Anda di halaman 1dari 3

KRITIK

1 ) Al-Mawardi sendiri tidak menjelaskan tentang definisi negara Islam secara rinci. Namun
menurutnya bentuk sebuah negara adalah khilâfah. Pemikiran ini dipengaruhi bahwa al-
Mawardi hidup dalam sistem pemerintahan khilâfah yang berlaku pada saat itu. Baginya,
khilâfah mendekati sistem demokrasi tidak langsung. Hal itu bisa dilihat dari pengangkatan
khalifah atau imam, kriteria-kriteria atau syarat menjadi khalifah, dan tata cara pemilihannya
Bagi al-Mawardi, syariat (agama) mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi
terhadap realitas politik1

Sedangkan menurut Ali Abdur Raziq Apa yang diasumsikan oleh sebagian orang bahwa
Islam menganjurkan umatnya mendirikan negara dengan sistem politik, aturan perundangan,
serta pemerintahan “islami” adalah asumsi keliru yang ditarik dari kenyataan sejarah. Padahal
fakta sejarah membuktikan bahwa apa yang dianggap sistem “islami” tak lain merupakan
ijtihad politik dari para tokoh-tokoh Islam sepeninggal nabi. Bukanlah pemulihan kepala
negara dan sistem pemerintahan yang dijalankan Abu Bakar berbeda dengan yang diterapkan
Umar bin Khattab . Begitu juga apa yang dijalankan Umar berbeda dengan Usman dan Ali,
sistem khilafah model Umayyah dan Abbasiyah tak lebih dari ijtihad politik sebagian orang
dianggap sebagai suatu keharusan mutlak, ternyata merupakan bentukan sejarah yang
diimulai oleh Abu Bakar dan Umar dan dimatangkan oleh Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah2

1
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/viewFile/981/777
2
http://digilib.uinsby.ac.id/5122/57/Bab%203.pdf
2) Al-Mawardi berpendapat Jabatan kepala negara dianggap sah dengan dua cara

A) Pemilihan oleh Ahl al-Hall wa al- ‘Aqd (majlis syura).

B) Penunjukan oleh kepala negara sebelumnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah keanggotaan Ahl al-Hall wa al- ‘Aqd (majlis
syura) sehingga pengangkatan kepala negara oleh mereka dianggap sah. Sekelompok ulama
berpendapat, bahwa pemilihan kepala negara tidak sah kecuali dengan dihadiri seluruh
anggota ahlul halli wal ‘aqdi (majlis syura) dari setiap daerah3

Sayangnya, al-Mawardi tidak menjelaskan prosedur pemilihan Ahl al-Hall wa al- ‘Aqd. Hal
ini mungkin karena dalam praktiknya keanggotaan mereka ditentukan dan diangkat oleh
kepala negara. Yang menyebabkan, kedudukan mereka menjadi tidak independen. Ini
mengakibatkan Ahl al-Hall wa al-‘Aqd tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai alat
pengambil keputusan terhadap pemilihan dan pengawas kepala negara

Jika dilihat dari pendapat Al-Mawardi tentang dua sistem penempuhan suksesi kepala negara
sebenarnya sistem yang pertama dinilai kurang tepat oleh kami , dikarenakan sang pemilih
kepala negara ini yakni Ahl al-Hall wa Al-Aqd (dalam Bahasa Indonesia artinya adalah
“orang-orang yang melepas dan mengikat) adalah sebuah lembaga atau dewan yang
berwenang dalam memutuskan tentang pengangkatan seorang pemimpin dalam sistem politik
Islam atau yang disebut sebagai khalifah , ternyata dipilih melalui kepala negara atau khalifah
itu sendiri . hal ini bisa membuat hak rakyat untuk memilih kepala negara menjadi sangat
kecil , karena barangkali kepala negara atau khalifah itu sendiri hanya menunjuk atau
memilih seseorang dari lembaga Ahl al-Hall wa Al-Aqd , yang dekat atau bisa membantu
kepentingan dan tujuan pribadi dari khalifah itu sendiri jikalaupun Ahl al-Hall wa Al-Aqd
dipilih dari rakyat , belum tentu juga bahwa lembaga itu akan menerima aspirasi rakyat
dengan baik , menurut kelompok kami suksesi pemilihan kepala negara yang terbaik ialah
menggunakan sistem demokrasi yakni para rakyat sendiri yang akan memilih kepala
negaranya sendiri berdasarkan suara terbanyak

3) Kalau dikaitkan dengan pendapatnya bahwa kepala negara juga diangkat berdasarkan
wasiat kepala negara sebelumnya ini menunjukkan bahwa dalam teori politik al-Mawardi,
kedudukan khalifah begitu dominan, sehingga dikira mencabut cita-cita demokratis yang
3
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/download/2744/2587
sangat dalam di politik Islam, Sama halnya dengan kasus di atas, dalam pemakzulan kepala
negara pun al-Mawardi tidak menyebutkan bagaimana mekanismenya dan siapa yang berhak
melakukannya. Di samping itu, hampir dalam semua kasus, penggantian khalifah dilakukan
karena ia meninggal dunia, tanpa melihat kualitas moral dan kecakapan orang yang
menggantinya. Karenanya, teori politik al-Mawardi terlihat adanya ambigu. Ini berbeda
sekali ketika ia menguraikan secara rinci tentang mekanisme pemilihan kepala negara. Dapat
diduga bahwa sikap ini adalah cerminan keberpihakannya kepada Bani ‘Abbas. Al-Mawardi
melihat realitas politik saat itu bahwa khalifah-khalifah Bani ‘Abbas hanya menjadi boneka
dari pejabat pejabat tinggi pemerintahan yang berkebangsaan Turki maupun Persia. Dasar ini
pula yang menjadikan sikapnya masih menoleransi orang yang menguasai kepala negara
sejauh tidak membahayakan negara dan umat Islam. Selain itu, sebagian wilayah Bani
‘Abbas juga sudah mulai menuntut otonomi dan tidak mau tunduk lagi pada kekuasaan
pusat.4

Sebaiknya sistem pengangkatan khalifah melalui wasiat atau penunjukan langsung oleh
imamnya tidak digunakan, karena sistem seperti ini dinilai sangat dominan dan membunuh
hak demokrasi masyarakat untuk memilih langsung kepala negaranya

4
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/viewFile/981/777

Anda mungkin juga menyukai