Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Membangun kesempurnaan akhlak mulia adalah misi utama Rasul
Muhammad SAW. Ini berarti akhlak menjadi inti dan tujuan agama Islam dan
keluhuran akhlak menjadi landasan penting bagi kehidupan manusia.
Pemaknaan akhlak sebagai misi profetik tidak terbatas pada nilai sopan santun
terhadap orang tua atau orang yang patut dihormati.Spektrum pemaknaan
akhlak sekaligus mencakup tataran praksis yang tidak hanya ditujukan kepada
Allah SWT (hablun minallah) dan kepada sesama manusia(hablun minannas),
melainkan juga akhlak terhadap alam dan seluruh isinya.Dalam konteks
kebencanaan dan lingkungan hidup, implementasi akhlak terhadap alam dan
seisinya termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan menjadi niscaya
untukditingkatkan. Ini bukan berarti akhlak kepada Allah dan sesama manusia
menjadi tidak penting, tetapi justru kedua akhlak tersebut harus termanifestasi
ke dalam akhlak terhadap alam dan seluruh isinya. Kemunculan ayat-ayat
kauniyah (bencana di berbagai belahan bumi) jelas menuntut kesadaran serta
kepekaan hati kita akan pentingnya meninggikan akhlak pada dimensi yang
ketiga, yaitu tidak membuat kerusakan di muka bumi (QS al-‘Araf: 56).
Begitu seriusnya Alquran berbicara soal larangan tadi sehingga ayat
semacam ini diulang 40 kali.Allah SWT telah menunjukkan banyak bukti
bahwa apabila alam diperlakukansemena-mena, dampaknya tidak hanya
menimpa manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga bisa berakibat
fatal terhadap makhluk lain, seperti tanah, batu, sungai, gunung, dan benda-
benda tak bernyawa lainnya sehingga ekosistem terganggu. Jika alam
terganggu, bencana telah menjadi ancaman serius yang akan kita
hadapi.Penerapan akhlak terhadap lingkungan merupakan peranti utama
dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana yang akan mengancam tidak hanya

1
pada jiwa tetapi juga harta, kehormatan, dan keturunan bahkan agama. Karena
alas an itulah tindakan mengantisipasi ancaman mutlak dilakukan oleh setiap
individu ataupun kelompok di dalam masyarakat demi tercapainya
kemaslahatan bersama.Izin Allah SWT kepada manusia dalam memanfaatkan
alam adalah demi kebaikan dan kebahagiaan umat manusia.
Oleh karena itu, pemanfaatan alam harus berdasarkan akhlak yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.Dalam studi fikih lingkungan (fiqh al-bi’ah)
yang dipelajari di pesantren dikenal dua konsep utama terkait pelestarian dan
pemanfaatan alam, yaitu ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah yang mati) dan
hadd al-kifayah (standar kebutuhan yang layak). Konsep pertama menunjuk
suatu pengertian bahwa jangan sampai ada sejengkal tanah yang dibiarkan
tetap tidak bermanfaat alias tidak ditanami tumbuhan yang dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Akhlak
Dalam mendefinisikan akhlak, terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan
linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).Yatimin
Abdullah mengutip Luis Ma‟lȗf dalam bukunya kamus Al-Munjid, khuluq
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi‟at.Pengertian akhlak dari
segi istilah dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar:
a. M. Quraish Syihab dalam bukunya Wawasan al-Qur‟an menerangkan
bahwa kata akhlak tidak ditemukan dalam al-Qur‟an, yang ditemukan
hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu yang tercantum dalam al-
Qur‟an surat Al-Qalam ayat 4:“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekertiyang agung.”
b. Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak ialah ilmu yang objeknya
membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat
disifatkan dengan baik dan buruknya.
c. Ibn Miskawaih (w. 1030 M) mendefinisikan akhlak sebagai suatu keadaan
yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah, tanpa
melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari).Dari
pengertian di atas, yakni akhlak sebagai kelakuan manusia yang dilakukan
tanpa melakukan proses pemikiran terlebih dahulu (spontan). Akhlak
manusia dapat dikatakan beragam, dalam firman Allah berikut ini dapat
menjadi salah satu argument keanekaragaman tersebut. QS. Al-Lail (92):
“Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.”Keanekaragaman
tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang
berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa
kelakuan itu ditujukan.Berbicara masalah akhlak, jika dilihat dari segi

3
fungsi dan perannya, terdapat hubungan antara Etika, Moral, Susila
dengan Akhlak, yaitu menentukan baik dan buruk.Jika dalam etika
penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral
dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka
pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu
adalah al-Qur‟an dan al-Hadis

2.2. Akhlak Terhadap Lingkungan


Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia,
seperti binatang, tumbuh-tumbuhan,dan benda-benda tak bernyawa. Akhlak
yang dianjurkan Alquran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia
sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dan
sesamanya serta antara manusia dan alam.Kekhalifahan mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, dan bimbingan agar setiap makhluk mencapai
tujuan penciptaannya.Makhluk-makhluk itu adalah umat seperti manusia juga.
Alquran menggambarkan, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi
dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-
umat (juga) seperti kamu...”(QS. Al-An’am: 38).
Oleh sebab itu, menurut Al-Qurtubi, makhluk-makhluk itu tidak boleh
diperlakukan secara aniaya. Allah SWT menciptakan alam ini dengan tujuan
yang benar, sesuai dengan firman-Nya, "Kami tiada menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang
benar dan dalam waktu yang ditentukan."(QS. Al-Ahqaf: 3).Allah SWT
menundukkannya untuk kemaslahatan manusia, sesuai dengan firman-Nya,
"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin."(QS. Luqman: 20).
Ayat lainnya adalah Surah Al-Hajj ayat 65 dan Al-Jatsiyah ayat 12.

4
Berdasarkan kandungan Surah Al-Ahqaf ayat 3 dan Surah Luqman
ayat 20 di atas, Dr Quraish Shihab mengatakan, dalam memanfaatkan alam
manusia tidak hanya dituntut untuk tidak bersikap angkuh terhadap sumber
daya yang dimilikinya, tetapi juga dituntut untuk memerhatikan apa yang
sebenarnya dikehendaki oleh Allah SWT, Pemilik Alam ini.Manusia dituntut
untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya
saja, tetapi juga kemaslahatan semua pihak. Dengan demikian, manusia
diperintahkan bukan untuk mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan
alam.Ada beberapa hal yang harus kita pahami sebagai bentuk akhlak yang
baik kepada lingkungan hidup agar kita bisa melaksanakannya.

2.2.1. Keharusan Menjaga Lingkungan Hidup


Menjaga kelestarian lingkungan hidup dan tidak melakukan
kerusakan di dalamnya merupakan suatu keharusan bagi setiap
manusia. Karena itu, siapapun orangnya, melakukan kerusakan hidup
dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik sehingga orang munafik
sekalipuntidak mau dituduh telah melakukan kerusakan di muka bumi
ini meskipun ia sebenarnya telah melakukan kerusakan, Allah Swt
berfirman yang artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka:
Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka
menjawab: Sesungguhnya kami orang yang mengadakan perbaikan.
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat
kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari (QS 2: 11-12).
Oleh karena itu, orang-orang yang suka melakukan kerusakan
di muka harus diwaspadai, Allah Swt berfirman: Dan apabila ia
(munafik) berpaling (dari kamu), ia berjalan di muka bumi untuk
mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan (QS 2: 205)

5
2.2.2. Anjuran Menanam Pohon.
Agar lingkungan hidup yang kita diami tetap asri dan lestari,
maka kaum muslimin sangat dianjurkan untuk menanam pohon,
dengan adanya pohon, apalagi pohon yang besar, manusia akan
memperoleh keuntungan seperti penghijauan, air hujan bisa menyerap
lebih banyak ke dalam tanah sebagai cadangan air, udara tidak terlalu
panas, buah yang dihasilkan serta kayu yang bisa dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan manusia. Anjuran menanam pohon ini terdapat
dalam hadits Nabi Saw:Jika hari kiamat datang dan pada tangan
seseorang diantara kamu terdapat sebuah bibit tanaman, jika ia mampu
menanamnya sebelum datangnya kiamat itu, maka hendaklah ia
menanamnya (HR.Ahmad dan Bukhari)Manakala pohon yang ditanam
itu menghasilkan buah yang banyak, maka pahala untuk orang yang
menanam pohon itu akan lebih besar lagi, Rasulullah Saw
bersabda:Tidak seorangpun menanam tanaman, kecuali ditulis baginya
pahala sesuai dengan buah yang dihasilkan oleh tanaman itu (HR.
Ahmad).
2.2.3. Tidak Boleh Buang Air di Jalan, Tempat Bernaung dan dekat sumber
air.
Lingkungan hidup yang bersih, indah dan nyaman merupakan
dambaan bagi setiap orang, karena itu harus dicegah adanya usaha
untuk mengotori lingkungan, karena itu Rasulullah Saw melarang
siapapun untuk membuang air di jalan, tempat bernaung maupun dekat
sumber air, Rasulullah Saw bersabda: Takutlah kepada dua hal yang
dilaknati. Mereka (sahabat) bertanya: Apakah dua hal yang dilaknati
itu, ya Rasulullah?. Rasulullah Saw menjawab: Orang yang
membuang hajat di jalan umum atau di bawah pohon tempat orang
berteduh (HR. Muslim).

6
2.2.4. Tidak Boleh Buang Air di Air Yang Tergenang.
Air merupakan kebutuhan yang sangat utama bagi masusia,
dalam kehidupan sekarang, manusia tidak hanya mengandalkan air
dari dalam tanah, tapi justeru sekarang ini banyak orang yang
mengandalkan air sungai yang dibersihkan dan disucikan. Karena itu,
manusia jangan sampai mengotori atau mencemari air sungai.
Disamping itu, kebersihan lingkungan juga harus dijaga dan dipelihara
dengan tidak “buang air “ pada air yang tergenang, karena hal itu akan
mendatangkan penyakit dan bau yang tak sedap, Rasulullah Saw
bersabda: Jabir ra berkata: Rasulullah Saw telah melarang kencing
dalam air yang berhenti tidak mengalir (HR. Muslim)
2.2.5. Memelihara Tanaman.
Ketika para sahabat telah menanam pohon kurma, mereka
ingin agar pohon itu tumbuh dengan baik dan menghasilkan buah
yang banyak, tapi mereka agak bingung bagaimana harus
mengurusnya, karenanya mereka bertanya kepada Nabi tentang hal
itu, namun Nabi menjawab: “Kamu lebih tahu tentang urusan
duniamu”.Kisah di atas menunjukkan bahwa pohon yang sudah
ditanam harus dipelihara dengan sebaik-baiknya, namun teknisnya
diserahkan kepada masing-masing orang sesuai dengan
perkembangannya. Dalam kaitan dengan memelihara tanaman,
penebangan pohonpun sedapat mungkin dihindari, kecuali bila hal itu
memang sangat diperlukan, itupun bila tidak menganggu lingkungan,
ini berarti harus sesuai dengan izin Allah Swt meskipun dalam
keadaan perang, Allah Swt berfirman: Apa saja yang kamu tebang
dari pohon kurma (milik orang kafir) atau yang kamu biarkan
(tumbuh). berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan
izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada
orang-orang fasik (QS 59:5).

7
2.2.6. Boleh Memakan Buah.
Bagi seorang muslim, disadari bahwa Allah Swt telah
menganugerahkan buah yang begitu banyak macamnya, karenanya
boleh saja kita memakannya, namun jangan sampai berlebih-lebihan,
setelah itu jangan sampai lupa memanjatkkan rasa syukur dengan
menunaikan zakatnya pada saat panen, Allah berfirman yang artinya:
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-
macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan
warnanya), dan tidak sama rasanya. Makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dari
memetik hasilnya (zakat); dan janganlah kamu berlebih-lebihan,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS
6:141).
2.2.7. Tidak Menggunakan Air Secara Boros.
Hal yang juga amat penting untuk mendapat perhatian kita adalah
menggunakan air secara hemat, karenanya wudhu itu masing-masing
dilakukan maksimal tiga kali, meskipun wudhu pada air yang banyak,
bahkan wudhu di sungai sekalipun, karenanya Rasulullah berwudhu hanya
menggunakan sedikit air, hal ini tergambar dalam hadits: Adalah Rasulullah
Saw berwudhu, dengan satu mud air (HR. Abu Daud dan Nasa’I).‘”seorang
Badui kepada Nabi Saw, kemudian bertanya kepada beliau tentang wudhu,
maka Nabi Saw memperlihatkan padanya tiga kali, tiga kali, lalu sabda:
“Inilah wudhu, siapa yang lebih berarti telah berbuat keburukan dan
kezaliman (HR. Nasa’I, Ahmad dan Ibnu Majah).
2.2.8. Meminta Hujan Saat Kemarau.
Musim kemarau apalagi kemarau panjang bisa mengakibatkan
kesengsaraan bagi manusia, karena bisa mengakibatkan kekurangan
persediaan air yang pada akhirnya kegagalan dalam pertanian dan

8
perkebunan. Bahkan musim kemarau bisa mengakibatkan bencana
yang lebih besar lagi seperti mudahnya terjadi kebakaran, termasuk
kebakaran hutan. Disamping itu, kesengsaraan juga dialami oleh
binatang yang kesulitan bahan makanan karena daun dan rumput yang
biasa dimakan menjadi kering serta kesengsaraan bagi lingkungan
hidup itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai upaya menumbuhkan alam
lingkungan yang subur, indah dan nyaman, menjadi suatu keharusan
bagi kaum muslimin untuk berdo’a meminta hujan dengan
melaksanakan shalat istisqa.

9
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan


dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, seperti
binatang, tumbuh-tumbuhan,dan benda-benda tak bernyawa. Akhlak yang
dianjurkan Alquran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia
sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dan
sesamanya serta antara manusia dan alam.Kekhalifahan mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, dan bimbingan agar setiap makhluk mencapai
tujuan penciptaannya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Amin,  Ahmad, Prof.,Dr.1955. Ethika (ilmu akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.

Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Drs. H. Ambo Asse, M.Ag. 2003. Al-Akhlak al-Karimah Dar al-Hikmah wa al-

Ulum.Makassar: Berkah Utam.

Muhammad Al-Ghazali, Akhlak seorang muslim,Penerbit:Pt. Al-ma’arif  Bandung

Pustaka Beta.

Rasyid, Hamdan, Drs.KH. 2007. Bimbingan Ulama’ Kepada Umara dan Umat.

11

Anda mungkin juga menyukai