Benigna prostat hiperplasia (BPH) ditandai dengan pembesaran kelenjar prostat merupakan kelainan yang sangat sering terjadi pada pria. BPH biasanya muncul dengan gambaran obstruksi aliran kandung kemih aliran urin yang buruk, urin menetes setelah selesai berkemih dan nokturia. Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor umur dan hormo androgen. Kelainan ini ditentukan pada laki-laki berusia 40 tahun dan frekuensinya makin bertambah sesuai dengan penambahan usia, sehingga pada usia di atas 80 tahun kira-kira 80% dari laki-laki yang menderita kelainan ini. Menurut beberapa referensi di Indonesia, sekitar 90% laki- laki berusia 40 tahun ke atas mengalami gangguan berupa pembesaran kelenjar prostat (Bufa, 2010 dalam Samidah & Romadhon, 2015). Data WHO (2013), memperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus degeneratif, salah satunya adalah BPH, dengan insiden di negara maju sebanyak 19% sedangkan di negara berkembang sebanyak 5,35% kasus, insiden penyakit BPH ini rata-rata terjadi pada pria dengan usia kurang lebih 65 tahun (Riskesdas, 2014). Disability Adjusted Life Years (DALY) menyatakan pada tahun 2015 lebih dari 3 juta populasi dunia menderita BPH dan sekitar 1.4 juta dengan rata-rata umur penderita berusia 66.61 tahun. Kanker prostat merupakan tumor ganas kedua yang paling umum ditemukan pada laki-laki seteah kanker paru. Lebih dari satu juta laki-laki di seluruh dunia diperkirakan menderita kanker prostat dan sekitar 300.000 diantaranya meninggal akibat kanker ini. Prevalensi kanker prostat di wilayah Asia diperkirakan mencapai 196.000 dimana 39.000 kasus terdapat di kawasan Asia Tenggara dengan tingkat mortalitas yang begitu tinggi sekitar 25.000 laki-laki. Prevalensi kanker prostat di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 0.2% dari seluruh kasus kanker atau sekitar 25.012 penderita. Provinsi yang memiliki prevalesi kanker prostat tertinggi adalah Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan yaitu sebesar 0.5%. Estimasi jumlah absolut penderita kanker prostat di Sulawesi Utara adalah 601 penderita (Solang, dkk, 2016). Menurut asosiasi urologis Amerika menganggap TURP sebagai pengobatan standart untuk BPH (Almeida & Silva, 2018). Tindakan pembedahan pada TURP merupakan prosedur pembedaan dengan memasukkan resektoskoi melalui uretra untuk mengkuretasi atau mereseksi kelenjar prostat yang obstruksi. Adanya tindakan reseksi pada kelenjar prostat akan menimbulkan kerusakan jaringan yang dapat mengakibatkan diskontinuitas jaringan yang aka melepaskan saraf aferen primer untuk menerima dan menyalurkan rangsangan nyeri. Zat kimia yang merangsang nyeri yaitu bradikinin, serotinin histamine, ion, kalium, asam, asetilkolin, dan enzim protelitik. Protasglandin & substansi akan meningkatkan sensitifitas ujung-ujung serabut nyeri sehingga terjadi nyeri menusuk setelah terjadi cedera. Pembedahan pada pasien BPH akan dilakukan jika gejala dan komlikasi dari LUTS sudah tidak bisa disembuhkan dengan terapi, yaitu jika terjadi retensi urine berulang, hematuria, tanda penurunan fungsi hinjal, dan ada batu saluran kemih, tujuan dari pembedahan ini supaya gejala tadi bisa diatasi sehingga pasien tidak mengalami sumbatan pad urine dan tidak sampai terjadi komplikasi yang berat (Wijaya & Putri, 2013). Nyeri post operasi harus menjadi perhatian utama dari perawat profesional dalam merawat pasien pst operasi, karena adanya nyeri dapat menyebabkan gangguan intake nutrisi dan aktifitas-aktifitas pasien, dan pada akhirnya berkonstribusi pada komplikasi sehingga memperpajang masa perawatan pasien (Hospitalisasi). Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami kehilangan kontrl serta emosi yang dapat berdapak pada meningkatnya persepsi nyeri. Selain itu stress fisik dan psikologis memberikan konstribusi untuk rasa nyeri bedah, memperpanjang waktu pemulihan pasca operas dan immonosuppression, sehingga intervensi farmakologis disertai dengan nonfarmakologis merupakan hal yang perku dilakukan (Wantonoro, 2015). Penatalaksanaan nonfarmakologis mencakup terapi agen fisik dan intervensi perilaku kognitif. Salah satu intervensi perilaku kognitif yang digunakan untuk mengurangin nyeri pasca operasi adalah relaksasi Benson. Relaksasi benson merupakan gabungan antara teknik respo relaksasi dan sistem keyakinan individu faith factor difokuskan pada ungkapan tertentu berupa nama-nama Tuhan atau kata yang memiliki makna menenangkan bagi pasien itu sendiri yang diucapkan berulang- ulang dengan ritme teratur. Keyakinan memiliki pengaruh fisik atau bahkan jiwa manusia yaitu relevan serta berpengaruh dalam terapi dan pencegahan penyakit. (Benson & Proctor 2000 dalam Solehati, & Kosasih, 2015).