E. Indikasi
• Untuk pengobatan infeksi jamur seperti koksidioidomikosis, parakoksidoidomikosis,
aspergilosis, kromoblastomikosis dan kandidosis.
• Amfoterisin B merupakan obat terpilih untuk blastomikosis.
• Amfoterisin B secara topikal efektif terhadap keratitis mikotik.
• Mungkin efektif thdp maduromikosis (misetoma) & mukomikosis (fikomikosis)
• Secara topikal efektif thdp keratitis mikotik
• Penderita dg terapi amfoterisin B hrs dirawat di RS, utkpengamatan ketat ES
F. Kontra Indikasi
a. Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif / alergi
b. Gangguan fungsi ginjal
c. Ibu hamil dan menyusui
d. Pada pasien yang mengonsumsi obat antineoplastik
Infus amfoterisin B seringkali meninbulkan beberapa efek samping seperti kulit panas,
keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, hipotensi, lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis,
kejang dan penurunan fungsi ginjal. 50% pasien yang mendapat dosis awal secara iv akan
mengalami demam dan menggigil. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada penyuntikan
amfoterisin B tapi akan berkurang pada pemberian berikutnya. Reaksi ini dapat ditekan
dengan memberikan hidrokortison 25-50 mg dan dengan antipiretik serta antihistamin
sebelumnya. Flebitis dapat dikurangi dengan menambahkan heparin 1000 unit kedalam
infuse.
G. Farmakodinamik
Amfoterisin B bekerja dengan berikatan kuat dengan ergosterol (sterol dominan pada
fungi) yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel
bocor dan membentuk pori-pori yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari sel-sel
jamur merembas keluar sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan
mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel. Efek lain pada membran sel jamur yaitu
dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel jamur.
H. Farmakokinetik
Amfoterisin sedikit sekali diserap melalui saluran cerna. Suntikan yang dimulai dengan
dosis 1,5 mg/hari lalu ditingkatkan secara bertahap sampai dosis 0,4-0,6 mg/kgBB/hari
akan memberikan kadar puncak antara 0,5-2 µg/mL pada kadar mantap. Waktu paruh
obat ini kira-kira 24-48 jam pada dosis awal yang diikuti oleh eliminasifase kedua dengan
waktu paruh kira-kira 15 hari sehingga kadar mantapnya baru akan tercapai setelah
beberapa bulan pemakaian. Obat ini didistribusikan luas ke seluruh jaringan. Kira-kira
95% obat beredar dalam plasma, terikat pada lipoprotein. Kadar amfoterisin B dalam
cairan pleura, peritoneal, sinovial dan akuosa yang mengalami peradangan hanya kira-
kira2/3 dari kadar terendah dalam plasma. Amfoterisin b juga dapat menembus sawar uri,
sebagian kecil mencapai CSS, humor vitreus dan cairan amnion. Ekskresi melalui ginjal
sangat lambat, hanya 3% dari jumlah yang diberikan selam 24 jam sebelumnya
ditemukan dalam urine.
I. Dosis
* Dosis awal 1 mg selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 250 mikrogram/kg perhari,
dinaikan perlahan sampai 1 mg/kg perhari, pada infeksi berat dapat dinaikan sampai 1.5
mg/kg perhari.
Catatan: terapi diberikan dalam waktu yang cukup lama. Jika terapi sempat terhenti lebih
dari 7 hari maka dosis lanjutan diberikan mulai dari 250 mikrogram/kg perhari kemudian
dinaikan secara bertahap.
J. Sediaan
1. Sediaan – Serbuk lofilik mgn 50 mg, dilartkan dg aquadest 10 ml lalu ditmbh ke lar
dextroa 5% = kadar 0,1 mg/ml
2. Lar elektrolit, asam/ mgdg pengawet tdk boleh digunakan sbg pelarut mengendapkan
amfoterisin B
3. Untuk injeksi selalu dibuat baru
J. Interaksi Obat
1. Amikasin, siklosporin, Gentamisin, paromomycin, pentamidine, Streptomycin,
Vancomycin : meningkatkan risiko kerusakan ginjal.
2. Dexamethasone, Furosemide, hidroklorotiazide, Hydrocortisone, Prednisolone :
Meningkatkan risiko hipokalemia.
3. Digoxin : amphoterisin B meningkatkan risiko keracunan digoxin.
4. Fluconazole : melawan kerja amphoterisin B.
K. Aktivitas Obat
Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dansel matang. Aktivitas anti jamur
nyata pada pH 6,0-7,5: berkurang pada pH yang lebihrendah. Antibiotik ini bersifat
fungistatik atau fungisidal tergantung pada dosis dansensitivitas jamur yang dipengaruhi.
Dengan kadar 0,3-1,0 µg/mL antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma
capsulaium, Cryptococcus neoformans,Coccidioides immitis, dan beberapa spesies
Candida, Tondopsis glabrata,Rhodotorula, Blastomyces dermatitidis, Paracoccidioides
braziliensis, Beberapa spesies Aspergillus, Sporotrichum schenckii, Microsporum
audiouini dan spesiesTrichophyton. Secara in vitrobila rifampisin atau minosiklin
diberikan bersamaamfoterisin B terjadi sinergisme terhadap beberapa jamur tertentu.
L. Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur
sehingga membran sel bocor dan kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan
kerusakan yang tetap pada sel.
Salah satu penyebab efek toksik yang ditimbulkan disebabkan oleh pengikatan kolesterol
pada membran sel hewan dan manusia.
Resistensi terhadap amfoterisin B mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan
reseptor sterol pada membran sel.
M. Efek Samping
Demam, sakit kepala, mual, turun berat badan, muntah, lemas, diare, nyeri otot dan sendi,
kembung, nyeri ulu hati, gangguan ginjal (termasuk hipokalemia, hipomagnesemia,
kerusakan ginjal), kelainan darah, gangguan irama jantung, gangguan saraf tepi,
gangguan fungsi hati, nyeri dan memar pada tempat suntikan.
• Infus : kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri
otot, flebitis, kejang dan penurunan faal ginjal.
• 50% penderita yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam dan
menggigil.
• Flebitis (-) à menambahkan heparin 1000 unit ke dalam infus.
• Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai à pemberian kalium.
• Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan bersama
flusitosin.
DAFTAR PUSTAKA