Politik Etis yang dicetuskan oleh Van Deventer berdampak positif terhadap perjuangan bangsa
Indonesia. Adanya politik etis memunculkan golongan terpelajar atau cendikiawan yang mampu
menjadi pelopor pergerakan nasional. Gerakan modern atau gerakan nasional melawan
penjajah bercirikan sebagai berikut; (a) Gerakannya sudah diorganisasi secara teratur. (b)
Bersifat nasional baik wilayah atau cita-cita kebangsaan, (c) Perjuangan menggunakan taktik
modern dan organisasi modern. (d) Sudah memiliki tujuan yang jelas, yaitu Indonesia merdeka. (e)
Gerakannya tangguh dan berakar di hati rakyat. Berbagai organisasi modern yang dibentuk antara
lain:
1) Budi Utomo
2) Sarekat Islam
3) Indische Partij
4) Perhimpunan Indonesia
5) Partai Nasional Indonesia
6) Partai Komunis Indonesia
7) Partai Indonesia Raya
8) Gerakan Rakyat Indonesia
9) Gabungan Politik Indonesia
Dikuasainya Malaka pada tahun 1511 oleh orang-orang Portugis merupakan ancaman tersendiri bagi
Kerajaan Demak. Pada tahun 1512, Kerajaan Demak di bawah pimpinan Pati Unus (Pangeran
Sabrang Lor) dengan bantuan Kerajaan Aceh menyerang Portugis di Malaka. Namun, serbuan
Demak tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan serangan Demak ke Portugis di
Malaka adalah:
Serangan tersebut tidak dilakukan dengan persiapan yang matang
Jarak yang terlalu jauh
Kalah persenjataan
Penyerangan dilakukan sekali lagi bersama Aceh dan Kerajaan Johor, tetapi tetap berhasil
dipatahkan oleh Portugis. Perjuangan Kerajaan Demak terhadap orang-orang Portugis tidak berheti
sampai di situ. Kerajaan Demak selalu menyerang dan membinasakan setiap kapal dagang Portugis
yang melewati jalur Laut Jawa. Karena itulah kapal dagang Portugis yang membawa rempah-
rempah dari Maluku (Ambon) tidak melalui Laut Jawa, tetapi melalui Kalimantan Utara.
Upaya Demak untuk mengusir Portugis diwujudkan dengan ditaklukkannya Kerajaan Pajajaran oleh
Fatahilah pada tahun 1527. Penaklukkan Pajajaran ini disebabkan Kerajaan Pajajaran mengadakan
perjanjian perdagangan dengan Portugis, sehingga Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di
Sunda Kelapa. Ketika orang-orang Portugis mendatangi Sunda Kelapa (sekarang Jakarta), terjadilah
perang antara Kerajaan Demak di bawah pimpinan Fatahilah dengan tentara Portugis. Dalam
peperangan itu, orang-orang Portugis berhasil dipukul mundur pada tanggal 22 Juni 1527.
Kemudian, pelabuhan Sunda Kelapa diganti namanya oleh Fatahilah menjadi Jayakarta yang berarti
kejayaan yang sempurna.
Terbunuhnya, Sultan Hairun jelas memancing kemarahan rakyat Ternate. Sultan Baabullah yang
menggantikan Sultan Hairun bersumpah akan mengusir Portugis dari Ternate. Untuk itu, Sultan
Baabullah mengerahkan tentara dan segenap kekuatannya mengepung benteng Portugis, hingga
akhirnya Portugis menyerah dan dipaksa meninggalkan Ternate tahun 1575. Setelah terusir dari
Ternate, kemudian Portugis ke Ambon hingga dikalahkan oleh Belanda pada tahun 1605.
F. PERLAWANAN TRUNOJOYO(1674-1680)
Trunojoyo, seorang keturunan bangsawan dari Madura tidak senang terhadap Amangkurat I, karena
pemerintahannya yang sewenang-wenang dan menjalin hubungan dengan Kompeni. Perlawanan
Trunojoyo di mulai pada tahun 1674, dengan menyerang Gresik. Dengan berpusat di Demung
(dekat Panarukan), Trunojoyo melakukan penyerangan dan dalam waktu singkat telah berhasil
menguasai beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan sampai pusat Mataram di
Plered (Yogyakarta). Dalam perlawanan ini, Trunojoyo dibantu oleh Raden Kajoran, Macan
Wulung, Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Galesung.
Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah berhasil menduduki Plered, ibukota Mataram.
Amangkurat I yang sering sakit bersama putra mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk minta
bantuan kepada Kompeni di Batavia. Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal Arum
(selatan Tegal), sehingga dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom kemudian
menaiki takhta dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo, Amangkurat II minta
bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia namun ke Jepara. Pimpinan Kompeni (VOC)
Speelman menerima dengan baik Amangkurat II dan bersedia membantu dengan suatu perjanjian
(1678) yang isinya:
VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram.
VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.
Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II
Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada
VOC.
Setelah perjanjian ini ditandatangani penyerangan di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo telah berhasil
mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bawah pimpinan
Anthonie Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari Ambon
beserta tentara Mataram menyerang Kediri. Dengan mati-matian tentara Trunojoyo menghadapi
pasukan gabungan Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul mundur. Pasukan Trunojoyo terus
terdesak, masuk pegunungan dan menjalankan perang gerilya. Demi keselamatan sebagian
pengikutnya, pada tanggal 25 Desember 1679 menyerah dan akhirnya gugur ditikam keris oleh
Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Dengan gugurnya Trunojoyo, terbukalah jalan bagi
VOC untuk meluaskan wilayah dan kekuasaannya di Mataram.
Kapten Tack bersama anak buahnya berhasil dihancurkan oleh Untung, dan Untung kemudian
melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur hingga sampai di Pasuruan. Di Pasuruan inilah Untung
Suropati berhasil mendirikan istana dan mengangkat dirinya menjadi adipati dengan gelar Adipati
Ario Wironegoro, dengan wilayah seluruh Jawa Timur, antara lain Blambangan, Pasuruhan,
Probolinggo, Malang, Kediri dan Bangil. Di Bangil, dibangun perbentengan guna menghadapi
VOC.
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota Sunan Mas naik takhta. Raja baru ini benci
terhadap Belanda dan condong terhadap perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik Amangkurat II)
yang ingin menjadi raja, pergi ke Semarang dan minta bantuan kepada VOC agar diakui sebagai raja
Mataram. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja dengan gelar Paku Buwono I.
Pada tahun 1705 Paku Buwono I dan VOC menyerang Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan
bergabung dengan pasukan Untung di Jawa Timur.
Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menyerang
Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan
Untung. Dalam perlawanan di Bangil, Untung Suropati terluka dan akhirnya pada tanggal 2 Oktober
1706 gugur. Jejak perjuangannya diteruskan oleh putra-putra Untung, namun akhirnya berhasil
dipatahkan oleh Kompeni. Bahkan Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah, kemudian dibawa ke
Batavia, dan diasingkan ke Sailan (1708).
Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad ke-18, muncul
lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun segera dapat
ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah
perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku
berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku meninggal
(1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.
Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon. Sebab-
sebab terjadinya perlawanan terhadap Belanda adalah :
Adanya Perjanjian London (1816) yang menyatakan Belanda berkuasa di Maluku.
Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang menderita
dibawah VOC
Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali penyerahan
wajib dan kerja wajib
Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
Akibat penderitaan yang panjang rakyat menentang Belanda dibawah pimpinan Thomas Matulesi
atau Pattimura. Pattimura didukung oleh teman-temannya seperti Anthonie Rhebok, Philip
Latumahina, dan Christina Marta Tiahahu. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak
dengan membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat menyerang
penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng berhasil dikuasai oleh
rakyat Maluku.
Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda dikerahkan secara besar-besaran, Belanda berhasil
menangkap Pattimura dan kawan-kawan dan pada tanggal 16 Nopember 1817. Pattimura dijatuhi
hukuman mati ditiang gantungan, dan berakhir lah perlawanan rakyat Maluku.
Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya yang bergelar Sultan Haji (1682 – 1687) sebagai raja
di Banten. Sultan Ageng dan Sultan Haji berlainan sifatnya. Sultan Ageng bersifat sangat keras dan
anti-VOC sedang Sultan Haji lemah dan tunduk pada VOC. Maka ketika Sultan Haji menjalin
hubungan dengan VOC, Sultan Ageng menentang dan langsung menurunkan Sultan Haji dari
tahtanya. Namun, Sultan Haji menolak untuk turun dari tahta kerajaan.
Untuk mendapatkan tahtanya kembali, Sultan Haji meminta bantuan pada VOC. Pada tanggal 27
Februari 1682 pasukan Sultan Ageng menyerbu Istana Surosowan di mana Sultan Haji bersemayam.
Namun mengalami kegagalan karena persenjataan Sultan Haji yang dibantu VOC lebih lengkap.
Oleh karena kekalahan ini maka diadakan Perjanjian Banten. Isi Perjanjian Banten (1683) antara
lain:
Dengan kekuatan yang lemah, tentu saja Portugis tidak mampu menghadapi perlawanan. Oleh
karena itu, pada tahun 1570 dengan licik Portugis menawarkan tipu perdamaian. Sehari setelah
sumpah ditandatangani, de Mosquito mengundang Sultan Hairun untuk menghadiri pesta
perdamaian di benteng. Tanpa curiga Sultan Hairun hadir, dan kemudian dibunuh oleh kaki tangan
Portugis.
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan besar bagi rakyat Maluku dan terutama Sultan Baabullah,
anak Sultan Hairun. Bersama rakyat, Sultan Baabullah bertekad menggempur Portugis. Pasukan
Sultan Baabullah memusatkan penyerangan untuk mengepung benteng Portugis di Ternate. Lima
tahun lamanya Portugis mampu bertahan di dalam benteng yang akhirnya menyerah pada tahun
1575 karena kehabisan bekal. Kemudian Portugis melarikan diri ke Timor Timur.
Melihat kenyatan ini, kemudian Belanda menggunakan usaha dan tipu daya untuk mematahkan
perlawanan, antara lain sebagai berikut;
Siasat benteng stelsel, yang dilakukan oleh Jenderal de Kock mulai tahun 1827.
Siasat bujukan agar perlawanan menjadi reda.
Siasat pemberian hadiah sebesar 20.000,- ringgit kepada siapa saja yang dapat menangkap
Pangeran Diponegoro.
Siasat tipu muslihat, yaitu ajakan berunding dengan Pangeran Diponegoro dan akhirnya
ditangkap.
Dengan berbagai tipu daya, akhirnya satu per satu pemimpin perlawanan tertangkap dan menyerah,
antara lain Pangeran Suryamataram dan Ario Prangwadono (tertangkap 19 Januari 1827), Pangeran
Serang, dan Notoprodjo (menyerah 21 Juni 1827, Pangeran Mangkubumi (menyerah 27 September
1829), dan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (menyerah tanggal 24 Oktober 1829). Kesemuanya itu
merupakan pukulan yang berat bagi Pangeran Diponegoro.
Melihat situasi yang demikian, pihak Belanda ingin menyelesaikan perangsecara cepat. Jenderal de
Kock melakukan tipu muslihat dengan mengajak berunding Pangeran Diponegoro. De Kock berjanji
apabila perundingan gagal maka Diponegoro diperbolehkan kembali ke pertahanan. Atas dasar janji
tersebut, Diponegoro mau berunding di rumah Residen Kedu, Magelang pada tanggal 28 Maret
1830. Namun, De Kock ingkar janji sehingga Pangeran Diponegoro ditangkap ketika perundingan
mengalami kegagalan. Akhirnya Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada
tanggal 28 Maret 1830 dan dibawa ke Batavia dengan kapal “Pollaz”, terus diasingkan ke
Manado. Pada tahun 1834 dipindahkan ke Makassar dan akhirnya wafat pada tanggal 8
Januari 1855. Perang Diponegoro yang panjang membawa akibat sebagai berikut.
Wilayah Mataram Yogyakarta dan Surakarta menjadi sempit, PB VI yang ikut melawan
Belanda akhirnya dibunuh di Ambon (1830).
Belanda memperoleh daerah Surakarta – Yogyakarta sebagai daerah yang diperas
kekayaannya.
Adanya sebagian cukai yang dihapus untuk mengurangi kerusuhan.
Kas negara Belanda menjadi kosong sehingga atas prakarsa dari Van Den Bosch diterapkan
tanam paksa di Indonesia
Pertentangan Banten – VOC menjadi perlawanan besar, setelah Banten di bawah pemerintahan
Sultan Ageng Tirtoyoso ( 1651 – 1682). Dalam hal ini VOC melakukan politik “devide et impera”.
Pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota (dikenal dengan sebutan Sultan
Haji karena pernah naik haji) sebagai pembantu yang mengurusi urusan dalam negeri, sedangkan
urusan luar negeri dipercayakan kepada Pangeran Purboyo ( adik Sultan Haji). Atas hasutan VOC,
Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan bahwa ayahnya ingin mengangkat Pangeran
Purboyo sebagai raja Banten.
Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang terbuka
antara Sultan Haji yang dibantu VOC melawan Sultan Ageng Tirtayasa (ayahnya) yang dibantu
Pangeran Purboyo. Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan
akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa berhasil di tawan oleh VOC; sedangkan Pangeran Purboyo
mengundurkan diri ke daerah Priangan.
Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk menandatangani suatu perjanjian yang
isinya
VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.
Banten dilarang berdagang di Maluku.
Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.
Hanya Belanda yang boleh mengekspor lada dan memasukan kain ke wilayah kekuasaan
Banten
Sejak adanya perjanjian ini, maka penguasa Banten sebenarnya ialah VOC.
Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah pemberian kebebasan bagi Belanda untuk
memperluas daerah kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian, Traktrat Sumatra
1871 jelas merupakan ancaman bagi Aceh. Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni
mengadakan hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan dengan Konsul Amerika Serikat di
Singapura. Tindakan Aceh ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak ingin
adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak
menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang kepada
Aceh.
Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan Aceh
dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah. Dengan dikuasainya Masjid Raya
Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh dan rakyat untuk bergabung berjuang
melawan Belanda. Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut
Banta, Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian
bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan.
Dengan
kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu bertahan, sehingga Belanda
gagal untuk menduduki istana.
Pada akhir tahun 1873, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya lagi secara besar-besaran
di bawah pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten dengan kekutan 8.000 orang tentara.
Pertempuran seru berkobar lagi pada awal tahun 1874 yang akhirnya Belanda berhasil menduduki
istana kesultanan. Sultan beserta para tokoh pejuang yang lain meninggalkan istana dan terus
melakukan perlawanan di luar kota. Pada tanggal 28 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah
meninggal, kemudian digantikan oleh putranya yakni Muhammad Daud Syah. Sementara itu,
ketika utusan Aceh yang dikirim ke Turki, yaitu Habib Abdurrachman tiba kembali di Aceh tahun
1879 maka kegiatan penyerangan ke pos-pos Belanda diperhebat. Habib Adurrachman bersama
Teuku Cik Di Tiro dan Imam Lueng Bata mengatur taktik penyerangan guna mengacaukan dan
memperlemah pos-pos Belanda.
Menyadari betapa sulitnya mematahkan perlawanan rakyat Aceh, pihak Belanda berusaha
mengetahui rahasia kekuatan Aceh, terutama yang menyangkut kehidupan sosial-budayanya. Oleh
karena itu, pemerintah Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronye (seorang ahli tentang Islam)
untuk meneliti soal sosial budaya masyarakat Aceh. Dengan menyamar sebagai seorang ulama
dengan nama Abdul Gafar, ia berhasil masuk Aceh.
Hasil penelitiannya dibukukan dengan judul De Atjehers (Orang Aceh). Dari hasil penelitiannya
dapat diketahui bahwa sultan tidak mempunyai kekuatan tanpa persetujuan para kepala di bawahnya
dan ulama mempunyai pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat. Dengan demikian langkah
yang ditempuh oleh Belanda ialah melakukan politik “de vide et impera ( memecah belah dan
menguasai). Cara yang ditempuh kaum ulama yang melawan harus dihadapi dengan kekerasan
senjata; kaum bangsawan dan keluarganya diberi kesempatan untuk masuk korps pamong praja di
lingkungan pemerintahan kolonial.
Belanda mulai memikat hati para bangsawan Aceh untuk memihak kepada Belanda. Pada bulan
Agustus 1893, Teuku Umar menyatakan tunduk kepada pemerintah Belanda dan kemudian
diangkat menjadi panglima militer Belanda. Teuku Umar memimpin 250 orang pasukan dengan
persenjataan lengkap, namun kemudian bersekutu dengan Panglima Polim menghantam Belanda.
Tentara Belanda di bawah pimpinan J.B. Van Heutz berhasil memukul perlawanan Teuku Umar dan
Panglima Polim. Teuku Umar menyingkir ke Aceh Barat dan Panglima Polim menyingkir ke Aceh
Timur. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.
Sementara itu, Panglima Polim dan Sultan Muhammad Daud Syah, masih melakukan perlawanan di
Aceh Timur. Belanda berusaha melakukan penangkapan. Pada tanggal 6 September 1903 Panglima
Polim beserta 150 orang parjuritnya menyerah setelah Belanda melakukan penangkapan terhadap
keluarganya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Pada tahun
1904, Sultan Aceh dipaksa untuk menandatangani Plakat Pendek yang isinya sebagai berikut.
Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas daerahnya.
Aceh tidak diperbolehkan berhubungan dengan bangsa lain selain dengan belanda.
Aceh menaati perintah dan peraturan Belanda.
Perang Aceh secara resmi dianggap berakhir pada tahun 1912, akan tetapi serangan serangan
terhadap Belanda masing berlangsung.
Peristiwa Proklamasi
Proklamasi Indonesia terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi ini terjadi pasca terjadinya
peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Proklamasi diselenggarakan dengan cara yang sangat
sederhana. Terjadi pada pukul 10.00 pagi yang mana Soekarno di dampingi oleh Hatta
memproklamasikan kemerdakaan Indonesia. Pasca pembacaan kemudian dilakukan pengibaran
bendera merah putih.
Dukungan Proklamasi
Berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia kemudian menyebar ke seluruh pelosok tanah air. Satu
daerah dengan daerah lainnya berbeda-beda dalam mendengar berita proklamasi dikarenakan
sulitnya transportasi dan sarana komunikasi. Langkah selanjutnya setelah mendengar berita
proklamasi kemudian rakyat setempat melakukan tindakan spontan dan heroic dalam rangka
menyambut kemerdekaan Indonesia. Cara yang dilakukan beraneka ragam dengan cara melucuti
senjata Jepang, menduduki tempat penting, dan lain sebagainya.
B. PERISTIWA RENGASDENGKLOK
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu. Kekalahan
Jepang ini dilatarbelakangi bom atom di dua kota indsutri yaitu Hirosima (6 Agustus 1945) dan di
Nagasaki (9 Agustus 1945). Sekutu sebagai pemenang perang menerapkan status quo terhadap
negara yang dikuasai oleh Jepang pada masa Perang Dunia II. Salah satunya adalah Indonesia yang
harus dikembalikan kepada Belanda. Pada saat itu pula Indonesia mengalami masa yang dikenal
dengan vacuum of power (kekosongan kekuasaan) yaitu Indonesia tidak ada yang menguasai,
Jepang kalah kepada Sekutu akan tetapi Sekutu belum tiba di Indonesia.
Berita kekalahan Jepang atas Sekutu akhirnya didengar oleh tokoh Indonesia salah satunya tokoh
muda yaitu Sutan Syahrir yang mendengar berita kekalahan Jepang kepada Sekutu dari radio BBC.
Kemudian Sutan Syahrir mendesak Bung Karno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Akan tetapi Bung Karno menolak desakan tersebut dikarenakan setelah pertemuan
dengan Jenderal Terauchi di Dalat Vietnam tanggal 12 Agustus 1945 yang menjanjikan
kemerdekaan Indonesia akan terwujud. Pembahasan di Dalat meliputi kapan waktu proklamasi
Indonesia dan wilayah Indonesia yang meliputi semua bekas Hindia Belanda.
Berdasarkan keputusan tersebut, merupakan berita gembira yang dibawa dari Dalat Vietnam Selatan.
Sehingga ketikan para pemuda menuntut Bung Karno untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia, Bung Karno menolaknya. Ada beberapa alasan Bung Karno menolak
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yaitu Bung Karno masih meragukan
tentang berita kekalahan Jepang dan Bung Karno menganggap Jepang masih kuat sehingga
takut terjadi bentrok antara pemuda Indonesia dengan tentara Jepang.
Para pemuda yang dipimpin oleh Chaerul Saleh kemudian mengadakan rapat di gedung
bakteriologi di Pegangsaan Timur pada tanggal 15 Agustus malam. Tokoh yang hadir antara
lain Chaerul Saleh, Djohan Nur, Kusnandar, Subadio, Margono, Wikana dan Darwis yang
hasilnya mengutus Wikana dan Darwis guna menemui Bung Karno untuk memaksa beliau segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hasilnya tetap gagal. Kemudian para pemuda
memutuskan untuk mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta dari pengaruh Jepang. Tempat yang
dipilih sebagai tempat pengamanan kedua tokoh tersebut adalah Rengasdengklok. Ada beberapa
alasan kenapa dipilihnya Rengasdengklok sebagai tempat pengamanan Bung Karno dan Bung Hatta.
Rengasdengklok adalah salah satu kota yang letaknya tidak terlalu jauh dari Jakarta. Letak
Rengasdengklok agak terpencil sehingga tidak akan dapat dideteksi dengan mudah
kedatangan tentara Jepang. Rengasdengklok merupakan daerah yang sudah dikuasi oleh
tentara Peta yang dipimpin oleh Chudanco Subeno. Rakyat di daerah Rengasdengklok anti
terhadap Belanda. Penculikan Bung Karno dan Bung Hatta dipimpin oleh Chudanco Singgih. Di
Rengasdengklok, kedua tokoh tersebut dipaksa oleh kaum muda untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Latar belakang peristiwa ini yang kemudian hari nanti terkenal dengan
peristiwa Rengasdengklok adalah waktu dan cara melakukan proklamasi.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan
perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Ahmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di
Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang
kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam,
maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum
perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Tempat perumusan teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda jalan Imam Bonjol No. 1.Para
pemuda berkumpul di ruang tamu dan di pekarangan rumah Laksamana Maeda. Sedangkan tiga
tokoh yaitu Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subardjo menuju ruang makan untuk membuat
naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu Laksamana Maeda menuju ketempat
tidurnya. Pada kalimat pertama merupakan usul dari Ahmad Subarjo sedangkan kalimat kedua
merupakan usul dari Moh Hatta. Berikut ini merupakan naskah tulisan tangan Bung Karno
(naskah klad):
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal² jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
Dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-’05
Wakil2 bangsa Indonesia.
Setelah selesai disusun (jam 03.00) kemudian konsep naskah kemudian dibacakan di ruang tamu.
Bung Hatta mengusulkan bahwa semua yang hadir membubuhkan tandatangan di naskah
proklamasi. Bung Hatta terinspirasi dengan naskah declaration of independent di Amerika. Usul
tersebut ditolak oleh Sukarni. Sukarni menyatakan bahwa yang tandatangan cukup Bung
Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Alasan dari Sukarni bahwa yang hadir
pada saat itu terdapat orang-orang yang pro dengan Jepang, kalau mereka ikut tandatangan
maka kemerdekaan Indonesia hanya sebatas hadiah dari Jepang. Teks proklamasi kemudian
diketik oleh Sayuti Melik. Isi teks proklamasi kemerdekaan hasil ketikan Sayuti Melik (teks
otentik) sebagai berikut:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
Dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Perbedaan antara naskah klad (tulisan tangan Bung Karno) dan teks otentik (ketikan Sayuti Melik)
antara lain kata Proklamasi dirubah menjadi PROKLAMASI, hal2 diganti menjadi hal-hal,
tempoh diganti tempo, wakil-wakil bangsa Indonesia menjadi Atas nama bangsa Indonesia,
Djakarta 17-8-05 diganti menjadi Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Naskah klad setelah
selesai disalin oleh Sayuti Melik dibuang di tempat sampah, untung saja diambil oleh B.M
Diah sehingga sampai sekarang naskah tersebut masih ada.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan
pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief
Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang
pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah
Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin
menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Proklamasi dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945. Susunan Acaranya seperti berikut:
Pidato Soekarno sekaligus pembcaan teks proklamasi
Pengibaran bendera merah putih
Sambutan-sambutan
Sejak pagi hari, sudah banyak orang berdatangan di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56.
Tokoh-tokoh yang sudah hadir, antara lain Mr. A. A. Maramis, dr. Buntaran Martoatmojo,
Mr. Latuharhary, Abikusno Cokrosuyoso, Otto Iskandardinata, Ki Hajar Dewantoro, Sam
Ratulangi, Sartono, Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, dr. Muwardi, Ny. SK.
Trimurti, dan AG. Pringgodigdo. Diperkirakan yang hadir pada pagi itu seluruhnya ada
1.000 orang.
Upacara dilanjutkan dengan pengibaran bendera merah putih yang dijahit oleh. Pengibar bendera
adalah A.G Pringgodigdo dan S. Suhud. Hadirin yang datang secara bersama-sama menyanyikan
lagu Indonesia raya. Acara terakhir kemudian sambutan dari Walikota Jakarta yaitu Suwiryo
kemudian dilanjutkan oleh sambutan dr Moewardi sebagai pimpinan pemuda. Sekitar jam 11.00,
upacara Proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah selesai.
Tindakan terhadap Jepang khususnya untuk merebut dan melucuti senjata-senjata Jepang. Tujuan
melucuti senjata Jepang : (1) Memperoleh senjata untuk modal perang. (2) Mencegah senjata Jepang
supaya tak jatuh ke tangan sekutu. (3) Mencegah supaya senjata Jepang tak dipakai untuk
membunuh rakyat.
Pertempuran di Yogyakarta
Pada tanggal 26 September 1945, para pegawai pemerintah dan perusahaan yang dikuasai Jepang
mengadakan aksi mogok. Mereka memaksa pihak Jepang untuk menyerahkan semua kantor
terhadap pihak Indonesia. Perbuatan itu diperkuat oleh Komite Nasional Indonesia daerah
Yogyakarta yang
memkabarhukan berdirinya pemerintah RI di Yogyakarta. Pada tanggal 7 Oktober 1945, rakyat dan
BKR merebut tangsi Otsukai Butai.
Untuk membuktikan desas-desus itu, Dr. Karyadi memberanikan diri untuk mengecek air minum
tersebut. Ketika sedang meperbuat pemeriksaan, ia ditembak Jepang dan kemudia gugur. Momen ini
memunculkan amarah rakyat jadi berkobarlah pertempuran Lima Hari di Semarang. Dalam
pertempuran tersebut, setidak sedikit 2000 rakyat Semarang menjadi korban dan 100 orang Jepang
tewas. Pertempuran ini sukses diakhiri seusai ceo TKR berunding dengan pasukan Jepang. Usaha
perdamaian tersebut akhirnya lebih dipercepat setalah pasukan Sekutu (Inggris) mendarat di
Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Untuk selanjutnya, pasukan Sekutu menawan dan
melucuti senjata Jepang.
Pertempuran di Kalimantan
Di Kalimantan dukungan Proklamasi Kemerdekaan diperbuat dengan berdemokrasi, pengibaran
Bendera Merah-Putih dan mengadakan rapat-rapat. Pada 14 November 1945 dengan beraninya
kurang lebih 8000 orang berkumpul di komplek NICA dengan mengarak Bendera Merah-Putih.
Pertempuran di Makassar
Para pemuda mendukung Gubernur Sulawesi, Dr. Sam Ratulangi dengan merebut gedung-gedung
Vital dari tangan polisi. Di Gorontalo para pemuda sukses merebut senjata dari markas-markas
Jepang pada 13 Sepember 1945. Di Sumbawa di bulan Desember 1945, rakyat berusaha merebut
markas- markas Jepang. Pada 13 Desember 1945 dengan cara serentak para pemuda meperbuat
agresi terhadap Jepang.
Pertempuran di Aceh
Di Aceh pada 6 Oktober 1945 para pemuda dan tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda
Indonesia (API). 6 hari kemudian Jepang melarang berdirinya organisasi tersebut. pemuda menolak
dan timbulah pertempuran. Para pemuda mengambil alih kantor-kantor pemerintah Jepang, melucuti
senjatanya dan mengibarkan Bendera Merah-Putih.
Pertempuran di Palembang
Di Palembang pada 8 Oktober 1945 Dr. A. K. Gani memimpin rakyat mengadakan upacara
pengibaran Bendera Merah-Putih. Perekutan kekuasaan di Palembang diperbuat tanpa Insiden.
Pihak Jepang berusaha menghindari pertempuran.
Pertempuran di Sumbawa
Di bulan Desember 1945, para pemuda Indonesia di Sumbawa meperbuat aksi. Mereka meperbuat
perebutan terhadap pos-pos militer Jepang, yaitu terjadi di Gempe, Sape, dan Raba.
Jalan tunjangan yang merupakan jaln pusat kota itu bagaikan kerimunan semut, banyak dari
kalangan pemuda,pelajar,maupun dari golongan dewasa yang berkumpul,guna protes atas ulah yang
di lakukanya. Residen Sudirman yang merupakan wakil dari keresidenan daerah surabaya itu
langsung menemui ploegman dengan di dampingi oleh sidik dan hariono. Mereka bertujuan untuk
melakukan perundingan dengan pihak belanda untuk menurunkan bendera tri warna tersebut.
Tampaknya usaha yang dilkukan sudirman sia-sia, ploegman dengan nada keras dan mengangkat
senjata revolvernya menjawab ”tentara sekutu telah menang, dan belanda merupakan sekutu,maka
sekarang pemerintah hindia belanda berhak atas indonesia! Republik indonesia tidak kami akui”.
Merasa usaha yang di lakukan gagal dengan yang di sertai perasaan amarah yang begitu kuat,sidik
dan harianto mengambil langkah yang mengejutkan. Sidik langsung menendang revolver yang di
pengang oleh ploegman hingga terpental dan menyebabkan letusan tanpa mengenai korban.
Sementara harianto menyeret sudirman dari rauanga tersebut,namun sidik masih terus melakukan
pergulatan dengan ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Setelah letusan pistol milik poegman
tersebut menyebabkan bebrapa sidik hingga tersunggkur ke tanah. Mengetahui kondisi yang sepert
ini akhirnya para pemuda yang di luar hotel merengsek masuk ke hotel,hingga perkelahian tak dapat
di hindarkan. Sementara itu hariono dengan kusno wibowo di bantu dengan beberapa pemuda
melakukan pemanjatan guna menurunkan bendera tri warna tersebut. Setelah berhasil
menurunkanya mereka merobek bendera yang bagian biru hingga akhirnya berkibarlah bendera
merah putih. Pekik “merdeka” di lontarkan oleh mereka sebagai tanda kehormatan dan kedaulatan
dari Indonesia.
Di beberapa tempat di Jawa tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata Jepang tanpa
kekerasan antara lain di banyumas, tapi terjadi kekerasan di ibukota semarang. Kido butai (pusat
ketentaraan Jepang di jatingaleh) nampak tidak memberikan persetujuaanya secara menyeluruh,
meskipun di jamin oleh gubernur wonsonegoro, bahwam sejata tersebut tidak untuk melawan
Jepang. Permintaan yang berulang ulang Cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itu pun
snjata- senjata yang agak usang. Kecurigaan BKR dan pemuda semarang semakin bertambah,
setelah sekutu mulai mendaratkan pasukannya di pulau jawa.
Pihak indonesia khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada sekutu, dan
berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum sekutu mendarat di
semarang.karna sudah pasti pasukan belanda yang bergabung dengan sekutu akan ikut dalam
pendaratan itu yang tujuannya menjajah indonesia lagi. Pertempuran lima hari di semarang ini
dimulai menjelang minggu malam tanggal 15 oktober 1945. Keadaan kota semarang sangatlah
mencekam apalagi di jalan jalan dan kampung kampung di mana ada pos BKR dan pemuda tampak
keaadan siap. Pasukan pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi istimewa,AMRI,
AMKA (angkatan muda kereta api) dan organisasi para pemuda lainnya. Dapat pula kita tambahkan
di sini, bahwa markas Jepang di bantu oleh pasukan Jepang sebesar 675 orang,yang mereka dalam
perjalanan dari irian ke jakarta,tapi karena persoalan logistik,pasukan ini singgah ke semarang.
Pasukan ini merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang irian.
Keaadan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi pasukan Jepang yang
berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataanya , sementara kelompok pasukan pemuda
belum pernah bertempur, dan hampir-hampir tidak bersenjata. Juga sebagian besar belum pernah
mendapat latihan,kecuali di antaranya pasukan polisi intimewa, anggota BKR, dari ex-PETA dan
Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa pengalaman tempur.
Pertempuran lima hari di semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara Jepang yang bertugas
membangun pabrik senjata di cepiring dekat semarang. Pertempuran antara pemberontak Jepang
melawan pemuda ini berkorban sejak dari cepiring (kl 30 km sebelah barat semarang) hingga
jatingaleh yang terletak di bagian atas kota. Di jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur
menggabungkan diri dengan pasukan kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut.
Suasana kota semarang menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan kidobutai jatingaleh akan segera
mengadakan serangan balasan terhadap para emuda indonesia. Situasi hangat bertambah panas
dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di
candi (Siranda) telah diracuni. Pihak Jepang yang disangka telah melakukan peracunan lebih
memperuncing keadaan dengan melecuti delapan orang polisi indonesia yang menjaga tempat
tersebut untuk menghidarkan peracunan cadangan air minum itu. Dr. Karyadi, kepala laboratorium
pusat rumah sakit rakyat (perusara) ketika mendengar berita ini langsung meluncur ke siranda untuk
mengecek kebenarannya. Tetapi beliau tidak pernah sampai tujuan, jenazahnya ditemukan di jalan
Pandanaran semarang, karena dibunuh tentara Jepang (namanya diabadikan menjadi RS di
semarang).
Keesokan harinya 15 oktober 1945 jam 03:00 pasukan kidobutai benar-benar melancarkan
serangannya ke tengah-tengah kota semarang. Markas BKR kota semarang menepati kompleks
bekas sekolah MULO di mugas (di belakang bekas pom bensin pandaran). Dibelakangnya terdapat
sebuah bukit rendah dari sinilah di waktu fajar kidobutai melancarkan serangannya mendadak
berkas BKR secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan mesin
gancar, diperkirakan pasukan Jepang yang menyerang nerjumlah 400 orang. Setelah memberikan
perlawanan setengah jam pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin dapat
mempertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara Jepang, pasukan BKR
mengundurkan diri meninggalkan maarkasnya. Pertempuran ini dimulai pada 15 oktober 1945 – 20
oktober 1945
Pada kesempatan tersebut Ir. Sukarno juga menjadi pembicara kedua. Ia mengemukakan tentang
lima dasar negara. Lima dasar itu adalah (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau
Peri Kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, (5) Ketuhanan
Yang Maha Esa. Pidato itu kemudian dikenal dengan Pancasila .
BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang. Pembentukan panitia
sembilan itu bertujuan untuk merumuskan tujuan dan maksud didirikannya Negara
Indonesia. Panitia kecil itu terdiri atas:
Sukarno,
Drs Moh Hatta
Drs Muh. Yamin,
Ahmad Subardjo,
A.A Maramis,
Abdul Kahar Muzakkar,
Wahid Hasyim,
Agus Salim,
Abikusno Cokrosuyoso.
Hasil dari perumusan Panitia Sembilan adalah Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Isi dari
Piagam Jakarta adalah:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. (menurut) dasar kemanusian yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia
4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan/ perwakilan
5. (serta dengan mewujudkan suatu ) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada sidang PPKI yang pertama tanggal 18 Agustus 1945 disahkanlah undang-undang dasar
1945 dengan beberapa perubahan terutama pada sila pertama dalam Piagam Jakarta. Ada sebuah
berita bahwa kalau sila pertama tidak dirubah, maka Indonesia bagian timur akan melepaskan diri
dari Indonesia. Oleh karena kearifan dan kebijaksaan tokoh-tokoh pada saat itu maka sila pertama
berubah dari “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
BPUPKI yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat merupakan badan awal yang bertugas
mempersiapkan hal sesuatu yang berhubungan dengan sebuah Negara merdeka, diantaranya dasar
Negara dan Undang-udang dasar. Hasil dari sidang BPUPKI 1 dan 2 menghasilakan dasar Negara
yang terkenal dengan Pancasila hasil dari Piagam Jakarta yang dibuat oleh panitia Sembilan. Setalah
berhasil membuat berbagai persiapan tersebut, maka badan tersebut diganti dengan PPKI. Hal ini
juga dipengaruhi oleh keadaan perang yang memperlihatkan tanda-tanda akan kekalahan Jepang.
Salah satunya adalah bom atom di kota Hirosima (6 Agustus 1945).
PPKI dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945, merupakan badan yang akan mempersiapkan
penyerahan kekuasaan pemerintah dari bala tentara Jepang kepada bangsa Indonesia. Janji Jepang
memang sangat menggiurkan bagi bangsa Indonesia. Pemerintah Jepang sendiri seakan serius dalam
pemberian janji tersebut, sehingga tokoh-tokoh yang berjuang secara kooperatif seperti Bung Karno
dan Hatta mau bekerjasama dengan Jepang. Pembentukan PPKI langsung ditangani oleh
Mersekal Terauci yang menjabat sebagai panglima bala tentara Jepang di Asia Tenggara yang
berkedudukan di Dalat Vietnam.
Anggota PPKI terdiri dari 21 orang yang berasal dari berbagai pulau diantaranya Jawa (21),
Sumatera (3), Sulawesi (2), Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku dan golongan Cina masing-masing
diwakili 1 orang. Sebagai ketua PPKI adalah Bung Karno dan sebagai wakil Bung Hatta.
Anggota PPKI yaitu: Bung Karno, Bung Hatta, Radjiman, Otto Iskandardinata, Wachid
Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Suryohamijoyo, Sutarjo Kartohadikusumo, Supomo,
Abdulkadir, Poeroebojo dan Suroso berasal dari Jawa, Amir Syarifudin, Teuku Moh Hasan
dan Abdul Abas dari Sumatera, Ratulangie dan Andi Pangeran dari Sulawesi, Hamidan
(Kalimantan), Gusti Ktut Puja (Sunda Kecil), Latuharhary (Maluku) dan Yap Chuan Bing
wakil dari etnis Cina.
Di kemudian hari anggota PPKI ditambah enam orang tanpa sepengetahuan Jepang. Maksud
penambahan ini merupakan bentuk simbolis bahwa PPKI bentukan orang Indonesia bukan
bentukan dari Jepang. Enam anggota baru yaitu Ahmad Subarjo, Sayuti Melik, Ki Hajar
Dewantara, Iwa Kusumasumantri, Kasman Singodimedjo, dan Wiranatakusumah. Kemudian
PPKI menjadi alat penting dalam usaha melengkapi keperluan yang dibutuhkan dalam satu Negara
merdeka.
Pada saat pelantikan yaitu pada tanggal 9 Agustus 1945, ketiga tokoh nasional Soekarno, Hatta
dan Radjiman W, dipanggil ke Dalat Vietnam. Tujuannya adalah mendengarkan instruksi dari
pemerintah Jepang terhadap langkah selanjutnya dari PPKI. Pada pertemuan tangal 12
Agustus, Terauci mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia akan dilakukan pada tanggal 24
Agustus 1945 dengan wilayah Indonesia meliputi seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda. Setelah
itu kemudian Soekarno dan rombongan kembali ke Indonesia. Pada tanggal 15 Agustus terjadi
peristiwa besar yang seakan-akan memupuskan kemerdekaan Indonesia, Jepang menyerah kepada
Sekutu dan menyuruh Jepang untuk tetap mempertahankan status quo. Janji kemerdekaan hilang,
janji status quo yang datang.
Kemudian terjadilah peristiwa Rengasdengklok yang mana terjadi perbedaan pendapat antara
golongan muda dan golongan tua. Pangkal dari permasalahannya adalah mengenai waktu dan
pelaksana proklamasi. Golongan muda ingin segera, golongan tua nanti dulu. Golongan muda
menolak proklamasi dilakukan oleh PPKI, sedangkan golongan tua akan mengadakan rapat PPKI
pada tanggal 16 Agustus. Guna mendesak Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemederkaan,
para pemuda bertindak nekad dengan menculik kedua tokoh tersebut ke Rengasdengklok. Dan pada
akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan diri kemerdekaan tanah ibu
pertiwi dari penjajahan.
Setelah itu, PPKI memerankan hal yang penting dalam proses penyusunan lembaga-lembaga
Negara. Selama hayatnya PPKI melakukan tiga kali sidang. Sidang pertama dipenuhi dengan
berbagai friksi dikarenakan membahas masalah yang fundamenta, yaitu dasar Negara. Atas suatu
keinginan untuk mendirikan Negara baru, maka para tokoh melakukan kompromi yaitu mengganti
beberapa pasal dalam UUD 1945. Salah satunya adalah dalam hal dasar Negara yang mana piagam
Jakarta dikoreksi pada sila pertamanya, hal ini dikarenakan agar tidak terjadi perpecahan bagi
Negara yang baru sehari lahir. Bunyi sila pertama “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat-syariat Islam bagi pemeluknya, dirubah menjadi “Ketuhanan YME. Hal ini menandakan
kemajemukan Indonesia.
Pengesahan UUD 1945. Sidang PPKI pertama dilaksanakan di sebuah Gedung Cuo Sangi In di
Jalan Pejambon. Pada rapat ini Soekarno-Hatta meminta sejumlah tokoh untuk merevisi ulang
kembali piagam Jakarta, khusunya pada kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal tersebut memicu rasa keberatan bagi pemeluk
agama lain (selain agama Islam). Akhirnya setelah melakukan perundingan yang dilakukan
kurang lebih selama 15 menit yang dipimpin oleh Bung Hatta semua tokoh mencapai kesepakatan
untuk merubahnyamenjadi “ Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Penetapan Ir.Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Penetapan
Soekarno-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Otto Iskandardinata
secara aklamasi.
Pembentukan Komite Nasional. Pembentukan Komite Nasional ditujukan untuk membantu
tugas presiden selama Majelis Permusyawaratan Rakyat belum terbentuk.
Dibaginya wilayah Indonesia menjadi 8 provinsi meliputi wilayah Sumatra, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Berikut di
bawah ini rincian setiap wilayah provinsi dan gubernur yang ditetapkan sebagai pemimpinnya:
(a) Sumatra dengan Teuku Mohammad Hassan sebagai gubernurnya. (b) Jawa Barat dengan
Sutarjo Kartohadikusumo sebagai gubernurnya. (c) Jawa Tengah dengan R. Panji Suroso sebagai
gubernurnya. (d) Jawa Timur dengan R.A Suryo sebagai gubernurnya . (e) Sunda Kecil dengan
Mr. I Gusti Ketut Puja Suroso sebagai gubernurnya. (f) Maluku dengan Mr. J. Latuharhary
sebagai gubernurnya. (g) Sulawesi dengan Dr.G.S.S.J. Ratulangi sebagai gubernurnya. (h)
Kalimantan dengan Ir. Pangeran Mohammad Nor sebagai gubernurnya.
Menetapkan 12 Kementrian Kabinet Dalam Lingkungan Pemerintahan. departemen yang
dibentuk yaitu: (a) Departemen dalam negeri : RRA Wiranata Kusumah (b) Departemen luar
negeri : Mr. Achmad Soebardjo (c) Departemen kehakiman : Prof. Dr. Mr Soepomo (d)
Departemen pengajaran : Ki Hajar Dewantoro (e) Departemen pekerjaan umum : Abukusno
Cokrosuyoso (f) Departemen perhubungan : Abikusno Cokrisuyoso (g) Departemen keuangan :
AA maramis (h) Departemen Kemakmuran : Ir. Surachman (i) Departemen kesehatan : dr.
Buntaran Martoatmojo (j) Departemen sosial : Mr. Iwa Kusuma Sumantri (k) Departemen
keamanan rakyat : Supriyadi (l) Departemen Penerangan : Mr. Amir syamsudin
Pembentukan Komite Nasional. Pada tanggal 29 Agustus 1945,137 orang anggota KNIP secara
resmi dilantik di Gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta. KNIP terdiri dari golongan muda dan
masyarakat dari berbagai daerah serta anggota PPKI sebagai intinya. Dalam sidang pertama
KNIP berhasil menunjuk Kasman singodimejo sebagai ketua dan M. Sutarjo sebagai wakil
ketua pertama, Latuharhary sebagai wakil ketua kedua, dan Adam malik sebagai wakil
ketua ketiga.
Pembentukan PNI. PNI diketuai oleh Ir.Soekarno. Pembentukan PNI pada awalnya ditujukan
sebagai satu-satunya partai di Indonesia dengan tujuan yang seperti disebutkan dalam risalah
sidang PPKI yaitu mewujudkan negara Republik Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur
berdasarkan kedaulatan rakyat. Namun dalam perkembangannya muncul maklumat pada tanggal
31 Agustus 1945 yang berisikan penundaan segala kegiatan yang dilakukan PNI yang akhirnya
dilimpahkan kepada KNIP. Sejak saat itu gagasan yang hanya ada satu partai di Indonesia tidak
pernah lagi dimunculkan.
Pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Pembentukan BKR merupakan perubahan
dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang sebelumnya merencanakan
pembentukan tentara kebangsaan. Perubahan tersebut akhirnya diputuskan pada tanggal 22
Agustus 1945 untuk tidak membentuk tentara kebangsaan. Keputusan ini dilandasi oleh berbagai
pertimbangan politik. Para pemimpin pada waktu itu memilih untuk lebih menempuh cara
diplomasi untuk memperoleh pengakuan terhadap kemerdakaan yang baru saja diproklamasikan.
Tentara pendudukan Jepang yang masih bersenjata lengkap dengan mental yang sedang jatuh
karena kalah perang, menjadi salah satu pertimbangan juga, untuk menghindari bentrokan apabila
langsung dibentuk sebuah tentara kebangsaan.
M. SIDANG PPKI I
Sehari sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yakni tanggal 18 Agustus 1945, PPKI
mengadakan rapat pleno di Pejambon Jakarta (di gedung yang sekarang menjadi Departemen
Kehakiman). Rapat yang dihadiri 27 orang anggota itu Soekarno dan Hatta. Rapat tersebut
menghasilkan 3 keputusan penting, yaitu pengesahan UUD 1945, pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, pembentukan Komite Nasional yang bertugas membantu presiden sebelum DPR
terbentuk
Mengesahkan UUD 1945
Sebelum rapat pleno dimulai, Seokarno dan Hatta meminta kesediaan Ki Bagus Hadikusumo, K.H.
Wahid hasyim, Mr. Kasman Singodimejo dan Mr. Teuku Mohammad Hassan untuk membahas
masalah rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar. Masalah itu terutama mengenai kalimat
“Ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Keberatan pemeluk
agama lain adalah bahwa kalimat tersebut dapat membahayakan persatuan republik yang baru lahir
itu.
Di bawah pimpinan Hatta, keempat tokoh tersebut menyendiri di salah satu ruangan untuk bertukar
pikiran. Hanya dalam waktu 15 menit, semua sepakat untuk menghilangkan kalimat “dengan
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Seandainya masalah itu dibicarakan dalam
rapat pleno, tentu akan memakan waktu berlarut-larut.
Rapat membahas rancangan pembukaan dan undang-undang dasar yang telah disiapkan BPUPKI
(dengan sedikit perubahan pada pembukaan sesuai kesepakatan tim kecil tadi). Dalam waktu 2 jam,
rapat menyepakati bersama rancangan itu lalu mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi
Undang-Undang dasar Republik Indonesia. Dengan pengesahan UUD 1945 itu, Indonesia telah
memiliki landasan hidup bernegara.
Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden republik Indonesia diiringi dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh
peserta rapat secara spontan. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara aklamasi dan cepat itu
menunjukkan betapa para anggota PPKI menyadari kepentingan nasional dan persatuan bangsa.
Dengan terpilihnya Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden itu,
maka Indonesia telah memiliki lembaga pemerintahan sendiri.
N. SIDANG PPKI II
Pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI kembali melakukan sidang yang kedua. Maka pada sidang
PPKI II dibahas mengenai kementerian dan pembagian wilayah. Hasil sidang PPKI II diputuskan
bahwa dibentuk 12 kementerian/Departemen, serta pembagian provinsi di Indonesia menjadi 8
Provinsi.
Pembentukan 12 Kementerian
Sebelum rapat pleno, Presiden Soekarno menugaskan panitia kecil untuk membahas susunan
kementerian. panitia kecil itu terdiri atas Ahmad Subardjo (ketua), Sutarjo Kartohadikusumo,
dan Kasman Singodimejo. Hasil pembahasan panitia kecil itu kemudian dibicarakan dalam rapat
pleno, pada tanggal 19 Agustus 1945. Rapat pleno memutuskan penyusunan 12 menteri yang
memimpin departemen dan 4 menteri negara.
SUSUNAN KEMENTERIAN
Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakusumah
Menteri Luar Negeri Mr. Ahmad Subardjo
Menteri Kehakiman Prof. Mr. Dr. Supomo
Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis
Menteri Kemakmuran Ir. Surachman Tjokroadisurjo
Menteri Kesehatan Dr. Buntaran Martoatmodjo
Menteri Pengajaran Ki Hajar Dewantara
Menteri Sosial Mr. Iwa Kusumasumantri
Menteri Keamanan Rakyat Supriyadi
Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin
Menteri Perhubungan Abikusno Cokrosujoso
Menteri Pekerjaan Umum Abikusno Cokrosujoso
Menteri Negara Wahid Hasyim
Menteri Negara Dr. M. Amir
Menteri Negara Mr. R.M. Sartono
Menteri Negara Otto Iskandardinata
Pembagian Wilayah
Sebelum rapat pleno, Presiden Soekarno juga menugaskan panitia kecil untuk membahas pembagian
wilayah negara. Panitia kecil itu terdiri atas Otto Iskandardinata (ketua), Subardjo, Sayuti
Melik, Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusumah, Dr. Amir, A.A. Hamidhan, Dr. Ratulangi,
dan Ktut Puja. Hasil pembahasan panitia kecil itu kemudian dibicarakan dalam rapat pleno, pada
tanggal 19 Agustus 1945. Rapat pleno memutuskan untuk membagi wilayah Republik Indonesia
menjadi 8 propinsi. Masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur.
Wewenang KNIP sebagai DPR ditetapkan dalam rapat KNIP melalui maklumat wakil presiden
tanggal 16 Oktober 1945 meliputi hal-hal berikut.
KNIP sebelum DPR/MPR terbentuk diserahi kekuasaan legislatif untuk membuat undang-
undang dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Berhubung gentingnya keadaan, maka pekerjaan sehari-hari KNIP dijalankan oleh sebuah
Badan Pekerja KNIP yang diketuai oleh Sutan Syahrir. Komite Nasional Indonesia disusun
dari tingkat pusat sampai daerah. Pada tingkat pusat disebut Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) dan pada tingkat daerah yang disusun sampai tingkat kawedanan disebut Komite
Nasional Indonesia.
KNID adalah Komite Nasional Indonesia Daerah. Tugas KNID adalah untuk membantu dan
mengawasi jalannya kinerja pemerintahan di tataran lebih rendah daripada presiden, seperti
gubernur dan bupati.
Namun dalam perkembangannya muncul maklumat pada tanggal 3 November 1945 yang berisikan
penundaan segala kegiatan yang dilakukan PNI yang akhirnya dilimpahkan kepada KNIP. Adanya
partai tunggal ini ditentang oleh berbagai pihak dikarenakan bertentangan dengan nilai demokratis.
Sejak saat itu gagasan yang hanya ada satu partai di Indonesia tidak pernah lagi dimunculkan.
Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945 mengumumkan dibentuknya BKR. Presiden
berpidato dengan mengajak para sukarelawan pemuda, bekas PETA, Heiho, dan Kaigun untuk
berkumpul pada tanggal 24 Agustus 1945 di daerahnya masing-masing. Badan Keamanan Rakyat
(atau biasa disingkat BKR) adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan tugas pemeliharaan
keamanan bersama-sama dengan rakyat dan jawatan-jawatan negara. Anggota BKR saat itu adalah
para pemuda Indonesia yang sebelumnya telah mendapat pendidikan militer sebagai tentara Heiho,
Pembela Tanah Air (PETA), KNIL dan lain sebagainya. BKR tingkat pusat yang bermarkas di
Jakarta dipimpin oleh Moefreni Moekmin. Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober
1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan setelah mengalami beberapa
kali perubahan nama akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia.
Di berbagai daerah kemudian juga berkembang badan-badan perjuangan. Di Surabaya muncul BBI
pada tanggal 21 Agustus 1945. Kemudian pada tanggal 25 Agustus 1945, dibentuk Angkatan Muda
oleh Sumarsono dan Ruslan Wijayasastra. Kedua tokoh ini kemudian membentuk PRI (Pemuda
Republik Indonesia) bersama Bung Tomo pada tanggal 23 September.
Demikian halnya yang terjadi di Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang, di sana juga muncul
berbagai badan perjuangan. Misalnya, Angkatan Muda dan Pemuda di Semarang, Angkatan Muda
di Surakarta, Angkatan Muda Pegawai Kesultanan atau dikenal Pekik (Pemuda Kita Kesultanan) di
Yogyakarta. Di Bandung berdiri Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia yang kemudian lebih dikenal
dengan PRI (Pemuda Republik Indonesia).Selain itu, juga muncul Barisan Banteng, Pesindo
(Pemuda Sosialis Indonesia).
BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia), dan juga muncul Hizbullah-Sabilillah. Bahkan
orang-orang luar Jawa yang berada di Jawa membentuk badan perjuangan seperti KRIS (Kebaktian
Rakyat Indonesia Sulawesi) dan PIM (Pemuda Indonesia Maluku). Kemudian, muncul pula badan-
badan perjuangan yang lebih bersifat khusus, misalnya TP (Tentara Pelajar), TGP (Tentara Genie
Pelajar), dan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Selanjutnya berkembang pula kelaskaran.
Badan-badan perjuangan juga berkembang di luar Jawa, antara lain sebagai berikut.
Di Aceh terdapat API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang dipimpin oleh Syamaun Gaharu dan
BPI (Barisan Pemuda Indonesia) kemudian menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang
dipimpin oleh A. Hasyim.
Di Sumatra Utara terdapat Pemuda Republik Andalas.
Di Sumatra Barat terdapat Pemuda Andalas dan Pemuda Republik Indonesia Andalas Barat.
Di Lampung terdapat API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang dipimpin oleh Pangeran Emir
Mohammad Noor.
Di Bengkulu terdapat PRI (Pemuda Republik Indonesia) dipimpin oleh Nawawi Manaf.
Di Kalimantan Barat terdapat PPRI (Pemuda Penyongsong Republik Indonesia). Tokoh-
tokohnya, antara lain Musani Rani dan Jayadi Saman.
Di Kalimantan Selatan terdapat PRI (Persatuan Rakyat Indonesia) yang dipimpin oleh Rusbandi.
Di Bali terdapat AMI (Angkatan Muda Indonesia) dan PRI (Pernuda Republik Indonesia).
Di Sulawesi Selatan terdapat PPNI (Pusat Pemuda Nasional Indonesia) yang dipimpin oleh
Manai Sophian, AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), Pemuda Merah Putih, dan
Penunjang Republik Indonesia.
Dengan munculnya badan-badan perjuangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa di seluruh tanah
air telah siap menggelorakan revolusi untuk membersihkan kekuatan Jepang dari Indonesia.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengumumkan secara resmi berdirinya
BKR. Berdirinya BKR itu ditindak lanjuti dengan pembentukan BKR pusat dan BKR daerah.
Pemimpin BKR Pusat adalah Kaprawi (ketua umum), Sutalaksana (ketua I), dan Latief
Hendraningrat (ketua II). Para pemimpin BKR daerah antara lain Aruji Kartawinata (Jawa
Barat), Soedirman (Jawa Tengah), dan drg. Mustopo (Jawa Timur).
Pembentukan BKR ini membuat sebagian pemuda merasa tidak puas. Mereka menuntut
dibentuknya tentara nasional. Setelah mengalami tindakan provokasi pasukan Sekutu dan Belanda
yang mengancam keamanan negara, aksinya pemerintah menyadari perlu dibentuknya tentara
kebangsaan. Untuk itu, pemerintah menugaskan KNIL Mayor Oerip Soemohardjo untuk
menyusun tentara kebangsaan. Pada tanggal 5 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan
maklumat yang meresmikan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Berdasarkan maklumat pemerintah itu Oerip Soemohardjo mendirikan Markas Tertinggi TKR di
Yogyakarta, Ia menjabat sebagai Kepala Staf Umum TKR. Sebagai Panglima TKR, pemerintah
menunjuk Supriyadi, tokoh pemberontakan PETA di Blitar. Karena Supriyadi ternyata tidak
pernah menduduki jabatannya, Markas Tertinggi TKR mengadakan pemilihan pemimpin
tertinggi pada bulan November 1945. Orang yang terpilih adalah Kolonel Soedirman,
Komandan Divisi V / Banyumas. Sebulan kemudian, Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar
TKR dengan pangkat Jenderal, Sedangkan Oerip Soemohardjo tetap menjadi Kepala Staf Umum
TKR dengan pangkat Letnan Jenderal.
Badan-badan perjuangan bernaung dibawah Komite Van Aksi, antara lain Angkatan Pemuda
Indonesia (API), Barisan Rakyat Indonesia (BARA), dan Barisan Buruh Indonesia (BBI),. Badan-
badan perjuangan kemudian dibentuk diseluruh Indonesia, seperti Barisan Banteng Kebaktian
Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Hisbullah Sabilllah, Pemuda
Sosialis Indonesia (Pesindo, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Barisan Pemuda
Indonesia (BPI), dan Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Sidang PPKI tanggal 22 Agustus berhasil membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan
diumumkan oleh presiden pada tanggal 23 Agustus 1945. dengan pemimpin BKR pusat sebagai
berikut :
Ketua umum : Kaprawi
Ketua I : Sutalaksana
Ketua II : Latief Hendraningrat
Anggota : Arifin Abdurahman, Mahmud dan Zulkifli Lubis
Pada tanggal 16 September 1945 South East Asian Comand (SEAC) merupakan angkatan perang
Inggris mendarat di Jakrta dan melakukan tekanan kepada Jepang untuk tetap mempertahankan
status quo. Hal itu menimbulkan keberanian serdadu Jepang untuk mempertahankan diri terhadap
pemuda Indonesia yang sedang melucuti senjata. Pada tanggal 29 September 1945 datang lagi
tentara Sekutu yang tergabung dalam Alied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) dengan
membawa pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Hal ini menimbulakan
perlawanan sengit dari para pemuda Indonesia terhadap sedadu NICA dan sekutu pada umumnya.
Pemerintah memanggil pensiunan Mayor KNIL Urip Sumoharjo ke Jakarta dan dberi tugas
membentuk tentara kebangasaan Indonesia. Melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945
terbentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dengan Maklumat Pemerintah Tanggal 6
Oktober 1945, Supriyadi, pemimpin perlawanan Peta di Blitar (Febuari 1945), diangkat sebagai
Menteri Keamanan Rakyat. Karena Supriyadi tidak memenuhi panggilan dan tidak terdengar kabar
beritanya, pada tanggal 20 Oktober 1945, pemerintah kembali mengumumkan para pejabat
pemimpin di lingkungan Kementerian Keamanan Rakyat antara lain Menteri Keamanan Rakyat ad
interim, Muhammmad Suroadikusumo, pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat, Supriyadi,
dan sebagai kepala staf Umum Tentara Keamanan Rakyat adalah Urip Sumoharjo.
Dalam Konferensi TKR yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 12 November 1945,
Kolonel Sudirman, Panglima Divisi V Banyumas dipilih menjadi pemimpin tertinggi TKR
sedangkan kepal staf dipilih Urip Sumoharjo. Pengangkatan Kolonel Sudirman dalam jabatan
tersebut baru terlaksana setelah selesai pertempuran di Ambarawa. Untuk menghilangkan
kesimpangsiuran, Markas Besar TKR pada tanggal 6 Desember 1945 mengeluarkan sebuah
maklumat. Isi maklumat ini menyatakan bahwa disamping tentara resmi (TKR) diperbolehkan
adanya lascar-laskar sebab hak dan kewajiban mempertahankan negara bukanlah monopoli tentara.
Pada tanggal 18 Desember 1945 pemerintah melantik Kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar
TKR dengan pengangkatan Jenderal. Sebagai kepala Staf TKR dilantik Urip Sumoharjo dengan
pangkat letnan Jenderal.
Tugas utama panglima Besar TKR adalah meninjau kembali struktur organisasi, struktur kerja, dan
landasan perjuangan TKR supaya diadakan penyempurnaan lebih lanjut. Untuk itu, diadakan rapat
dengan para panglima divisi. Hasil rapat pimpinan pada tanggal 1 Januari 1946 menyebabkan
pemerintah mengubah nama Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat, Kementerian Keamanan Rakyat menjadi Kementerian Pertahanan. Belum sampai sebulan
dikeluarkan lagi Maklumat Pemerintah Tanggal 23 Januari 1945 untuk mengganti nama
Tentara Keselamatan Rakyat dengan nama Tentara Republik Indonesia (TRI).
Tanggal 19 Juli 1946 terbentuklah Angkatan Laut Republik Indonesia disingkat ALRI. Selanjutnya,
pada tanggal 9 April 1946 TRI bagian perhubungan udara diganti nam dan strukturnya menjadi
Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara atau dikenal dengan nama Angkatan Udara Republik
Indonesia (AURI). Pada tanggal 5 Mei 1947 presiden mengeluarkan dekrit guna membentuk Panitia
Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia dengan beranggotakan 21 orang dari pimpinan
beberapa lascar yang paling berpengaruh kuat. Panitia itu dipimpin Presiden Sukarno sendiri. Pada
tanggal 7 Juni 1947 keluar sebuah Penetapan Presiden yang membentuk suatu organisasi tentara
yang bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai penyempurna TRI. Didalam penetapan itu,
antara lain diputuskan bahwa mulai tanggal 3 juni 1947 secara resmi Tentara Nasional Indonesia
dengan segenap anggota angkatan perang yang ada sebagai inti kekuatannya. Selain itu, anggota
lascar bersenjata, baik yang sudah maupun yang belum bergabung dalam biro perjuangan dimasukan
serentak dalam Tentara Nasional Indonesia, dengan Kepala Pucuk Pemimpin, Panglima Besar
Jenderal Soedirman.
Pihak sekutu memutuskan bahwa pasukan – pasukan Amerika Serikat akan memusatkan perhatian
pada pulau – pulau di Jepang, sedangkan tanggung jawab terhadap Indonesia dipindahkan dari
SWPC (South West Pasific Command) dibawah komando Amerika Serikat kepada SEAC (South
East Asia Command) di bawah komando Inggris yang dipimpin Laksamana Lord Louis
Mountbatten. Sebelum kedatangan tentara sekutu ke Indonesia, pada tanggal 8 September
Laksamana L. L. Mountbatten mengutus tujuh perwira Inggris di bawah pimpinan Mayor A. G.
Greenhalgh ke Indonesia. Tugasnya adalah mempelajari serta melaporkan keadaan di Indonesia
menjelang pendaratan pasukan sekutu.
Pada tanggal 16 September 1945 rombongan perwakilan sekutu berlabuh di Tanjung Priok.
Rombongan ini dipimpin oleh Laksamana Muda W. R. Patterson. Dalam rombongan ini ikut pula
C.
H. O. Van der Plas yang mewakili pimpinan NICA yaitu Dr. H. J. Van Mook. Setelah itu pada
tanggal 29 September 1945 tibalah pasukan SEAC di Tanjung Priok, Jakarta di bawah pimpinan
Letjend Sir Philip Chistison. Pasukan ini bernaung di bawah bendera AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies). Pasukan AFNEI terbagi menjadi 3 divisi yaitu :
Divisi India ke-23, di pimpin oleh Mayor Jendral D.C. Hawthorn bertugas di Jawa Barat
Divisi India ke-5, di pimpin oleh Mayor J E.C Marsergh bertugas di Jawa Timur
Divisi India ke-26, di pimpin oleh Mayor Jendral H.M. Chambers bertugas di Sumatra
Pasukan AFNEI di pusatkan di Barat Indonesia terutama wilayah Sumatera dan Jawa, sedangkan
daerah Indonesia lainnya, terutama wilayah Timur diserahkan kepada angkatan perang Australia.
AFNEI diserahi beberapa tugas menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Indonesia.
Kedatangan sekutu ke Indonesia semula mendapatkan sambutan hangat dari rakyat Indonesia,
seperti kedatangan Jepang dulu. Akan tetapi setelah diketahui mereka datang disertai orang-orang
NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sikap rakyat Indonesia berubah menjadi penuh
kecurigaan dan bahkan akhirnya bermusuhan. Bangsa Indonesia mengetahui bahwa NICA berniat
menegakkan kembali kekuasaannya. Situasi berubah memburuk tatkala NICA mempersenjatai
kembali bekas anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indies Leger). Satuan – satuan KNIL yang
telah dibebaskan Jepang kemudian bergabung dengan tentara NICA. Diberbagai daerah, NICA dan
KNIL yang didukung Inggris/Sekutu melancarkan provokasi dan melakukan teror terhadap para
pemimpin nasional.
Untuk meredakan ketegangan tersebut, pada tanggal 1 Oktober 1945 panglima AFNEI menyatakan
pemberlakuan pemerintahan Republik Indonesia yang ada di daerah – daerah sebagai kekuasaan de
facto. Kerena pernyataan tersebut pemerintah RI menerima pasukan AFNEI dengan tangan terbuka,
bahkan pemerintah RI memerintahkan pejabat daerah untuk membantu tugas – tugas AFNEI.
Pada kenyataannya kedatangan pihak sekutu selalu menimbulkan insiden di beberapa daerah.
Tentara sekutu sering menunjukkan sikap tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Lebih
dari itu, tampak jelas bahwa NICA ingin mengambil alih kembali kekuasaan di Indonesia. Hal ini
membuktikan bahwa AFNEI telah menyimpang dari misi awalnya. Kenyataan tersebut memicu
pertempuran di beberapa daerah seperti Surabaya, Bandung, Medan, Ambarawa, Manado, dan Bali.
NICA (belanda) kembali datang ke Indonesia dengan membonceng tentara AFNEI (sekutu) yang
bertugas melucuti senjata tentara Jepang. Kedatangan NICA ingin kembali menggakkan kekuasaan
Belanda di Indonesia. Salah satunya adalah dengan cara memblokade laut Indonesia. Alasan
NICA adalah mencegah masuknya senjata dan peralatan militer ke Indonesia, mencegah
keluarnya hasil-hasil perkebunan Belanda, dan melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh bangsa lain.
Pada kenyataannya tujuan Belanda mengadakan blokade ini adalah agar ekonomi Indonesia
mengalami kekacauan, eksport dan impor tidak bisa keluar dan masuk Indonesia, tidak ada
pendapatan bagi negara yang baru merdeka ini. Sebenarnya tujuan dari blokade laut ini
adalah untuk menghancurkan Indonesia dari sisi ekonomi.
Untuk menembus blokade ekonomi dari pemerintah Belanda, pemerintah Republik Indonesia
menempuh usaha-usaha sebagai berikut:
Pemerintah Indonesia mengirimkan bantuan beras sebanyak 500.000 ton kepada India yang
sedang dilanda bencana kelaparan. Perjanjian bantuan Indonesia kepada India ditandatangani
oleh Perdana Menteri Sjahrir dan K.L. Punjabi, wakil pemerintah India (18 Mei 1946). Sebagai
imbalannya, pemerintah India menjanjikan mengirimkan bahan pakaian yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat Indonesia. Upaya pemerintah di bidang politik ini ternyata berhasil dengan baik. India
menjadi Negara Asia yang paling aktif membantu Indonesia dalam perjuangan diplomatik di
forum internasional.
Pemerintah mengadakan hubungan dagang langsung dengan pihak luar negeri. Usaha ini dirintis
oleh Banking and Trading Corperation (BTC). BTC melakukan kontak dagang dengan
perusahaan asing luar negeri yaitu, Isbrebsten Inc (Amerika Serikat). Usaha ini akhirnya gagal
dikarenakan blockade laut yang kuat dari Belanda. Selain itu pemerintah Indonesia juga
membentuk perwakilan resmi di Singapura yang diberi nama Indonesia Office (Indoff). Secara
resmi Indoff memperjuangkan kepentingan politik luar negeri Indonesia. Akan tetapi, secara
rahasia Indoff mengendalikan penembusan blokade ekonomi Belanda dan usaha perdagangan
barter.
Berabagai pertempuran yang muncul dalam rangka mempertahankan kemerdekaan antara tentara
Indonesia dengan Belanda yang dibantu oleh Sekutu terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Antara
lain:
Pertempuran Surabaya
Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Medan Area
Pertempuran Bandung Lautan Api
Pertempuran Puputan Margarana
Pada berbagai front pertempuran ini kebanyakan bangsa Indonesia mengalami kekalahan.
Penyebabnya adalah kalah persenjataan dan kemampuan dalam militer yang kurang mumpuni.
Tentara Indonesia yang baru berlatih senjata pada zaman pendudukan Jepang, harus menghadai
tentara Sekutu yang pada Perang Dunia II berhasil keluar sebagai pemenang. Kemampuan militer
professional dan didukung oleh senjata yang modern membuat tentara Indonesia dalam berbagai
pertempuran harus mengalami kekalahan.
Tapi dengan semangat perjuangan yang luar biasa dan dengan strategi yang jitu, bangsa Indonesia
berhasil mengalahkan tentara Sekutu pada pertempuran di Ambarawa.
Nederlands Indies Civil Administration merupakan pemerintahan sipil yang dibentuk Belanda untuk
kembali menguasai Indonesia yang dipimpin oleh Van Mook. Pada saat Belanda menyerah kepada
Jepang di Kalijati, Van Mook melarikan diri ke Australia dan mendirikan pemerintahan pelarian
(exile government) di Australia
V. PERTEMPURAN SURABAYA
Peristiwa di Surabaya itu merupakan rangkaian peristiwa yang dimulai sejak kedatangan pasukan
Sekutu dengan bendera AFNEI di Jawa Timur. Kemudian terjadi peristiwa Hotel Yamato, yang
mana terjadi penurunan paksa bendera Belanda dari atas hotel tersebut. Khusus untuk Surabaya,
Sekutu menempatkan Brigade 49, yaitu bagian daridivisi ke-23 Sekutu. Brigade 49 dipimpin
Brigjen
A.W.S. Mallaby yang mendarat 25 Oktober 1945. Pada mulanya pemerintah Jawa Timur enggan
menerima kedatangan Sekutu.
Kemudian dibuat kesepakatan antara Gubernur Jawa Timur R.M.T.A.Suryo dengan Brigjen
A.W.S. Mallaby. Kesepakatan itu adalah sebagai berikut.
Inggris berjanji tidak mengikutsertakan angkatan perang Belanda
menjalin kerja sama kedua pihak untuk menciptakan kemanan dan ketentraman
akan dibentuk kontrak biro
Inggris akan melucuti senjata Jepang
Kontak senjata antar Sekutu dan rakyat Surabaya sudah terjadi sejak 27 Oktober 1945. Karena
terjadi kontak senjata yang dikhawatirkan meluas, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.
Hatta mengadakan perundingan. Kedua belah pihak merumuskan hasil perundingan sebagai berikut.
Surat-surat selebaran/pamflet dianggap tidak berlaku
Serikat mengakui keberadaan TKR dan Polisi Indonesia
Seluruh kota Surabaya tidak lagi dijaga oleh Serikat, sedangkan kamp-kamp tawanan dijaga
bersama-sama Serikat dan TKR
Tanjung Perak dijaga bersama TKR, Serikat, dan Polisi Indonesia
Walaupun sudah terjadi perundingan, akan tetapi di berbagai tempat di kota Surabaya tetap terjadi
bentrok senjata antara Serikat dan rakyat Surabaya yang bersenjata. Pertempuran seru terjadi di
Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. Gedung itu dikepung oleh para pemuda yang
menuntut agar pasukan A.W.S. Mallaby menyerah. Tuntutan para pemuda itu ditolak pasukan
Serikat. Karena begitu gencarnya pertempuran di sana, akibatnya terjadi kejadian fatal, yaitu
meninggalnya
A.W.S. Mallany tertusuk bayonet dan bambu runcing. Peristiwa ini terjadi tanggal 30
Oktober 1945.
Dengan meninggalnya A.W.S. Mallaby, pihak Inggris memperingatkan rakyat Surabaya dan
meminta pertanggungjawaban. Mereka mengancam agar rakyat Surabaya menyerah dan akan
dihancurkan apabila tidak mengindahkan seruan itu. Ultimatum Inggris bermakna ancaman balas
dendam atas pembunuhan A.W.S. Mallaby disertai perintah melapor ke tempat-tempat yang
ditentukan. Disamping itu, pemuda bersenjata harus menyerahkan senjatanya. Ultimatum Inggris itu
secara resmi ditolak rakyat Surabaya.
Karena penolakan itu, pertempuran tidak terhindarkan lagi, maka pecahlah pertempuran pada
tanggal 10 November 1945. Sekutu mengerahkan pasukan infantri dengan senjata-senjata berat.
Peristiwa heroik ini berlangsung hampir tiga minggu. Dalam pertempuran tersebut, melalui siaran
radio, Bung Tomo membakar semangat arek-arek Surabaya. Pertempuran yang memakan korban
banyak dari pihak bangsa Indonesia ini diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap tanggal 10
November. Peringatan itu merupakan komitmen bangsa Indonesia yang berupa penghargaan
terhadap kepahlawanan rakyat Surabaya sekaligus mencerminkan tekad perjuangan seluruh bangsa
Indonesia
Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah
pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945 pasukan
Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur. Namun
tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan
pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR bersama
pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis
medan sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang
pasukan TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melakukan serangan
fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan tujuan memukul mundur pasuka Sekutu yang
berkedudukan di Desa Pingit.
Pasukan Imam Adrongi berhasil menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa
sekitarnya.Sementara itu, Batalion Imam Adrongi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian
disusul 3 batalion yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalion 10 Divisi III di bawah pimpinan
Mayor Suharto, batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sarjono, dan Batalion Sugeng. Musuh
akhirnya terkepung. Walaupun demikian, pasukan musuh mencoba mematahkan pengepungan
dengan mengadakan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan Indonesia dari
belakang dengan tank-tanknya. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan mundur ke Bedono.
Dengan bantuan resimen kedua yang dipimpin M. Sarbini, batalion Polisi Istimewa yang dipimpin
Onie Sastroatmojo dan batalion dari Yogyakarta, gerakan musuh berhasil ditahan di Desa Jambu.
Di Desa Jambu para komandan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh kolonel Holland
Iskandar. Rapat itu menghadirkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan
Pertempuran dan bertempat di Magelang. Sejak saat, Ambarawa dibagi atas 4 sektor, yaitu
sektor Utara, sektor Selatan, sektor Barat dan sektor Timur. Kekuatan pasukan bertempur
secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945 pimpinan pasukan TKR dari Purwokerto yaitu
Letkol Isdiman gugur. Setelah mengetahui Isdiman gugur maka pimpinan pasukan TKR
Purwokerto Kolonel Sudirman turun langsung memimpin pasukan. Kehadiran Sudirman ini
semakin menambah semangat tempur TKR dan para pejuang yang sedang bertempur di Ambarawa.
Kolonel Sudirman menyodorkan taktik perang Supit Urang. Taktik ini segera diterapkan. Musuh
mulai terjepit dan situasi pertempuran semakin menguntungkan pasukan TKR. Sejak saat itu,
pimpinan pasukan TKR Purwokerto dipimpin oleh Kolonel Sudirman. Situasi pertempuran
menguntungkan pasukan TKR. Pada tanggal 5 Desember 1945, musuh terusir dari Desa Banyubiru,
yang merupakan garis pertahanan yang terdepan. Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan
TKR bergerak menuju sasaran masing-masing. Dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil
mengepung musuh di dalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan berada di Benteng
Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota Ambarawa dikepung selama empat
hari empat malam.
Musuh yang merasa kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melakukan pertempuran. Pada
tanggal 15 Desember 1945 musuh meninggalkan Kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti penting karena letaknya yang sangat strategis.
Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka dapat mengancam 3 kota utama di Jawa Tengah,
yaitu Surakarta, Magelang dan Yogyakarta. Dalam pertempuran itu, pasukan TKR mengalami
kemenangan yang gemilang.
Dengan kemenangan ini nama Sudirman semakin populer sebagai komandan dan pimpinan TKR
dan menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih memiliki pasukan yang kuat yaitu dari pasukan
TKR. Untuk mengenang pertempuran Ambarawa, tanggal 15 Desember dijadikan Hari Infanteri.
Di Ambarawa juga dibangun Monumen Palagan, Ambarawa.
Perlawanan rakyat medan dipimpin oleh Achmad Tahir. Achmad Tahir memelopori terbentuknya
TKR Sumatera Timur. Pada tanggal 10 Oktober 1945. Disamping TKR, di Sumatera Timur
terbentuk Badan-Badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 13 Oktober 1945 terjadi
sebuah insiden di sebuah hotel di Jalan Bali, Medan. Seorang anggota pasukan NICA menginjak-
injak bendera merah putih yang dirampas dari seorang pemuda. Pemuda-pemuda Indonesia pun
marah. Hotel tersebut dikepung dan diserang oleh para pemuda dan TRI (Tentara Republik
Indonesia). Terjadilah pertempuran. Dalam peristiwa itu banyak orang Belanda terluka. Peperangan
pun menjalar ke Pematang Siantar dan Brastagi.
Serta pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada
pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan
NICA. Kemarahan rakyat semakin memuncak setelah pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu
memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran
kota Medan.
Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan serangan militer secara besar-besaran
dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur. setelah pertarungan yang sengit, Pada bulan April
1946 pasukan Inggris berhasil mendesak pemerintah RI ke luar Medan. Gubernur, Mrkas Divisi
TKR, dan Wlikota pindah ke Pematang Siantar. Pada tanggal 10 Agustus 1946 di tebing Tinggi
diadakan pertemuan diantara para Komandan pasukan yang berjuang di Medan Area dan
memutuskan dibentuk nya satu komando yang bernama komando resimen “laskar rakyat medan
area” untuk memperkuat perlawanan di kota medan.
Setelah mengadakan konsolidasi dan disusun rencara penyerangan baru terhadap sekutu, 15
Februari 1947 pukul 06.00 WIB ditetapkanlah sebagai hari “H” penyerangan. Dikarenakan
kesalahan komunikasi serangan ini tidak dilakukan secara serentak, tapi walaupun demikian
serangan umum ini berhasil membuat Belanda kalang kabut sepanjang malam. Karena tidak
memiliki senjata berat, jalannya pertempuran tidak berubah. Menjelang Subuh, pasukan Indonesia
mundur ke Mariendal. dan serangan umum 15 Februari 1947 menjadi serangan terakhir yang
dilakukan oleh pejuang Tanah Air di Sumatra kepada pasukan Sekutu.
Pada tanggal 17 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Bandung. Pada waktu itu para pemuda
dan pejuang di kota Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjata dan kekuasaan dari tangan
Jepang. Oleh Sekutu, senjata dari hasil pelucutan tentara Jepang supaya diserahkan padanya. Bahkan
pada tanggal 21 November 1945, sekutu mengeluarkan ultimatum agar Bandung bagian utara
dikosongkan oleh pihak Indonesia paling lambat tanggal 29 November 1945 dengan alasan untuk
menjaga keamanan.
Oleh para pejuang, ultimatum tersebut tidak diindahkan sehingga sejak saat itu sering terjadi insiden
dengan pasukan-pasukan Sekutu. Sekutu mengulangi ultimatumnya pada tanggal 23 Maret 1945
yakni agar TRI meninggalkan kota Bandung. Dengan adanya ultimatum ini, pemerintahan RI di
Jakarta menginstruksikan agar TRI mengosongkan kota bandung, akan tetapi dari markas TRI
Yogyakarta menginstruksikan agar kota Bandung tidak dikosongkan.
Akhirnya, para pejuang Bandung meninggalkan kota Bandung walaupun dengan berat hati. Sebelum
meninggalkan kota Bandung terlebih dahulu para pejuang Republik Indonesia menyerang ke arah
kedudukan-kedudukan Sekutu sambil membumihanguskan kota Bandung bagian Selatan. Tujuan
dari pembumi hangusan ini adalah agar tempat-tempat penting tidak dapat dimanfaatkan oleh tentara
Sekutu. Tokoh yang terlibat dalam pembumihangusan kota Bandung adalah Moh Toha.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Bandung Lautan Api
Lebih-lebih ketika Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai diajak membentuk
Negara Indonesia Timur. Ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan
dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946 I Gusti Ngurah Rai
memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Kemudian Belanda
mengerahkan seluruh kekuatan di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan rakyat Bali ini.
Pertempuran hebat terjadi pada tanggal 29 November 1946 di Margarana, sebelah utara Tabanan.
Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata puput. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan tanggal. Adapun yang dimaksud dengan
kata puputan versi pribumi bali adalah perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat
dikatakan kalau puputan adalah perang sampai game over atau titik darahterakhir. Istilah Margarana
diambil dari lokasi pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di daerah Marga, Tababan-Bali.
Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal dan termasuk
hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan
Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem
tawan karang dengan menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan
Buleleng.
Alur Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung Wanara
untuk melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan. Perintah yang keluar sekitar
pertengahan November 1946, baru berhasil mulus dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan senjata
lengkap dengan alterinya berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara. Pasca pelucutan senjata
Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan penuh bangga ke Desa Adeng-
Marga.
Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18 November 1946 telah membakar kemarahan
Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam
itu. Tidak lama, Belanda pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan
kedua kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda mulai
mengisolasi Desa Adeng, Marga.
Demi menghancurkan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah Bali untuk
datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejmulah jet tempur untuk membom-bardir kota
Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan bau darah terbakar akibat seranga
udara Belang. Perang sengit di Desa Marga berakhir dengan gugurnya Gusti Ngurah Rai dan semua
pasukannya. Puputan Margarana menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa,
sementara di pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang tewas.
Saat Agresi Militer II terjadi Jenderal Sudirman segera memutuskan bahwa untuk menghadapi
Belanda tidak mungkin secara frontal tetapi harus dengan taktik yang lebih jitu, yaitu Perang Gerilya
dan memberi kebebasan kepada para komandan pasukan untuk meklakukan serangan serangan
kepada pasukan Belanada tanpa harus menunggu komando Panglima Besar. Dalam kondisi sakit
paru-paru yang parah Jenderal Sudirman bergerilya keluar Yogyakarta. Perlawanan tersebut sangat
efektif dalam mengacaukan kekuatan militer Belanda. rakyat juga beperan dalam perang gerilya ini
yakni dengan menyediakan kebutuhan hidup untuk tentara yang sedang berperang dan juga kadang
menyembunyikan tentara di dalam rumah-rumah mereka.
BB. PERUNDINGAN DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
Selama berdirinya Republik Indonesia hingga pengakuan kedaulatan, telah terjadi beberapa
perundingan, yaitu:
Perundingan Linggarjati
Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati,
Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil
perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan
diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.
Latar Belakang
Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan ‘status quo’ di
Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya
Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk
menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr,
diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun
perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas
Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan
Madura saja.
Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk
menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946
bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan
dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14
Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11
November 1946.
Jalannya Perundingan
Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir. Anggota delegasi Indonesia antara
lain, Susanto Tirtoprodjo, Moh. Roem, A.K Gani. Delegasi Belanda diwakili oleh tim yang
disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van
Mook, Maz Van Poll,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam
perundingan ini.
Hasil perundingan
Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:
Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-
Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Pelanggaran Perjanjian
Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur
Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan
perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini
merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda. PBB kemudian
mengambil tindakan terhadap agresi Belanda tersebut dengan cara membentuk KTN. Lembaga ini
dibentuk pada tanggal 25 Agustus 1947 sebagai reaksi PBB terhadap Agresi Militer Belanda I.
Lembaga ini beranggotakan 3 negara : Australia (dipilih oleh Indonesia) dengan tokoh
Richard Kirby, Belgia (dipilih oleh Belanda) dengan wakil Paul Van Zealand dan Amerika
Serikat (pihak netral) yang mengutus wakil dr. Frank Graham.
Badan ini berperan dalam : mengawasi secara langsung penghentian tembak menembak sesuai
resolusi Dewan Keamanan PBB, memasang patok-patok wilayah status quo yg dibantu oleh
TNI, dan mempertemukan kembali Indonesia Belanda dalam Perundingan Renville.
Perjanjian Renville
Atas usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia
dan Belanada di atas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri
atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji
Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo,
Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumokil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain.
Hasil Perundingan
Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka
diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-pokok isi
perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut:
Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan Indonesia diserahkan
kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam
uni Indonesia-Belanda.
Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS
Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagain kekuasaannya kepada
pemerintahan federal sementara.
Pasukan republic Indonesia yang berda di derah kantong haruns ditarik ke daerah Republik
Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis
yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki Belanda.
Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. adapun
kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai
berikut :
Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya karena garis Van Mook terpaksa harus
diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
Pihak republik Indonesia harus menarik seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan
Belanda dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.
Pro-Kontra terhadap Hasil perjanjian
Penandatanganan naskah perjanjian Renville menimbulkan akibat buruk bagi pemerinthan republik
Indonesia, antara lain sebagai berikut:
Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan
belanda.
Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin republic Indonesia yang mengakibatkan
jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda.
Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda
Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah
gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.
Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia, Belanda membentuk negara-
negara boneka, seperti; negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan
Negara Jawa Timut. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal
Overslag).
Terjadi pemberontakan yang kecewa terhadap perjanjian Renville semisal PKI di Madiun yang
dipimpin oleh Musso dan Amir, serta pemberontakan yang dipimpin oleh Kartosuwiryo di Jawa
Barat.
PBB mengkutuk tindakan Belanda tersebut kemudian membentuk UNCI (United Nations
Commisions for Indonesia). Badan perdamaian ini dibentuk pada tanggal 28 Januari 1949 untuk
menggantikan Komisi Tiga Negara yang dianggap gagal mendamaikan Indonesia – Belanda
(Belanda kembali melakukan Agresi Militer setelah P. Renville). Peranan UNCI adalah :
mengadakan Perundingan Roem Royen (7 Mei 1949) dan mengadakan Konferensi Meja
Bundar di Den Haag Belanda.
Perjanjian Roem-Royen
Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara
Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya
ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari
kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah
untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja
Bundar di Den Haag pada tahun yang sama.
Kesepakatan
Hasil pertemuan ini adalah: 1) Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas
gerilya, 2) Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar, 3) Pemerintah
Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta, 4) Angkatan bersenjata Belanda akan
menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian
Renville pada 1948
Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak
Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia
Pasca perjanjian
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara
Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan
Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi
mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan
Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah
dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda
Latar belakang
Setelah berhasil menyelesaikan masalah intern, bangsa Indonesia siap menhadapi Konferensi meja
Bundar seperti hasil keputusan Perundingan Roem-Royen. Pada tanggal 23 Agustus 1949,
Konferensi Meja Bundar (KMB) dibuka secara resmi di Ridderzaal, Den Haag Belanda.
Jalannya Sidang
Pada KMB, delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Hatta dengan anggota Moh. Roem, Supomo,
J. Leimena, Ali Sastroamijoyo, Sukiman, Soeyono Hadinoto, Sumitro Djoyohadikusumo, A.K
Pringgodigdo, Kolonel B. Simatupang, Sumardi dan Ir, Juanda. BFO dipimpin oleh Sultan Hamid
II, delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Van Maarseven, dan wakil dari UNCI diketuai
Crithley. Masalah-masalah yang sulit diselesaikan adalah sebagai berikut:
Masalah Uni Indonesia-Belanda.Indonesia menghendaki sifat kerja bebas tanpa adanya
organisasi permanen, sedangkan Belanda menghendaki kerja sama yang luas dengan organisasi
permanen.
Soal utang Belanda. Indonesia hanya mau mengakui utang Belanda sampai menyerahnya
Belanda kepada Jepang. Sebaliknya Belanda menghendaki agar Indonesia menanggung utang
Belanda sampai hari itu, termasuk biaya operasi milter waktu agresi militer I dan agresi militer II.
Hasil konferensi
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat,
kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi
daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah
karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2
menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini
akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala
negara
Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik
Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui
Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada
Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949 Rantjangan
Piagam Penjerahan Kedaulatan.
Pembentukan RIS
Sebagai tindak lanjut dari KMB, maka pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan upoacara
penyerahan kedaulatan di 3 tempat secara bersamaan, yaitu :
di Den Haag (Belanda): penyerahan kedaulatan dari Ratu Yuliana kepada Drs. Moh. Hatta selaku
wakil pemerintah RIS.
di Jakarta: penyerahan kedaulatan dari wakil pemerintah Belanda H.J. Lovink kepada wakil
pemerintah RI Sri Sultan Hamengku Buwono IX
di Yogyakarta: penyerahan mandat dari Ir. Soekarno selaku Presiden RIS kepada Mr. Asaat
selaku Pejabat Sementara Presiden RI
Sejak tanggal 27 Desember 1949 terbentuklah pemerintahan RIS yang terdiri dari 17 Negara
bagian (salah satunya adalah RI di Yogyakarta) dan beribu kota di Jakarta, serta
menggunakana Konstitusi RIS 1949. Sedangkan RI di Yogyakarta tetap menggunakan UUD
1945.Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi
Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia
Serikat.
Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang
memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Pertemuan demi pertemuan kemudian dilakukan oleh kedua belah pihak dengan Clark Keer (dari
Inggris) sebagai pemrakarsanya. Sebelum diadakannya Perjanjian Linggarjati dilakukan terlebih
dahulu pertemuan di Hooge Value (Belanda pada 14-25 April 1946. Indonesia membawa beberapa
usulan menuju pertemuan tersebut antara lain pengakuan de facto, kerja sama antara Indonesia
Belanda. Namun usulan tersebut ditolak oleh Belanda.
Pada tanggal 10-15 November 1946 diadakan Perjanjian di Linggarjati sebuah daerah di selatan
Cirebon Jawa Barat. Delegasi Indonesia terdiri dari Moh Roem, Susanto Tirtiprodjo, A.K Gani
dan dipimpin oleh Sutan Syahrir. Sedangkan Belanda dipimpin oleh Schermerhorn. Sedangkan
sebagai penengah adalah Lord Killearn dari pihak sekutu. Hasil Perjanjian Linggarjati antara
lain:
Belanda mengakui secara de facto wilayah Indonesia meliputi Jawa, Sumatera dan Madura,
RI dan Belanda bekerja sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara federal bernama
negara Indonesia Serikat,
RIS dan Belanda akan membentuk Uni-Indonesia Belanda dengan ratu Belanda sebagai
pemimpinnya.
Hasil Perjanjian Linggarjati ditandatangani di Istana Merdeka tanggal 25 Maret 1947. Hasil
Perjanjian Linggarjati ini mengalami pro dan kontra. Tokoh yang kontra merupakan kelompok
Persatuan Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka. Menurut kelompok ini, Perjanjian Linggarjati
sangat merugikan Indonesia. Wilayah Indonesia menjadi sempit dan menunjukan Indonesia menjadi
negara yang lemah. Diplomasi yang dilakukan menurut kelompok oposisi hanya karena alasan
pemerintah sangsi atas kemampuan rakyat bersenjata sebagai intinya. Persatuan Perjuangan
dibentuk sebagai gabungan sejumlah partai politik maupun golongan lain sejak Januari 1942,
mereka adalah kelompok yang berjuang dengan kekuatan. Pemimpin kelompok ini, Tan Malaka
beranggapan bahwa berunding dengan Pemerintahan Belanda tidak ada gunanya dan hanya akan
merugikan Republik saja, tuntutan Merdeka 100% serta slogan-slogan “merdeka atau mati” menjadi
tujuan perjuangan revolusioner. Kenyataannya janji-janji yang diberikan pihak asing tidak dapat
dipercaya benar.
Perjanjian Linggarjati berdampak pada jatuhnya kepercayaan parlemen terhadap Syahrir. Oleh
karena itu Syahrir harus mengembalikan mandat kepada presiden Sukarno. Pada dasarnya ada
dampak postif dari diadakannya Perjanjian Linggarjati. Secara langsung keberadaan Indonesia mulai
diperhatikan oleh dunia luar. Negara Indonesia secara de facto dan de jure sudah diakui oleh negara
lain meskipun dengan wilayah yang sempit yaitu tinggal Jawa, Sumatera dan Madura. Perjanjian
Linggarjati kemudian diingkari Belanda dengan adanya agresi militer Belanda I pada tanggal
21 Juli 1947.
Sasaran utama serangan Belanda adalah daerah-daerah penghasil devisa seperti Jawa Barat serta
Sumatera Timur, Sumatera Selatan dan Jawa Timur.
Serangan Belanda ini kemudian menimbulkan reaksi internasional. Belanda mengatakan bahwa
tindakan polisionel yang dilakukan sudah benar untuk menghancurkan gerombolan pengacau. Tapi
bagi pihak Indonesia tindakan Belanda tersebut telah melanggar kedaulatan Indonesia. Pada tanggal
31 Juli 1947 PBB mengeluarkan resolusi yang mendesak agar kedua negara yang bertikai untuk
menghentikan pertempuran dan mengadakan Perjanjian. Hal ini merupakan buntut dari tuntutan
India dan Austalia yang mengajukan resolusi kepada Dewan Keamanan PBB. Guna menanggapi hal
tersebut maka, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Jasa Baik yang kemudian dikenal
dengan Komisi Tiga Negara (KTN) dikarenakan terdiri dari tiga negara.
KTN bertugas membantu menyelesaikan sengketa antara Indonesia-Belanda. KTN terdiri dari
Australia yang ditunjuk Indonesia, Belgia yang ditunjuk oleh Belanda dan Amerika Serikat
yang ditunjuak keduanya. Australia membantu Indonesia dikarenakan partai Buruh di sana
bersimpati dengan perjuangan Indonesia. Wakil dari Australia adalah Richard Kirby, wakil
Belgia adalah Paul Van Zeeland dan wakil Amerika Serikat adalah Frank Graham. Kemudian
KTN berhasil membawa kembali Indonesia dan Belanda ke Perjanjian selanjutnya, yaitu Perjanjian
Renville.
Atas usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan
Belanda. Kembali permasalah terjadi, Belanda menginginkan tempat diadakannya perjanjian di
wilayah yang diduduki oleh Belanda, sebaliknya pula Indonesia menuntut agar perundingan
dilaksanakan di wilayah Indonesia. Atas usul Amerika Serikat, kemudian perundingan dilakukan di
atas kapal USS Renville milik Amerika Serikat yang berlabuh di Tanjung Priok.
Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa
Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari
Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumokil, Pangeran Kartanagara dan
Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasala dari bangsa Indonesia sendiri
yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia
mudah dikuasainya. Sedangkan wakil dari KTN, Frank Graham dari Amerika Serikat, Richard
Kirby dari Australia dan Paul Van Zeeland dari Belgia.
Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka
diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-pokok isi perjanjian
Renville, antara lain sebagai berikut :
Wilayah Indonesia meliputi Yogyakarta dan sekitarnya, Banten dan sebagian Sumatera.
Pasukan republic Indonesia yang berda di derah kantong harus ditarik ke daerah Republik
Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis
yang menghubungkan dua daerah terdepan yang diduduki Belanda.
Akan diadakan plebesit untuk menentukan pilihan masuk ke wilayah Indonesia atau masuk dalam
wilayah yang diduduki Belanda.
Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan Indonesia diserahkan
kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.
Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam
uni Indonesia-Belanda.
Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS
Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
pemerintahan federal sementara.
Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. adapun
kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai
berikut :
Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
Wilayah Indonesia semakin sempit
Pihak republik Indonesia harus menarik seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan
Belanda dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah Republic Indonesia.
Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin Republic Indonesia yang mengakibatkan
jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara
Belanda membentuk negara-negara boneka, seperti; negara Borneo Barat, Negara Madura,
Negara Sumatera Timur, dan Negara Jawa Timut. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO
(Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
Terjadi pemberontakan yang kecewa terhadap perjanjian Renville semisal PKI di Madiun yang
dipimpin oleh Musso dan Amir Syarifudin, serta pemberontakan yang dipimpin oleh
Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Belanda kembali mengingkari Perjanjian Renville dengan mengadakan Agresi Militer Belanda II
pada tanggal 19 Desember 1948 dengan sasaran Yogyakarta.
Pada tanggal 22 Juni 1949, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian
Renville
Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak
Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara
Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan
Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi
mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan
Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah
dalam agenda pertemuan.
Hasil terpenting dalam pertemuan ini adalah RI dan BFO sepakat untuk bersama sama menghadapi
Belanda dalam KMB. Hal-hal yang dibicarakan pada Konferensi Inter Indonesia adalah:
Negara Indonesia Serikat berganti nama menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan
bendera kebangsaan Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa nasional bahasa
Indonesia, dan tanggal 17 Agustus sebagai hari nasional.
Susunan Negara Serikat akan dibentuk
Bentuk kerja sama antara RIS dan Belanda dalam perserikatan UNI
Sokongan BFO mengenai tuntutan RI atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatan politik maupun
ekonomi.
Bidang kemiliteran dengan keputusan:
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah angkatan perang nasional
TNI menjadi inti APRIS dan akan menerima anggota-anggota Koninklijke Netherland-Idies
Leger (KNIL) dan Veigligheids Batlyons (VB) dan kesatuan Belanda lainnya dengan syarat
yang akan ditentukan selanjutnya.
Pertahanan Negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS, bukan hak Negara-negara bagian
Pemerintah Belanda akan mengadakan KMB di Den Haag guna membahas “penyerahan”
kedaulatan yang dipercepat
Penarikan pasukan-pasukan Belanda secepat-cepatnya setelah “penyerahan kekuasaan”
Tentang pengembalian pemerintahan RI ke Yogya dinyatakan bahwa hal itu tidak mungkin
dilaksanakan.
Tanggal 3 Maret 1949 Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO
(Bijeenkomst voor Federal Overleg) dan menegaskan akan pentingnya kedudukan pemerintahan RI.
Tanggal 4 Maret 1949, Presiden Soekarno membalas undangan Wakil Tinggi Mahkota yang berisi
penolakan menghadiri KMB kecuali dengan syarat yakni:
Pengembalian kekuasaan RI adalah syarat mutlak untuk memulai perundingan
Kedudukan dan kewajiban Komisi PBB untuk Indonesia dalam membantu melaksanakan resolusi
PBB tidak akan terganggu.
Dari pihak BFO dikeluarkan pernyataan yang berisi pemberitahuan bahwa BFO tetap pada pendirian
semula yakni:
Supaya pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta
Komisi PBB untuk Indonesia agar membantu melaksanakan resolusi
RI memerintahkan gencatan senjata.
Dengan adanya petunjuk dari Dewan Keamanan dan adanya pendekatan politis antara RI dengan
Belanda maka pada tanggal 14 April 1949 atas inisiatif PBB untuk Indonesia diadakan perundingan
antara RI-Belanda (Nugroho Notosusanto, 1993: 162-165). KMB berlangsung dari 23 Agustus
sampai 2 November 1949. Yang menjadi ketua KMB adalah PM Belanda, Drees. KMB
menghasilkan naskah-naskah hubungan antara Indonesia (RI dan BFO) dan Belanda yakni:
Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat
Status Irian Barat diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan
Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerjasama sukarela dan sederajat
RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru untuk
perusahaan-perusahaan Belanda
RIS harus membayar semua utang Belanda yang ada sejak tahun 1942 (Moedjanto, 1988: 57-59).
Dengan keputusan itu maka Republik Indonesia (RI) menjadi satu negara bagian dalam RIS yang
statusnya sama dengan negara-negara ciptaan Belanda. Pada tanggal 27 Desember 1949 di
ibukota Belanda Amsterdam diadakan penyerahan kedaulatan dari Belanda yang diwakili
oleh Ratu Juliana kepada Indonesia diwakili Drs Moh Hatta sebagai Ketua Delegasi RI,
sedangkan di
Jakarta pada hari sama dilakukan penyerahan kedaulatan itu dengan menurunkan bendera Belanda
depan Istana Merdeka dan Bendera Sang Saka Merah Putih berkibar sebagai tanda kedaulatan
Indonesia. Dalam upacara tersebut Belanda diwakili Wakil Mahkota Agung Lovink sedangkan
Indonesia diwakili Sultan Hamangku Buwono IX.
Belanda yakin dengan ditangkapnya Bung Karno dan Bung Hatta dan sebagian besar pemimpin-
pemimpin yang lainnya yang merupakan inti dari pimpinan pusat Republik, Republik Indonesia
tidak ada lagi. Pembatalan secara sepihak atas Perjanjian Renville diumumkan jam 23.30 tanggal 18
Desember 1948, jadi hanya beberapa jam sebelum melakukan agresi. Pihak Belanda tentu saja
sengaja melakukan hal itu supaya penyerangannya ke kota Yogyakarta mengejutkan tentara
Indonesia sehingga dapat dengan mudah dilumpuhkan.
Dalam suasana pertempuran pada tanggal 19 Desember 1948 itu, kabinet RI masih sempat
mengadakan sidang kilat istimewa di Istana Negara Yogyakarta. Dalam sidang itu diambil
keputusan bahwa pemerintah akan tetap tinggal di dalam kota. Keputusan penting yang lain yaitu
memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu sudah ada
di Bukittinggi untuk memebentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera jika dalam keadaan mendesak
pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi. Mandat lainnya diberikan kepada dr.
Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis dengan alamat New Delhi (India) untuk membentuk
pemerintahan di luar negeri jika Sjafruddin tidak berhasil membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia.
Sehari setelah PDRI didirikan, Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua PDRI menyampaikan pidato
radio yang ditujukan kepada semua stasiun radio. Pidato tersebut dapat ditangkap oleh stasiun radio
Singapura dan juga disadap oleh Radio Belanda di daerah Riau. Isi pidato itu antara lain:
mengemukakan serangan yang tiba-tiba dari Belanda telah berhasil menawan Presiden dan Wakil
Presiden, Perdana Menteri dan beberapa pembesar lain. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya
pemimpin-pemimin yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa.
Negara Republik Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu
adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Hilang pemerintahan Soekarno-Hatta, sementara atau
selama-lamanya, rakyat Indonesia akan menghadirkan pemerintahan yang baru, hilang pemerintahan
ini akan timbul yang baru lagi. Pemerintahan PDRI dibentuk karena ada kemungkinan besar bahwa
pemerintahan Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan tugasnya seperti biasa. Kepada seluruh
angkatan perang Republik Indonesia kami serukan: bertempurlah, gempurlah Belanda dimana saja
dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi.
Adapun peran PDRI dalam menjaga eksistensi bangsa dan Negara Indonesia adalah dengan
melaksanakan beberapa tindakan, antara lain :
Menjalankan perang gerilya selama mungkin dengan perhitungan bahwa dengan semakin
lamanya perng gerilnya maka secara ekonomi Belanda akan terjepit dan payah sebab sumber
mereka akan habis dan mereka akan terpaksa melanjutkan perundingan.
Dengan perhitungan diatas maka pemerintahan PDRI menginginkan jauh dari Bukit tinggi
dengan mencari lokasi paling tenteram yaitu di wilayah selatan jauh dari Bukit Tinggi. Karena
jika mereka tetap di Bukit Tinggi maka gampang ditemukan oleh Belanda dengan akibat
pemerintah tidak bisa menjalankan tugas secara leluasa karena harus terus-terusan berurusan
dengan Belanda.
Para tokoh sipil dijadikan sebagai pejabat yang memiliki wewenang militer karena pada saat itu
adalah saat gerilya, dimana saat gerilya adalah saat dimana terkaburnya batas-batas militer dan
sipil yang menjadikan sesuatu itu sebelumnya ingin diperjelas dalam usaha meletakan struktur
dan tradisi baru repulik. Ditangan para tokoh sipil militer atau yang disebut gubernur militer
inilah terpusat kekuasaan sipil dan militer untuk sementara waktu.
Para gubernur lama diangkat sebagai komisaris yang dimana fungsinya sebagai penghubung
masyarakat dan pemerintah pusat PDRI agar tetap ada komunikasi antara rakyat dan
pemerintah.
Melancarkan ofensif diplomasi untuk mendapatkan simpati sebanyak-banyaknya agar mendapat
dukungan dari dunia Internasional
Mengadakan koordinasi perjuangan, dan bahkan juga mengadakan reorganisasi pemerintahan
daerah (terutama di Sumatra), tetapi juga menyusun organisasi pemerintahan perang. Dalam hal
yang terakhir ini menunjukan betapa kepekaan terhadap rakyat dan tradisi serta adat setempat
telah memungkinkan PDRI mengadakan mobilisasi daya dan dana secara optimal.
Pada tangal 10 Juli 1949, Sjafruddin kembali ke Yogyakarta. Sjafruddin disambut oleh Soekarno
setibanya di Yogyakarta. Sjafruddin menerangkan bahwa PDRI tidak berada di belakang Roem-
Royen, tapi berada di belakang rakyat, berjuang dengan rakyat dan untuk rakyat (Kedaulatan
Rakyat, 11 Juli 1949). Pada tanggal 13 Juli 1949, kabinet Hatta bersidang. Hatta melakukan
perombakan kabinet. Kabinet yang baru terbentuk itu disebut Kabinet Hatta II. Dalam kabinet ini,
Sjafruddin diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri.
Pada tanggal 30 Juli 1947, pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar
masalah Indonesia-Belanda dimasukan dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Pemintaan itu
diterima baik dan
dimasukkan dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB. Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan
Keamanan PBB memerintahkan penghentian permusuhan kedua belah pihak dan mulai berlaku
sejak tanggal 4 Agustus 1947. Atas usul Amerika Serikat DK PBB membentuk Komisi Tiga
Negara (KTN) yang beranggotakan Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. KTN berperan
aktif dalam penyelenggaraan Perjanjian Renville. KTN membuat laporan yang disampaikan kepada
DK PBB, bahwa Belanda banyak melakukan pelanggaran. Hal ini telah menempatkan Indonesia
lebih banyak didukung negara-negara lain.
Pada tanggal 25 Agustus 1947, DK PBB menerima usul Amerika Serikat tentang pembentukan
suatu Commitee of Good Offces (Komisi Jasa-jasa Baik) atau yang lebih dikenal dengan Komisi
Tiga Negara (KTN). Belanda menunjuk Belgia sebagai anggota, sedangkan Indonesia memilih
Australia. Kemudian Belanda dan Indonesia memilih negara pihak ketiga, yakni Amerika. Komisi
resmi terbentuk tanggal 18 September 1947. Australia dipimpin oleh Richard Kirby, Belgia
dipimpin oleh Paul Van Zeelland dan Amerika Serikat dipimpin oleh Dr. Frank Graham.
Australia mendukung perjuangan bangsa Indonesia dikarenakan partai buruh di Australia bersimpati
dengan perjuangan bangsa Indonesia.
Konfik antara Indonesia dengan Belanda masih terus berlanjut. Namun semakin terbukanya mata
dunia terkait dengan konfik itu, menempatkan posisi Indonesia semakin menguntungkan. Untuk
mempercepat penyelesaikan konfik ini maka oleh DK PBB dibentuklah UNCI (United Nations
Commission for Indonesia) atau Komisi PBB untuk ndonesia sebagai pengganti KTN. UNCI ini
memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding KTN. UNCI berhak mengambil keputusan yang
mengikat atas dasar suara mayoritas. UNCI memiliki tugas dan kekuasaan sebagai berikut.
Memberi rekomendasi kepada DK PBB dan pihak-pihak yang bersengketa (Indonesia dan
Belanda).
Membantu mereka yang bersengketa untuk mengambil keputusan dan melaksanakan resolusi DK
PBB.
Mengajukan saran kepada DK PBB mengenai cara-cara yang dianggap terbaik untuk
mengalihkan kekuasaan di Indonesia berlangsung secara aman dan tenteram. d. Membantu
memulihkan kekuasaan pemerintah RI dengan segera.
Mengajukan rekomendasi kepada DK PBB mengenai bantuan yang dapat diberikan untuk
membantu keadaan ekonomi penduduk di daerah-daerah yang diserahkan kembali kepada RI.
Memberikan saran tentang pemakaian tentara Belanda di daerah-daerah yang dianggap perlu
demi ketenteraman rakyat.
Mengawasi pemilihan umum, bila di wilayah Indonesia diadakan pemilihan.
Ketika Presidan, Wakil presiden dan pembesar-pembesar Republik ditawan Belanda di Bangka,
delegasi BFO (Bijzonder Federaal Overleg) mengunjungi mereka dan mengadakan perundingan.
UNCI mengumumkan bahwa delegasi-delegasi Republik, Belanda dan BFO telah mecapai
persetujuan pendapat mengenai akan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB). UNCI
juga berhasil menjadi mediator dalam KMB. Bahkan peranan itu juga tampak sampai penyerahan
dan pemulihan kekuasaan Pemerintah RI di Indonesia
Dengan sendirinya Republik tidak mungkin menerima usul itu, karena akan berarti llikuidasi bagi
dirinya. Dengan penolakan RI itu, Belanda lalu merobek-robek Persetujuan Linggajati dan pada
tanggal 21 juli 1947 melancarkan Aksi Militer Belanda I kedalam wilayah kekuasaan RI.
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirirnkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14
hari, yang berisi:
Membentuk pemerintahan bersama;
Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga bersama;
Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang diduduki
Belanda;
Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama. termasuk daerah daerah Republik yang
memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama): dan
Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa
peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari
kalangan parpol-parpol di Republik. Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda
terus “mengembalikan ketertiban” dengan “tindakan kepolisian”. Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah
malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan ‘aksi polisionil’ mereka yang
pertama atau yang dikenal dengan Operasi Produk. Polisionil adalah operasi militer Belanda di
Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli sampai 5
Agustus 1947 (aksi pertama) dan dari 19 Desember 1948 sampai 5 Januari 1949 (aksi kedua).
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-
pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk
menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan
Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan
demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-
perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan
daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati
membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat
menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam
kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda,
setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya
kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan
membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang
menjadi sekutunya
tidak menyukai ‘aksi polisional’ tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan
penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Belanda yang merasa berkuasa, akhirnya kembali melakukan serangan yang kedua. Agresi Milner
Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan
terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta,
Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya
Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin
Prawiranegara.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara
Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat.
Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat
dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan. Peristiwa
agresi ini terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, dan penyerangan tersebut terjadi di kota
Yogyakarta. Belanda menyerangnya dari segala jurusan dan telah menduduki kota tersebut.
Tujuannya adalah menghancurkan Indonesia
Penyerangan Belanda ini di karenakan pada pada tanggal 2 November 1948, Kementrian
Penerangan RI menyangkal tuduhan Belanda tentang pelanggaran gencatan senjata. Tuduhan-
tuduhan Belanda itu sama dengan sebelum aksi militernya tanggal 21-7-1947. Pada tanggal 4-11-
1948, Perdana Mentri Hatta mengatakan. bahwa suasana Indonesia-Belanda sangat buruk dan
mengingatkan kepada keadaan sebelum tanggal 20 Juli 1947 (sebelum aksi militer Belanda D. Dan
bersamaan dengan itu Nehru di Kairo menyatakan, bahwa ada satu kekuasaan kolonial menyerang
Indonesia, hal ini akan menimbulkan reaksi berbahaya di India dan dunia lainnya.
Banyak pihak yang terlibat dalam peristiwa ini, terutama Amerika dan Australia yang meminta
supaya diadakan sidang istimewa dewan keamanan untuk membicarakan agresi militer yang
dilakukan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia, bersamaan dengan waktu itu pula, apa yang
dinamakan kabinet Negara Indonesia Timur. meletakkan jabatan sebagai protes atas agresi Belanda
terhadap Republik Indonesia.
Putusan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta tentang pemindahan kekuasaan : kepada Mr.
Sjafrudin Prawiranegara, dengan perantaraan radio diberi kuasa untuk membentuk Pemerintah
Darurat Indonesia (PDRI) di Sumatra. Bersamaan dengan itu apa yang dinamakan Kabinet
Pasundan, menyerahkan mandatnya kepada “Wali Negara” sebagai protes atas agresi Belanda
terhadap Republik Indonesia.
Pada tanggal 22 Desember 1948, KTN mengawatkan kepada dewan keamanan laporan yang isinya
menyalahkan Belanda sebagai aggressor dan yang melanggar perjanjian. Pada tanggal 23 Desember
1948, Rusia mengajukan resolusi kepada Dewan Keamanan mengecam Belanda sebagai aggressor.
India dan Pakistan melarang pesawat KLM (Belanda) terbang di atas wilayahnya serta tidak
diperkenankan mendarat disana. Pada tanggal 24 Desember 1948, dewan keamanan menerima
Resolusi Amerika Serikat Diperintahkan dengan segera kepada Belanda dan Indonesia untuk
menghentikan tembak-menembak dan membebaskan pimpinan-pimpinan republik yang ditawan.
Pada tanggal 27 Desember 1948, Presiden Sukarno, Sultan Sjahrir dan H. Agus Salim ditawan
di Brastagi. sedangkan Wakil Presiden Hatta di Bangka. Juga beberapa pimpinan-•pimpinan
lainn mengalami hal yang serupa (ditawan di Sumatra).
Pada tanggal 29 Desember 1948, pasukan gerilya menyerang pasukan Belanda di seluruh kota
yogyakarta (serangan pertama). Pada tanggal 31 Desember 1948. Presiden Sukarno, Syahrir, dan
H. Agus Salim oleh Belanda dipindahkan pengasinganya ke Prapat. Sebagai hasil diplomasi
republic maka di New Delhi dari tanggal 20 sampai 23 Januari 1949 berlangsung koprensi Asia yang
dihadiri oleh 21 Negara Asia dan Australia. Resolusi konprensi Asia tersebut tentang sengketa
Indonesia-Belanda ini, berpengaruh besar kepada resolusi Dewan Keamanan PBB berikutnya.
Mr. A. A. Maramis, Mentri Keuangan Republik yang sedang berada di New Delhi, di tunjuk
sebagai Mentri Luar Negeri dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pada
tanggal 24 Januari 1949, Resolusi konprensi New Delhi dikirim kepada Dewan Keamanan PBB,
yang menuntut antara lain : Pembebasan para pemimpin (pembesar) Republik Indonesia dan
Penarikan mundur Belanda dari Yogyakarta dan penarikan berangsur-•angsur tentara Belanda dari
daerah-daerah yang diduduki sejak 19 Desember 1948.
Usaha yang dilakukan dengan dua cari yakni diplomasi dan militer. Jalur diplomasi dipilih
dikarenakan bahwa persenjataan bangsa Indonesia sangat terbatas yakni hasil dari rampasan Jepang,
selain itu jalur diplomasi dipilih juga dikarenakan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa.
Diplomasi juga merupakan taktik bangsa Indonesia untuk menarik dukungan internasional yang
mencitrakan bahwa bangsa Indonesia adalah negara suka dengan perdamaian. Beberapa
perungingan yang dilakukan dengan Belanda antara lain: Perundingan Linggarjari, Renville, Roem-
Royen dan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Strategi dalam mempertahankan kemerdekaan juga melalui jalur militer atau dengan menggunakan
kekuatan fisik. Pada awal kemerdekaan, Indonesia tidak segera membentuk tentara nasional
melainkan membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR yang dibentuk pada tanggal 22
Agustus 1945 tidak memuaskan bagi beberapa kalangan sehingga menuntut pemerintah untuk
membentuk tentara nasional. Maka keluarlah maklumat 5 Oktober 1945 yang menyatakan
pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Perjuangan secara Diplomasi dan Militer, bagaikan satu keping mata uang yang tidak bisa
dipisahkan. Diplomasi dan militer sangat mendukung dalam upaya mendapatkan pengakuan
kedaulatan. Puncak dari perjuangan tersebut, terjadi Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Pemerintah Belanda dan RI duduk satu meja guna membahas pengakuan kedaulatan Indonesia.
Hasilnya adalah Belanda mengakui kedaulatan Indoneisa.
Upacara pengakuan kedaulatan dilakukan secara bersamaan, baik di Indonesia maupun di
Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Di ruang istana Kerajaan Belanda; Ratu Juliana, PM Dr. William Drees, Menteri Seberang
Lautan Mr. A.M.J.A Sassen, dan Ketua Delegasi RIS Drs. Moch. Hatta secara bersama-sama
membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan kedaulatan tersebut;
Di Jakarta; Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda, A.H.J. Lovink
dalam suatu upacara secara bersama-sama membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan
kedaulatan tersebut;
Pada waktu yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS.
Pemerintah Belanda tidak bersedia menyelesaikan masalah Irian Barat (Papua sekarang) seperti
yang disebutkan dalam isi perjanjian KMB. Sedangkan dari dalam negeri timbul masalah baru yang
berkaitan dengan: (1) masalah integrasi, (2) masalah angkatan bersenjata, dan (3) masalah
penolakan rakyat negara-negara bagian terhadap RIS (bentuk negara federasi).
Perjanjian bantuan Indonesia kepada India ditandatangani oleh Perdana Menteri Sjahrir dan
K.L. Punjabi, wakil pemerintah India (18 Mei 1946) Kesepakatan ini sebenarnya ialah barter
antara Indonesia dengan India. Hal ini terbukti dari dikirimkannya obat-obatan ke Indonesia oleh
India untuk membalas bantuan Indonesia. Hal ini juga dimaksudkan untuk menembus blokade yang
dilakukan Belanda terhadap Indonesia.
Penyerahan padi ini dilakukan pada tanggal 20 Agustus 1946 d Probolinggo Jawa Timur, yang
kemudian diangkut ke India dengan kapal laut yang disediakan oleh pemerintah India sendiri.
Diplomasi beras in sebenarnya ditentang oleh Belanda, karena gaung yang ditimbulkan
menyebabkan Indonesia semakin mendapat simpati dari negara lain.
Ketika Jenderal Spoor melakukan Agresi Belanda ke-II tanggal 19 Desember 1948, India
merupakan salah satu negara yang mengkutuk tindakan Belanda tersebut. Reaksi keras itu
diwujudkan dalam penyelenggaraan Konferensi Asia di New Delhi atas prakarsa Perdana Menteri
India, Pandit Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Birma U Aung San. Konferensi ini dihadiri
oleh negara-negara asia, seperti: Pakistan, Afganistan, Sri Lanka,Nepal, Libanon, Siria, dan Irak.
Delegasi Afrika berasal dari Mesir dan Ethiopia. Konferensi ini juga dihadiri utusan dari Australia,
sedang Indonesia dalam ini diwakili oleh Dr. Sudarsono.
Konferensi Asia di New Delhi ini dilaksanakan selama empat hari, mulai dari tanggal 20
sampai dengan tanggal 25 Januari 1949. Resolusi yang dihasilkan mengenai masalah
Indonesia adalah sebagai berikut:
pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta
pembentukan Pemerintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri,
sebelum tanggal 15 Maret 1949
penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia
penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia Serikat paling lambat 1 Januari 1950
PBB memiliki tujuan memelihara perdamaian dunia dan keamanan internasional terlibat juga dalam
usaha menyelesaikan konflik antara Indonesia dengan Belanda. Konflik Indonesia Belanda sendiri
dilatarbelakangi oleh kedatangan AFNEI yang dibonceng NICA (pemeritahan sipil Belanda untuk
Indonesia). NICA ingin kembali menegakkan kekuasaan Belanda kembali di Indonesia. Hal ini
merupakan ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia.
PBB mulai ikut ambil bagian pada konflik Indonesia-Belanda, saat Belanda melakukan agresi
militer I sebagai pengingkaran terhadap Perundingan Linggarjati. PBB kemudian membentuk
Komisi Jasa Baik pada tanggal 18 September 1947 yang kemudian dikenal dengan Komisi Tiga
Negara (KTN) dikarenakan terdiri dari tiga negara. KTN bertugas membantu menyelesaikan
sengketa antara Indonesia-Belanda. KTN terdiri dari Australia yang ditunjuk Indonesia, Belgia yang
ditunjuk oleh Belanda dan Amerika Serikat yang ditunjuak keduanya. Australia membantu
Indonesia dikarenakan partai Buru di sana bersimpati dengan perjuangan Indonesia. Wakil dari
Australia adalah Richard Kirby, wakil Belgia adalah Paul Van Zeeland dan wakil Amerika Serikat
adalah Frank Graham. Kemudian KTN berhasil membawa kembali Indonesia dan Belanda ke
Perjanjian selanjutnya, yaitu Perjanjian Renville.
Selain pembentukanKTN, Pada tanggal 28 Januari 1949 mengeluarkan resolusinya yang isinya
sebagai berikut:
Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian semua aktivitas
gerilya oleh Republik,
Pembebasan dengan segera dengan tidak bersyarat semua tahanan politik di dalam daerah
Republik oleh Belanda semenjak tanggal 19 Desember 1949
Belanda harus memberikan kesempatan kepada para pemimpin Indonesia untuk kembali ke
Yogyakarta
Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya
Mulai sekarang Komisi Jasa-Jasa Baik (Komisi Tiga Negara) ditukarnamanya menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untukIndonesia (United Nations Commission for Indonesia atau
UNCI), yang bertugas membantu melancarkan perundingan-perundingan.
Indonesia kemudian secara resmi menjadi anggota PBB pada masa kabinet Moh Natsir yakni
pada tanggal 28 September 1950 menjadi negara ke-60. Hal ini sesuai dengan dasar politik luar
negeri Indonesia yang bebas-aktif. Wakil tetap Indonesia di PBB adalah L.N Palar yang pernah
berbicara pada Sidang Majelis Umum PBB (1950). Indonesia pernah menjadi Presiden Majelis
Umum PBB (1971) yang diwakili oleh Adam Malik.
Peranan PBB dalam konflik Indonesia dengan Belanda tidak hanya terjadi pada masa usaha
mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), melainkan juga pada saat Indonesia melakukan upaya
mengembalikan Irian Barat dalam pangkuan ibu pertiwi. Belanda bersikeras untuk mempertahankan
Irian Barat agar tidak masuk ke dalam wilayah Indonesia.
PBB menjadi penengah antara Indonesia dengan Belanda. Pasca perundingan New York, maka
wilayah Irian Barat dibawah kendali PBB melalui United Nations Temporary Authority (UNTEA).
UNTEA selaku pemerintahan sementara PBB kemudian menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia
pada tanggal 1 Mei 1969. PBB juga turut serta dalam penentuan pendapat rakyat (pepera) dengan
mengirimkan duta besarnya yakni Ortis Sanz.
Revolusi dalam rangka mempertahankan kemerdekaan juga membutuhkan biaya dalam usaha
tersebut. Selain itu juga untuk menggaji pegawai pemerintah, keuangan negara yang sangat terbatas.
Oleh karena itu pemerintah kemudian menggambil berbagai kebijakan dalam rangka mengatasi
permasalahan-permasalahan dalam bidang ekonomi pada awal terbentuknya negara kesatuan
Republik Indonesia.
Berbagai masalah ekonomi yang ada pada awal kemerdekaan antara lain:
Kas negara yang masih kosong. Penghasilan utama pemerintah hanya bergantung pada sektor
pertanian.
Perkebunan dan instalasi industry rusak berat akibat adanya politik bumi hangus saat menghadapi
kedatangan Belanda. Politik bumi hangus dilakukan agar tempat-tempat penting yang
ditinggalkan oleh rakyat Indonesia tidak dapat dimanfaatkan oleh Belanda.
Jumlah penduduk yang meningkat tajam dan jumlah makanan yang terbatas.
Belum memiliki pola dan cara untuk mengatur keuangan. Selain itu juga adanya mentalitas
bangsa Indonesia yang belum siap maju.
Beredarnya mata uang Jepang yang semakin merosot nilai tukarnya. Selain itu inflasi juga
disebabkan oleh adanya tiga mata uang yang beredar di masyarakat. Selain mata uang Jepang,
beredar pula mata uang Hindia Belanda dan uang dari De Javasce Bank.
Berbagai kondisi ekonomi tersebut diperparah dengan adanya blokade ekonomi yang dilakukan oleh
Belanda. Belanda melakukan blokade dengan dalih untuk melindungi Indonesia dari intervensi
asing, untuk mencegah dimasukannya senjata dan alat-alat militer ke Indonesia dan mencegah
dikelurkannya hasil perkebunan Belanda. Padahal pada hakekatnya tujuan Belanda melakukan hal
tersebut adalah untuk menghancurkan Indonesia melalui bidang ekonomi. Blokade ini menimbulkan
barang ekspor Indonesia tidak bisa keluar, sekaligus barang impor tidak dapat diterima. Selain itu
blokade ekonomi juga menambah inflasi semakin tinggi.
Selain adanya blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda, kondisi ekonomi juga diperburuk
dengan adanya gangguan keamanan di berbagai daerah seperti PKI Madiun dan DI/TII Jawa Barat
yang dalam penumpasannya membutuhkan biaya yang besar.
Hal ini kemudian diperparah dengan kebijakan Belanda yang memblokade Indonesia pada bulan
November 1945 yang mengakibatkan hasil ekspor Indonesia tidak bisa dikirim keluar negeri begitu
pula produk-produk luar negeri yang dibutuhkan tidak bisa masuk Indonesia. Berbagai upaya
kemudian dilakukan dalam rangka menata ekonomi Indonesia
Pinjaman Nasional
Untuk mengatasi persoalan keungan, pemerintah melalui Menteri Keuangan, Ir. Surachman
merencanakan untuk mengeluarkan kebijakan pinjaman nasional dan telah disetujui oleh BP KNIP.
Pinjaman itu diperkirakan mencapai Rp 1,000,000,000.oo yang dibagi menjadi dua tahap. Pinjaman
itu akan dikembalikan dalam waktu 40 tahun. Kebijakan itu mendapat dukungan dari rakyat dengan
bukti pemerintah mampu menghimpun tabungan rakyat sebesar Rp 500,000,000,00.
Mengeluarkan ORI
Ternyata, keadaan perekonomian tersebut terus memburuk karena berbagai kebijakan Belanda yang
mencampuri urusan Indonesia. Belanda mengeluarkan uang NICA pada tanggal 6 Maret 1946 untuk
mengganti Jepang. Sementara, pemerintah Indonesia pada tanggal 26 Oktober 1946 mengeluarkan
uang kertas baru, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI). Semenjak dikeluarkannya ORI kemudian
mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang de javasche bank tidak berlaku di
wilayah Indonesia.
Pembentukan BNI
Bank Negara Indonesia (BNI) dibentuk oleh Margono Djojohadikusumo pada 5 Juli 1946. BNI
menjadi bank sentral dan sirkulasi yang bertanggung jawab menerbitkan dan mengelola mata uang.
Saat Indonesia mengeluarkan ORI, BNI mengedarkan alat pembayaran resmi tersebut. pada tahun
1955, peran BNI beralih menjadi Bank Pembangunan dan kemudian mendapatkan hak untuk
bertindak sebagai bank devisa. Pada tahun ini juga BNI beralih menjadi bank umum dengan
penetapan secara yuridis melalui Undang-undang Darurat No. 2 tahun 1955.
India Rice
Pemerintah Syahrir berusaha menembus blokade yang dilakukan oleh Belanda. Salah satu usaha
politis dilakukan dengan cara mengirimkan beras ke India yang sedang menderita kelaparan.
Indonesia kemudian mengirimkan 500.000 ton beras dengan harga yang sangat rendah. Sebagai
imbalannya India mengirimkan bahan pakaian dan obat-obatan yang diperlukan oleh Indonesia.
Selain itu juga, India sangat aktif mendukung kemerdekaan Indonesia.
Konferensi Ekonomi
Konferensi Ekonomi pertama
Dilaksanakan pada bulan Februari 1946 yang dipimpin oleh Ir. Darmawan Mangunkusumo.
Tujuan dari konferensi ekonomi adalah untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam
menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak seperti; masalah produksi dan distribusi,
masalah sandang, dan status administrasi perkebunan.
Rencana Kasimo
Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan, I.J Kasimo. Pada dasarnya program
ini berupa Rencana Produksi Tiga Tahun (1948-1950) mengenai usaha swasembada pangan.
Rencana Kasimo meliputi:
Anjuran memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
Penyembelihan hewan pertanian dilarang
Tanah-tanah kosong harus ditanami
Transmigrasi ke Sumatera
[1] Netherland Indies Civil Administration (NICA) dibentuk pada tanggal 3 April 1944 di Australia
yang bertugas mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum pemerintahan kolonial di Hindia-
Belanda. NICA dipimpin oleh H.J. Van Mook. NICA mengadakan perjanjian dengan tentara Sekutu
mengenai wilayah Hindia-Belanda yang dikuasi oleh Sekutu akan diserahkan kepada NICA.
[2] De Javasche Bank didirikan berdasarkan surat keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No
25 pada tahun 24 Januari 1828 di Jakarta. Mr. C de Haan diangkat sebagai presiden De Javasche
Bank. De Javsche Bank mendapatkan hak istimewa sebagai bank sirkulasi. Kemudian de Javasche
Bank membuka canbang di Semarang dan Surabaya. Setelah Indonesia merdeka, De Javasche Bank
dirubah namanya menjadi Bank Indonesia dan Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden De
Javasche Bank berdasarkan keputusan Presiden RI No. 123 tanggal 12 Juli 1951
[3]Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali
dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno,
Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya
[4] Pemberontakan PKI di Madiun dipimpin oleh Musso dan Amir Syarifudin. Pada tanggal 18
September 1948, PKI memproklamasikan kemerdekaan Sovyet Republik Indonesia. Pemebrontakan
ini merupakan kelanjutan dari kekecewaan berbagai pihak terhadap isi Perjanjian Renville dan juga
termasuk program Re-Ra yang dibuat oleh Kabinet Hatta dikarenakan kebijakan Re-Ra sangat
merugikan bagi anggota lascar yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin
oleh Amir Syarifudin.
[5] Front Demokrasi Rakyat (FDR) dibentuk di Surakarta pada tanggal 26 Februari oleh Amir
Syarifudin. FDR terdiri dari Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), Pesindo, PBI dan
Sarbupri. FDR menuntut pemerintah untuk membatalkan Perjanjian Renville yang isinya merugikan
Indonesia.
Pada tanggal 6 Maret 1946, panglima sekutu mengumumkan berlakunya uang NICA sebagai
pengganti uang Jepang. Pemerintah Indonesia menolak penggunaan uang itu dan menyatakan bahwa
uang NICA bukan alat pembayaran yang sah di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia.
Selanjutnya, pemerintah pada bulan Oktober 1946 mengeluarkan ORI untuk menggantikan uang
kertas Jepang yang sudah sangat merosot nilainya.
Pemindahan Ibukota RI ke Yogjakarta. Menjelang akhir tahun 1945 keamanan kota Jakarta
semakin memburuk tentara Belanda semakin merajalela dan berbagai aksi teror meningkat.
Mengingat situasi yang semakin memburuk, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta pada
tanggal 4 Januari 1946 memutuskan pindah ke Yogyakarta yang kemudian dijadikan sebagai Ibu
Kota Negara RI.
Sjafruddin yakin bahwa terwujudnya ORI dapat menjadi alat perjuangan yang ampuh dalam
mencerminkan eksistensi negara Republik Indonesia yang berdaulat dan besar pula artinya untuk
membiayai perjuangan seperti menggaji pegawai negeri dan tentara, membeli perlengkapan
administrasi pemerintah dan lain-lain. Keluarnya ORI bukanlah tujuan utama. Tujuan ini baru akan
tercapai apabila ditempuh dengan kerja keras yang ditinjau dari sudut ekonomi berarti meningkatkan
produksi, bukan dengan mencetak uang.
Dalam pelaksanaan tugasnya, panitia menghadapi kesulitan dan rintangan. Pencetakan ORI
menggunakan alat yang harus dicari di dalam negeri. Tidak mungkin mendatangkan mesin pentjetak
uang dari luar negeri melihat kondisi saat itu. Kesukaran memperolah bahan-bahan baku yang
diperlukan seperti kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan zinkografi, pelat seng untuk klise
dan
alat-alat lainnya seperti mesin aduk untuk membuat tinta. Pembuatan klise dikerjakan di percetakan
de Unie dan percetakan Balai Pustaka. Pembuatan gambar lithografi dilakukan di percetakan de
Unie. Percetakan perdana dilakukan di percetakan Balai Pustaka dengan pertama-pertama mencetak
lembaran uang seratus rupiah. Terjadinya pertempuran Surabaya November 1945 dan kondisi politik
Indonesia saat itu menyebabkan pencetakan uang yang beberapa bulan dilaksanakan di Jakarta
dipindahkan ke pedalaman dengan alat yang serba kurang lengkap.
Pihak Inggris yang pro Belanda memberikan pendapat tentang rencana pemerintah mengeluarkan
uang sendiri, bahwa lebih baik menerima uang Hindia Belanda karena mempunyai kurs
internasional, dan dapat dipergunakan untuk membayar keluar negeri. Ditambahkan, kalau
pemerintah RI mengeluarkan uang sendiri, uang itu tidak laku di luar negeri. Pada kenyataannya
uang NICA sekalipun mempunyai kurs internasional tidak diterima dan ditolak oleh rakyat. Uang
Jepang ditarik, sebagai gantinya, ORI yang diterima penuh kepercayaan oleh rakyat. Penolakan
terhadap uang Belanda merupakan suatu bukti nyata bahwa selain ORI uang lain sudah tidak dapat
dijadikan alat penukar. Oleh karena itu, tidak perlu uang yang memiliki kurs luar negeri, yang
dibutuhkan adalah uang yang diterima rakyat (Kedaulatan Rakyat, 26 Desember 1945).
Pada tanggal 29 sampai 30 Oktober 1946 uang yang dibuat sendiri oleh pemerintah Republik
Indonesia dikeluarkan secara resmi sebagai alat penukaran, alat pembayaran yang sah, dan alat
pengukur harga di seluruh wilayah yang secara de facto berada dibawah kekuasaan negara Republik
Indonesia, yaitu Jawa, Madura dan Sumatra. Sebelum ORI dikeluarkan, pemerintah terlebih dahulu
menarik semua uang Jepang dan uang Hindia Belanda dari peredaran dengan cara yang sedikit
sekali menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan menggantinya dengan uang baru, yang
mempunyai harga tinggi serta dapat diawasi peredarannya (Sikap, 12 Maret 1949).
Langkah pertama dimulai tanggal 22 Juni 1946 pemerintah Republik Indonesia melarang orang
Indonesia membawa uang lebih dari ƒ 1.000 dari daerah Karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya,
Bogor dan Priangan ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura tanpa izin lebih dahulu dari
pemerintah daerah yang bersangkutan. Demikian juga dilarang membawa uang dari luar masuk ke
pulau Jawa dan Madura melebihi ƒ 5.000 uang Jepang tanpa seijin Menteri Perdagangan dan
Perindustrian. Mulai tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura, seluruh uang Jepang dan uang
Hindia Belanda yang ada di tangan masyarakat, perusahaan-perusahaan dan badan-badan lain harus
disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia,
Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai (Beng To, 1991: 76-77).
Pengeluaran ORI didasarkan atas dua undang-undang yaitu pertama Undang-Undang no.
17/1946 tertanggal 1 Oktober 1946 yang berisi pemerintah akan mengeluarkan uang sendiri yakni
Uang Republik Indonesia, sedangkan tentang bentuk, warna, harga uang tersebut dan lain-lain yang
berhubungan dengan pengeluaran uang itu pengaturannya diserahkan kepada Menteri Keuangan
Republik Indonesia. Kedua Undang-Undang no 19/1946 yang diumumkan tanggal 24 Oktober
1946 disebut sebagai Undang-Undang tentang pengeluaran Uang Republik Indonesia, mengatur
dasar nilai uang baru dengan uang Jepang, tentang pembayaran hutang lama yang belum lunas pada
waktu berlakunya ORI, tentang uang Jepang yang masih berlaku sekarang, dan pengaturan harga-
harga maksimum bagi barang-barang yang dipandang perlu yang penetapannya diserahkan kepada
Menteri Kemakmuran. Dasar nilai ditentukan 10 rupiah ORI sama dengan emas murni seberat 5
gram. Emas murni jang dimaksud dalam pasal ini yaitu emas 24 karat. Sebagai dasar penukaran 50
rupiah uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Jawa dan Madura serta 100 rupiah
uang Jepang sama dengan 1 rupiah ORI untuk wilayah Sumatera (Arsip Kementerian Penerangan no
1).
ORI berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada tanggal 29 malam 30 Oktober 1946 jam 24.00.
Pada saat itu juga menurut putusan tersebut ORI menjadi satu-satunya alat pembayaran yang sah di
daerah Republik di Jawa dan Madura. Di Sumatera, peredaran ORI, karena kesukaran-kesukaran
dalam lapangan tehnik (kesulitan mengadakan pengangkutan dan menjamin keamanannya) tidak
dapat diadakan dengan segera. Di Sumatera uang Jepang masih terus berlaku sebagai alat
pembayaran yang sah, di samping uang sementara (Uang Republik Indonesia untuk provinsi
Sumatera) sampai kira kira pertengahan tahun 1948 (Sikap, 12 Maret 1949).
Pada awal penyebarannya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 19/1946 yang memuat
tentang pembagian uang sebesar 1 rupiah ORI pada setiap orang, dan ditambah 3 sen untuk tiap
kepala keluarga. Uang itu dimaksudkan sebagai modal untuk setiap orang. Adapun pertimbangan
pemerintah mengenai jumlah uang 1 rupiah tersebut adalah dengan dasar bahwa pada saat itu setiap
orang mempunyai uang tunai sebesar 50 rupiah uang Pendudukan Jepang, yang sebelumnya sudah
diputuskan. Pembagian uang dilakukan secara serentak pada hari dan waktu yang bersamaan di
seluruh Jawa dan Madura. Pembagian uang baru diberikan langsung kepada masyarakat secara
merata sebagai imbalan atas uang lama yang tidak berlaku lagi, dan juga agar masyarakat tidak
dirugikan (Nurhajarini, 2006: 36).
Pada tanggal 29 Oktober 1946 malam, sebelum keluarnya ORI, Wakil Presiden Mohammad Hatta
dan Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara menyampaikan pidato melalui RRI. Dalam pidato
itu disampaikan pemberitahuan tentang keluarnya dan diresmikannya ORI pada pagi hari tanggal 29
Oktober 1946 sebagai alat pembayaran yang sah. Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri
Keuangan menyampaikan pesan guna mengurangi keguncangan ekonomi dengan keluarnya ORI
tersebut. Isi pesan Sjafruddin antara lain mengajak rakyat untuk berhemat, bagi perusahaan-perusaan
terutama toko-toko, warung-warung jangan menjual barang terlalu banyak untuk keperluan sehari-
hari dan jangan menutup toko, pembeli dibatasi, toko-toko dan warung-warung diberi kesempatan
untuk menyimpan uangnya di bank-bank sampai tanggal 30 Oktober 1946, memberi kelebihan
persediaan makanan kepada tetangga yang kekurangan, jangan pergi ke bank untuk jumlah kecil
untuk mencari untung, tetapi harus berani menderita kerugian (Prawiranegara, 2011: 32).
ORI tidak dapat diedarkan di Sumatra, maka untuk mengatasi kesullitan keuangan, pada akhir tahun
1947 beberapa daerah di Sumatra mengeluarkan jenis uang sendiri. Diantaranya, ORIPS (Oeang
Repoeblik Indonesia Provinsi Sumatra), URISU (Oeang Repoeblik Indonesia Sumatra Utara),
URIDJA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Djambi), URIDA (Oeang Repoeblik Indonesia daerah
Aceh), ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia daearah Tapanuli), dan Uang Mandat yang dikeluarkan
oleh Dewan Perahanan daerah sumatra Selatan. Bahkan daerah Banten yang terisolasi, dikeluarkan
URIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia daerah Banten) (Beng To, 1991: 71).
Di wilayah Indonesia tidak hanya ada satu jenis uang. Pihak NICA (Belanda) mengeluarkan uang
baru sendiri yang dinamakan uang NICA. Peredaran uang NICA bersamaan dengan ORI telah
menimbulkan kesukaran bagi rakyat, khususnya penduduk daerah perbatasan anatara daerah yang
dikuasai Belanda dan daerah yang dikuasai Republik. Pada satu pihak penduduk takut diketahui
memiliki ORI oleh tentara NICA, dipihak lain takut pula diketahui memiliki uang NICA oleh
pasukan Republik. Ternyata makin lama uang Republik makin populer dikalangan rakyat (Rosidi,
2011: 141).
ORI dalam sejarah kemerdekaan Indonesia telah menjalankan peranan sebagai alat yang
mempersatukan bangsa Indonesia untuk bersama-sama dengan pemerintah Republik yang masih
muda itu berjuang mempertahankan dan menegakkan negara Indonesia. Dengan kata lain ORI telah
berperan sebagai alat perjuangan kemerdekaan, baik dalam menghimpun tenaga maupun dalam
membiayai berbagai macam keperluan negara. ORI berfungsi juga sebagai alat revolusi yang
mendukung dan memungkinkan pemerintah Indonesia mangatur administrasinya, mengorganisasi
dan memperkuat tentaranya, memelihara keamanan dan ketertiban, mengurus kesejahteraan rakyat
dalam menentang agresi Belanda (Beng To, 1991: 69-84).
Maklumat wakil presiden tanggal 3 November 1945 berisi tentang pembentukan partai-partai
politik. Beberapa partai politik yang kemudian terbentuk misalnya :
Masyumi, berdiri tanggal 7 November 1945, dipimpin oleh dr Sukiman Wiryosanjoyo
PKI (Partai Komunis Indonesia) berdiri 7 November 1945 dipimpin oleh Mr. Moh. Yusuf. Oleh
tokoh-tokoh komunis, sebenarnya pada tanggal 2 Oktober 1945 PKI telah didirikan.
PBI (Partai Buruh Indonesia), berdiri tanggal 8 November 1945 dipimpin oleh Nyono
Partai Rakyat Jelata, berdiri tanggal 8 Nopember 1945 dipimpin oleh Sutan Dewanis
Parkindo (Partai Kristen Indonesia), berdiri tanggal 10 November 1945 dipimpin oleh Dr
Prabowinoto
PSI (Partai Sosialis Indonesia), berdiri tanggal 10 November 1945 dipimpin Amir Syarifuddin
PRS (Partai Rakyat Sosialis), berdiri tanggal 10 November 1945 dipimpin oleh Sutan Syahrir
PKRI Partai Katholik Republik Indonesia), berdiri tanggal 8 Desember 1945
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, berdiri tanggal 17 Desember 1945 dipimpin oleh JB Assat
PNI (Partai Nasional Indonesia), berdiri tanggal 29 Januari 1946. PNI merupakan penggabungan
dari Partai Rakyat Indonesia (PRI), Gerakan Republik Indonesia, dan Serikat Rakyat Indonesia,
yang masing-masing sudah berdiri dalam bulan November dan Desember 1945.
Pembentukan negara-negara federal dirintis dalam Konferensi Malino, pada tanggal 15-25
Juli 1946. Konferensi dipimpin oleh Van Mook. Kemudian disusul berbagai konferensi lainnya
yang bertujuan untuk membentuk negara bagian, antara lain:
Negara Indonesia Timur (NIT) dibentuk berdasarkan Konferensi Denpasar tabga 18-24
Desember 1946. Selaku kepala negara NIT adalah Cokorda Gde Raka Sukawati. Wilayah NIT
melliputi Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku.
Negara Pasundan diporklamasikan pada tanggal 4 Mei 1947. Negara Pasundan meliputi wilayah
Jawa Barat dan sekitarnya. Sebagai kepala negara ditunjuklah R.A.A Wiranatukusumah.
Negara Madura dibentuk pada tanggal 23 Januari 1948. R.A.A Cakraningrat ditunjuk sebagai
kepala negara Madura. Negara Madura meliputi pulau Madura dan pulau-pulau kecil di
sekitarnya.
Negara Sumatera Timur dibentuk pada tanggal 24 Maret 1948. Selaku kepala negara ditunjuk Dr.
Teuku Mansur. Wilayah negara Sumatera Timur meliputi daerah Medan dan sekitarnya.
Negara Sumatera Selatan secara resmi berdiri pada tanggal 31 Agustus 1948. Abdul Malik
terpilih sebagai kepala negara Sumatera Selatan. Wilayah negara Sumatera Selatan meliputi
daerah Palembang dan sekitarnya.
Negara Jawa Timur dibentuk pada tanggal 26 November 1948. R.T.P Achmad Kusumonegoro
terpilih sebagai kepala negara. Wilayah negara Jawa Timur meliputi wilayah Jawa Timur.
Daerah-daerah otonomi yang meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar,
Banjar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung, Riau dan Jawa Tengah.
RIS dibentuk pada tanggal 27 Desember 1949, sebagai kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri
Hatta, dan kepala negara adalah presiden Soekarno. Dampak dari terbentuknya Negara RIS adalah
konstitusi yang digunakan bukan lagi UUD 1945, melainkan Konstitusi RIS tahun 1949. Dalam
pemerintahan RIS jabatan presiden dipegang oleh Ir. Soekarno, dan Drs. Mohammad Hatta sebagai
perdana menteri. Berdasarkan pandangan kaum nasionalis pembentukan RIS merupakan strategi
pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa Indonesia sehingga Belanda
akan mudah mempertahankan kekuasaan dan pengaruhnya di Republik Indonesia. Kelompok ini
sangat menentang dan menolak ide federasi dalam bentuk negara RIS.
RIS tidak berlangsung lama dikarenakan bentuk negara serikat tidak dikehendaki oleh sebagian
besar bangsa Indonesia. Bentuk RIS merupakan upaya Belanda dalam memecah belas persatuan dan
kesatuan. Pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS resmi dibubarkan dan dibentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Angkatan Perang Ratu Adil adalah sebuah angkatan perang yang dipimpin oleh Raymond
Westerling. Nama Ratu Adil dipakai supaya menarik simpati rakyat, dikarenakan ada ramalan bakal
datang Ratu Adil yang membawa kehidupan negara yang makmur. Raymond Westerling dianggap
sebagai ratu adilnya. Padahal sebelumnya Westerling melakukan pembantaian besar-besaran di
Sulawesi. Alasan dari pemberontakan APRA adalah (1) Tuntutan agar semua bekas tentara
Belanda ditetapkan sebagai tentara Negara bagian yang ditempati (Negara Pasundan),
(2)Mengamankan kepentingan ekonomi kaum kolonialis Belanda di Indonesia, dan (3) menolak
pembubaran enagra Pasundan.
Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA menyerang Kota Bandung. Pasukan APRA membantai
terhadap setiap anggota TNI yang ditemuinya. Markas Siliwangi berhasil dikuasai. Dalam peristiwa
ini Letkol Lembong tewas dalam menghadapi pasukan Westerling. Pemerintah pusat segera
mengirimkan
pasukan ke Bandung untuk menghentikan pembantaian yang dilakukan oleh APRA. Sementara itu
dilakukan perundingan antara Drs. Muhammad Hatta dengan komisaris tinggi Belanda di Jakarta.
Hasilnya Westerling didesak untuk meninggalkan kota Bandung. Karena semakin terdesak oleh
pasukan APRIS dan rakyat, akhirnya pasukan APRA kemudian meninggalkan kota Bandung.
Selain di Negara Pasundan, di Negara Indonesia Timur juga muncul pemberontakan yang dipimpin
oleh Andi Aziz. Penyebab dari pemberontakan Andi Aziz adalah (1) Menolak masuknya pasukan
APRIS dari unsur TNI di Sulawesi Selatan, dan (2) Menolak pembubaran Negara Indonesia Timur.
Pasukan Andi Azis berusaha menghalang-halangi masuknya TNI ke Makasar dengan menduduki
sarana-sarana penting, seperti lapangan terbang, sarana telekomunikasi, pos militer, dan menawan
Letkol A.J. Mokoginta.
Untuk mengatasi perlawanan Andi Azis, pemerintah pusat member instruksi agar dalam waktu 4×24
jam Andi Azis datang ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun intruksi
tersebut tidak dihiraukan Andi Azis, sehingga pemerintah mengirimkan pasukan dibawah pimpinan
Kolonel Alek Kawilarang untuk menumpas pemberontakan. Dengan ditangkapnya Andi Azis maka
pemberontakan tersebut dapat diatasi.
Setelah gagal di Sulawesi Selatan, anggota pemberontakan Andi Azis kemudian berpindah ke
Maluku. Sisa-sisa tentara Andi Azis menggabungkan diri dengan Christian Robert Steven
Soumokil yang menolak pembentukan negara kesatuan republic Indonesia. Pada tanggal 25 April
1950, Dr Soumokil memproklamasikan berdirinya Negara Republik Maluku Selatan (RMS).
Pendirian RMS merupakan ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Serikat, sehingga pemerintah menyatakan Indonesia Timur dalam keadaan bahaya. Pemerintah pusat
mengirim Dr. J. Leimana untuk menyelesaikan pemberontakan melalui jalan diplomasi dengan
Soumokil namun mengalami gagal. Sehingga pemerintah mengirim pasukan yang dipimpin oleh
Kolonel A.E. Kawilarang untuk melancarkan operasi militer. Pada peristiwa penumpasan, gugur
perwira APRIS, salah satunya adalah Letkol Slamet Riyadhi.
RIS merupakan warisan dari colonial Belanda, yang tidak sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini.
Oleh karena itu keberlangsungan dari RIS hanya sebentar yakni dari tanggal 27 Desember 1949
sampai 17 Agustus 1950.
Dengan semua perkembangan politik di Indonesia itu memaksa para elit yang ada di NIT dan NST
untuk berunding dengan pemerintah RIS. Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5 Mei 1950
diadakan perundingan antara PM RIS M. Hatta, Presiden NIT Sukawati, dan PM NST Dr.
Mansyur. Hasilnya adalah disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Akan tetapi, pada
tanggal 13 Mei 1950 Dewan Sumatera Timur menentang keputusan itu.
Meskipun demikian, Dewan Sumatera Timur masih bersedia menerima pembubaran RIS dengan
syarat NST dileburkan ke dalam RIS bukan ke dalam RI. Walaupun ada dukungan kuat dari
sebagian besar penduduk Sumatera Timur, tetapi PM Hatta mendukung Dewan NST. Keputusan
Hatta itu
didasari situasi di Sumatera Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan RI. Hatta berpikir
bahwa apabila diambil jalan penggabungan NST langsung ke dalam RI, mungkin dapat mendorong
para bekas KNIL yang saat itu masih menjadi anggota batalyon keamanan NST untuk memberontak
sebagaimana tindakan yang diambil teman-temannya di Ambon.
Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur dan Sukawati, maka sebagai tindak
lanjut diadakan perundingan antara PM-RIS Hatta yang mewakili NIT beserta dengan NST di satu
pihak dan PM-RI A. Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah tercapainya persetujuan pada
tanggal 19 Mei 1950 diantara kedua belah pihak untuk membentuk NKRI. Persoalannya adalah
bagaimana cara untuk membentuk sebuah negara kesatuan, sebagaimana yang dikenhendaki seluruh
rakyat Indonesia. Pilihan yang diambil para pemimpin Indonesia adalah dengan cara mengubah
Konstitusi RIS. Pilihan ini diambil karena apabila semua negara bagian melebur ke dalam RIS (RI
akan menjadi satu-satunya negara bagian dari RIS, sehingga RIS akhirnya terlikuidasi) akan
menimbulkan berbagai macam kesulitan. Pertama, akan timbul masalah dengan para bekas anggota
KNIL. Di samping itu ada alasan penting lainnya menyangkut hubungan dengan luar negeri. Jika
seluruh negara bagian bergabung dengan RI, maka akan timbul kesulitan.
Persoalannya adalah RI yang masih eksis adalah RI sebagai negara bagian RIS(sebagai akibat
persetujuan KMB). Padahal yang menyelenggarakan hubungan luar negeri adalah RIS yang telah
dilikuidasi. Dengan perkataan lain proses kembali dari RIS ke NKRI melalui cara ini berarti
peleburan negara yang telah mendapat pengakuan internasional dengan memunculkan sebuah negara
baru. Oleh karena itu agar pengakuan dunia internasional tetap terpelihara secarayuridis, maka
pembubaran RIS harus dihindari. Satu pilihan cerdik akhirnya diambil, yaitu dengan jalan mengubah
konstitusi RIS. Jadi secara yuridis NKRI adalah perubahan dari RIS sebagai negara federal menjadi
negara berbentuk kesatuan. Melalui cara itu terhindar permasalahan berkaitan dengan dunia
internasional.
Apabila RIS dibubarkan dan digantikan oleh RI sebagai negara bagian dalam tubuh RIS, maka
negara baru yang muncul itu tidak dapat menjalankan hubungan internasional secara yuridis formal.
Hal itu disebabkan RI sebagai negara bagian tidak dapat menyelenggarakan hubungan internasional.
Akan lain persoalannya apabila RIS berganti menjadi negara kesatuan. Secara yuridis tidak akan ada
permasalahan dengan dunia internasional, karena yang berubah hanya konstitusinya saja, bukan
negaranya.
Pada akhirnya upaya pergantian RIS menjadi RI terjadi pada tanggal 17 Agustus 1950. Secara resmi
negara Indonesia berbentuk Republik. Kemudian Indonesia memasuki era baru, yakni Demokrasi
Liberal (1950-1959).
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng
dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan
bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat
tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini
disebabkan karena : (1) Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non
pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal, (2) Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas
yang cenderung konsumtif (3) Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah (4) Para
pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya (5) Para pengusaha menyalahgunakan
kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral
dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No.
24 tahun 1951.
Gerakan Asaat
Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala
aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada umumnya dan
warga keturuan Cina pada khususnya. Dukungan dari pemerintah terhadap gerakan ini terlihat dari
pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan
lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi
negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai
menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat
Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah
secara sepihak. Tanggal 13 Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran
Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi
dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani
undang-undang pembatalan KMB.
RPLT mengalami kegagalan disebabkan oleh Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan
Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan
negara merosot. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. Adanya ketegangan antara pusat
dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Persiapan dalam upaya kembali ke negara kesatuan sudah dilakukanbeberapa bulan sebelumnya.
Rakyat di negara bagian menuntut negara RIS dibubarkan dan kembali ke negara kesatuan. Jawa
Barat, misalnya tanggal 8 Maret 1950 mengadakan demonstrasi agar negara Pasundan dibubarkan.
Sikap yang sama juga terjadi pada negara Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera
Timur.
Maka semenjak Pidato Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1945 secara resmi Indonsia kembali
kebentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan presiden Soekarno dan Wakilnya Moh Hatta.
Setelah itu Indonesia memasuki masa baru yang dinamakan Demokrasi Liberal.
Dampak dari terbentuknya Negara RIS adalah konstitusi yang digunakan bukan lagi UUD 1945,
melainkan Konstitusi RIS tahun 1949. Dalam pemerintahan RIS jabatan presiden dipegang oleh Ir.
Soekarno, dan Drs. Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Berdasarkan pandangan kaum
nasionalis pembentukan RIS merupakan strategi pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah
kekuatan bangsa Indonesia sehingga Belanda akan mudah mempertahankan kekuasaan dan
pengaruhnya di Republik Indonesia. Kelompok ini sangat menentang dan menolak ide federasi
dalam bentuk negara RIS (Sartono Kartodirjo, 1995: 78).
Sistem pemerintahan Federal yang diwariskan oleh KMB hanya dapat bertahan selama kurang dari
enam minggu dan sesudah itu secara progresif mulai pecah karena banyaknya tekanan dari gerakan
meluas yang berusaha menggantikannya dengan suatu bentuk pemerintahan kesatuan. Mayoritas
bangsa Indonesia benar-benar tidak puas dengan sistem federasi yang diletakkan diatas pundak
mereka oleh persetujuan KMB. Dalam 15 negara bagian hasil ciptaan Belanda, ketidakpuasan ini
segera mewujudkan diri dalam tuntutan-tuntutan massa yang meluas dan serempak untuk
dihapuskannya apa yang dianggap sebagai persekutuan yang menunjukkan federalisme dan
peleburan Negara-negara bagian dan digabungkan dengan Republik yang lama (Kahin, 1995: 569-
572).
Mengenai pembentukan Negara Kesatuan terjadi setelah Pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT)
dan Pemerintah Negara Sumatera Timur (NST) menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali
ke dalam wilayah NKRI. NIT dan NST adalah Negara bagian yang paling akhir menyatakan
bergabung kembali pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setelah pertimbangan mengenai
pokok-pokok pikiran tentang pementukan Negara Kesatuan disetujui oleh pemerintah RIS dan
pemerintah RI, maka realisasi pembentukan Negara Kesatuan terlaksana setelah ditandatanganinya
Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 1950. Dalam
piagam tersebut dinyatakan bahwa kedua belah pihak dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-
sama melaksanakan pembentukan Negara Kesatuan sebagai penjelmaan daripada Republik
Indonesia berdasrkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan resmi
RIS dibubarkan dan dibentuk Negara Kesatuan yang diberi nama Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Sesuai dengan hasil KMB, RIS harus membayar hutang Belanda sejak tahun 1942 sampai
pengakuan kedaulatan. Alasannya, semua hutang Belanda digunakan untuk kepentingan Hindia-
Belanda. Sedangkan pihak RIS hanya bersedia menanggung hutang Belanda sampai Indonesia
menyatakan kemerdekaan. Alasannya, apabila RIS harus menanggung hutang sampai tahun 1949
berarti RIS harus membiayai sendiri penyerangan-penyerangan Belanda terhadap Republik
Indonesia. Hal ini menimbulkan jalan buntu, terutama dalam menentukan tanggung jawab masing-
masing negara bagian. Sementara, Amerika Serikat terus menekan agar RIS menanggung semua
hutang Belanda.
Masalah di atas merupakan salah satu faktor yang mendorong timbulnya pemikiran untuk kembali
ke bentuk negara kesatuan. Gerakan yang menginginkan bentuk negara kesatuan pun semakin
meluas. Berbagai demonstrasi dan mosi yang menuntut agar negara-negara bagian RIS dilebur dan
bergabung dengan Republik Indonesia guna membentuk negara kesatuan. Presiden NIT, Sukowati
mengumumkan bahwa negara bagiannya siap menjadi unsur suatu negara kesatuan. Bahkan, 13
daerah di wilayah NIT, keculi Maluku Selatan siap untuk melepaskan diri dari NIT dan
menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.
Tindakan itu kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Penggabungan antara daerah yang satu
dengan lainnya dimungkinkan oleh pasal 43-44 Konstitusi RIS. Para pendukung negara kesatuan
dikenal sebagai kaum unitaris dan masyarakat yang menghendaki negara RIS dikenal sebagai kaum
federalis. Semula, kedudukan kaum federalis cukup kuat untuk mempertahankan pandangannya.
Akan tetapi, kekuatan itu mulai memburuk sebagai akibat beberapa tokohnya berkhianat terhadap
RIS. Berbagai gerakan separatis yang muncul pada masa RIS telah melahirkan sikap tidak
senangterhadap tokoh-tokoh kaum federalis dan mendorong mereka untuk mendukung tokoh-tokoh
kaum unitaris. Dengan demikian, gerakan separatis merupakan faktor yang ikut mendorong usaha-
usaha perjuangan kembali ke negara kesatuan.
Faktor lain yang mendorong untuk kembali ke negara kesatuan adalah keinginan rakyat. Di berbagai
daerah dilancarkan tuntutan pembubaran negara-negara bagian. Pada bulan Februari 1950, rakyat
Jawa Barat melakukan demonstrasi di depan Parlemen Pasundan menuntut dibubarkannya negara
Pasundan. Di Jawa Timur, rakyat berdemonstrasi menuntut dibubarkannya negara Jawa Timur.
Tuntutan semacam itu terus meluas di beberapa negara bagian maupun satuan kenegaraan (daerah-
daerah otonom). Sampai tanggal 5 April 1950, negara-negara bagian dalam RIS tinggal tiga, yaitu
RI, NIT, dan NST.
Beberapa daerah melancarkan mosi untuk melepaskan diri dari RIS dan bergabung dengan
Republik Indonesia, di antaranya:
Pada tanggal 4 Januari 1950, DPRD Malang mengajukan mosi untuk lepas dari Negara Jawa
Timur dan masuk Republik Indonesia.
Pada tanggal 30 Januari 1950, Sukabumi minta lepas dari Pasundan dan masuk menjadi bagian
Republik Indonesia.
Pada tanggal 22 April 1950, Jakarta Raya menggabungkan diri pada Republik Indonesia.
Di Sumatera terjadi pergolakan politik di mana rakyat menuntut pembubaran Negara Sumatera
Timur. Front Nasional Sumatera Timur dalam konferensinya pada tanggal 21 dan 22 Januari
1950 mengeluarkan resolusi yang antara lain menuntut supaya Negara Sumatera Timur selekas-
lekasnya digabungkan kepada Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Sementara Negara
Sumatera Timur dibubarkan dan diganti dengan Dewan Perwakilan Sumatera Timur yang
demokratis.
Di Sulawesi timbul gerakan-gerakan rakyat yang menuntut pembubaran negara Indonesia
Timur dan sebelum RIS dengan resmi membubarkan negara Indonesia Timur terlebih dahulu
mereka menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.
Berbagai perjuangan tersebut kemudian menghasilkan yakni Pada tanggal 14 Agustus 1950,
Parlemen RI dan Senat RIS mengesahkan Rancangan UUD Negara Kesatuan menjadi Undang
Undang Dasar Sementara. Tahun 1950 (UUDS 1950). Sehari kemudian, Presiden Soekarno
membacakan piagam terbentuknya NKRI dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus
1950. Pada hari itu juga Soekarno terbang ke Yogyakarta untuk menerima kembali jabatan sebagai
Presiden RI, yang sebelumnya dipangku oleh Mr. Asaat. Dengan demikian, sejak 17 Agustus 1950
negara RIS secara resmi dibubarkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berhasil ditegakkan
kembali. Keberhasilan itu merupakan bukti adanya persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.