Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Organizational Citizenship Behavior


Sebelum istilah OCB di beperkenalkan oleg Organ pada tahun 1980-an.
Sebelumnya Barnard dalam bukunya The Function of the Executive , OCB
memiliki istilah ” willingness to coorperate” atau dapat disebut kerelaan
bekerja (Organ, Podsakoff, MacKenzie,2006). OCB didefinisikan sebagai
“perilaku individu yang discretionary, yang tidak secara langsung atau
eksplisit termasuk dalam sistem imbalan, dan secara keseluruhan akan
meningkatkan efektivitas fungsi organisasi (Organ, 1988). Pada tahun 1997,
Organ meredifinisi OCB sebagai “kontribusi terhadap pemeliharaan dan
peningkatan konteks sosial dan psikologi yang mendukung kinerja tugas.
Menurut Organ, Podsakoff, dan MacKenzie (2006) dapat diartikan sebagai
sebuah perilaku inisiatif dan perilaku karyawan secara tidak langsung diakui
dalam pemberin penghargaan namun dapat meningkatkan efektivitas fungsi
organisasi. Perilaku inisitaif yang dilakukan oleh karyawan merupakan pilihan
pribadi, sehingga tidak terkait dengan hukuman atau penghargaan resmi dari
organisasi. Sama pada definisi Organ dll (2006), Kusumajati (2014)
berpendapat OCB juga sebagai perilaku dan sikap yang menguntungkan
organisasi yang tidak bisa ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal
maupun dengan bentuk kontrak atau rekompensasi.
Menurut Aldag & Reckhe (dalam Fitriastuti, 2013) OVB merupakan
kontribusi individu yang melebihi tuntutan peran di tempat kerja. OCB ini
melibatkan beberapa perilakau menolong orang lain, menjadi sukarelawan
(volunteer) untuk tugas ekstra, patuh terhadap aturan dan prosedur tempat
kerja. Perilaku ini menggambarkan “nilai tambah karyawan” yang merupakan
salah satu bentuk prilaku prososial, yaitu perilaku positif, konstruktif, dan
bermakna membantu.
B. Dimensi Organizational Citizenship Behavior
Menurut Organ, Podsakoff, dan MacKenzie (Organ et al, 2006). OCB
terdiri dari lima dimensi, meliputi :
1. Altruism
Altruism merupakan perilaku karyawan dalam membantu rekan
kerjanya yang mengalami masalah dalam situasi yang sedang dihadapi
baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang
lain. altruism mengacu pada perhatian tanpa pamrih pada kesejahteraan
rekan kerja yang kemudian akan memberikan kontribusi bagi efesiensi
perusahaan. Contoh altruism adalah bersedia meluangkan waktu
pribadi untuk membantu rekan kerja terkait pekerjaan.
2. Conscientiousness
Conscientiousness merupakan perilaku sukarela dari karyawan
yang melebihi persyaratan peran minimum yang diharapkan oleh
perusahaan. Selain itu, conscientiousness merupakan sifat telaten dan
hati-hati dari karyawan dengan menunjukkan kualitas tindakan yang
sesuai dengan keinginan hati nurani. Conscientiousness mengacu pada
perilaku yang menguntungkan bagi organisasi bukan individu atau
kelompok secara spesifik. Contoh dari perilaku ini adalah efisien
dalam menggunakan waktu, disiplin, dan berpikir dengan hati-hati
sebelum bertindak.
3. Sportsmanship
Sportsmanship adalah perilaku yang memberikan toleransi pada
ketidaknyamanan dan situasi yang kurang ideal dalam organisasi tanpa
mengajukan keberatan dan keluhan yang berlebihan. Sportsmanship
mengekspresikan aspirasi atau etos bahwa karyawan menikmati
keadaan dan kegiatan dalam organisasi. Perilaku ini mengacu pada
perilaku yang menekankan aspek positif dari perusahaan daripada
aspek-aspek negatifnya. Karyawan yang memiliki tingkatan dimensi
sportsmanship yang tinggi cenderung menjaga pola pikir agar tetap
positif dan mampu menerima kritik. Selain itu, karyawan juga akan
meningkatkan iklim positif diantara karyawan sehingga karyawan
cenderung bersikap sopan dan mampu bekerja sama dengan rekan
kerjanya dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih
menyenangkan.
4. Courtesy
Courtesy merupakan perilaku yang dipilih secara bebas oleh
karyawan dalam menjaga hubungan baik dengan karyawan lain untuk
mencegah munculnya masalah yang berkaitan dengan pekerjaan.
Menjaga hubungan baik dengan rekan kerja agar terhindar dari
masalah-masalah interpersonal. Contoh courtesy adalah memberikan
solusi kepada rekan kerja sebelum melakukan tindakan yang akan
mempengaruhinya, tidak melanggar hak rekan kerja, dan mengambil
langkah untuk mencegah terjadinya masalah dengan rekan kerja.
5. Civic Virtue
Civic Virtue merupakan perilaku yang mengindikasikan tanggung
jawab untuk berpartisipasi dan prihatin terhadap kehidupan organisasi.
Contoh civic virtue adalah menghadiri rapat, menjaga kesamaan cara
pandang dari keputusan dan isu-isu organisasi, mengemukakan
pendapat, mengikuti perubahan organisasi dan mengambil inisiatif
untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur
organisasi yang perlu diperbaiki serta melindungi sumber-sumber yang
dimiliki oleh organisasi. Aspek ini mengarahkan pada tanggung jawab
yang diberikan organisasi kepada karyawan untuk meningkatkan
kualitas bidang pekerjaan yang ditekuninya.
C. Faktor-Faktor Organizational Citizenship Behavior
Menurut Kusumajati (2014) Faktor-faktor yang memengaruhi munculnya
OCB adalah budaya dan iklim, kepribadian dan suasana hati, dukungan
organisasional, kualitas interaksi atasan dan bawahan, masa kerja, dan jenis
kelamin.
1. Budaya dan iklim organisasi
Menurut Konovsky dan Pugh (dalam Kusumajati,2014)
menggunakan teori pertukaran sosial untuk berpendapat bahwa ketika
karyawan telah puas terhadap pekerjaannya, mereka akan
membalasnya. Pembalasan dari karyawan tersebut termasuk perasaan
memiliki yang kuat terhadap organisasi dan perilaku seperti
organizational citizenship.
2. Kepribadian dan suasana hati
Menurut Elanain (dalam Kusumajati, 2014), kepribadian individu
memainkan peran penting dalam perilaku kerja. Selanjutnya, hasil dari
studi ini mempunyai implikasi praktis yang penting dalam proses
seleksi karyawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan
terhadap pengalaman, kesadaran, dan stabilitas emosional merupakan
ciri-ciri kepribadian yang paling penting dalam memprediksi OCB.
Oleh karena itu, penelitian ini menunjukkan bahwa proses seleksi
karyawan untuk mendapatkan target pelamar memiliki kepibadian
yang baik sehingga dapat meningkatkan staf OCB. Selain itu menurut
Purba dan Seniati (dalam Kusumajati,2014), kepribadian memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap OCB. Peneliti melihat dari sisi
budaya karyawan Indonesia yang menjunjung tinggi nilai. Dapat
dikatakan bahwa makin terikat karyawan tersebut secara emosional
dengan perusahaan, maka makin cenderung ia membantu rekan kerja
dan atasan dalam hal penyelesaian tugas, pencegahan masalah dalam
bekerja, dan pemberian semangat dan penguatan, serta makin
cenderung karyawan membantu organisasi secara keseluruhan, dengan
cara menoleransi situasi yang kurang ideal dalam bekerja, peduli pada
kelangsungan hidup perusahaan, dan patuh pada peraturan dan tata
tertib perusahaan.
3. Dukungan organisasional
Studi Shore dan Wayne (dalam Kusumajati,2014) menemukan
bahwa persepsi terhadap dukungan organisasional (Perceived
Organizational Support/POS) dapat menjadi prediktor Organizational
Citizenship Behavior (OCB). Pekerja yang merasa bahwa mereka
didukung organisasi akan memberikan umpan balik (feedback) dan
menurunkan ketidakseimbangan dalam hubungan tersebut dengan
terlibat dalam perilaku citizenship.
4. Kualitas interaksi atasan dan bawahan
Menurut Novaldi (dalam Kusumajati, 2014) Persepsi terhadap
kualitas interaksi atasan-bawahan merupakan faktor yang
menyebabkan organizational citizenship behavior karyawan. Makin
tinggi persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan, maka
makin tinggi organizational citizenship behavior karyawan. Faktor
kesediaan atasan menggunakan otoritasnya untuk membantu bawahan
memecahkan masalah yang dihadapi bawahan memecahkan masalah
yang dihadapi merupakan faktor paling dominan dalam mempengaruhi
OCB. Menurut Wayne, Shore, dan Leden (dalam Kusumajati,2014),
karyawan yang memiliki kualitas interaksi yang tinggi dengan
atasannya dapat mengerjakan pekerjaan selain yang biasa mereka
lakukan. Sedangkan karyawan yang memiliki kualitas interaksi yang
rendah dengan atasannya lebih cenderung menujukkan pekerjaan yang
rutin saja dari sebuah kelompok kerja.
5. Masa kerja
Sommer, Bae, dan Luthans (dalam Kusumajati, 2014)
mengemukakan masa kerja dapat berfungsi sebagai prediktor OCB
karena variable-variabel tersebut mewakili “pengukuran” terhadap
“investasi” karyawan di organisasi
6. Jenis kelamin
Morrison (dalam Kusumajati,2014) membuktikan bahwa ada
perbedaan persepsi terhadap OCB antara pria dan wanita. Menurut
Diefenforff, Brown, Kamin, & Lord (dalam Kusumajati,2014) Wanita
menganggap OCB merupakan bagian dari perilaku in-role mereka
dibanding pria. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa wanita
cenderung menginternalisasi harapan-harapan kelompok, rasa
kebersamaan, dan aktivitas-aktivitas menolong sebagai bagian dari
pekerjaan mereka.

Anda mungkin juga menyukai