Anda di halaman 1dari 8

NAWACITA

Kementerian Kesehatan berperan serta dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui agenda
prioritas Kabinet Kerja atau yang dikenal dengan Nawa Cita, sebagai berikut:

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada
seluruh warga Negara.
2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
demokratis dan terpercaya.
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka
negara kesatuan.
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, bermartabat dan terpercaya.
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
6. Meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional.
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
8. Melakukan revolusi karakter bangsa.
9. Memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
VISI
Visi misi Kementerian Kesehatan mengikuti visi misi Presiden Republik Indonesia yaitu Terwujudnya Indonesia
yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong. Visi tersebut diwujudkan dengan 7
(tujuh) misi pembangunan yaitu:

1. Terwujudnya keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian
ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia
sebagai negara kepulauan.
2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan negara hukum.
3. Mewujudkan politik luar negeri bebas dan aktif serta memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
4. Mewujudkan kualitas hidup manusia lndonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.
5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan
kepentingan nasional, serta
7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
NILAI-NILAI

Pro Rakyat
Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan selalu mendahulukan
kepentingan rakyat dan harus menghasilkan yang terbaik untuk rakyat. Diperolehnya derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku,
golongan, agama dan status sosial ekonomi.

Inklusif
Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak, karena pembangunan kesehatan
tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja. Dengan demikian, seluruh komponen
masyarakat harus berpartisipasi aktif, yang meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat
pengusaha, masyarakat madani dan masyarakat akar rumput.

Responsif
Program kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat, serta tanggap dalam mengatasi
permasalahan di daerah, situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor ini
menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda, sehingga diperlukan
penangnganan yang berbeda pula.

Efektif
Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan dan bersifat
efisien.

Bersih
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), transparan,
dan akuntabel.

Kementerian Kesehatan RI mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.

Berdasarkan Permenkes 64 Tahun 2016, pasal 3 dalam melaksanakan tugas, Kementerian Kesehatan RI
menyelenggarakan fungsi :

1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan
pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, dan kefarmasian dan alat kesehatan;
2. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh
unsur organsisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan;
3. pengelolaan barang milik negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan;
4. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan;
5. pelaksanaan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia di bidang kesehatan serta
pengelolaan tenaga kesehatan;
6. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di
daerah;
7. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan;
8. pelaksanaan dukungan substansif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian
Kesehatan;

Sekretariat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan
pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan.

Berdasarkan Permenkes 64 Tahun 2015, pasal 7 dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas,
Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi :

1. koordinasi kegiatan Kementerian Kesehatan;


2. koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran Kementerian Kesehatan;
3. pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang meliputi ketatausahaan, kepegawaian,
keuangan, kerumahtanggaan, kerja sama, hubungan masyarakat, arsip, dan dokumentasi Kementerian
Kesehatan;
4. pembinaan dan penataan organisasi dan tata laksana;
5. koordinasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan serta pelaksanaan advokasi hukum;
6. penyelenggaraan pengelolaan barang milik negara dan layanan pengadaan barang/jasa;
7. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan di
bidang kesehatan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Permenkes 64 Tahun 2015, pasal 136 dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 135, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat menyelenggarakan fungsi :

1. perumusan kebijakan di bidang peningkatan kesehatan keluarga, kesehatan lingkungan, kesehatan


kerja dan olahraga, gizi masyarakat, serta promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat;
2. pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan kesehatan keluarga , kesehatan lingkungan, kesehatan
kerja dan olahraga, gizi masyarakat, serta promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat;
3. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang peningkatan kesehatan keluarga,
kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dan olahraga, gizi masyarakat, serta promosi kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat;
4. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan kesehatan keluarga , kesehatan
lingkungan, kesehatan kerja dan olahraga, gizi masyarakat, serta promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat;
5. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang peningkatan kesehatan keluarga , kesehatan
lingkungan, kesehatan kerja dan olahraga, gizi masyarakat, serta promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat;
6. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat; dan
7. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit mempunyai tugas merumuskan serta
melaksanakan kebijakan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Permenkes 64 Tahun 2015, pasal 263 dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 262, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menyelenggarakan fungsi:

1. perumusan kebijakan di bidang surveilans epidemiologi dan karantina, pencegahan dan pengendalian
penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya
kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
2. pelaksanaan kebijakan di bidang surveilans epidemiologi dan karantina, pencegahan dan
pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular,
serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
3. penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang surveilans epidemiologi dan karantina,
pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan penyakit
tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
4. pelaksanaan administrasi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; dan
5. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan Menteri.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan di
bidang pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Permenkes 64 Tahun 2015, pasal 394 dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 393, Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan menyelenggarakan fungsi :
1. perumusan kebijakan di bidang peningkatan pelayanan, fasilitas, dan mutu pelayanan kesehatan
primer, rujukan, tradisional, dan komplementer;
2. pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan pelayanan, fasilitas, dan mutu pelayanan kesehatan
primer rujukan, tradisional, dan komplementer;
3. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang peningkatan pelayanan, fasilitas, dan
mutu pelayanan kesehatan primer rujukan, tradisional, dan komplementer;
4. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan pelayanan, fasilitas, dan mutu
pelayanan kesehatan primer rujukan, tradisional, dan komplementer;
5. pelaksanaan evaluasi, dan pelaporan di bidang peningkatan pelayanan, fasilitas, dan mutu pelayanan
kesehatan primer rujukan, tradisional, dan komplementer;
6. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan; dan
7. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia dari tahun ke tahun meningkat, walaupun saat ini Indonesia masih
berada pada ranking 108 dari 187 negara di dunia. Pembangunan manusia pada dasarnya adalah upaya
untuk memanusiakan manusia kembali. Adapun upaya yang dapat ditempuh harus dipusatkan pada seluruh
proses kehidupan manusia itu sendiri, mulai dari bayi dengan pemberian ASI dan imunisasi hingga lanjut usia,
dengan memberikan jaminan sosial. Kebutuhan-kebutuhan pada setiap tahap kehidupan harus terpenuhi
agar dapat mencapai kehidupan yang lebih bermartabat.

Seluruh proses ini harus ditunjang dengan ketersediaan pangan, air bersih, sanitasi, energi dan akses ke
fasilitas kesehatan dan pendidikan, jelas Menkes Prof. Dr. dr. Nila F. Moeleok, Sp.M(K) saat Jumpa Pers Awal
Tahun tentang program kerja Kemenkes, di Jakarta (3/2).

Dalam rangka mendorong pembangunan manusia secara menyeluruh, perlu perhatian pada kesehatan sejak
dini atau sejak Balita. Kita lihat bahwa sangat penting untuk melakukan investasi yang tepat waktu agar
pertumbuhan otak anak sampai usia 5 tahun dapat berjalan dengan baik, untuk menghindari loss generation,
terang Menkes. 

Ditegaskan, salah satu ancaman serius terhadap pembangunan kesehatan, khususnya pada kualitas generasi
mendatang, adalah stunting. Dimana rata-rata angka stunting di Indonesia sebesar 37.2%. Menurut standar
WHO, persentase ini termasuk kategori berat.

Menkes juga mencermati angka kejadian pernikahan dini yang masih cukup tinggi dan kerentanan remaja
pada perilaku seks berisiko serta HIV/AIDS khususnya pada kelompok usia produktif.

Kematian ibu juga menjadi tantangan dari waktu ke waktu. Ada berbagai penyebab kematian ini baik
penyebab langsung maupun tidak langsung, maupun faktor penyebab yang sebenarnya berada di luar bidang
kesehatan itu sendiri, seperti infrastruktur, ketersedian air bersih, transportasi, dan nilai-nilai budaya. Faktor-
faktor non-kesehatan inilah yang justru memberikan pengaruh besar karena dapat menentukan berhasil
tidaknya  upaya penurunan angka kematian ibu, ungkap Menkes.

Guna mengurangi dampak kesehatan seperti contoh di atas, Kemenkes menyelenggarakan Program
Indonesia Sehat sebagai upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang berperilaku sehat, hidup dalam
lingkungan sehat, serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu untuk mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.

Program Indonesia Sehat terdiri atas 1) Paradigma Sehat; 2) Penguatan Pelayanan Kesehatan Primer; dan 3)
Jaminan Kesehatan Nasional. Ketiganya akan dilakukan dengan menerapkan pendekatan continuum of care
dan intervensi berbasis risiko  (health risk).

Paradigma sehat menyasar pada 1) penentu kebijakan pada lintas sektor, untuk  memperhatikan dampak
kesehatan dari kebijakan yang diambil baik di hulu maupun di hilir, 2) Tenaga kesehatan, yang
mengupayakan agar orang sehat tetap sehat atau tidak menjadi sakit, orang sakit menjadi sehat dan orang
sakit tidak menjadi lebih sakit; 3) Institusi Kesehatan, yang diharapkan penerapan standar mutu dan standar
tarif dalam pelayanan kepada masyarakat, serta 4) Masyarakat, yang merasa kesehatan adalah harta
berharga yang harus dijaga. 

Kementerian Kesehatan akan melakukan penguatan pelayanan kesehatan untuk tahun 2015-2019.
Penguatan dilakukan meliputi 1) Kesiapan 6.000 Puskesmas di 6 regional; 2) Terbentuknya 14 RS Rujukan
Nasional; serta Terbentuknya 184 RS Rujukan regional.

Khusus untuk daerah terpencil dan sangat terpencil, di bangun RS kelas D Pratama dengan kapasitas 50
Tempat Tidur untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan rujukan. Pada regional Papua akan didirikan 13
Rumah Sakit Pratama. Sementara pada Regional Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi
akan didirikan 55 Rumah Sakit Pratama.

Menkes menjelaskan, Kementerian Kesehatan telah melakukan implementasi e-catalogue pada pengadaan
obat dan alat kesehatan di lingkup Satuan Kerja Pemerintah. Hal ini telah dimulai sejak tahun 2013 untuk
obat, dan awal tahun 2014 untuk alkes. Ini merupakan wujud nyata tindak lanjut arahan Presiden RI agar
pengadaan barang/jasa di lingkup Pemerintah dilakukan secara elektronik.

Kartu Indonesia Sehat (KIS)


KIS yang diluncurkan tanggal 3 November 2014 merupakan wujud program Indonesia Sehat di bawah
Pemerintahan Presiden Jokowi. Program ini 1) menjamin dan memastikan masyarakat kurang mampu untuk
mendapat manfaat pelayanan kesehatan seperti yang dilaksanakan melalui Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan; 2) perluasan cakupan PBI termasuk Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Bayi Baru Lahir dari peserta Penerima PBI; serta 3) Memberikan tambahan
Manfaat berupa layanan preventif, promotif dan deteksi dini dilaksanakan lebih intensif dan terintegrasi. 

Pertemuan Antar Menteri 


Dalam mensinergikan program kesehatan dengan program pembangunan di kementerian lain, Menteri
Kesehatan telah melakukan beberapa pertemuan dengan Menteri Kebinet Kerja. Pertemuan dilakukan sejak
akhir tahun 2014 dan masih berlangsung hingga saat ini. 

Tanggal 23 Desember 2014 Menkes bertemu dengan Mendagri. Ini merupakan pertemuan pertama antar
Menteri Kabinet Kerja. Hasil pertemuan kedua Menteri adalah Mensosialisasikan JKN melalui asosiasi kepala
daerah; Memperkuat pembekalan teamwork Nakes yang akan ditempatkan di daerah untuk
menyeimbangkan pelayanan promotif-preventif dan kuratif-rehabilitatif; Memperbanyak Puskesmas Bergerak
untuk pelayanan kesehatan di daerah terpencil; Prioritas pembangunan Puskesmas di 50 wilayah; Membuat
surat edaran kepada kepala daerah untuk mendukung peraturan pemerintah terkait Standar Pelayanan Mutu
(SPM) bidang kesehatan; dan Integrasi data administrasi kependudukan. 

Tanggal 31 Desember 2014 Menkes bertemu dengan Menkominfo. Hasil pertemuan menyepakati Penguatan
SPGDT dengan layanan satu nomor panggil 119 serta Pelaksanaan assessment oleh Kemenkominfo terhadap
berbagai aplikasi yang ada di Kemenkes.

Pada tanggal 2 Januari 2015 Menkes melakukan rapat koordinasi dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi. Hasil pertemuan adalah Menyiapkan infrastruktur pendukung (bangunan fisik,
jalan, air bersih, sarana komunikasi); Sistem keamanan secara khusus untuk wilayah perbatasan terkait
dengan pergerakan manusia, hewan, barang, penyakit; dan Khusus untuk wilayah transmigrasi baru
mempertimbangkan juga bidang usaha kecil yang terjamin dan sehat.

Tanggal 5 Januari 2015, Menkes bertemu dengan Menteri Perdagangan. Hasil pertemuan adalah
Mempromosikan jamu sebagai warisan budaya Indonesia baik di dalam negeri maupun luar negeri;
Mendukung perlindungan masyarakat untuk produk makanan import; Mendukung pengaturan bahan
berbahaya untuk makanan dan minuman; Meningkatkan koordinasi  perdagangan barang dan jasa dalam
rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Pada tanggal 8 Januari 2015 Menkes melakukan Rapat Koordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, dengan hasil yaitu Membangun akses masyarakat ke fasilitas pelayanan Kesehatan
Primer; Meningkatkan pembangunan saranan air bersih dan sanitasi untuk masyarakat; Membangun
perumahan untuk tenaga kesehatan; Mengintegrasikan  pembangunan kawasan kumuh dengan program
Kesehatan (Air bersih, STBM dan PHBS); dan Target kolaborasi dilaksanakan dalam 5 tahun ke depan,

Tanggal 27 Januari 2015 Menkes  bertemu dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun hasil
pertemuan adalah Menyusun materi PHBS untuk guru sebagai agent of change; Merevitalisasi Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS); Menghidupkan kembali program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah
(PMT-AS) melalui gerakan sarapan pagi; Membangun paket kegiatan rutin anak sekolah berupa Membaca,
Olah raga, menyanyi lagu daerah dan piket membersihkan lingkungan sekolah; serta Kegiatan akan dimulai
dengan tahun ajaran baru 2015/2016: Menyusun peraturan tentang pendirian SMK dan bidang
penjurusannya.

Nusantara Sehat (NS)


Sebagai bagian dari penguatan pelayanan kesehatan primer untuk mewujudkan Indonesia Sehat Kemenkes
membentuk program Nusantara Sehat (NS). Di dalam program ini dilakukan peningkatan jumlah, sebaran,
komposisi dan mutu Nakes berbasis pada tim yang memiliki latar belakang berbeda mulai dari dokter,
perawat dan Nakes lainnya (pendekatan Team Based). Program NS tidak hanya berfokus pada kegiatan
kuratif tetapi juga pada promitif dan prefentif untuk mengamankan kesehatan masyarakatdan daerah yang
paling membutuhkan sesuai dengan Nawa Cita membangun dari pinggiran.

Pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan upaya penurunan angka stunting dan eliminasi tuberkulosis
(TBC) di Indonesia. Kedua program ini pada tahun 2018 telah dijadikan Kementerian Kesehatan sebagai
program prioritas pembangunan di sektor kesehatan. Terobosan dengan melibatkan berbagai stakeholders
perlu dilakukan.

Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 memang sudah terjadi perbaikan, terlihat dari
prevalensi balita stunting turun menjadi 30,8% dari 37,2% (2013). Prevalensi stunting sudah mencapai target
yang diharapkan pada RPJMN tahun 2019 yaitu 32% walaupun belum mencapai target yang ditetapkan oleh
WHO sebesar 20%. Penurunan stunting  ini karena adanya upaya penanggulangan gizi buruk yang dibuktikan
dengan prevalensi gizi buruk turun menjadi 3,5% dari 5,3% (2013).

Stunting adalah masalah gizi kronis yaitu kegagalan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal disebabkan dampak dari kekurangan gizi secara kumulatif dan terus menerus, sehingga anak terlalu
pendek untuk usianya. Kekurangan gizi kronis terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK), dan baru
nampak setelah anak usia 2 tahun. Keluarga dan masyarakat belum merasa bahwa stunting adalah masalah,
hal ini dikarenakan belum banyak yang mengetahui dampak dan anak tidak terlihat sakit. Konsekuensi jangka
panjang dari stunting pada anak usia dini akan berpengaruh pada kelangsungan hidup, pertumbuhan linear,
perkembangan kognitif, kemampuan belajar di sekolah, produktivitas dan berat badan lahir.

Diperlukan upaya mengatasi faktor risiko dari stunting, yaitu kemiskinan, perlindungan kesehatan khususnya
pada remaja puteri, ibu dan anak serta kesetaraan dalam keluarga. Perlindungan ini dalam arti penjaminan
kecukupan gizi ibu hamil dan tumbuh kembang anak, praktek pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA)
serta pencegahan dan pengobatan infeksi serta ketersediaan air bersih dan jamban keluarga.

Anak stunting di Indonesia tidak hanya berasal dari rumah tangga/keluarga yang miskin dan kurang mampu,
namun anak stunting  berasal dari rumah tangga/keluarga tidak miskin/diatas 40% tingkat kesejahteraan
sosial dan ekonomi. Walaupun angkanya semakin memburuk pada kelompok masyarakat miskin.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan tahun 2035 Indonesia mengalami puncak
pertumbuhan jumlah penduduk produktif. Kondisi ini merupakan bonus demografi. Pertumbuhan jumlah
penduduk yang produktif lebih banyak dibandingkan negara lain menjadikan Indonesia berpotensi memiliki
daya saing tinggi apabila diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang sehat dan mumpuni.

Selain mempengaruhi kualitas SDM, kedua penyakit ini berdampak pada kerugian ekonomi
negara. Stunting  dapat menimbulkan kerugian ekonomi negara sebesar 2-3% dari Produk Domestik Bruto
(PDB). World Bank merilis Product Domestic Bruto  (PDB) Indonesia sebesar Rp. 13.000 triliun pada tahun
2017. Karena stunting, kerugian yang ditimbulkan diperkirakan sebesar 260 sampai 390 triliun.

Saat ini berdasarkan data yang dirilis UNICEF, Indonesia merupakan negara kelima tertinggi di dunia dengan
jumlah balita yang mengalami stunting  dan merupakan salah satu negara dengan stunting tertinggi di Asia
Tenggara dan bahkan lebih tinggi dari beberapa negara miskin di Afrika.

Pada Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tanggal 9 Agustus 2017, Wakil Presiden Republik Indonesia
memutuskan Lima Pilar Percepatan Pencegahan Stunting yaitu: 1) Komitmen dan visi kepemimpinan; 2)
Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku; 3) Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program
pusat, daerah, dan desa; 4) Gizi dan ketahanan pangan; dan 5) Pemantauan dan evaluasi. Kelima pilar ini
diselenggarakan di semua tingkatan pemerintah dengan melibatkan berbagai institusi pemerintah yang
terkait dan institusi non-pemerintah seperti swasta, masyarakat madani, dan komunitas

Selain stunting, Indonesia adalah negara dengan beban TBC tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan China.
WHO Global TB Report 2018 memperkirakan insiden TBC sebesar 842.000 kasus dengan mortalitas 107.000
kasus. Risiko penularan TBC dapat dikurangi jika semua pasien TBC dapat ditemukan dan diobati sampai
sembuh. Akan tetapi, dewasa ini, dari 842.000 kasus, baru 53% yang ternotifikasi dan diobati, sisanya belum
diobati atau sudah diobati namun belum dilaporkan kepada Kementerian Kesehatan. Selain underreporting,
MDR TB dan TB HIV juga merupakan masalah terkait tuberkulosis yang perlu mendapat perhatian. Estimasi
insiden TB HIV sebesar 36.000 kasus, dengan mortalitas 9.400 kasus, sedangkan MDR TB diperkirakan
sebanyak 23.000 kasus.

TBC berdampak besar terhadap sosial dan keuangan pasien, keluarga dan masyarakat. Sebagian besar
infeksi terjadi pada usia produktif antara 15 dan 54 tahun. Meskipun diagnosis dan pengobatan tuberkulosis
gratis, pasien TB menghadapi biaya transportasi, akomodasi, gizi dan kehilangan penghasilan karena
ketidakmampuan untuk bekerja. Beban keuangan yang tinggi dapat menyebabkan pasien tidak mendapatkan
diagnosis, tidak memulai pengobatan, bahkan dapat berhenti pengobatan. Kondisi tersebut akan berisiko
tinggi menularkan penyakit ke orang lain dan dapat berkembang menjadi Multidrug Resistant TB (MDR-TB).

Beban terbesar dari kerugian TBC diakibatkan kehilangan waktu produktif karena kecacatan dan kematian
dini. Beban TBC di Indonesia per tahun sebesar Rp. 24,7 Milyar, sedangkan TB MDR yaitu 5,5 milyar. Dampak
kerugian ekonomis akibat penyakit TBC sekitar 130,5 milyar, TB-MDR sebesar 6,2 milyar.

Dalam mencapai Eliminasi TBC tahun 2030, diperlukan strategi akselerasi melalui 6 langkah yaitu: (1)
penguatan peran dan kepemimpinan program berbasis kabupaten/ kota, (2) peningkatan akses layanan yang
bermutu, (3) pengendalian faktor risiko penularan TBC, (4) peningkatan kemitraan, peningkatan kemandirian
masyarakat, (5) penguatan manajemen program dan (6) penguatan sistem dan manajemen TBC melalui
berbagai upaya termasuk penelitian dan pengembangan.

Diperlukan dukungan multi sektor, utamanya dalam upaya pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC.
Contoh faktor risiko TBC adalah gangguan gizi yang dapat menyebabkan gangguan sistem kekebalan tubuh
terhadap penyakit infeksi. Status gizi berpengaruh pada penurunan daya tahan tubuh dalam menghadapi
invasi kuman. Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam
waktu lama. Oleh karena itu, stunting akan berpengaruh pada kemampuan balita dalam melawan kuman
TBC. Balita stunting lebih rentan tertular penyakit TBC dibandingkan dengan balita gizi normal.

Peran multi sektor atau multi aktor sangat penting bagi keberhasilan pencapaian derajat kesehatan
masyarakat melalui intervensi gizi serta eliminasi penyakit menular khususnya tuberkulosis (TBC). Ini bukan
hanya tanggungjawab Kementerian Kesehatan, namun perlu melibatkan semua pihak baik di pusat dan
daerah, lembaga sosial kemasyarakatan, akademisi, organisasi profesi, media massa, dunia usaha serta mitra
pembangunan melalui penerbitan peraturan perundangan dan pertemuan multisektoral.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) adalah salah satu riset skala nasional yang berbasis komunitas dan telah
dilaksanakan secara berkala oleh Badan Litbangkes Kemenkes RI, yaitu di tahun 2007, 2010 dan 2013. Hasil
Riskesdas telah banyak dimanfaatkan baik itu untuk tujuan perencanaan, maupun pemantauan dan evaluasi
program pembangunan kesehatan baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.

Mengawali sambutannya pada Pertemuan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) tingkat pusat dalam rangka
persiapan pelaksanaan Riskesdas 2018 tersebut, Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, mengingatkan
bahwa banyaknya informasi yang akan dihasilkan dari Riskesdas 2018, maka menjelang pelaksanaannya,
perlu persiapan yang sangat matang.

''Mengumpulkan data bukan pekerjaan yang mudah. Rikesdas yg diintegrasikan dengan Susenas ini luar
biasa penting, karena bisa melihat adanya masalah disparitas (kesenjangan)'', ujar Menkes di salah satu hotel
di kawasan Harapan Indah, Bekasi (29/1).

Menurut Menkes, keberadaan disparitas  perlu dipelajari lebih lanjut, sehingga dapat dilihat kembali
intervensi apa yang bisa dilakukan secara khusus, mungkin tidak dapat disamakan dengan daerah lainnya.

''Kita kaji daya ungkit apa yang kita (punya) dan perlu lakukan agar kita bisa lebih cepat menyelesaikan
masalah-masalah kesehatan'', imbuh Menkes.

Dalam kegiatan yang dihadiri pula oleh Kepala Badan Litbangkes Kemenkes RI, Siswanto, dan Deputi Bidang
Statistik Sosial Badan Pusat Statistik, M. Sairi Hasbullah, tersebut, Menkes berharap agar keluaran awal dari
Riskesdas 2018 akan mampu menilai tren perubahan derajat kesehatan masyarakat, penilaian perubahan
capaian indikator derajat kesehatan, penilaian perubahan besaran faktor risiko terhadap derajat kesehatan
dan penilaian perubahan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), baik di tingkat kabupaten/kota,
provinsi dan nasional.

Pada kesempatan tersebut, Menkes menegaskan bahwa pelaksanaan Riskesdas 2018 merupakan momentum
yang tepat untuk memotret kondisi pembangunan kesehatan Indonesia.

Menkes juga berpesan bahwa peran dari Kepala Daerah, para Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinkes
Kab/Kota sangat penting dan menentukan keberhasilan Riskesdas 2018. Menkes meminta daerah untuk
mengawal pelaksanaan riset ini dengan menjaga kualitas data di lapangan, mulai dari perekrutan tenaga
lapangan hingga penggerakan masyarakat, terutama di wilayah yang telah ditetapkan menjadi sampel.

Mengenai Riskesdas 2018

Tahun 2018, Kementerian Kesehatan RI melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan kembali
mengadakan Riskesdas, yakni survei lima tahunan yang hasilnya dapat digunakan menilai perkembangan
status kesehatan masyarakat, faktor risiko, dan perkembangan upaya pembangunan kesehatan.

Tujuan dilaksanakannya Riskesdas 2018, antara lain: a) Menilai status kesehatan masyarakat dan determinan
yang mempengaruhinya; b) Menilai perubahan indikator status kesehatan masyarakat dan determinan yang
mempengaruhinya; serta c) Menilai perubahan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) hasil
pembangunan kesehatan di Kabupaten/Kota.

Riskesdas 2018 rencananya akan dilakukan pada bulan April-Mei 2018. Desain penelitian yang digunakan
potong lintang (cross sectional) dengan kerangka sampel blok sensus dari Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) bulan Maret 2018 dari Badan Pusat Statistik (BPS). Populasi adalah rumah tangga di Indonesia di
seluruh provinsi dan kabupaten/kota (34 Provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota). Adapun jumlah sampel yang
dibutuhkan adalah 300.000 rumah tangga yang diperoleh dari 30.000 blok survei (masing-masing blok survei
terdiri dari 10 rumah tangga). Merupakan sebuah kemajuan, karena pada tahun ini pelaksanaan Riskesdas
Kemenkes terintegrasi Susenas BPS.

Adapun metode pengumpulan data Riskesdas 2018 dilakukan melalui metode wawancara, pengukuran, dan
pemeriksaan. Kegiatan yang dilakukan yaitu: a) Wawancara indikator kesehatan masyarakat kepada semua
angggota keluarga yang terpilih (sampel); b) Pemeriksaan biomedis; dan  c) Pemeriksaan gigi oleh dokter gigi
(bekerjasama dengan Persatuan Dokter Gigi Indonesia/PDGI).

Indikator Riskesdas berbasis komunitas dengan unit analisis Rumah Tangga/ Anggota Rumah Tangga.
Indikator Riskesdas 2018 merupakan indikator prioritas (SPM, RPJMN, Renstra, IPKM, PIS-PK, Germas dan
program).
Indikator Riskesdas 2018, mencakup: a) Pelayanan Kesehatan meliputi akses pelayanan kesehatan, JKN,
pengobatan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional; b) Perilaku Kesehatan
meliputi merokok, aktivitas fisik, minuman beralkohol, konsumsi makanan, pencegahan penyakit tular
nyamuk, penggunaan helm; c) Lingkungan meliputi penyedian dan penggunaan air, penggunaan jamban,
pembuangan sampah, pembuangan limbah, rumah sehat, penggunaan bahan bakar; d) Biomedis meliputi
pemeriksaan malaria, HB, glukosa darah, kolesterol, trigleliserida, antibody (PD3I); serta e) Status kesehatan
meliputi penyakit menular, penyakit tidak menular, gangguan jiwa-defresi-emosi, kesehatan gigi dan mulut,
kesehatan ibu-bayi-balita dan anak remaja, status gizi, cedera dan disabilitas.

Anda mungkin juga menyukai