2000).

PERAWATAN SPIRITUAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Perawatan spiritual atau ruhani dalam pandangan para ulama Islam merupakan proses
berkelanjutan sepanjang kehidupan manusia. Islam mengajarkan bagaimana manusia menjalani
kehidupan dari mulai menyiapkan generasi penerus yang masih berupa janin didalam kandungan,
kemudian lahir sebagai seorang bayi, menjadi anak, dan tumbuh menjadi dewasa, sampai
menjelang ajal tiba. Dengan melaksanakan ajaran Islam secara totalitas sesuai tuntunan Qur’an
dan Sunnah Rasul, maka manfaat yang diperoleh adalah diantaranya terpeliharanya kesehatan
baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

Mengingat manusia pada awalnya dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka tujuan perawatan
spiritual Islam adalah bagaimana mengembalikan manusia kedalam fitrahnya agar bisa mengenal
Tuhannya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Namun,
kerena kehidupan manusia tidaklah steril dari kotoran atau penyakit, maka metoda yang
dianjurkan para ulama dalam menjaga kefitrahan diri dalah dengan melakukan penyucian jiwa
(Tazkiyat an-nafs). Tazkiyah merupakan dasar untuk peningkatan dan pengembangan
keperibadian. Tazkiyah juga merupakan proses panjang, proaktif, perjuangan yang sulit dalam
mengembalikan kedudukan manusia kedalam kontrak semula antara mahluk dan Khalik (Allah).
Allah SWT berfirman:

“…..Dan barangsiapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk


kebaikan dirinya sendiri, Dan kepada Allahlah tempat kembali (QS 35:18)”

Memperbaiki, dan meneguhkan akidah, ibadah, menghindari hal-hal yang dilarang, senantiasa
mengingat kekuasaan Yang Maha Pencipta, dan mentafakuri segala ciptaan Allah, merupakan
jalan tazkiyah yang dapat meningkatkan kepribadian, berahkak kharimah, asertif, dan percaya
diri. Hidup ditengah-tengan lingkungan yang sarat dengan nilai kebenaran dan keshalihan sangat
diperlukan untuk memotivasi penyucian jiwa. Islam adalah agama amal, mencapai tazkiyah pun
melalui amal perbuatan yang nyata.

Dalam kondisi seseorang sedang ditimpa musibah berupa sakit, maka Islam memberikan
bimbingan bagaimana mensikapi sakit dengan senatiasa berhusnudzan kepada Allah, berserah
diri kepada Allah, mengingat Allah (dizkr), sabar, berdo’a dan berupaya dengan jalan yang
diridhai Allah. Perawat yang sehari-hari merawat klien yang sakit sangat berperan dalam
memberikan bimbingan ruhani sesuai batas kemampuan atau berupaya memfasilitasi
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ruhiyah bagi pasien yang sedang sakit. Beberapa  intervensi
yang bisa dikembangkan oleh perawat dalam membantu memenuhi kebutuhan ruhiyah kliennya
adalah diantaranya dengan mengucapkan salam kepada klien, menunjukan sikap ramah, kasih
saying, perhatian, mendo’akan klien, memberikan tausiah, meluangkan waktu untuk berdiskusi
dengan klien, memfasilitasi kegitan ibadah klien, menghadirkan petugas kerohanian,
memberikan bimbingan sakaratul maut, serta menata kondisi lingkungan yang kondusif untuk
terpenuhinya kebutuhan ruhiyah klien.    

PENUTUP

Pemenuhan kebutuhan spiritual merupakan fitrah insani bagi semua orang, tidak hanya bagi
mereka yang beragama, namun juga pada mereka yang tidak secara resmi berafiliasi pada
aagama tertentu. Mengingat kebutuhan spiritual bersifat uniq dan intangible (abstrak), maka
sangat besar adanya perbedaan cara pandang bagi berbagai individu atau kelompok masyarakat.
Bagi klien muslim, kebutuhan spiritual hendaknya dipenuhi dalam konteks ajaran Islam yang
tidak memisahkan aspek agama dengan aspek spiritual. Dengan demikian, tidak semua
paradigma perawatan spiritual yang dikemukakan dalam literature bisa diterapkan kepada klien,
namun perlu untuk disesuaikan dengan latar belakang budaya, nilai-nilai, keyakinan, agama,
serta kondiri klien yang kita rawat. Bagi perawat muslim sendiri, nampaknya perlu menggali
lebih dalam bagaimana konsep perawatan spiritual yang islami serta penerapannya dalam asuhan
keperawatan. Wallahu’alam bishawab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Agama RI. (2004). Al Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV Penerbit 3-Art
2. Elizabeth Johnson Taylor. (2002). Spiritual Care, Nursing Theory, Research, and
Practice. Prentice Hall: New Jersey
3. G. Golberg. (1998). Connection: an exploration of spirituality in nursing care. Journal of
Advanced Nursing; 27, 836-842
4. G. Hussein Rassool. (2000). The Crescent and Islam : Healing, Nursing and The Spiritual
Dimension. Some Considerations Toward An Understanding of The Islamic Perspectives
On Caring. Journal of Advanced Nursing; 32(6), 1476-1484
5. H. Isep Zainal Arifin. (2004). Terapi Rohani Islam Sebagai Alternatif  Pengobatan.
Makalah. Tidak dipublikasikan
6. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah. (1994). Sistem Kedokteran Nabi, diterjemahkan oleh HS Agil
Husin Al Munawar dan Abd. Rahman Umar. Semarang: Dina Utama Semarang
7. B.Kozier, G. Erb, R. Oliveri. (1991). Fundamentals of Nursing, Concepts, Process and
Practice. California: Addison Wesley
8. M.B. Dombeck. (1995). Dream-telling: A maens of spiritual awareness. Holistic Nursing
Practice. 9(2), 37-47
9. M. Quraish Shihab. (1992). Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan
10. Muzammil H. Siddiqi. (2003). Spiritual Diseases : Remedy. Islam Dialogue. Available in
http://www.islamonline.net
11. Omar Hasan Kasule. (2005). Spiritual, Ruuh, Nafs, Qolb, and Care in Islamic

Anda mungkin juga menyukai