Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu bidang yang penting dalam suatu Negara.
Melalui pendidikan transfer knowledge dapat berlangsung. Tidak hanya
sekedar pengetahuan, namun juga penanaman nilai, cita-cita dan budaya
suatu bangsa. Oleh karenanya pendidikan memegang peranan penting
dalam keberlangsungan suatu Negara.
Dalam mengatur agar pendidikan disuatu Negara dapat berlangsung
dengan baik dan mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan berbagai
kebijakan dalam dunia pendidikan perlu diambil oleh pemerintah Negara.
Kebijakan pendidikan dalam suatu Negara tergantung dari sistem
politik yang dianut sehingga setiap Negara mempunyai kebijakan-
kebijakan yang berbeda. Indonesia menganut sistem demokrasi
berdasarkan undang-undang. Kebijakan-kebijakan yang diputuskan juga
harus berdasarkan undang-undang.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan konsep kebijakan ?
2. Jelaskan yang dimaksud dengan konsep kebijakan pendidikan !
3. Apa yang dimaksud dengan kebijaksanaan dalam pendidikan ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep kebijakan.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep kebijakan
pendidikan.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijaksanaan dalam
pendidikan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Kebijakan

Kebijakan pendidikan yang dibuat haruslah bersifat bijaksana,


dalam arti tidak menimbulkan problematika pendidikan baru yang lebih
besar dan rumit jika dibandingkan dengan problema yang hendak
dipecahkan. Kebijakan pendidikan yang dibuat haruslah mendorong
produktivitas, kualitas, dan perikehidupan bersama dalam bidang
pendidikan secara efektif dan efisien.

Kebijakan merupakan istilah yang sering kali kita dengar dalam


konteks pemerintahan atau berpolitikan. Istilah kebijakan memiliki
cakupan yang sangat luas. Kata “policy” yang berarti mengurus masalah
atau kepentingan umum, atau berarti juga administrasi pemerintah.

Istilah kebijakan (Policy) sering kali dicampuradukkan dengan


kebijaksanan (wisdom). Kedua istilah ini memang hampir sama dari segi
pengucapan. Namun sebenarnya kedua istilah ini mempunyai makna
yang sangat jauh berbeda. Kebijakan didasari oleh pertimbangan akal
dalam proses pembuatannya. Akal manusia merupakan unsur yang
dominan di dalam mengambil keputusan dari berbagai opsi dalam
pengambilan keputusan kebijakan. Sedangkan kebijaksanaan lebih
terpengaruh faktor emosional dalam prosesnya. Suatu kebijaksanaan
bukan berarti tidak mengandung unsur-unsur rasional di dalamnya.
Barangkali faktor-faktor tersebut belum tercapai pada saat itu atau
merupakan intuisi.

Kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


sebagaimana dikutip dalam buku Administrasi Pendidikan Kontemporer
karya Syaiful Syagala diartikan sebagai kepandaian, kemahiran,
kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dasar dan
dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan dan cara
bertindak oleh pemerintah, organisasi dan sebagainya sebagai pernyataan
cita-cita, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen
dalam mencapai sasaran.

Berikut ini adalah definisi kebijakan menurut para ahli:

1. Pendapat Eaulau dan Prewitt dikutip oleh H.M. Hasbullah yang


menjelaskan bahwa Kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan
oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang
membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut.
2. Koontz dan O‟Donell dikutip oleh Syaiful Syagala mengemukakan
bahwa kebijakan adalah pernyataan atau pemahaman umum yang
mempedomani pemikiran dalam mengambil keputusan yang memiliki
esensi batas-batas tertentu dalam pengambilan keputusan.
Berbagai pendapat mengenai kebijakan di atas dapat diambil
kesimpulan secara garis besar bahwa kebijakan adalah kepandaian,
kemahiran, rangkaian konsep, dan asas yang menjadi garis besar dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan didasarkan pada
suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dari aturan yang ada dan
dikenakan seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima seperti
untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku karena suatu alasan
yang kuat.
B. Pengertian Konsep Kebijakan Pendidikan
Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan
ciri-ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya.Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia,konsep diartikan dengan gambaran mental
dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan
oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.Sedangkan di dalam Oxfort
Student’s Dictionary of English, concept is an adea; a basic prinsiple.Dari
uraian tersebut maka konsep dapat dipahami sebagai sebuah ide atau
gambaran umum tentang suatu hal.
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yg menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak (pemerintahan, organisasi, dsb);
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman
untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan.
Kebijakan (policy) dalam Oxfort Student’s Dictionary of
English,adalah a plan of action agreed or chosen by government ,a
company etc. Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan
formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan
tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat,. Kebijakan
akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota
masyarakat dalam berperilaku.
Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif.
Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan
lebih bersifat adaptif dan intepratatif, meskipun kebijakan juga mengatur
“apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan
dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik.
Kebijakan harus memberi peluang diintepretasikan sesuai kondisi spesifik
yang ada.
Dengan demikian kebijakan pendidikan disini dapat kita pahami
sebagai aturan-aturan tertulis yang diputuskan oleh pemerintah yang
berfungsi untuk mengatur dalam  bidang pendidikan atau berkaitan dengan
pendidikan.Jadi Konsep bebijakan pendidikan adalah gambaran umum
mengenai aturan-aturan tertulis yang diputuskan oleh pemerintah untuk
mengatur jalannya pendidikan agar tercapai tujuan pendidikan.
Contoh kebijakan adalah: (1) Undang-Undang, (2) Peraturan
Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati,
dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan di sini
adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh obyek kebijakan.
Contoh di atas juga memberi pengetahuan pada kita semua bahwa ruang
lingkup kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan mikro.
Tingkatan kebjiakan :
Terdapat tingkat-tingkat kebijakan pendidikan yang menunjukan
kepada level kebijakan tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, juga
menunjuk pada cakupannya, tingkatan pelaksanaan dan mereka yang
terlibat didalamnya. Ada empat tingkat kebijakan, yaitu :
1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)

Penentu tingkat kebijaksanaan nasional ini adalah Majelis


Permusyawaratan Rakyat. Kebijaksanaan yang berada pada level nasional
ini, disebut juga kebijaksanaan administratif.

2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)


Disebut sebagai kebijaksanaan eksekutif, oleh karena yang
menentukan adalah mereka yang berada pada posisi eksekutif. Yang
termasuk kedalam kebijaksanaan eksekutif ini adalah:
a) Undang-undang, karena undang-undang kekuasaan pembuatannya berada
di tangan presiden, meskipun juga dengan persetujuan DPR.
b) Peraturan pemerintah adalah kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka
mengoperasikan undang-undang, kekuasaan pembuatannya ada pada
presiden.
c) Keputusan dan instruksi presiden, yang berisi kebijaksanaan umum
penyelenggaraan pemerintah, yang kekuasaan pembuatannya ada di tangan
presiden.
3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)

Letak penentunya ada pada tangan Menteri dan merupakan


pembantu presiden selaku eksekutif, maka tingkat kebijaksanaan khusus
ini disebut kebijaksanaan eksekutif. Tingkat kebijaksanaan khusus ini
dibuat oleh Menteri dengan berdasarkan kebijaksanaanyang berada di
atasnya.
4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)
Disebut dengan kebijaksanaan operatif karena kebijaksanaan ini
merupakan pedoman pelaksanaan. Penentuan kebijaksanaan ini berada
pada eselon 2 ke bawah, seperti Direktorat Jenderal atau pimpinan
lembaga non departemental. Produk kebijaksanaan ini dapat berupa
peraturan, keputusan, dan instruksi pimpinan lembaga.
Berdasarkan technical policy levelinilah, Gubernur,
Kakanwil, Bupati, dan Kandep di masing-masing bidang
melaksanakan kebijaksanaan sesuai dengan faktor kondisional dan
situasional daerahnya. Dengan perkataan lain, faktor kondisional dan
situasional daerah yang kadang-kadang membedakan corak penerapan
kebijaksanaan yang berasal dari instansi atasnya. Yang dimaksud dengan
faktor kondisional dan situasional dapat berupa budaya, ekonomi, politik,
hankam, sosial, dan sumber daya yang dapat dikerahkan di daerah
tersebut. 
Secara garis besar di Indonesia,terdapat dua jenis kebijakan yaitu
yang bersifat sentralistik dan desentralistik.Kebijakan desentralistik adalah
langkah yang diambil untuk mensinkronkan  dengan kondisi di setiap
satuan pendidikan yang tidak sama.Salah satunya adalah melalui
MBS(Manajemen Berbasis Sekolah). Kebijakan ini setidaknya memiliki
empat dampak positif yang dapat dikemukakan yaitu: (1) peningkatan
mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4)
perluasan/pemerataan.
1) Peningkatan Mutu
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam
pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan
memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang
dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan
mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan,
tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain.
Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan
mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses
pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru,
kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang
lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan
gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik.
2) Efisiensi Keuangan
Desentralisasi dimaksudkan untuk menggali penerimaan tambahan
bagi kegiatan pendidikan. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan
sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional. Untuk itu,
perlu eksplorasi guna mencari cara-cara baru dalam membuat channelling
of fund.
3) Efisiensi Administrasi
Desentralisasi memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan
menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Kompleksitas birokrasi seperti
tercermin dalam penanganan pendidikan dasar, yang melibatkan tiga
institusi (Depdiknas, Depdagri, dan Depag), tak akan terjadi.
Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan
membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih
produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi.
4) Perluasan dan Pemerataan
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada
penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan
ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan
pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan
pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu
daerah yang selama ini belum terlayani.
Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi
daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi
SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah
lain yang miskin. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi
dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah
miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang.

C. Konsep Kebijakan Pendidikan Berdasarkan UUD 1945


Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut,
pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan. Maka pendidikan
yang baik akan menghasilkan individu-individu yang baik pula.
Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa
Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 diarahkan untuk
meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan kualitas sumber daya
manusia, mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, serta kepribadian yang mantap dan mandiri.
Tujuan ‘untuk mencerdaskan kehidupan bangsa’ yang tertuang di
dalam pembukaan UUD 1945 patut dipertanyakan. Pasalnya, kebijakan
pemerintah dibidang pendidikan tidak menggambarkan tujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut.Yang nampak dan menonjol dari
kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah adalah hanya mencerdaskan
kehidupan sebagian bangsa atau rakyat. Lebih tepat dikatakan kebijakan
pendidikan hanya untuk orang mampu dan berduit.
Salah satu amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah. Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada
masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang
semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia
tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Pasal-pasal yang bertalian dengan pendidikan dalam UUD 45 hanya
dua pasal, yaitu pasal 31 dan pasal 32. Pasal 31 ayat 1 berbunyi: Tiap-tiap
warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Ayat 2 pasal ini berbunyi:
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. Ayat 3 pasal ini berbunyi: Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional.
Pasal 32 UUD itu pada ayat 1 bermaksud memajukan budaya
nasional serta memberi kebebasan kepada masyarakat untuk
mengembangkannya dan ayat 2 menyatakan negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari budaya nasional. Pasal ini
berhubungan dengan pendidikan sebab pendidikan adalah bagian dari
kebudayaan.
Konsep pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar
1945 belum dapat terealisasi seutuhnya di masyarakat kita, walaupun
konsep yang diberikan sangat bagus dengan mengatasnamakan
kesejehteraan dalam pendidikan tetapi masih belum menjangkau
masyarakat yang berada di beberapa daerah.
D. Konsep Kebijakan Pendidikan Menurut UU No.20 Th 2003

Dalam perspektif teoritik, pendidikan seringkali diartikan dan


dimaknai orang secara beragam,  bergantung pada sudut pandang masing-
masing dan teori yang dipegangnya. Terjadinya perbedaan penafsiran
pendidikan dalam konteks akademik merupakan sesuatu yang lumrah,
bahkan dapat semakin memperkaya berfikir manusia dan bermanfaat untuk
pengembangan teori itu sendiri.

Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional, pendidikan dapat


dirumuskan secara jelas dan mudah  dipahami oleh semua pihak yang
terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat
mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik
pendidikan.

Untuk mengatahui definisi pendidikan dalam perspektif kebijakan,


kita telah memiliki rumusan formal dan   operasional, sebagaimana
termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yakni:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan


suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

1) Usaha sadar dan terencana.

Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana menunjukkan


bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan
secara matang (proses kerja intelektual).  Oleh karena itu, di setiap level
manapun,  kegiatan pendidikan harus  disadari dan direncanakan, baik
dalam tataran  nasional (makroskopik),  regional/provinsi dan kabupaten
kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) maupun 
operasional (proses pembelajaran  oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan dalam arti terbatas), 
pada dasarnya setiap kegiatan  pembelajaran pun harus direncanakan
terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI  No.
41 Tahun 2007.  Menurut Permediknas ini bahwa  perencanaan proses
pembelajaran meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar
kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian
kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber
belajar. 

2) Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta


didik aktif  mengembangkan potensi dirinya.

Pada pokok pikiran yang kedua ini adanya pengerucutan istilah


pendidikan menjadi pembelajaran.  Jika dilihat secara sepintas mungkin
seolah-olah pendidikan lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal
semata (persekolahan).  Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna
ini, pada pokok pikiran kedua ini, saya menangkap pesan bahwa
pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak
pengembangan (developmental) dan humanis, yaitu berusaha
mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan
yang bergaya behavioristik.  Selain itu, saya juga  melihat  ada dua
kegiatan (operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan  suasana 
belajar, dan (b) mewujudkan  proses pembelajaran.

a) Mewujudkan  suasana  belajar

Berbicara tentang  mewujudkan suasana pembelajaran, tidak dapat


dilepaskan dari upaya menciptakan lingkungan belajar,  diantaranya 
mencakup: (a)  lingkungan fisik, seperti: bangunan sekolah, ruang kelas,
ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK, taman
sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan (b) lingkungan sosio-psikologis
(iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kerja sama,
ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, kenyamanan, kebahagiaan dan
aspek-aspek sosio–emosional lainnya, yang memungkinkan peserta didik
untuk melakukan aktivitas belajar.

Baik lingkungan  fisik maupun lingkungan sosio-psikologis,


keduanya didesan agar peserta didik dapat secara aktif  mengembangkan
segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, di
sini tampak jelas bahwa keterampilan guru  dalam Mengelola Kelas
(classroom management) menjadi amat penting. Dan di sini pula, tampak
bahwa peran guru lebih diutamakan sebagai fasilitator  belajar siswa .

b) Mewujudkan  proses pembelajaran

Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih ditekankan


untuk menciptakan kondisi dan  pra kondisi  agar siswa belajar, sedangkan
proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya bagaimana
mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi siswa.

Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru, maka guru


dituntut  untuk dapat mengelola pembelajaran (learning management),
yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian  pembelajaran
(lihat  Permendiknas RI  No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses). Di
sini, guru lebih berperan sebagai agen pembelajaran (Lihat penjelasan PP
19 tahun 2005), tetapi dalam hal ini saya lebih suka menggunakan
istilah manajer pembelajaran, dimana guru bertindak  sebagai
seorang planner, organizer dan evaluator pembelajaran)

Sama seperti dalam mewujudkan suasana pembelajaran,  proses


pembelajaran pun seyogyanya  didesain agar peserta didik dapat secara
aktif  mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, dengan
mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-
centered) dalam bingkai model dan strategi  pembelajaran aktif (active
learning), ditopang oleh peran guru sebagai fasilitatos belajar. 
c) Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pokok pikiran yang ketiga ini, selain merupakan bagian dari definisi
pendidikan sekaligus  menggambarkan  pula  tujuan pendidikan nasional
kita. Di sana tertera tujuan yang berdimensi ke-Tuhan-an, pribadi, dan
sosial.Artinya, pendidikan yang dikehendaki bukanlah pendidikan sekuler,
bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula pendidikan sosialistik,
tetapi pendidikan yang mencari keseimbangan  diantara ketiga dimensi
tersebut.

Jika belakangan ini gencar disosialisasikan pendidikan karakter,


dengan melihat pokok pikiran yang ketiga  dari definisi pendidikan  ini 
maka sesungguhnya pendidikan karakter sudah implisit dalam pendidikan,
jadi bukanlah sesuatu yang baru.

Selanjutnya  tujuan-tujuan  tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-


tujuan pendidikan  di bawahnya (tujuan level messo dan mikro) dan
dioperasionalkan melalui tujuan  pembelajaran yang  dilaksanakan oleh
guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian tujuan – tujuan  pada
tataran operasional  memiliki arti yang strategis  bagi pencapaian tujuan
pendidikan nasional.

Berdasarkan  uraian di atas,  kita melihat bahwa dalam definisi


pendidikan yang  tertuang  dalam UU No. 20 Tahun 2003, tampaknya
tidak hanya sekedar menggambarkan apa pendidikan itu,  tetapi memiliki
makna dan implikasi yang luas tentang  siapa sesunguhnya pendidik itu,
siapa  peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya mendidik, dan apa
yang ingin dicapai oleh pendidikan.

Kebijakan pendidikan yang dibuat haruslah bersifat bijaksana, dalam


arti tidak menimbulkan problematika pendidikan baru yang lebih besar dan
rumit jika dibandingkan dengan problema yang hendak dipecahkan.
Kebijakan pendidikan yang dibuat haruslah mendorong produktivitas,
kualitas, dan perikehidupan bersama dalam bidang pendidikan secara
efektif dan efisien.

Syaiful Syagala mengemukakan dalam bukunya yang berjudul


“Administrasi Pendidikan Kontemporer” bahwa secara umum terdapat
pendekatan yang digunakan dalam pembuatan kebijakan adalah sebagai
berikut:

1. Pendekatan Empirik (Empirical Approach)

Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai


sebab dan akibat dari suatu kebijakan tertentu dalam bidang pendidikan
yang bersifat faktual dan macam informasi yang dihasilkan bersifat
deskriptif dan prediktif. Analisa kebijakan secara empirik diharapkan akan
menghasilkan dan memindahkan informasi penting mengenai nilai-nilai,
fakta-fakta, dan tindakan pendidikan.

2. Pendekatan Evaluatif (Evaluatif Approach)

Evaluasi menurut Imron adalah “salah satu aktivitas yang bermaksud


mengetahui seberapa jauh suatu kegiatan itu dapat dilaksanakan ataukah
tidak, berhasil sesuai yang diharapkan atau tidak”. Penekanan pendekatan
evaluatif ini terutama pada penentuan bobot atau manfaatnya (nilai)
beberapa kebijakan menghasilkan informasi yang bersifat evaluatif.

Evaluasi terhadap kebijakan membantu menjawab pertanyaan-


pertanyaan evaluatif yaitu bagaimana nilai suatu kebijakan dan menurut
nilai yang mana kebijakan itu ditentukan. Evaluasi kebijakan organisasi
merupakan aktivitas untuk mengetahui seberapa jauh kebijakan benar-
benar dapat diterapkan dan dilaksanakan serta seberapa besar dapat
memberikan dampak nyata memenuhi harapan terhadap khalayak sesuai
yang direncanakan.
Proses pembuatan kebijakan (policy making process) merupakan
proses politik yang berlangsung dalam tahap-tahap pembuatan kebijakan
politik, dimana aktivitas politis ini dijelaskan sebagai proses pembuatan
kebijakan, dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling
bergantung sama lainnya diatur menurut urutan waktu, seperti:
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan penilaian kebijakan.

Sebuah kebijakan akan mudah dipahami apabila dikaji tahap demi


tahap tersebut dan menjadikan kebijakan yang bersifat publik akan selalu
penuh warna serta kajiannya sangat dinamis. Tahap dalam proses
pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut:

a) Penyusunan agenda (Agenda Setting)

Penyusunan agenda kebijakan adalah langkah pertama yang sangat


penting dalam pembuatan kebijakan. Tahapan ini merupakan langkah
kunci yang harus dilalui sebelum isu kebijakan diangkat dalam agenda
kebijakan pemerintah dan akhirnya menjadi suatu kebijakan. Penyusunan
agenda adalah sebuah fase dan proses yang strayegis dalam realitas
kebijakan publik. Proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang
disebut sebagai masalah publik. Top leader menyiapkan rancangan
undang-undang dan mengirimkan ke staf untuk dibicarakan atau
dimusyawarahkan

b) Formulasi kebijakan Tahapan formulasi kebijakan merupakan mekanisme


sesungguhnya untuk memecahkan masalah publik yang telah menjadi
agenda pemerintah. Tahapan ini lebih bersifat teknis, dibandingkan dengan
tahapan penyusunan agenda yang lebih bersifat politis, dengan
menerapkan berbagai teknik analisis untuk membuat keputusan yang baik.

Model-model ekonomi dan teori pengambilan keputusan merupan


analisis ang berguna untuk mengambil keputusan yang terbaik dan
meminimalkan resiko kegagalan. Beberapa kegiatan yang perlu
diperhatikan dalam membuat kebijakan yang baik, yaitu: (1) rumusan
kebijakan pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau hanya
menciptakan lingkungan tertentu, (2) rumusan kebijakan dapat
dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara
berulang.

E. Kebijakan Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan 


Pendidikan adalah hal penting yang terdapat pada suatu negara
sehingga pemerintah perlu untuk merumuskan kebijakan yang mendukung
berlangsungnya pendidikan. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 di alinea ke empat dinyatakan bahwa Bangsa Indonesia bercita-cita
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal ini selanjutnya di dukung dengan pasal 31 ayat 1 dalam Undang-
undang Dasar 1945 yang memberikan hak bagi setiap warga negara untuk
memperoleh pendidikan. Dalam ayat-ayat selanjutnya dinyatakan; 
1) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya 
2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional,yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang. 
3) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran dan pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
penyelenggaraan pendidikan nasional  
Sejalan dengan ayat kedua diatas,secara umum pendidikan nasional
Indonesia diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20
Tahun 2003.Didalamnya diatur mengenai dasar,fungsi dan tujuan,prinsip
penyelenggaraan pendidikan,hak dan kewajiban warga negara ,orang
tua,masyarakat dan pemerintah , peserta didik, jalur jenis jenjang
pendidikan,bahasa pengantar,wajib belajar,standar nasional
pendidikan,kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan,sarana dan
prasarana pendidikan, pendanaan, pengelolaan, peran serta masyarakat,
evaluasi, akreditasi dan sertifikasi, pendirian satuan pendidikan,
penyelenggaraan pendidikan oleh negara lain, pengawasan dan ketentuan
pidana. 
Ketentuan tentang beberapa hal dalam undang-undang sistem
pendidikan nasional tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan
pemerintah. Misalnya; 
a) Wajib Belajar 
Ketentuan tentang wajib belajar diatur dalam PP No 47 Tahun
2008.Dalam peraturan pemerintah ini diatur tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan wajib belajar seperti fungsi dan tujuannya,
penyelenggaraan,pengelolaan dan pengawasan.
Penyelenggaraan program wajib belajar dilakukan oleh
pemerintah,pemerintah daerah dan masyarakat.Pemerintah daerah dapat
mengatur lebih lanjut pelaksanaan program wajib agar sesuai dengan
kondisi daerah masing-masing melalui peraturan daerah. 
b) Standar Nasional Pendidikan 
Standar Nasional Pendidikan diatur dalam PP No 19 Tahun
2005.Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh Indonesia. Didalamnya dimuat delapan standar
nasional dalam pendidikan mencakup :
1. Standar kompetensi lulusan
Yakni kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap,pengetahuan dan keterampilan.Standar ini digunakan sebgai
pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan
pendidikan. 

2. Standar isi
Yakni mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk
mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan
tertentu.Didalamnya memuat struktur kurikulum,beban belajar,kurikulum
tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan. 
3. Standar proses
Yakni yang berkenaan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu
satuan pendidikanPembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan
secara interaktif ,inspiratif,menyenangkan,menantang memotivasi peserta
didika untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup
untuk kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat ,minat dan
perkembangan fisik dan psikologis peserta didik.
Disamping itu dalam proses pembelajaran, pendidik juga perlu
memberikan keteladanan.Setiap satuan pendidikan melakukan
perencanaan,pelaksanaan,penilaian dan pengawasan pembelajaran untuk
terlaksananya pembelajaran yang efektif. Tentang standar
perencanaan,pelaksanaan,penilaian dan pengawasan pembelajaran
ditetapkan dengan peraturan menteri.Seperti peraturan menteri No.41
tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan
menengah serta peraturan menteri No. 1 tahun 2008 tentang standar proses
pendidikan khusus. 
4. Standar pendidik dan tenaga kependidikan
Yakni yang berkaitan dengan kelayakan baik dari segi fisik maupun
mental.Pendidik harus mempunyai kualifikasi akademik dan kompetensi
sebagai agen pembelajaran(kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan
kepribadian), sehat jasmani dan memiliki  kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
Dengan mengingat pentingnya peran dan fungsi guru dalam
pendidikan,DPR bersama Pemerintah membuat undang-undang No 14
tahun 2005.Kemudian khusus tentang guru diatur lebih lanjut dalam PP
No 74 Tahun 2008. 
5. Standar sarana dan prasarana
Yakni berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar dan
berbagai tempat yang menunjang proses pembelajaran termasuk teknologi
informasi dan komunikasi. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki
prasarana yang lahan, ruang kelas, ruang pimpinan, ruang pendidik, ruang
tata usaha, perpustakaan, laboratorium, tempat ibadah dan lain-lain yang
menunjang proses pembelajaran secara teratus dan berkelanjutan. Tentang
standar sarana dan prasarana untuk sekolah dasar dan menengah,diatur
dalam permen no 24 tahun 2007. 
6. Standar pengelolaan
Yakni berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
agar tecapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Pada
satuan pendidikan dasar dan menengah menggunakan manajemen berbasis
sekolah (MBS). Sedangkan pendidikan tinggi diberikan otonomi sesuai
kewenangan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. 
7. Standar pembiayaan
Yakni yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasional
satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun Pembiayaan pendidikan
terdiri atas biaya investasi (penyediaan sarana prasarana, pengembangan
SDM dan modal kerja tetap), biaya personal (biaya pendidikan peserta
didik) dan biaya operasional (gaji pendidik, bahan dan peralatan habis
pakai, biaya operasi pendidikan tidak langsung) .
8. Standar penilaian
Yakni yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur dan instrument. 

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Konsep kebijakan pendidikan adalah gambaran umum mengenai


aturan-aturan tertulis yang diputuskan oleh pemerintah untuk mengatur
jalannya pendidikan agar tercapainya tujuan pendidikan. Perbedaan antara
kebijaksanaan dan kebijakan bahwa kebijaksanaan adalah aturan-aturan
yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat kepada
siapapun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut.

Sedangkan kebijakan atau wisdom adalah suatu ketentuan dari


pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan kepada
seseorang karena adanya alas an yang dapat diterima untuk tidak
memberlakukan aturan yang berlaku. Guna meningkatkan kebijakan
pendidikan memiliki karakteristik yang khusus yakni memiliki tujuan
pendidikan, memenuhi aspek legal-formal, dll.

DAFTAR PUSTAKA
H.M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan (Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan
Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia), (Jakarta: Rajawali Pers,
2015), hlm. 37

H.A.R Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan : Pengantar Untuk


Memahami Kebijakan Pendidikan dan kebijakan Pendidikan Sebagai
Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 16

Nanang Fatah, Analisis Kebijakan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya,


2013),hlm. 135 5H.M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan (Dalam
Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di
Indonesia),,, hlm. 37

[ Online ]. Tersedia dalam : http://immstitwates.blogspot.com/2014/04/konsep-


kebijakan-pendidikan.html?m=1 [ Diakses pada tanggal 21 Februari
2020 ]
[Online]. Tersedia dalam : http://pend-
antropologi09.blogspot.com/2011/11/konsep-pendidikan-berdasarkan-
uud-1945.html?m=1 [ Diakses pada tanggal 21 Februari 2020 ]
[ Online ]. Tersedia dalam : https://bulelengkab.go.id/detail/artikel/definisi-
pendidikan-menurut-uu-no-20-th-2003-79 [ Diakses pada tanggal 21
Februari 2020]

Anda mungkin juga menyukai