Anda di halaman 1dari 7

B.

TAREQAT DENGAN BERBAGAI ASPEKNYA

1. Pengertian
Kata tareqat atau tarikat berasal dari Bahasa Arab thariqat dari kata thariq
yang berarti jalan, keadaan, aliran atau garis pada sesuatu. Tareqat ialah istilah
bagi salah satu kelompok sufi yang berupaya memperoleh hakekat. Untuk
sampai pada tahap makrifat, seorang pengamal tareqat melewati empat tahapan,
yaitu syari’at, thariqat, hakikat, dan makrifat. Atau jalan yang harus ditempuh
oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah,
sesuai dengan tujuan tasawuf, yaitu agar sedekat mungkin berada dekat Allah
yang disebut dengan muqarabah.

Sedangkan menurut istilah tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi


besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-
ajaran tasawuf gurunya. Maka timbullah tarekat, yang mempunyai syekh,
upacara ritual, dan zikir. Prakteknya dilakukan di suatu tempat pusat kegiatan
yang disebut ribat, zawiyah, hangkah atau pekir.1

Dalam pengertian istilahi, tarekat berarti: pengembaraan mistik yang


umumnya, yaitu gabungan seluruh ajaran dan aturan praktis yang diambil dari
al-Qur’an, sunnah Nabi Saw, dan pengalaman guru spiritual.2

Abu Bakar Atjeh, memberi definisi tareqat secara luas dengan; “jalan atau
petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang
ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in,
turun menurun sampai kepada guru-guru. Atau suatu cara mendidik, mengajar,
lama kelamaan meluas menjadi kumpulan kekeluargaan yang mengikat
penganut-penganut sufi yang sefaham dan sealiran, guna memudahkan
menerima ajaran-ajaran dan latihan-latihan daripada pemimpinnya dalam suatu
ikatan.

2. Objek Kajian
Gambaran tentang tareqat di atas secara tidak langsung menggambarkan
obyek kajian tareqat yang berpusat pada dua hal, yaitu metode atau jalan yang
harus ditempuh dalam upaya penyucian diri, di sini yang dikaji ialah praktek
tareqat, dan organisasi tareqat. Kemudian dikaji kata-kata kunci dalam dunia
1
Bakti, Hasan, Metodologi Studi Pemikiran Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), h.179-
180
2
Khoirul, Ahmad. Desember 2011. “Tarekat”. Jurnal Al-Ulum. Vol.11, No.2
tareqat, seperti mursyid, murid, zikir, suluk, dan sebagainya. Sebagian term-
term tersebut sudah dikaji dalam tasawuf, tetapi tareqat mengkajinya secara
metodis-praktis sekaligus, tidak hanya sekedar metodis saja. Hal ini sejalan
dengan hubungan tasawuf dengan tareqat sesuai ungkapan: “Jika tasawuf
ilmunya, maka tareqatlah caranya”.

3. Dasar-dasar
Tareqat, sebagai bagian dari tasawuf menggunakan semua dasar yang
digunakan tasawuf, yaitu al-Qur’an, hadist, dan praktek sahabat (atsar), dan
kemudian memperkayanya dalam bentuk yang teknis sesuai dirinya yang teknis.
Dasar-dasar tambahan tersebut ialah:

a. Al-Qur’an

Dalam arti kata (tareqat) ayat yang dijadikan dasar ialah surat Jin/72: 16,
yang berbunyi:

‫غ َدقًا‬
َ ‫َوأَ ْن لَ ِو ا ْستَقَا ُموا َعلَى الطَّ ِريقَ ِة أَل َ ْسقَ ْينَاهُ ْم َما ًء‬

Artinya : “Dan bahwasanya jika mereka tetap berjalan lurus(konsisten) di atas


jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada
mereka dengan air yang segar yang berlimpah-limpah (rezeki yang banyak).”
(Q.S. al-Jin/72:16)

Dalam ayat ini terdapat kata (teks) thariqat, selain dalan arti umum
sebagai agama Islam juga diartikan sebagai tareqat, sebagai empat rangkaian
ajaran tareqat, yaitu syari’at, tareqat, hakekat, makrifat. Oleh karena itu
memiliki pijakan secara tekstual.

Kemudian semua ajaran-ajaran tareqat didasarkan pada ayat-ayat


al-Qur’an, seperti praktek zikir. Praktek zikir ini didasarkan pada beberapa ayat
tentang zikir, sebagai berikut:

 Al-Qur’an surat al-Ahzab/33: 41, yang berbunyi:3

‫ين آ َمنُوا ْاذ ُكرُوا هَّللا َ ِذ ْكرًا َكثِيرًا‬


َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬

3
Bakti, Hasan, Metodologi Studi Pemikiran Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), h.181
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah kamu sekalian dengan
menyebut nama Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (Q.S. al-Ahzab/33: 41)

Dalam suatu tareqat, dzikir dilakukan secara terus menerus (istiqamah),


hal ini juga dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis (riyadlat al-nafsi),
agar seseorang dapat mengingat Allah pada setiap waktu dan kesempatan.
Seorang murid akan menjadi manusia sempurna dengan sebutan yang
bermacam-macam. Ada yang menyebutnya sebagai orang yang musyahadah
dan ihsan kepada Allah, atau seorang yang telah ‘arif bi Allah atau insan kamil.
Sedangkan Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah ‘ulu al-albab. Kriteria figur
ulu al-albab dapat dibaca di dalam surat Ali Imran ayat 191.

Zikir bagi kalangan tareqat memiliki tiga bentuk, yaitu :

a. Zikir dalam arti mengingat Allah, yaitu mengingat Allah di dalam hati.
b. Zikir dalam arti mengingatkan orang lain agar mengingat Allah dengan
menyebut asma-Nya secara jelas (kuat) seperti yang dilaksanakan oleh
tareqat Sammaniyah.
c. Zikir dalam arti menyebut asma Allah, seperti Allah, Lailaha Illa Allah,
dan sebagainya. Adapun cara menyebut itu ada secara perlahan-lahan,
seperti yang dilaksanakan oleh tareqat Naqsyabandiyah, dan ada yang
terang-terangan (kuat) seperti yang dilaksanakan oleh tareqat
Sammaniyah, dan sebagainya.

b. Hadits

Hadits juga menjadi landasan bagi tareqat. Sebagai bagian integral dari
tasawuf, maka landasan tasawuf dijadikan sebagai landasan tareqat dalam hal
ini terkait hadits, baik hadits qawli maupun fi’li.

Dalam hal praktek sufi dan tareqat yang hidup secara sederhana,
meninggalkan kesenangan dunia, dan lain-lain, yang menjadi landasan ialah
kehidupan sahabat yang menampilkan kesederhanaan tersebut. Ikutan kepada
sahabat ini mendapat dukungan dari hadits Nabi yang lain, seperti dijelaskan
pada ajian tentang dasar tasawuf di atas.4

Kemudian setiap ajaran-ajaran yang dikembangkan di kalangan tareqat


didasarkan pada hadits Nabi Muhammad Saw. Salah satu contohnya ialah

4
Bakti, Hasan, Metodologi Studi Pemikiran Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), h. 183
kegiatan zikir. Kegiatan ini, selain didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an, seperti
disebut di atas, juga oleh hadits-hadits Nabi, yaitu:

a. Hadits Riwayat Thabrani

“Barang siapa banyak dzikirnya kepada Allah, maka ia terbebaskan dari


penyakit nifaq” (H.R. Thabrani)

b. Hadits yang berbunyi

“Kalimat yang paling utama yang aku katakan dan dikatakan oleh para nabi
sebelumku adalah La ilaha illa Allah Mahdahu La Syarika lah”

c. Sabda Nabi yang berbunyi:

“Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Saya bertanya, wahai Rasulullah, siapakah


manusia yang paling bahagia menerima syafa’atmu?” Nabi menjawab: Wahai
Abu Hurairah, sungguh aku mengira, bahwa kaulah orang yang pertama kali
menanyakan hal ini kepadaku. Karena itu saya memahami keseriusanmu
terhadap pembicaraan tentang orang yang paling bahagia menerima
syafa’atku pada hari kiamat, yaitu “Orang yang mengucapkan La ilaha Allah
dengan ikhlas dari dalam hati dan jiwanya.” Al-Hadits.

d. Sabda Nabi yang berbunyi:

“Hari qiyamat tidak akan sampai terjadi di muka bumi ini, sampai tidak ada
orang yang mengucapkan Allah, Allah” (H.R. Muslim)

Seperti dasar bagi tasawuf, tareqat juga mendasari kegiatannya pada


hadits fi’li, yaitu praktek Nabi Muhammad Saw berkhalwat di gua Hira.

e. Atsar

Prakteks sahabat dalam bentuk atsar juga menjadi landasan tareqat,


seperti atsar yang dimaknai oleh tasawuf. Seperti dijelaskan di atas bahwa atsar
sahabat ini mendapat dukungan dari Nabi, seperti hadits yang dikutip tentang
landasan tasawuf.

4. Sejarah Kelahiran
Kelahiran tareqat memiliki sejarah tersendiri seiring dengan
perkembangan umat islam5. Sebagai perwujudan baru dari tasawuf,
5
Bakti, Hasan, Metodologi Studi Pemikiran Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), h.184
kelahirannya merupakan peralihan dari pengamalan tasawuf yang bersifat
individual kepada kelompok. Seperti tasawuf pengamalan itu merupakan respon
para ulama terhadap prikehidupan sebagian sahabat yang mulai mencintai dunia
sehingga melalaikan Tuhan. Reaksi terhadap fenomena tersebut muncullah
kelompok-kelompok (tha’ifah) yang berupaya mengingat Allah dengan berzikir
secara bersama-sama. Tha’ifah ini kemudian menjadi kelompok tersendiri
dengan jumlah yang lebih besar.

Kelompok ini terus mengadakan aktifitas zikir dan penyucian jiwanya,


sehingga memunculkan beberapa pengalaman spiritual (khibrah). Pengalaman
ini kemudian dilembagakan menjadi sebuah sistem ajaran, dan sistem ajaran
inilah kelak yang membedakan satu tareqat dengan yang lainnya.

Tareqat ini berkembang tidak terlepas dari peran murid dan sistem
pembinaan anggota. Seorang syekh tareqat dalam waktu tertentu akan melantik
pimpinan tareqat baru yang kemudian membuka lokasi persulukan yang baru
secara hirarkis, sehingga semakin lama semakin meluas dan berkembang.
Alumni tadi meninggalkan ribat gurunya dan membuka ribat baru didaerah
lain. Dengan cara ini, dari satu ribat induk kemudian timbul ribat cabang
tumbuh ribat ranting dan seterusnya, sampai tarekat itu berkembang keberbagai
dunia Islam.

Untuk menjaga peran pendiri awal tetap kuat, disusunlah daftar susunan
pimpinan tareqat (silsilah) sejak awal dan dijadikan sebagai salah satu
diterimanya sebuah tareqat dalam organisasi yang diakui (mu’tabarah).

Rumusan mu’tabarah ini kemudian penting, selain untuk menjaga


hierarki pimpinan tareqat juga sebagai dasar kaitan antar pengikut tareqat dai
berbagai susunan dan lapisan. Sekedar contoh tareqat Naqsyabandiyah Syekh
Abdul Wahab Rokan di Sumatera Utara ditempatkan pada hierarki ke 34, yaitu:6

1. Allah Swt
2. Jibril As
3. Nabi Muhammad Saw.
4. Abu Bakar Shiddiq
5. Salman al-Farisi
6. Qasim ibn Muhammad
7. Imam Ja’far al-Shiddiq

6
Bakti, Hasan, Metodologi Studi Pemikiran Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), h. 186
8. Abu Yazid al-Bustami
9. Abu Hasan Ali ibn Ja’far al-Kharqani
10. Abu ‘Ali al-Fadhl ibn Muhammad ibn Thusi al-Farmadi
11. Abu Ya’kub Yusuf al-Hamdani ibn Ayyub ibn Yusuf ibn Husein
12. Abu Khaliq al-Ghuzdawani ibn al-Imam Abdul Jamil
13. Arif al-Riyukuri
14. Mahmud al-Anjiru al-Faghnawi
15. ‘Ali al-Ramituni
16. Muhammad Baba al-Sammasi
17. ‘Amir Kulal ibn Sayyid Hamzah
18. Baha’ al-Din al-Naqsyabandi (pendiri tareqat Naqsyabandiyah)
19. Muhammad Bukhari
20. Ya’kub Yarkhi Hisari
21. ‘Abdullah Samarkandi
22. Muhammad Zahid
23. Muhammad Darwis
24. Khawajiki
25. Muhammad Baqi
26. Ahmad Faruqi
27. Muhammad Ma’sum
28. ‘Abdullah Hindi
29. Diyaa’ al-Haq
30. Ismail Jawi Minangkabawi
31. ‘Abdullah Afandi
32. Syekh Sulaiman
33. Syekh Sulaiman Zuhdi
34. Syekh ‘Abdul Wahab Rokan al-Khalidi al-Naqsyabandi.

Kemudian untuk menjaga solidaritas suatu kelompok setiap tahun


diadakan peringatan wafatnya sang pimpinan tareqat (mursyid, syekh) yang
disebut dengan Haul. Pada pertemuan tersebut diadakan berbagai rangkaian
acara, baik serimonial dengan melibatkan pihak di luar anggota tareqat maupun
wirid-wirid dalam bentuk ritual tersendiri yang dilakukan oleh anggota tareqat.
Sudah barang tentu kegiatan ini akan dapat membangun solidalitas sekaligus
penyegaran pembinaan rohani bagi semua anggota dari berbagai wilayah
bahkan bangsa tersebut.7

7
Bakti, Hasan, Metodologi Studi Pemikiran Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), h.187
5. Tujuan
Tujuan tareqat secara umum sama dengan tujuan tasawuf, yaitu
bagaimana agara seorang salik (pengamal tareqat) berada sedekat mungkin
dengan Allah Swt, sehingga seorang salik merasa senantiasa dalam pengawasan
Allah Swt yang dikenal di kalangan tareqat dan juga tasawuf dengan istilah
uraqabah.

Kondisi ini merupakan realisasi dari ihsan, sebagai salah satu inti ajaran
Islam bersama iman dan Islam. Jika iman ialah keyakinan akan keberadaan
Allah dengan segala yang tertuang dalam rukun iman yang enam, sedangkan
Islam ialah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-
Nya. Maka ihsan ialah sikap dalam beribadah yang seolah-olah berada dalam
pengawasan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam hadits yang berbunyi:

“Ihsan adalah apabila engkau beribadah pada Allah seolah-olah engkau


melihat-Nya, maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya ia
melihatmu” (H.R. Muslim)

Sikap ihsan dalam beribadah (shalat) ini diimplementasikan dalam


kehidupan sehari-hari dengan merasa senantiasa dalam pengawasan-Nya
(muraqabah). Secara lughawi, muraqabah berarti mengamat-amati atau
menantikan sesuatu dengan penuh perhatian. Tetapi dalam istilah tasawuf term
ini mempunyai arti: “Kesadaran seorang hamba yang terus menerus atas
pengawasan Tuhan terhadap semua keadaannya”. 8

8
Bakti, Hasan, Metodologi Studi Pemikiran Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), h.188

Anda mungkin juga menyukai