Anda di halaman 1dari 4

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN

TINGGI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG (UNNES)


Kantor: Komplek Simpang 5 Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati,
Semarang 50229

Rektor: (024)8508081 Fax (024)8508082, Purek I: (024) 8508001 Website:


www.unnes.ac.id - E-mail: unnes@unnes.ac.id

FORMULIR

FORMAT SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER


No. Dokumen No. Revisi Hal TanggalTerbit

FM-01-AKD-05 00 1 dari9 29 Februari2016

PANITIA UJIAN TENGAH SEMESTER

TAHUN AJARAN 2018/2019

FAKULTAS HUKUM

Nama Mata Kuliah : Kekayaan Intelektual

SKS :2

Semester/Tahun : Genap 2018/2019

Prodi/Jurusan : Ilmu Hukum

Pengampu : Rindia Fanny K, S.H., M.H

Hari/Tanggal : Senin/22 April 2019

Waktu : 07.00-08.00

Petunjuk Pengerjaan :

1. Lengkapi Identitas Saudara pada kertas lembar jawaban;


2. Ujian bersifat Take Home;
3. Kertas lembar jawaban dikumpulkan melalui email rndhukum@gmail.com paling lambat tanggal
24 April 2019 hari Rabu pukul 24.00 Wib.

Soal Ujian :
1. Bagaimana menurut pandangan saudara mengenai perbedaan perlindungan hukum
Kekayaan Intelektual yang bersifat first to file dan first to us dan cara mendapatkan
perlindungan tersebut sehingga pemegang atau pemilik Kekayaan Intelektual dapat
memperoleh/menikmati Hak Moral ataupun Hak Ekonomi yang terkandung di dalamnya?

2. Bagaimana menurut analisa saudara mengenai Kekayaan Intelektual termasuk hukum


Kebendaan yang tidak berwujud sehingga dalam perkembangannya terdapat beberapa
Undang-Undang Kekayaan Intelektual yang mengatur dapat dijadikan sebagai Jaminan, dan
ada yang tidak mengaturnya, jelaskan apa saja yang melatarbelakangi Peraturan Kekayaan
Intelektual tersebut sehingga terdapat perbedaan mengenai hal tersebut?

Jawaban :

1. Sistem pendaftaran deklaratif diatur dalam Undang-Undang nomor 21 tahun 1961, yakni
pada pasal 2 ayat (1). Sistem pendaftaran deklaratif adalah suatu system dimana yang
mendapatkan perlindumgan hukum adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan.
Dengan kata lain bahwa, bukan pendaftaran yang menciptakan suatu ha katas merk, tapi
sebaliknya pemakai pertama di Indonesialah yang menciptakan atau menimbulkan hak itu. 1
Pasal 2 ayat (1) memberikan kedudukan yang utama pada asas prior user has a better right
atau pemakai pertama mempunyai hak yan lebih baik daripada pendaftar pertama. 2 Oleh
karena itu seseorang yang telah mendaftarakan merek nya dapat menggunakan merk
tersebut selamanya. System pendaftaran deklaratif hanya menimbulkan dugaan adanya hak
sebagai pemakai pertama pada merk yang bersangkutan. Namun apabila dikemudian hari
terdapat pihak lain yang bisa membuktikan bahwa pihak lain tersebut yang menggunakan
merek tersebut pertama kali maka ia harus melepaskan merek nya. System pendaftaran
deklaratif ini dianggap kurang menjamin kepastian hukum dibaningkan dengan system
pendaftaran konstitutif.
Sistem pendaftaran konstitutif adalah sistem pendaftaran yang memberikan perlindungan
hukum bagi seseorang yang telah mendaftarakan mereknya pertama kali. Sistem pendaftaran
konstitutif disebut juga dengan sistem first to file yakni merek yang didaftar adalah yang
telah memenuhi syarat dan sebagai yang pertama. Didalam sistem pendaftaran konstitutif
pendaftaran merek adalah sebuah keharusan, sebab dengan didaftarkan nya merek maka
merek tersebut baru mendapat perlindungan hukum dari Negara apabila nanti merek tersebut
ditiru oleh pihak lain, hal ini sejalan dengan pendapat Rachmadi Usman yang mengatakan
bahwa pada sistem konstitutif ini perlindungan hukumnya didasarkan atas pendaftar pertama
yang beriktikad baik.3
Sehingga menurut saya Antara sistem pendaftaran first to use dengan sistem pendaftaran
first to file memiliki perbedaan bahwa dalam sistem first to use seseorang akan mendapatkan

1
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Hukum Merk di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 40
2
M Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1992, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 335-336
3
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya Di Indonesia,
(Bandung: PT. Alumni, 2003) hlm. 326
pengakuan merk tanpa menggunakan pendaftaran namun memiliki kelemahan bahwa hak
merk yang dimiliki nya tidak dapat bertahan selamanya hanya apabila terdapat pihak lain
yang mampu membuktikan bahwa pihak lain tersebutlah yang pertama kali menggunakan,
selain itu sistem ini tidak dapat memberikan kepastian hukum kepada pemilik merek.
Sedangkan dalam sistem first to file seseorang harus mendafatarkan mereknya terlebih
dahulu supa mendapatkan perlindungan hukum bagi mereknya apabila suatu saat pihak lain
meniru merek nya,
2. Indonesia telah menunjukkan keikutsertaannya sebagai anggota WTO sejak Indonesia
merativikasi UU No. 7 Tahun 1994. Konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai
anggota WTO adalah bahwa Indonesia harus menyelaraskan peraturan dibidang HKI dengan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian TRIP’s. Perkembangan masyarakat global, HKI
dijadikan akses untuk mendapatkan kredit perbankan secara Internasional. 4 Dalam
pertemuan Commission pada sesi ke-39 tahun 2006 mencatat bahwa Kekayaan Intelektual
telah menjadi sumber pembiayaan perbankan. Masuknya HKI sebagai collateral atau
jaminan disamping menjamin keamanan bagi kreditur dengan mengambil alih semua asset
perusahaan terkenal, juga menambah garis sumber keuangan untuk pemulihan hutang. 5 Di
Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia atau PBI Nomor 9/6/PBI/2007 tentang
Perubahan Kedua atas PBI Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum tidak menyebutkan HKI sebagai salah satu bentuk agungan kredit. Hal ini
dikarenakan perbankan diIndonesia belum bisa menerima HKI sebagai objek jaminan
Fidusia, sebab bank yang dalam hal ini sebagai kreditur memerlukan kepastian dan kemanan
terhadapa pelunasan hutang melalui kredit dalam jangka waktu yang sesuai dengan objek
jaminan yang mudah dieksekusi. Namun dalam hal ini HKI adalah suatu kebendaan yang
tidak berwujud intangible asset yang sehingga nantinya akan sulit memprediksi nilai HKI
ketika pemberian kredit maupun eksekusi HKI, apabila debitur wanprestasi. Secara teoritis,
HKI dapat dijadikan jaminan utang, sebab HKI adalah hak kebendaan yang bernilai
ekonomi. Menurut pasal 499 KUHPerdata HKI termasuk benda bergerak tidak berwujud
yang dapat dialihkan atau beralih karena perjanjian tertulis yang mana ia diinterprestasikan
sebagai perjanjian jaminan dengan objek HKI. Pengalihan dapat digunakan adalah melalui
perjanjian jaminan fidusia, sebab jaminan fidusia adalah jaminan atas benda bergerak baik
yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 4 Tahun 1996.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka menurut saya mengapa HKI tidak dapat dijadikan sebagai
jaminan apabila kita melihat dalam peraturan Bank Indonesia misalnya, bahwa sesuai dengan
Peraturan Bank Indonesia atau PBI Nomor. 9/6/PBI/2007 tentang perubahan kedua atas PBI
Nomor. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, HKI tidak termasuk salah satu
bentuk-bentuk agunan kredit yang disebutkan PBI tersebut. Selain itu Bank sebagai kreditur
membutuhkan kepastian dan pengamanan pengembalian hutang. Selain itu kesulitan dalam
memprediksi nilai HKI dan sulitnya mengeksekusi HKI ketika debitur wanprestasi menjadi salah satu
alasannya.
4
Cakrawala Hukum Sidang UNCITRAL Working Group VI on Security Interest, New York, 19-23 Mei 2008 dalam Buletin
Hukum Perbankan dan Konsentralan, Vol. 6, No. 2, Agustus 2008, hlm. 39.
5
Andrea Tosato, Security Intrerest Over Intellectual Property, Journal of Intellectual Property Law & Practice, Vol. 6 No.
2, hlm. 2
Sedangkan menurut saya dapat dijadikannya HKI sebagai jaminan sebab karena HKI adalah
intangible asset yang memiliki nilai yang patut diperhitungkan, resiko kredit yang lebih rendah
pembiayaan dan memungkinkan peminjam untuk mengamankan pembiayaan tanpa perlu
mengubah struktur modalnya. HKI dapat ditafsirkan sebagai objek jaminan fidusia, sebab HKI
termasuk benda bergerak tidak berwujud yang memiliki nilai (value) yang patut diperhitungkan
dalam lalu lintas perdagangan dan dimungkinkan sebagai objek jaminan fidusia.

DAFTAR PUSTAKA

anonim. (2008). Cakrawala Hukum Sidang UNCITRAL Working Group VI on Security Interest. Buletin Hukum
Perbankan dan Konsentralan, 39.

Gautama, S., & Winata, R. (1993). Hukum Merk Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Y. (2003). Tinajuan Merk Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1992. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Tosato, A. (2008). Security Interest Over Intellectual Property. Journal of Intellectual Property Law &
Practice , 2.

Usman, R. (2003). Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan Dan Dimensi Hukumnya Di
Indonesia . Bandung: PT. Alumni.

Anda mungkin juga menyukai