Home
Home
penjajahan sejarah
Pada tahun 1522, pihak Portugis siap membentuk koalisi dengan Sunda untuk
memperoleh akses perdagangan lada yang menguntungkan. Tahun tersebut
bertepatan dengan diselesaikan penjelajahan dunia oleh Magellan.
Komandan benteng Malaka pada saat itu adalah Jorge de Albuquerque. Tahun itu pula
dia mengirim sebuah kapal, São Sebastião, di bawah komandan Kapten Enrique Leme,
ke Sunda Kalapa disertai dengan barang-barang berharga untuk dipersembahkan
kepada raja Sunda. Dua sumber tertulis menggambarkan akhir dari perjanjian
tersebut secara terperinci. Yang pertama adalah dokumen asli Portugis yang berasal
dari tahun 1522 yang berisi naskah perjanjian dan tandatangan para saksi, dan yang
kedua adalah laporan kejadian yang disampaikan oleh João de Barros dalam bukunya
"Da Asia", yang dicetak tidak lama sebelum tahun 1777/78.
Menurut sumber-sumber sejarah ini, raja Sunda menyambut hangat kedatangan orang
Portugis. Saat itu Prabu Surawisesa telah naik tahta menggantikan ayahandanya dan
Barros memanggilnya "raja Samio". Raja Sunda sepakat dengan perjanjian
persahabatan dengan raja Portugal dan memutuskan untuk memberikan tanah di
mulut Ciliwung sebagai tempat berlabuh kapal-kapal Portugis. Selain itu, raja Sunda
berjanji jika pembangunan benteng sudah dimulai maka beliau akan menyumbangkan
seribu karung lada kepada Portugis. Dokumen kontrak tersebut dibuat rangkap dua,
satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal; keduanya
ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522.
Pada dokumen perjanjian, saksi dari Kerajaan Sunda adalah Padam Tumungo,
Samgydepaty, e outre Benegar e easy o xabandar, maksudnya adalah "Yang Dipertuan
Tumenggung, Sang Adipati, Bendahara dan Syahbandar Sunda Kelapa". Saksi dari pihak
Portugis, seperti dilaporkan sejarawan Porto bernama João de Barros, ada delapan
orang. Saksi dari Kerajaan Sunda tidak menandatangani dokumen, mereka
melegalisasinya dengan adat istiadat melalui "selamatan". Sekarang, satu salinan
perjanjian ini tersimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Portugis gagal untuk memenuhi janjinya untuk kembali ke Sunda Kalapa pada tahun
berikutnya untuk membangun benteng dikarenakan adanya masalah di Goa/India.
Perjanjian inilah yang memicu serangan tentara Kesultanan Demak ke Sunda Kelapa
pada tahun 1527 dan berhasil mengusir orang Portugis dari Sunda Kelapa pada tanggal
22 Juni 1527. Tanggal ini di kemudian hari dijadikan hari berdirinya Jakarta.
Gagal menguasai pulau Jawa, bangsa Portugis mengalihkan perhatian ke arah timur
yaitu ke Maluku. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan para pemimpin
lokal, bangsa Portugis mendirikan pelabuhan dagang, benteng, dan misi-misi di
Indonesia bagian timur termasuk pulau-pulau Ternate, Ambon, dan Solor. Namun
demikian, minat kegiatan misionaris bangsa Portugis terjadi pada pertengahan abad
ke-16, setelah usaha penaklukan militer di kepulauan ini berhenti dan minat mereka
beralih kepada Jepang, Makao dan Cina; serta gula di Brazil.
Kehadiran Portugis di Indonesia terbatas pada Solor, Flores dan Timor Portugis setelah
mereka mengalami kekalahan dalam tahun 1575 di Ternate, dan setelah penaklukan
Belanda atas Ambon, Maluku Utara dan Banda.[4] Pengaruh Portugis terhadap budaya
Indonesia relatif kecil: sejumlah nama marga Portugis pada masyarakat keturunan
Portugis di Tugu, Jakarta Utara, musik keroncong, dan nama keluarga di Indonesia
bagian timur seperti da Costa, Dias, de Fretes, Gonsalves, Queljo, dll. Dalam bahasa
Indonesia juga terdapat sejumlah kata pinjaman dari bahasa Portugis, seperti sinyo,
nona, kemeja, jendela, sabun, keju, dll.