Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Keluarga yang memiliki anak retardasi mental terutama orang tua selain stigma yang didapat
orang tua juga mengalami beban dalam kehidupannya (Wulandari, Soeharto, Setyoadi, 2016). Beban
keluarga merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan dalam keluarga dan yang dialami berupa
perawatan, pengasuhan, pendidikan yang membutuhkan biaya lebih besar, pengawasan kondisi anak
(Putra, Hamdani, Supriati,, 2017). Penelitian Purba (2018) bahwa meningkatnya beban memiliki anak
retardasi mental mempengaruhi masalah psikososial pada keluarga akibat stres dalam merawat,
ekonomi dan emosional.
Studi pendahuluan yang peneliti lakukan di SLB Negeri Semarang, jumlah siswa tingkat SD
retardasi mental sebanyak 93 anak. Dari hasil wawancara peneliti tersebut 3 orang tua belum bisa
menerima dan mengatakan malu, dikarenakan masyarakat menyebut bahwa anak retardasi mental idiot
dan aneh serta menjauhi dan mengejek anak retardasi mental, sehingga orang tua merasa dikucilkan. 1
orang tua mengatakan tidak memiliki rasa malu mempunyai anak retardasi mental, karena menurutnya
setiap anak memiliki kebebasan dalam bersosialisasi di masyarakat. 4 orang tua mengatakan adanya
rasa beban yang dialami keluarga terutama dalam pengeluaran biaya yang cukup besar, merawat dan
mendidik.
Menghadapi Anak dengan Retardasi Mental
Anak dengan retardasi mental seringkali dianggap sebagai pribadi yang inferior (lebih rendah)
dibandingkan dengan anak normal seusianya. Hal ini tampak dari bagaimana orang-orang di
sekitarnya memberikan ruang gerak yang terbatas pada kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu
kurangnya penerimaan dari orang tua tak jarang menyebabkan perkembangan mereka semakin
terhambat. Padahal dengan latihan yang cukup dan dukungan yang kuat, penyandang retardasi
mental dapat hidup secara mandiri dan berkontribusi bagi lingkungan di sekitarnya. Karena
itulah, langkah awal yang paling mudah adalah dengan belajar memahami kondisi mereka. Yuk,
kita simak sedikit ulasan tentang retardasi mental!
Istilah “retardasi mental” masih cukup asing di telinga sebagian besar masyarakat kita. Di dunia
pendidikan Indonesia, retardasi mental lebih dikenal sebagai “tuna grahita”. Retardasi mental
adalah sebuah kondisi di mana kemampuan intelektual seseorang di bawah rata-rata (IQ di
bawah 70) dan terdapat gangguan dalam perilaku adaptif 1. Perilaku adaptif merupakan
kemampuan seseorang dalam membina hubungan sosial dan menyelesaikan permasalahan
kehidupan sehari-hari (seperti menggunakan transportasi umum, menggunakan uang untuk
berbelanja, dsb). Dalam beberapa kasus, penyandang retardasi mental biasanya memiliki
gangguan lainnya, seperti misalnya down syndrome, fragile-x syndrome, dsb.
Nah, jika dilihat dari hasil tes IQ, penyandang retardasi mental dapat dibagi menjadi kategori
sebagai berikut:
Pada kategori ini, kesulitan utama yang ditemui adalah tugas-tugas akademik di sekolah.
Sebagian besar anak dengan retardasi mental memiliki perkembangan bahasa yang cukup untuk
aktivitas berbicara sehari-hari. Meskipun terbilang lambat tapi anak dapat mencapai ketrampilan
praktis dan rumah tangga untuk bisa hidup mandiri secara penuh.
Mengalami perkembangan bahasa yang bervariasi. Ada yang mencapai kemampuan komunikasi
secara sederhana. Ada pula yang hanya mampu berkomunikasi seadanya untuk kebutuhan dasar
saja. Selain itu, cenderung memiliki prestasi akademik yang rendah.
Memiliki kemampuan yang sama dengan kategori retardasi mental sedang. Umumnya menderita
gangguan fisik motorik (gerakan) yang mencolok.
4. Retardasi Mental Sangat Berat (IQ di bawah 20)
Pemahaman dan penggunaan kata sangat terbatas. Dengan latihan dan pengawasan yang tepat,
anak dengan retardasi mental dapat melakukan tugas praktis dan rumah tangga yang sederhana.
Dulunya, banyak pakar yang percaya bahwa anak dengan retardasi mental tidak dapat
mengalami peningkatan kemampuan dan sama sekali tidak bisa disembuhkan. Namun, saat ini
anggapan tersebut perlahan-lahan mulai diubah. Penanganan dan pendampingan yang tepat akan
anak dengan retardasi mental dapat bertindak secara mandiri. Bahkan tidak menutup
kemungkinan bahwa anak dengan retardasi mental kategori ringan dapat dilatih untuk mencapai
kemampuan layaknya orang normal.
Berbicara mengenai kebutuhan dari anak dengan retardasi mental, sebenarnya akan berkaitan
dengan kategori retardasi dan kemampuan yang mereka miliki. Untuk itulah, sangat dianjurkan
untuk pergi menemui psikolog anak guna melihat sejauh mana potensi dari anak. Akan tetapi,
ada beberapa hal umum yang bisa dijadikan acuan mengenai apa yang harus diperhatikan oleh
keluarga:
1. Pemilihan Sekolah
Dengan kemampuan di bawah rata-rata normal, kadangkala anak dengan retardasi mental
kategori ringan tidak tampak mengalami gangguan. Gangguan akan mulai terdeteksi ketika anak
mengalami masalah dalam bidang akademik. Untuk itulah, cari rujukan dari psikolog mengenai
sekolah terbaik yang sesuai dengan kebutuhan anak. Jangan merasa gengsi untuk memasukkan
anak di Sekolah Luar Biasa karena sebenarnya itulah yang dibutuhkan oleh anak. Memaksakan
anak untuk sekolah di sekolah normal dapat menimbulkan masalah lain seperti bullying dan
gangguan emosional.
Secara berkala, ajari anak untuk melatih kemampuan berbahasa. Secara perlahan, ajarkan
kosakata yang dapat membantu dia berinteraksi dengan dunia sekitar. Tekankan pada kata-kata
yang dia butuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengajari Anak Untuk Aktif
Di kehidupan sehari-hari, anak dengan retardasi mental memiliki pilihan yang sangat terbatas
mengenai aktivitas yang bisa dia lakukan. Kebanyakan anak dengan retardasi mental hanya
menghabiskan waktu dengan menonton TV atau mendengarkan radio. Hal ini bisa menyebabkan
perilaku pasif pada anak. Ajarkan anak kegiatan-kegiatan yang dapat membuat dia berinteraksi
dengan orang lain. Anak juga bisa dituntun untuk memiliki hobi yang menguntungkan seperti
memasak, melukis, dsb.
4. Perkembangan Seksual
Masalah seksual juga perlu mendapat perhatian serius. Ajari anak untuk memahami masalah-
masalah pubertas yang mungkin muncul, seperti menstruasi atau mimpi basah. Anak juga harus
diberikan pengertian tertentu agar tidak terjebak pada pelecehan seksual. Sangat disarankan
untuk menemui dokter atau psikolog yang bisa memberikan anjuran mengenai penanganan
masalah seksual anak.
Bekali anak dengan keterampilan-keterampilan hidup yang akan membantu ia untuk tidak terlalu
bergantung pada keluarga. Ajarkan pula cara berkomunikasi dengan baik, etika ketika berada di
tempat umum, ketepatan waktu, hingga kemampuan untuk berkarir di pekerjaan sederhana.
Sadari orang tua atau keluarga tidak bisa selamanya menjaga hidup anak. Salah satu cara yang
efektif untuk meningkatkan kemandirian anak adalah dengan menempatkan anak pada sekolah
yang tepat, sekolah yang berfokus pada peningkatan life-skill anak.
Tentu saja masih banyak sekali toleransi dan dedikasi yang harus diberikan dari orang-orang
sekitar untuk membantu kehidupan anak dengan retardasi mental. Akan tetapi, kelima hal tersebt
bisa dijadikan langkah awal untuk memberikan perawatan yang sesuai bagi kebutuhan anak.
Perbanyak berdiskusi dengan ahli yang berkompeten dan biasa menangani kasus-kasus semacam
ini. Semangat mengasuh anak dengan retardasi mental, kalian semua tidak sendiri. 🙂
1
Kampert, A. L., & Goreczny, A. (2007). Community involvement and socialization among
individuals with mental retardation . Research in Developmental Disabilities , 278-286.
2
Hallahan, D. P., Kauffman, J. M., & Pullen, P. C. (2012). Exceptional Learners. Upper Saddle
River : Paerson .
Berikut beberapa sumber pustaka lain yang dapat digunakan terkait retardasi mental :
Maslim, R. (2001). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa . Jakarta : PT Nuh Jaya .
Retardasi mental adalah suatu gangguan perkembangan otak yang membuat seseorang
membutuhkan waktu jauh lebih lama untuk mempelahari hal-hal dasar. Tidak semua orang
dengan kondisi ini punya tingkat keparahan yang sama.
Dengan dukungan yang baik dari lingkungan sekitar, orang yang mengalami retardasi mental
ringan, masih bisa diajari untuk hidup mandiri. Sementara itu pada penderita retardasi mental
parah, membutuhkan lebih banyak pendampingan dalam hidupnya. Tidak jarang, kondisi ini
disalahartikan sebagai penyakit Down syndrome.
Individu dengan retardasi mental, memiliki keterbatasan dalam dua hal, yaitu fungsi intelektual
dan perilaku adaptasi.
• Fungsi intelektual
Keterbatasan pada fungsi intelektual, dapat diukur menggunakan angka IQ. Orang dengan
retardasi mental, umumnya memiliki IQ yang rendah dan akan kesulitan dalam mempelajari hal
baru, membuat keputusan, serta menyelesaikan suatu masalah.
• Perilaku adaptasi
Perilaku adaptasi adalah kemampuan untuk melakukan tugas sehari-hari yang bagi sebagian
besar orang, bukanlah hal yang sulit dilakukan. Para pengidap retardasi mental, akan kesulitan
untuk melakukan hal-hal dasar seperti berkomunikasi dengan orang lain, melakukan interaksi,
serta mengurus diri sendiri.
Penyebab retardasi mental
Penyebab retardasi mental adalah multifaktorial. Artinya, ada banyak hal yang bisa
menyebabkan timbulnya kondisi ini, di antaranya:
Kelainan genetik
Riwayat meningitis
Riwayat campak atau batuk rejan
Riwayat trauma atau benturan keras pada kepala saat usia anak-anak
Paparan bahan beracun seperti merkuri atau timbal
Memiliki kelainan bentuk otak
Terpapar alkohol, obat-obatan terlarang, dan racun lain saat masih dalam kandungan
Infeksi saat kehamilan
Adanya penyulit saat proses persalinan, seperti tidak mendapatkan oksigen yang cukup
Secara umum, orang yang memiliki retardasi mental akan menunjukkan ciri-ciri seperti di bawah
ini.
Selain itu, orang dengan retardasi mental juga dapat menunjukkan perilaku negatif, seperti
mudah marah, keras kepala, rasa percaya diri yang rendah, depresi, tidak mau bersosialisasi
dengan orang lain, bahkan menunjukkan gejala gangguan psikotik.
Beberapa pengidap kondisi ini juga memiliki ciri khusus secara fisik, seperti kelainan bentuk
wajah dan tubuhnya pendek. Namun, tidak semuanya memiliki ciri seperti ini.
Berdasarkan tingkat keparahannya, retardasi mental dibagi menjadi empat tingkat. Pembagian ini
dilakukan berdasarkan nilai IQ dan kemampuannya untuk melakukan tugas sehari-hari serta
berinteraksi sosial.
Butuh waktu lebih lama untuk belajar bicara, tapi saat sudah bisa bicara, komunikasi bisa
dilakukan dengan baik
Bisa mandiri saat sudah dewasa
Sedikit kesulitan untuk belajar menulis dan membaca
Sering bersikap seperti anak-anak, meski usianya sudah dewasa
Sulit mengemban tanggung jawab besar seperti menikah dan punya anak
Dapat berkembang dengan mengikuti program belajar khusus
Memiliki nilai IQ antara 50-69
Beberapa ciri retardasi mental yang masih masuk tingkat keparahan sedang di antaranya:
Sulit mengerti perkataan orang lain maupun berbicara dengan orang lain
Susah berkomunikasi dengan orang lain
Masih bisa mempelajari kemampuan dasar, seperti menulis, membaca, dan berhitung
Akan sulit hidup mandiri
Bisa berperilaku baik di lingkungan maupun tempat yang sudah sering dikunjungi
Masih bisa berpartisipasi di kegiatan sosial yang melibatkan banyak orang
Rata-rata memiliki nilai IQ antara 35-49
Retardasi mental adalah kondisi yang akan tetap ada seumur hidup pengidapnya. Meski begitu,
ada beberapa metode yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuannya dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.
Sebelum perawatan dimulai, dokter akan mendiagnosis kondisi ini dengan melihat pola perilaku
serta melakukan tes IQ. Setelah diagnosis dilakukan, dokter bekerjasama dengan keluarga, akan
membuat rencana perawatan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan penderita.
Sebagai orangtua, Anda juga bisa melakukan hal-hal di bawah ini, untuk mendukung anak
dengan retardasi mental.
Dampak dari kondisi retardasi mental, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh individu
yang mengalaminya, tapi juga keluarga dan lingkungan sekitar tempat ia berinteraksi. Karena itu,
dalam proses perawatannya pun diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, agar individu tersebut
bisa berkembang dan kelak memiliki kualitas hidup yang baik.