Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Benigna prostat hiperplasia (BPH) ditandai dengan pembesaran
kelenjar prostat merupakan kelainan yang sangat sering terjadi pada pria.
BPH biasanya muncul dengan gambaran obstruksi aliran kandung kemih
aliran urin yang buruk, urin menetes setelah selesai berkemih dan nokturia.
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor umur dan hormo
androgen. Kelainan ini ditentukan pada laki-laki berusia 40 tahun dan
frekuensinya makin bertambah sesuai dengan penambahan usia, sehingga
pada usia di atas 80 tahun kira-kira 80% dari laki-laki yang menderita
kelainan ini. Menurut beberapa referensi di Indonesia, sekitar 90% laki-
laki berusia 40 tahun ke atas mengalami gangguan berupa pembesaran
kelenjar prostat (Bufa, 2010 dalam Samidah & Romadhon, 2015).
Data WHO (2013), memperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus
degeneratif, salah satunya adalah BPH, dengan insiden di negara maju
sebanyak 19% sedangkan di negara berkembang sebanyak 5,35% kasus,
insiden penyakit BPH ini rata-rata terjadi pada pria dengan usia kurang
lebih 65 tahun (Riskesdas, 2014). Disability Adjusted Life Years (DALY)
menyatakan pada tahun 2015 lebih dari 3 juta populasi dunia menderita
BPH dan sekitar 1.4 juta dengan rata-rata umur penderita berusia 66.61
tahun.
Kanker prostat merupakan tumor ganas kedua yang paling umum
ditemukan pada laki-laki seteah kanker paru. Lebih dari satu juta laki-laki
di seluruh dunia diperkirakan menderita kanker prostat dan sekitar 300.000
diantaranya meninggal akibat kanker ini. Prevalensi kanker prostat di
wilayah Asia diperkirakan mencapai 196.000 dimana 39.000 kasus
terdapat di kawasan Asia Tenggara dengan tingkat mortalitas yang begitu
tinggi sekitar 25.000 laki-laki. Prevalensi kanker prostat di Indonesia pada
tahun 2013 adalah sebesar 0.2% dari seluruh kasus kanker atau sekitar
25.012 penderita. Provinsi yang memiliki prevalesi kanker prostat tertinggi
adalah Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan yaitu
sebesar 0.5%. Estimasi jumlah absolut penderita kanker prostat di
Sulawesi Utara adalah 601 penderita (Solang, dkk, 2016).
Menurut asosiasi urologis Amerika menganggap TURP sebagai
pengobatan standart untuk BPH (Almeida & Silva, 2018). Tindakan
pembedahan pada TURP merupakan prosedur pembedaan dengan
memasukkan resektoskoi melalui uretra untuk mengkuretasi atau
mereseksi kelenjar prostat yang obstruksi. Adanya tindakan reseksi pada
kelenjar prostat akan menimbulkan kerusakan jaringan yang dapat
mengakibatkan diskontinuitas jaringan yang aka melepaskan saraf aferen
primer untuk menerima dan menyalurkan rangsangan nyeri. Zat kimia
yang merangsang nyeri yaitu bradikinin, serotinin histamine, ion, kalium,
asam, asetilkolin, dan enzim protelitik. Protasglandin & substansi akan
meningkatkan sensitifitas ujung-ujung serabut nyeri sehingga terjadi nyeri
menusuk setelah terjadi cedera. Pembedahan pada pasien BPH akan
dilakukan jika gejala dan komlikasi dari LUTS sudah tidak bisa
disembuhkan dengan terapi, yaitu jika terjadi retensi urine berulang,
hematuria, tanda penurunan fungsi hinjal, dan ada batu saluran kemih,
tujuan dari pembedahan ini supaya gejala tadi bisa diatasi sehingga pasien
tidak mengalami sumbatan pad urine dan tidak sampai terjadi komplikasi
yang berat (Wijaya & Putri, 2013).
Nyeri post operasi harus menjadi perhatian utama dari perawat
profesional dalam merawat pasien pst operasi, karena adanya nyeri dapat
menyebabkan gangguan intake nutrisi dan aktifitas-aktifitas pasien, dan
pada akhirnya berkonstribusi pada komplikasi sehingga memperpajang
masa perawatan pasien (Hospitalisasi). Pasien yang menjalani operasi
dapat mengalami kehilangan kontrl serta emosi yang dapat berdapak pada
meningkatnya persepsi nyeri. Selain itu stress fisik dan psikologis
memberikan konstribusi untuk rasa nyeri bedah, memperpanjang waktu
pemulihan pasca operas dan immonosuppression, sehingga intervensi
farmakologis disertai dengan nonfarmakologis merupakan hal yang perku
dilakukan (Wantonoro, 2015).
Penatalaksanaan nonfarmakologis mencakup terapi agen fisik dan
intervensi perilaku kognitif. Salah satu intervensi perilaku kognitif yang
digunakan untuk mengurangin nyeri pasca operasi adalah relaksasi
Benson. Relaksasi benson merupakan gabungan antara teknik respo
relaksasi dan sistem keyakinan individu faith factor difokuskan pada
ungkapan tertentu berupa nama-nama Tuhan atau kata yang memiliki
makna menenangkan bagi pasien itu sendiri yang diucapkan berulang-
ulang dengan ritme teratur. Keyakinan memiliki pengaruh fisik atau
bahkan jiwa manusia yaitu relevan serta berpengaruh dalam terapi dan
pencegahan penyakit. (Benson & Proctor 2000 dalam Solehati, & Kosasih,
2015).

Anda mungkin juga menyukai