Anda di halaman 1dari 3

adikalisme agama merupakan gerakan dalam agama yang berupaya untuk

merombak secara total suatu tatanan sosial dan tatanan politis yang ada dengan
menggemakan kekerasan. Radikalisme bukan fenomena baru, tetapi sejak
ratusan tahun yang lalu, gejala tersebut sudah ada di kalangan orang Yahudi dan
Kristen. Namun, perkembangan radikalisme sekarang lebih membahayakan.

Demikian penegasan Ketua Sinode GMIT Pendeta Dr Mery Kolimon dalam


materinya berjudul Peranan Tokoh Agama dalam Mejaga Kerukuan yang
disampaikan di hadapan tokoh agama se-NTT dalam dialog di aula Sasando
Internasional Hotel, Sabtu (8/4).

Terkait radikalisme masa kini, Pendeta Mery mengatakan, para pemimpin


karismatik dari organisasi-organisasi radikal memanipulasi agama dengan
berbagai cara dan memanfaatkan agama untuk kepentingan politik mereka.
Mereka lalu merekrut orang per orang atas nama agama untuk melakukan tindak
teror (lonely wolf). Mereka juga memutarbalikkan dan memanipulasi agama untuk
meyakinkan orang lain untuk melakukan tindakan seperti terorisme yang
merupakan penggunaan kekerasan dan intimidasi secara tidak resmi atau tidak
benar untuk kepentingan politik tertentu.
Hasrat untuk memperjuangkan diberlakukannya aturan keagamaan dari aliran
tertentu secara luas, lanjutnya, merupakan aspek yang terdapat dalam
radikalisme keagamaan. Selain itu, sikap memaksa bahkan melakukan
kekerasan terhadap mereka yang tidak setuju dengan pandangan, seperti
terhadap orang yang berbeda pandangan diisolasikan, ditobatkan, atau bahkan
diintimidasi dengan kekerasan. Penolakan terhadap nilai-nilai yang dianggap
asing dalam agama  dan pengajaran secara cermt nilai-nilai dalam agama.

Menurutnya, ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab timbulnya radikalisme


keagamaan, di antaranyas pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran
agama yang dianutnya, ketidakadilan sosial yang disebabkan perkembangan
sosio-politik dan ekonomi yang membuat (perasaan) termarginalisasi. Penyebab
lainnya yakni kemiskinan akibat kesenjangan ekonomi dan ketidakmampuan
sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang sangat cepat
terjadi.
Dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk
membenarkan juga menjadi salah satu faktor timbulnya radikalisme
keagamaan. Untuk itu, lanjutnya, tokoh agama diharapkan harus mengambil
peran aktif dalam menciptakan kerukunan.

Ia mengatakan karena agama merupakan bagiandari pembangunan perdamaian,


maka setiap tindakan atau kebijakan yang diambil bangsa-bangsa pasti akan
berhubungan dengan kepentingan agama-agama yang ada dalam bangsa itu. Jika
unsur iman yang terjalin dengan pengambilan keputusan tidak dipertimbangkan,
maka kebijakan negara bagi perdamaian akan menjadi sia-sia.

Maria Theresia Geme, Ketua FKUB NTT dalam paparannya mengatakan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama beroperasi berbagai sistem hukum
agama. Ada suasana harmonis (suasana saling menghidupkan)sehingga dikenal
sebagai bangsa yang paling toleran. Namun, perlu ada kebijakan dalam
mengelola keberagaman tersebut agar tidak berpotensi sebagai ancaman pada
stabilitas dan integrasi.

Terjadinya aneka konflik bernuansa etnis dan agama saat ini, paparnya, telah
mulai menciderai keharmonisan tersebut. Tahun 1967 terjadi pembakaran gereja
Meulaboh, perusakan 20 gereja dan sekolah Katolik dan Protestan di Makassar.

“Konflik yang bernuansa agama sangat sensitif dan cepat menyebar,


menceraiberaikan rasa kekeluargaan, pertetanggaan, persahabatan  dan
menghambat proses penguatan wawasan kebangsaan,” tegasnya.

Konflik dengan atas nama agama bahkan memobilisasi pertumbuhan baru


dengan peta etnis plus agama. Untuk itu, perlu memperkuat rasa kebangsaan,
kesetiaan nasional untuk menciptakan kehidupan yang harmoni sebagai puncak
dari hubungan yang saling menghidupkan.

Semenytara Ahmad Atang, akademisi Universitas Muhammadiyah Kupang


mengatakan, upaya untuk merajut rasa toleransi beragama dan rasa
persaudaraan serta perdamaiaan antarpemeluk agama yang lain tidak cukup
hanya dengan faktor nilai-nilai agama saja, tetapi juga dibutuhkan nilai-nilai
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 guna menghindari aksi
kekerasan atas nama agama.

Pancasila sebagai petunjuk kehidupan (way of life) berbangsa dan beragama,


lanjutnya, tentunya harus dijadikan pijakan oleh umat beragama di Indonesia
dalam setiap bertindak dan berbuat di antara sesama manusia.
Sejak era reformasi bergulir 19 tahun yang lalu, Pancasila seolah hilang dalam
percaturan sosial politik dan sosial keagamaan. Sebagai ideologi, pancasila
mengalami penciutan yang signifikan di tengah percaturan ideologi global.

“Masyarakat Indonesia sedang melakukan poligami ideologi dalam bidang


ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pancasila menjadi ideologi yang diasingkan
dan terasing oleh bangsanya sendiri,” tegas Atang.

Dikatakanya, ada perdebatan awal ketika bicara tentang pilar kebangsaan,


bukan hanya empat tetapi lebih dari itu. Pancasila tidak harus diletakkan
sebagai salah satu dari empat pilar, namun ia marupakan dasar, sehingga harus
dikeluarkan. Maka, bukan lagi empat pilar kebangsaan, tetapi empat konsensus
kebangsaan.

Anda mungkin juga menyukai