Pengantar Keperawatan Jiwa
Pengantar Keperawatan Jiwa
Kelompok 1
Yestrine Anita Lumasuge 13061078
Kelas B semester 4
Fakultas Keperawatan
Puji syukur patut kami naikkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
kasih dan tuntunanNya sehingga kami kelompok 1 bisa meyelesaikan tugas
makalah tentang “ Pengantar Keperawatan Kesehatan Jiwa “ ini dengan baik.
Kelompok kami menyadari dalam pembuatan tugas makalah ini ada banyak
tantangan yang telah dilewati termasuk mencari referensi yang tepat dan terpercaya
sehingga membutuhkan kerja sama dan kerja keras.
Semoga tugas ini bermanfaat dan menjadi berkat serta menambah pemahaman bagi
pembaca dan semoga kelompok 1 mendapat hasil yang baik. Kelompok kami
sangat membutuhkan masukan yang membangun demi kebaikkan bersama.
Penulis
Daftar Isi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
makhluk lainnya. Mereka diberi dua kekuatan utama, yaitu kekuatan rohani dan kekuatan
Segala sesuatu di dunia ini mempunyai ketentuan ukuran, termasuk juga manusia. Manusia
mempunyai ukuran atau batas-batas ketentuan, baik pada aspek fisik/jasmani maupun
benci, dendam, fanatisme, serakah, dan kikir disebabkan oleh bentuk kelebihan. Rasa takut,
kecemasan, pesismisme, HDR, adalah kekurangan. Semua ini dapat menyebabkan stres
pada diri seseorang yang bisa mengakibatkan gangguan jiwa pada orang tersebut. Gagguan
jiwa telah terjadi sejak zaman dahulu sampai sekarang. Sehingga memerlukan perhatian
B. Rumusan Masalah
1. Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Keperawatan JIwa
2. Pelayanan dan Kolaborasi Interdisiplin dalam kesehatan keperawatan jiwa
3. Hubungan terapeutik perawat-klien ( P-K )
4. Peran dan fungsi perawat kesehatan keperawatan jiwa
5. Penerapan etika keperawatan pada intervensi keperawatan jiwa
BAB II
PEMBAHASAN
Jika belajar dari sejarah, usaha kesehatan jiwa dan perawatannya diIndonesia dibagi
menjadi dua yaitu zaman colonial dan setelah kemerdekaan.
1. Zaman Kolonial
Sebelum didirikan rumah sakit jiwa diIndonesia pasien gangguan jiwa ditampung
dirumah sakit sipil atau militer dijakarta, semarang, dan Surabaya. Pasien yang
ditampung adalah mereka yang sakit jiwa berat saja. Tahun 1862 pemerintah Hindia
Belanda melakukan sensus pasien gangguan jiwa diseluruh Indonesia di Pulau Jawa,
dan Madura ditemukan pasien sekitar 600 orang, sedangkan didaerah lain ditemukan
sekitar 200 orang. Berdasarkan temuan tersebut pemerintah mendirikan Rumah
Sakit jiwa bagi pasien gangguan jiwa.
Pada tanggal 1 Juli 1882 didirikan Rumah Sakit jiwa pertama di Indonesia,
dicilenddek Bogor Jawa Barat dengan kapasitas 400 tempat tidur. Rumah Sakit jiwa
kedua didirikan di Lawang Jawa Timur tanggal 23 Juni 1902. Rumah Sakit jiwa ini
adalah terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 3.300 tempat tidur. Rumah Sakit
jiwa yang ketiga didirikan di Magelang pada tahun 1923, dengan kapasitas 1400
tempat tidur. Rumah sakit jiwa di Sabang tahun 1927. Menyusul didirikannya rumah
sakit jiwa lainnya di Grogol Jakarta , Padang , Palembang, Banjarmasin, dan
Manado.
d. Koloni
Merupakan tempat penampungan pasien yang sudah tenang dan mereka bekerja
dilahan pertanian. Mereka tinggal dirumah penduduk, tuan rumahnya diberikan
biaya oleh pemerintah. Pasien tetap diawasi oleh dokter atau perawat. Diketahui
pendidikan perawat jiwa mulai dibuka pada bulan September 1940 di Bogor, berupa
kursus. Yang diterima adalah orang Belanda atau Indo-Belanda, yang sudah lulus
MULO atau setaraf sekolah menengah pertama. Lulusannya mendapat sertifikat
Diploma B.
Peran dan fungsi perawat jiwa dituntut lebih aktif dan profesional untuk
melaksanakan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa. Pada saat ini pelayanan
keperawatan kesehatan jiwa berorientasi pada pelayanan komunitas. Komitmen ini
sesuai dengan haasil Konferensi Nasional I Keperawatan jiwa pada Bulan Oktober
2004.
Perspektif sejarah terapi gangguan jiwa
1. Zaman dahulu
Pada zaman dahulu, ada suatu keyakinan bahwa setiap penyakit menunjukan
ketidaksenangan dewa dan merupakan hukuman atas dosa dan perbuatan yang
salah. Penderita gangguan jiwa dipandang jahat atau baik, bergantung pada
prilakunya . individu yang baik disembah dan dipuja ; individu yang jahat
diasingkan, dihukum, dan kadang kala dibakar ditiang pembakaran. Setelah itu,
aristoteles ( 382-322 SM) mencoba menghubungkan gangguan jiwa dengan
gangguan fisik dan mengembangkan teorinya bahwa emosi dikendalikan oleh
jumlah darah , air, empedu kuning dan hitam dalam tubuh. keempat zat atau
cairan tersebut berhubungan dengan emosi gembira, tenang, marah, dan sedih.
Ketidak seimbangan empat cairan tersebut diyakini menyebabkan gangguan jiwa
sehingga terapi ditujukan pada upaya mengembalikan keseimbangan dengan
korban persemahan , puasa, dan menyucikan diri. “ terapi “ tersebut bertahan
sampai abad ke 19 ( Baly, 1982).
2. Periode pencerahan dan pendirian institusi jiwa
Pada tahun 1790-an periode penccerahan mulai memperhatikan penderita
gangguan jiwa.pendirian asli ( RSJ ) dilakukan oleh phillippe pinel diprancis dan
William tukes diinggris. Konsep asli sebagai tempat perlindungan yang aman atau
tempat yang memberikan perlindungan dibuat oleh 2 pria ini diinstitusi tempat
individu dicambuk , dipukul, dan dibiarkan lapar hanya karna mereka menderita
gangguan jiwa ( gollaher, 1995). Gerakan ini mulai melakukan terapi moral pada
penderita gangguan jiwa. Di AS, dorothea Dix ( 1802-1887) mulai melakukan
gerakan reformasi terapi gangguan jiwa setelah berkunjung ke institusi tukes
diinggris ia membantu dalam membuka 32 RS pemerintah yang menawarkan asil
kepada para penderita. Dix yakin bahwa masyarakat memiliki kewajiban terhadap
penderita gangguan jiwa dan memberikan pemukiman yang layak, makanan
bergizi, dan pakaian yang nyaman, ( Gollaher, 1995 ).
Secara integral, pasien adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.
Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien
sebagai pusat anggota tim. Karena dalam hal ini pasien sakit jiwa tidak dapat berpikir
dengan nalar dan pikiran yang rasional, maka keluarga pasienlah yang dapat dijadikan
pusat dari anggota tim. Disana anggota tim dapat berkolaborasi dalam menentukan
tindakan-tindakan yang telah ditentukan. Apabila pasien sakit jiwa tidak memiliki
keluarga terdekat, maka disinilah peran perawat dibutuhkan sebagai pusat anggota tim.
Karena perawatlah yang paling sering berkomunikasi dan kontak langsung dengan pasien
sakit jiwa. Perawat berada disamping pasien selam 24 jam sehingga perawatlah yang
mengetahui semua masalah pasien dan banyak kesempatan untuk memberikan pelayanan
yang baik dengan tim yang baik.
Perawat adalah anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat
memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek
profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan
pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit.
Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan
pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana
membuat referal pemberian pengobatan.
1. Kewenangan
2. Komunikasi
3. Tanggung jawab
4. Tujuan umum
5. Kerja sama
6. Kolaborasi interdisiplin
7. Efektif
8. Pemberian pertolongan
9. Koordinasi
10. ketegasan
Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa
beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan.
Ketegasan penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan
keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan
konsensus untuk dicapai.
Tanggung jawab artinya mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil
konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi
informasi penting mengenai perawatan pasien sakit jiwa dan issu yang relevan untuk
membuat keputusan klinis.
Pemberian pertolongan artinya masing-masing anggota dapat memberikan tindakan
pertolongan namun tetap mengacu pada aturan-aturan yang telah disepakati.
Kewenangan mencakup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya.
Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien sakit
jiwa, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam
menyelesaikan permasalahan.
Tujuan umum artinya setiap argumen atau tindakan yang dilakukan memiliki tujuan
untuk kesehatan pasien sakit jiwa.
Menurut Roger dalam Stuart G.W ( 1998 ), ada beberapa karakteristik seorang
Helper( perawat ) yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik,
yaitu :
1. Kejujuran
Kejujuran sangat penting, karena tanpa adanya kejujuran mustahil bisa terbina
hubungan saling percaya. Seseorang akan menaruh rasa percaya pada lawan bicara
yang terbuka dan mempunyai respons yang tidak dibuat-buat, sebaliknya ia akan
berhati-hati pada lawan bicara yang terlalu halus sehingga sering menyembunyikan
isi hatinya yang sebenarnya dengan kata-kata atau sikapnya yang tidak jujur
( Rahmat, J. 1996 dalam Suryani, 2006 ). Sangat penting bagi perawat untuk
menjaga kejujuran saat berkomunikasi dengan pasien, karena apabila hal tersebut
tidak dilakukan maka pasien akan menarik diri, merasa dibohongi, membenci
perawat atau bisa juga berpurah-pura patuh terhadap perawat
2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif
Dala berkomunikasi dengan pasien, perawat sebaiknya menggunakan kata-kata
yang mudah dipahami oleh pasien dan tidak menggunakan kalimat yang berbelit-
belit. Komunikasi non-verbal perawat harus cukup ekspresif dan sesuai dengan
verbalnya karena ketidak sesuaian akan menimbulkan kebingungan bagi pasien.
3. Bersikap positif
Bersikap positif terhadap apa saja yang dikatakan dan disampaikan lewat
komunikasi nonverbal sangat penting baik dalam membina hubungan saling percaya
maupun dalam membuat rencana tindakan bersama pasien. Bersikap positif
ditujukan dengan bersikap hangat, penuh perhatian dan penghargaan terhadap
pasien. Untuk mencapai kehangatan dan ketulusan dalam hubungan yang terapeutik
tidak memerlukan kedekatan yang kuat atau ikatan tertentu dianta perawat dan
pasien akan tetapi penciptaan suasana yang dapat membuat pasien merasa aman dan
diterima dalam mengungkapkan persaan dan pikirannya.
4. Empati bukan simpati
Sikap empati sangat diperlukan dalaam asuhan keperawatn, karna dengan sikap ini
perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan pasien seperti yang
dirasakn dan dipikirkan pasien. Dengan bersikap empati perawat dan memberikan
alternatif pemecahan masalah karena perawat tidak hanya merasakan permasalahn
pasien tetapi juga tidak berlaru-larut dalm perasaan tersebut dan turut berupaya
mencari penyelesaian masalah secarah objectif.
5. Mampu melihaat permasalaahan dari kacamata pasien
Dalaam ,emberikan asuhan keperawataan, perawat harus berorientasi pada pasien,
oleh karenanya perawat hahus mampu untuk melihat permasalahan yang sedang
dihadapi pasien dari sudut pandang pasien. Untuk mampu memlakukan hal ini
perawat harus memahami dan memiliki kemampuan mendengarkan dengan aktif
dan penuh perhatian. Mendengarkan dengan penuh perhatian berarti mengabsorsi isi
dari komunikasi (kata-kata dan perasaan) tanpa melakukan seleksi. Pendengar
(perawat) tidak sekedar mendengarkan dan menyampaikan respon yang di inginkan
oleh pembicara (pasien), tetapi berfokus pada kebuthan pembicara. Mendengarkan
dengan penuh perhatian menunjukan sikap caring sehingga memotifasi pasien untuk
berbicara atau menyampaikan perasaannya.
6. Menerima pasien apa adanya
Seorang halper yang efektif memiliki kemampuan untuk menerima pasien apa
adanya. Jika seseorang merasa di terima maka dia akaan merasa aman dalam
menjalin hubungan interpersonal. Nilai yang diyaki atau diterapkan oleh perawat
terhadap dirinya tidak dapat diterapkan pada pasien, apabila hal ini terjadi maka
perawat tidak menunjukan sikap menerima pasien apa adanya.
7. Sesitif terhadap perasaan pasien
Seorang perawat harus mampu mengenali perasaan pasien untuk dapat menciptakan
hubungan terapiutik yang baik dan efektif dengan pasien. Dengan besikap sensitive
terhadap perasaan pasien perawat dapat terhindar dari berkata atau melaakukan hal-
hal yang menyinggung privasi ataupun pesaan pasien.
8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu pasien ataupun diri perawat sendiri.
Perawat harus mampu memandang dan menghargai pasien sebagai individu yang
ada pada saat ini, bukan atas masa lalunya, demikian pula terhadap dirinya sendiri..
Empat factor utama yang membantu menentukan tingkat fungsi dan jenis aktivitas
yang dilakukan oleh perawat jiwa:
1. Legislasi praktek perawat
2. Kualifikasi perawat, termasuk pendidikan, pengalaman kerja, dan status sertifikasi
3. Tatanan praktik perawat
4. Tingkat kompentensi personal dan inisiatif perawat
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih rencana kehidupan dan cara
mengatur dirinya , Menghargai harkat dan martabat manusia sbg individu yg dapat
memutuskan yg terbaik untuk dirinya. Setiap tindakan keperawatan harus melibatkan
pasien dan berpartisipasi dalam membuat keputusan yang berhubungan dg asuhan
keperawatan
2. Beneficience
Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain. Tidak
menimbulkan bahaya bagi orang lain, Perawat secara moral berkewajiban membantu
orang lain melakukan sesuatu yg menguntungkan dan mencegah timbulnya bahaya
3. Non Maleficience
Prinsip Non Maleficience dan Kemaslahatan dapat dilihat kontinum rentang dari
bahaya yg tidak berarti (non maleficience) sampai menguntungkan orang lain dg
melakukan yg baik (kemaslht). Menuntut perawat menghindari yg membahayakan
pasien selama pemberian asuhan keperawatan. Bekerja dg konsep dalin di RS.
4. Keadilan
Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil terhadap semua pasien sesuai
dengan kebutuhan . Setiap individumendapat tindakan yg sama berarti mempunyai
kontribusi yg relatif sama untuk kebaikan kehidupan seseorang.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan
hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Perkembangan akan penyakit dan jenis gangguan
jiwa dari tahun ke tahun akan semakin banyak dan lebih memerlukan perhatian dari
pemerintah dan masyarakat .
B. Saran
Bagi pemerintah dan masyarakat agar tidak mengucilkan bahkan menyakiti orang-
orang yang mengalami gangguan jiwa . tapi harus di rawat atau di masukan ke Rumah
Sakit Jiwa untuk mendapatkan perawatan khusus. Dan bagi perawat saat melakukan
asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan jiwa agar bisa mengaplikasikan
komunikasi terapeutik dengan baik serta saat melakukan intervensi harus
memperhatikan penerapan kode etik.
Daftar pustaka
1. Videbeck S.L, PhD, RN. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta.EGC.
2. Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). Principles & Practice of psychiatric Nursing.
( 8th Ed). ST Louis: Mosby.
3. Yosep H.I, S.Kp., M.Si., M.Sc. & Sutini T, S.Kep., Ners., M.kep. (2014). Buku
ajar keperawatan jiwa. Bandung. PT.Refika Aditama.