Kelas : 3B
NIM : 1800023198
TUGAS TAKDIR
3. Bisakah takdir berubah? Jelaskan alasan saudara dengan dalil akal dan naqil.
Bisa, apabila manusia mau berusaha/ berikhtiar untuk merubah nasibnya agar lebih baik
kedepannya.
Muhammad As-Shaleh Al-‘Utsaimin mengemukakan beberapa dalil yang membuktikan
bahwa manusia memiliki hak untuk berikhtiar:
Didalam Al-Qu’an Allah SWT menyebutkan secara eksplisit tentang adanya masyiah
dan iradah manusia seperti dalam firmannya :
َث لَ ُك ْم فَأْتُوا َحرْ ثَ ُك ْم أَنَّ ٰى ِش ْئتُ ْم ۖ َوقَ ِّد ُموا أِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ۚ َواتَّقُوا هَّللا َ َوا ْعلَ ُموا أَنَّ ُك ْم ُماَل قُوهُ ۗ َوبَ ِّش ِر ْال ُم ْؤ ِمنِين
ٌ َْسا ُؤ ُك ْم َحر
Terjemah Arti: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah
bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman. (Al-Baqarah 2:23)
ِ ََولَوْ أَ َرادُوا ْال ُخرُو َج أَل َ َع ُّدوا لَهُ ُع َّدةً َو ٰلَ ِك ْن َك ِرهَ هَّللا ُ ا ْنبِ َعاثَهُ ْم فَثَبَّطَهُ ْم َوقِي َل ا ْق ُعدُوا َم َع ْالق
َاع ِدين
Terjemah Arti: Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan
untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah
melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu
bersama orang-orang yang tinggal itu". (At-Taubah 2:286)
Adanya perintah dan larangan Allah SWT terhadap hamba-Nya tentu berdasarkan
pertimbangan dia dapat memilih. Kalua bukan, tentu tidak perlu adanya perintah dan
larangan tersebut, sebab hal itu berarti taklif yang tidak mungkin bisa dilaksanakan.
Allah SWT mustahil melakukan hal itu sebagaimana firman-Nya:
اَل يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا إِاَّل ُو ْس َعهَا
Dalam kehidupan sehari-hari manusia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
berdasarkan kemauannya sendiri, tanpa merasakan ada sesuatu yang memaksanya.
Isalnya, dia berdiri, duduk, berjalan, makan, minum, tidur dan lain-lain sebagaimana
dengan kemauannya. Sangat bias dibedakan mana perbuatan yang dilakukan dengan
terpaksa dan mana yang atas kemauannya sendiri. Bahkan jelas pula Islam menegaskan
tidak akan meminta pertanggung jawaban dari seseorang yang melakukan sesuatu dengan
terpaksa. (Al-‘Utsaimin, 1410 H, hal. 38-40)
4. Bunuh diri apakah itu takdir? Jelaskan dengan alasan-alasan yang kuat
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasib diartikan dengan sesuatu yang ditentukan
oleh Tuhan atas diri seseorang; misalnya, nasib membawanya terhempas di Jakarta.
Nasib baik (nasib mujur) adalah keberuntungan, misalnya ; ia selalu memperoleh nasib
baik di usahanya. Nasib buruk adalah kemalangan, misalnya; nasib buruk telah menimpa
keluarganya.
Kata nasib sendiri berasal dari bahasa arab yang berarti al hazzhu min kulli
syai’in (bagian dari segala sesuatu) bentuk pluralnya adalah anshiba dan anshibah. Dari
aspek majaz : jika disebutkan lii nashiibun minhu artinya kami mempunyai bagian
tertentu pada asalnya. An nashib juga bermakna al haudhu yaitu bagian dari daerah
tertentu di bumi sebagaimana disebutkan al Jauhari. (Lisanul Arab juz I hal 974,
Maktabah Syamilah)
Dari kedua makna tersebut, nasib bisa diartikan dengan bagian yang diterima seseorang,
baik itu berupa kesenangan maupun kesusahan, keuntungan maupun kerugian, kebaikan
maupun keburukan.
Sedangkan takdir berasal dari kata al qodr yang menurut syariat adalah bahwasanya
Allah swt mengetahui ukuran-ukuran dan waktu-waktunya sejak azali kemudian Dia swt
mewujudkannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya sesuai dengan ilmu-Nya. Dan Dia
swt juga menetapkannya di Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannnya, sebagaimana
disebutkan didalam hadits, ”Yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena. Dia swt
mengatakan kepadanya, ’Tulislah.’ Pena itu mengatakan, ’Apa yang aku tulis?’ Dia swt
mengatakan, ’Tulislah segala sesuatu yang akan terjadi.” (Syarhul aqidah al wasathiyah
juz I hal 32, Maktabah Syamilah)
Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini—tidak hanya pada manusia—baik pada
mahkluk hidup maupun benda mati, yang bergerak maupun yang diam, yang kecil
maupun yang besar, yang ghaib maupun yang nyata kecuali sudah ditetapkan dan
dituliskan oleh Allah swt di Lauh Mahfuzh.
Tidak satu pun daun yang rontok dari dahannya, semut yang mati di atas batu hitam,
benda langit yang hilang, kerikil yang berpindah tempatnya, jumlah bayi yang terlahir
dan meninggal setiap detiknya kecuali itu semua berada dalam ilmu, ketetapan, kehendak
dan ciptaan Allah swt.
Adapun takdir yang terkait dengan kehidupan manusia sebagaimana disebutkan didalam
sabda Rasulullah saw,”..kemudian dia bertanya lagi, ’Beritahukan kepadaku tentang
Iman.’ Nabi saw menjawab, ’Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik
dan buruk.” (HR. Muslim)
Artinya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia baik perbuatan maupun
perkataannya, kesenangan maupun kesusahannya, sehat maupun sakitnya, rezeki maupun
musibahnya, pahala maupun dosanya, hidup maupun matinya, yang seluruhnya adalah
bagian dari kehidupannya kecuali sudah diketahui dan ditetapkan Allah swt serta sesuai
dengan kehendak dan ciptaan-Nya.
”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Hadid : 22)
Dari definisi tentang nasib dan takdir diatas, maka bisa disimpulkan bahwa nasib pada
umumnya digunakan untuk bagian yang diterima manusia baik berupa kebaikan atau
keburukan, kesenangan atau kesusahan. Sedangkan takdir tidak hanya mencakup hal-hal
yang terjadi pada manusia namun ia juga yang terjadi pada seluruh makhluk lainnya di
alam ini sejak zaman azali dan sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh. Sehingga nasib adalah
bagian dari takdir.
Sebagaimana disebutkan diatas tentang definisi dari takdir yang mencakup ilmu,
ketetapan, kehendak dan ciptaan Allah swt. Maka segala perbuatan dan perkataan
manusia tidaklah lepas dari keempat hal tersebut.
Namun jangan kemudian diartikan bahwa ketika seseorang memukul orang lain, gagal
dalam ujian, menjadi penjahat, berbuat maksiat atau bunuh diri kemudian dengan mudah
mengatakan bahwa itu semua adalah takdir Allah swt atas dirinya. Ini tidaklah betul
berdasarkan dalil-dalil berikut :
ِ ب ْاله
﴾١٧﴿ َُون بِ َما َكانُوا يَ ْك ِسبُون ِ صا ِعقَةُ ْال َع َذا
َ َوأَ َّما ثَ ُمو ُد فَهَ َد ْينَاهُ ْم فَا ْست ََحبُّوا ْال َع َمى َعلَى ْالهُدَى فَأ َ َخ َذ ْتهُ ْم
”Dan Adapun kaum Tsamud, Maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih
menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, Maka mereka disambar petir azab yang
menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Fushilat : 17}
”Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada
mereka dan memberikan Balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad : 17)
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya
sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya
sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.” (QS.
Fushilat : 46)
3. Allah swt mengetahui bahwa hamba-hamba-Nya akan memilih dan melakukan sesuatu
dan ketika Dia swt menulis di Lauh Mahfuzh apa yang akan dipilih dan dilakukannya,
maka Allah dalam menulis ini, hanya berdasarkan kepada ilmu-Nya yang meliputi dan
menyeluruh. Ilmu Allah tidak pernah berubah. Ilmu Allah hanya mempunyai sifat
inkisyaf (menyingkap) terhadap sesuatu yang telah lalu, saat ini dan akan datang. Ilmu
Allah tidak memiliki sifat ijbar (memaksa) dan ta’tsir (mempengaruhi) sebagaimana
halnya kemampuan dan kehendak-Nya. Jadi Allah mengetahui secara azali tentang
hamba-Nya, bahwa ia akan memilih jalan kekufuran dan akan mati dalam kekufuran,
tetapi ilmu Allah hanya memiliki sifat inkisyaf tidak memiliki sifat ijbar dan ta’tsir.
4. Setiap orang yang bertakwa maupun tidak bertakwa mempunyai kemampuan ikhtiar
dan kebebasan ikhtiar. Allah swt memberikan mereka akal untuk bisa membedakan mana
yang baik maupun buruk bagi dirinya. Kemudian manusia pun diberikan kebebasan
berikhtiar manakah jalan yang dipilihnya; jalan yang baik atau yang buruk, ketaatan atau
kemaksiatan dan apabila ini telah terwujud maka berarti telah berlaku tuntutan
pertanggung-jawaban atau dasar diberlakukannya pembalasan dengan pahala atau siksa.
Diantara bukti kebebasan ikhtiar ini adalah perasaan ingin bebas melaksanakan shalat
atau meninggalkannya, membayar zakat atau tidak. Firman Allah swt,
َ ﴾ َوأَ َّما َم ْن َخافَ َمقَا َم َربِّ ِه َونَهَى النَّ ْف٣٩﴿ ﴾ فَإ ِ َّن ْال َج ِحي َم ِه َي ْال َمأْ َوى٣٨﴿ ﴾ َوآثَ َر ْال َحيَاةَ ال ُّد ْنيَا٣٧﴿ فَأ َ َّما َمن طَغَى
س ع َِن ْالهَ َوى
”Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). dan Adapun orang-orang yang
takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An Nazi’aat : 37 – 41)
Manusia tidak akan berdosa atau dihisab bahkan tidak akan disiksa terhadap sesuatu yang
dia tidak memiliki pilihan didalamnya, seperti lupa, dipaksa atau keadaan darurat,
sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah swt telah membebaskan
umatku karena keliru, lupa dan mereka yang dipaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
(Disarikan dari buku Jawaban Tuntas Masalah Taqdir, DR. Abdullah Nashih ‘Ulwan)
Jadi ketika seorang bunuh diri, meninggal karena suatu kecelakaan atau jihad di jalan
Allah maka segala yang tekait dengan perbuatannya itu sudah diketahui Allah swt dan
sudah dituliskan di Lauh Mahfuzh namun pengetahuan Allah swt ini hanya bersifat
inkisyaf (menyingkap) dan ilmu-Nya tidaklah bersifat ijbari (memaksa) dan tatsir
(mempengaruhi).
Bukti dari keadilan Allah kepadanya adalah dengan diberikannya akal untuk mampu
mempertimbangkan segala efek dari bunuh dirinya itu atau berjihad dijalan Allah baik
dari sudut pandang agama maupun yang lainnya. Setelah itu ia diberikan kebebasan
menentukan pilihannya apakah dia meneruskan niatnya dengan menusukkan pisau ke
perutnya sendiri, menyerang sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun padahal
kondisi tidaklah memaksa mujahid itu untuk melakukannya ataukah dia mengurungkan
niatnya tersebut, bersabar dan mencari solusi yang diridhoi Allah swt.
Apabila dia mengambil pilihan untuk menusukan pisau ke perutnya sendiri, meyerang
sendirian pasukan musuh tanpa satu senjata pun sehingga dia meninggal dunia dan ketika
perbuatan itu terjadi maka ia bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut.
Dan terhadap sesuatu yang dimana manusia tidak memiliki pilihan atasnya maka dia
tidaklah berdosa, seperti ketika seseorang yang tengah mengendarai sebuah mobil secara
wajar di sebuah dataran tinggi namun secara tiba-tiba jalan yang dilaluinya longsor dan ia
pun terhempas ke jurang dan meninggal dunia.
Kalaulah masih ada yang mengatakan bahwa bunuh diri dengan pisau atau mati dengan
cara menyerang pasukan musuh sendirian adalah takdir Allah semata maka bagaimana
pendapatnya jika datang seseorang mendekatinya dan menampar pipinya kemudian orang
yang menampar itu dengan mudah mengatakan kepadanya,”maaf itu semua adalah takdir
Allah.” maka apakah ia akan menerimanya?!!
5. Jodoh ditangan Tuhan (takdir) benar kah? Sehingga tidak perlu dicari, jodoh akan
datang sendiri atau jodoh perlu dicari, lalu dimana dicari dan bagaimana
mencarinya? Jelaskan
Saat syahwat cinta menggoda hati seorang anak manusia terhadap lawan jenisnya disebut
panah iblis. Disebut panah iblis atau syahwat cinta, karena cinta kasih itu muncul
sebelum sepasang manusia dihalalkan untuk berduaan, hidup bersama, karena mereka
belum terikat tali pernikahan. Petualangan panah iblis ini memang sebuah perangkap
setan yang amat halus, namun memiliki hasil menakjubkan, membuat seseorang bisa
melakukan apa saja demi cinta. Karena, ia sudah seperti yang digambarkan al-Quran
yang artinya, “Orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.” (Qs. al-
Furqan: 43).
Syahwat dan hawa nafsu itulah yang dia sebut sebagai cinta dan yang dia jadikan sebagai
Tuhannya.
Jodoh, termasuk rezeki seseorang. Jadi memang sudah ditentukan oleh Allah semenjak
manusia belum diciptakan, dan sudah ditulis di Lauh Mahfuzh. Dalam hal ini, manusia
tidak diperintahkan untuk memikirkan tentang takdir tersebut, tapi hanya diperintahkan
untuk berusaha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beramallah, masing-
masing akan dimudahkan melakukan apa telah dituliskan baginya.” (Riwayat Muslim).
Sebenarnya, berusaha atau tidak berusaha, jodoh sudah ditetapkan. Tapi masalahnya
bukan itu. Bahwa kita tetaplah dianggap berbuat keliru, bila manusia tidak berusaha.
Yang dituntut oleh Allah dari manusia adalah upaya, ikhtiar dan niat baik. Jodoh tetap
Allah yang menentukan. Jadi soal jodoh, rezeki dan takdir manusia tidak berhak
mengurusnya, tapi manusia hanya diperintahkan untuk berusaha. Dengan upaya yang
benar dan niat yang bersih itulah, manusia akan diberi pahala. Hasilnya, Allah yang
menentukan. Ketika seseorang terlambat mendapatkan jodoh, semua sudah suratan dari
Allah. Soal kekeliruan, kelalaian, atau keteledoran, itu semua hanya jalannya saja. Jalan
yang menyebabkan kita kesulitan mendapatkan jodoh. Kalau itu manusia lakukan dengan
sengaja, manusia berkewajiban bertaubat. Taubat itu sudah menghapus segalanya, bila
dilakukan dengan tulus. Dan dengan taubat, pengalaman masa lalu (meskipun
pengalaman maksiat) menjadi pelajaran berharga.
6. Hidup ini tidak punya pilihan karena sudah ditentukan oleh Allah, sudah
ditakdirkan, benarkah, jelaskan?
Masalah ini (Qadar) memang menjadi pusat perdebatan di kalangan umat manusia sejak
zaman dahulu. Oleh karena itu, dalam hal ini mereka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
kelompok, yaitu dua kelompok saling kontroversial dan satu kelompok sebagai penengah.
Kelompok Pertama.
Memandang pada keumuman Qadar Allah, sehingga dia buta tentang kebebasan memilih
hamba. Dia mengatakan : “Sesungguhnya dia dipaksa dalam segala perbuatannya dan
tidak mempunyai kebebasan memilih jalannya sendiri. Maka jatuhnya seseorang dari atap
bersama angin dan sebagainya sama dengan turun dari atap tersebut dengan tangga sesuai
dengan pilihannya sendiri.
Kelompok Kedua.
Memandang bahwa seorang hamba melakukan dan meninggalkan sesuatu dengan
pilihannya sendiri, sehingga dia buta dari Qadar Allah. Dia mengatakan bahwa seorang
hamba bebas memilih semua perbuatannya dan tidak ada hubungannya dengan Qadar
Allah.
Kelompok Penengah.
Maka mereka melihat dua sebab. Mereka memandang pada keumuman Qadar Allah dan
sekaligus kebebasan memilih hamba-Nya. Maka mereka mengatakan : “Sesungguhnya
perbuatan hamba terjadi karena Qadar Allah dan dengan pilihan hamba itu sendiri.
Sesungguhnya Qadar Allah kepadanya untuk melakukan ma’siyat tidak berarti
menghilangkan kebebasan (memilih)nya. Karena ketika dia memilih perbuatan tersebut
(ma’siyat) dia belum tahu apa yang ditakdirkan Allah kepadanya, lalu dia melakukan
perbuatan tersebut sesuai dengan pilihannya dan tidak merasa dipaksa oleh siapapun.
Akan tetapi ketika dia telah melakukannya, maka kita baru mengetahui bahwa Allah telah
mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya. begitu juga, cara pelaksanaan mas’iyat dan
proses menuju ke sana yang terjadi dengan pilihan manusia tidak berarti menghilangkan
Qadar Allah. Karena Allah telah mentakdirkan segala sesuatu, baik secara global maupun
rinci dan telah menetapkan sebab-sebab menuju ke sana dan seluruh perbuatan-Nya tidak
terlepas dari Qadar-Nya dan begitu juga perbuatan hamba-Nya, baik yang bersifat
ikhtiyari (sesuai pilihan) maupun idhthirari (terpaksa),
Allah berfirman.
ٰ ٰ
ِ َإِنَّ َذلِ َك َعلَى هَّللا ِ ي ۚب
سي ٌر ِ س َما ِء َواأْل َ ْر
ٍ إِنَّ َذلِكَ فِي ِكتَا ۗض َّ أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَنَّ هَّللا َ يَ ْعلَ ُم َما فِي ال
“Apakah kamu belum tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi,
sesungguhnya hal itu telah ada dalam Kitab, sesungguhnya itu bagi Allah sangat mudah”
[Al-Hajj/22 : 70]
Dari hadits di atas, jelaslah bahwa Nabi melarang sikap menyerah pada catatan (takdir)
dan meninggalkan beramal, karena tak ada peluang untuk mengetahuinya dan beliau
menyuruh hamba untuk berbuat semampu mungkin, yang berupa amal. Beliau
mengambil dalil dengan ayat yang menunjukkan bahwa orang yang beramal shalih dan
beriman, amal dia akan dipermudah menuju kemudahan. Ini merupakan obat yang
berharga dan mujarab, di mana seorang hamba akan mendapatkan puncak kesejahteraan
dan kebahagiaannya dengan mendorong untuk beramal shalih yang dibangun di atas
landasan iman dan dia akan bergembira dengannya karena ia akan didekatkan dengan
taufiq menuju kemudahan di dunia dan akhirat.
7. Apa gunanya manusia payah-payah berusaha didunia ini, apa peran usahanya, kan
segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah SWT, sudah tertulis di Lauhil Mahfuzh.
Jelaskan?
Allah memang sudah menuliskan takdir kita di lauhil Mahfuzh. Tapi Yang dituntut oleh
Allah dari manusia adalah upaya, ikhtiar dan niat baik. Takdir tetap Allah yang
menentukan. Jadi soal jodoh, rezeki dan takdir manusia tidak berhak mengurusnya, tapi
manusia hanya diperintahkan untuk berusaha. Dengan upaya yang benar dan niat yang
bersih itulah, manusia akan diberi pahala. Hasilnya, Allah yang menentukan. Apabila
tertulis di Lauhil Mahfuzh kalau seseorang kurang baik, nah dengan upaya ataupun
ikhtiar. Seseorang itu dapat mengubah takdir tersebut menjadi lebih baik. Dengan
kehendak Allah pastinya.
Betapa banyaknya manusia yang terdorong untuk membaca zikir-zikir siang dan malam
dikarenakan ia takut dari keburukan makhluk yang akan menimpanya. Karenanya, Anda
dapatkan orang seperti ini senantiasa rajin membaca wirid supaya ia selamat dari
gangguan-gangguan. Maka keburukan yang ada pada makhluk ini memiliki hikmah bagi
terdorongnya seseorang untuk senantiasa berzikir dan membaca wirid dan semisalnya. Ini
tentunya merupakan suatu kebaikan.
Jika engkau yakin bahwa semua perbuatan Allah Ta’ala adalah kebaikan, maka hatimu
akan merasa tenteram terhadap semua yang ditakdirkan Allah Ta’ala. Engkau pun akan
pasrah menerima sepenuhnya. Engkau akan menjadi seperti yang difirmakankan
Allah Ta’ala,
“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11)
Alqamah berkata, “Apabila seseorang ditimpa musibah lalu merasa yakin bahwa hal itu
dari sisi Allah, maka ia pun ridha dan menerima.”
Bila seorang manusia ridha dengan sepenuhnya terhadap ketentuan Allah Ta’ala, maka ia
akan terbebas dari perasaan sedih dan sikap gelisah, berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َك َوا ْستَ ِع ْن بِاهللِ َوال َ اِحْ ِرصْ َعلَى َما يَ ْنفَ ُع،ٌ َوفِي ُك ٍّل َخ ْير،ْف َّ اَ ْل ُم ْؤ ِمنُ ْالقَ ِويُّ َخ ْي ٌر َو أَ َحبُّ إِلَى هللاِ ِمنَ ْال ُم ْؤ ِم ِن ال
ِ ض ِعي
فإِن “لوْ ” تفت ُح َع َم َل الش ْيطا ِن، لَوْ أَنِّي ف َعلت كذا لكانَ كذا: ْك َش ْي ٌء فَالَ تَقُل
َ َّ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ َ َ َ ُ ْ َ َ َصاب َ َ َوإِ ْن أ،تَ ْع َج ْز
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah,
(namun) pada keduanya ada kebaikan (karena keimanan keduanya). Bersemangatlah
terhadap segala sesuatu yang mendatangkan manfaat untukmu. Mohonlah pertolongan
kepada-Nya dan janganlah lemah. Jika engkau tertimpa sesuatu, janganlah engkau
katakan, ‘Jikalau aku berbuat ini dan itu, maka tentunya akan beigni dan begitu.’
Dikarenakan kata ‘seandainya’ membuka amalan setan.”
Dalam kesempatan ini juga sekaligus saya tekankan bahwa apabila Anda menulis hadits
ini dengan tulisan yang besar, kemudian anda tempelkan di lapangan olahraga, supaya
dipahami bahwa mukmin yang kuat itu adalah yang kuat ototnya, maka hal ini hukumnya
tidak boleh.
Ringkasnya, keburukan atau kejelekan itu tidak dinisbatkan kepada Allah, sebab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai subuh, dari kejahatan
makhluk-Nya.’” (Qs. al-Falaq: 1–2)
Namun demikian, di samping meyakini bahwa kehendak Allah mutlak dalam memberi
hidayah atau menyesatkan seseorang, manusia juga tidak boleh melupakan bahwa Alah
SWT juga bersifat Maha Adil. Maka tidak mungkin Allah SWT menyesatkan orang yang
berhak mendapatkan hidayah, sebagaimana tidak mungkin pula memberi hidayah kepada
orang yang dikehendaki Allah mendapat kesesatan. Orang-orang yang dikehendaki oleh
Allah untuk mendapatkan hidayah adalah mereka yang membuka hatinya kepada
hidayah, yang membuka akalnya kepada kebenaran, yang mencari dan menerima manhaj
Allah dengan ikhlas dan jujur, dan tunduk kepada Agama-Nya dengan penuh ketaatan
dan penyerahan. Mereka inilah yang ditolong oleh Allah untuk mendapat hidayah,
diantarkan kepadanya, didorong melakukan dan ditambahkeimanan dan petunjuk mereka
didalam kehidupan ini.
ِّ نَحْ نُ نَقُصُّ َعلَ ْيكَ نَبَأَهُ ْم بِ ْال َح
ق ۚ إِنَّهُ ْم فِ ْتيَةٌ آ َمنُوا بِ َربِّ ِه ْم َو ِز ْدنَاهُ ْم هُدًى
Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka
adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula
untuk mereka petunjuk. (Al-Kahfi 18:13)
Adapun orang orang yang akan dikehendaki Allah SWT untuk mendapatkan kesesatan,
adalah mereka yang lari dari kebenaran, berpaling dari petunjuk dan menutup semua
pintu yang ada dalam dirinya sehingga hidayah tidak bias masuk. Bahkan didalam diri
mereka sama sekali tidak ada kesediaan untuk menerima manhaj yang diturunkan oleh
Allah SWT. Mereka tuli, bisu, dan buta. Dengan demikian mereka tidak dapat lagi
berfikir. Kalua mereka mengingkari Allah dan menolak Agama-Nya, maka bagaimana Ia
akan memberikan hidayah kepada mereka.
Allah berfirman :
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah 2:264)
Begitu juga dengan orang-orang fasik yang tidak mau mentaati Allah, serta orang-orang
zalim yang zalim kepada Allah, hambanya, dan dirinya sendiri; Allah tidak akan
memberikan hidayah kepada mereka
9. Allah yang memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa
yang Dia kehendaki. Lalu kenapa orang yang tidak dapat petunjuk disiksa di akhir
nanti? Sedang tidak dapat petunjuk itu adalah atas kehendak Allah, Jelaskan
Ada beberapa alasan :
1. Mereka dibekali fitrah suci yang berpotensi untuk menerima hidayah dari Allah SWT.
Rasulullah bersabda:
“setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah yang akan
berperan mengubah anak itu menjadi seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR
Bukhari)
2. Mereka diberi alat indera untuk mncari kebenaran. Allah akan minta
pertanggungjawaban penggunaan alat indera tersebut.
ص َر َو ْالفُ َؤا َد ُكلُّ أُو ٰلَئِكَ َكانَ َع ْنهُ َم ْسئُواًل
َ َك بِ ِه ِع ْل ٌم ۚ إِ َّن ال َّس ْم َع َو ْالب َ اَل تَ ْقفُ َما لَي
َ َْس ل
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al- Isra’ 17:36)
3. Mereka diberi akal untuk membedakan antara yang baik dan buruk, antara yang hak
dan batil, antara hidayah dan dhalal. Allah berfirman tentang penghuni neraka yang
menyesal karena disunia dahulu tidak menggunakan akal pikirannya sehingga
akhirnya mereka masuk neraka.
4. Mereka diberi hak ikhtiar untuk menerima atau menolak hidayah Allah SWT. Allah
berfirman:
ْق ِم ْن َربِّ ُك ْم ۖ فَ َم ْن َشا َء فَ ْلي ُْؤ ِم ْن َو َم ْن َشا َء فَ ْليَ ْكفُر
ُّ قُ ِل ْال َح
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir" (Al- Kahfi 18:29)
5. Kepada mereka sudah diutus Rasul, diturunkan Kitab Suci disampaikan dakwah
Islam untuk membimbing mereka mencari hidayah Allh SWT.
6. Mereka hanya dibebani hal-hal yang sanggup mereka memikulnya.
Dengan alasan-alasan itu, sangatlah bijaksana dan adil kalua Allah SWT memberikan
azab kepada orang-orang yang menolak hidayah Allah SWT sebagai balasan yang
sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan didunia.
10. Tulis 3 ayat al-Quran yang berkaitan dengan takdir, atau Qadha Qadar sehingga
dari ayat-ayat tersebut saudara mengerti tentang Takdir.
Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an,
Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah
kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah ” (QS.
Al Hajj:70).
ِ ْت اْألَر
ض ِ ة فِي ظُلُ َماÊٍ َّ َوالَ َحبÊ َو َرقَ ٍة يَ ْعلَ ُمهَاÊ هُ َو َويَ ْعلَ ُم َمافِي ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر َو َما تَ ْسقُطُ ِمنÊَّ إِالÊب الَيَ ْعلَ ُمهَآ
ِ َو ِع ْن َدهُ َمفَاتِ ُح ْال َغ ْي
}59{ نÊٍ ب ًّمبِي ٍ س إِال َّ فِي ِكتَا ٍ ِب َوالَيَاب ٍ ط ْ َوالَ َر
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di
lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula),
dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah
atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al
An’am:59).
“.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-
Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-
63)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu “.” (QS. As
Shafat:96).
11. Jelaskan pendapat-pendapat atau aliran yang timbul dalam Islam ketika
memahami takdir ini.
Sejalan dengan perkembangan dan meluasnya Islam di dunia, pasti tidak lepas dengan
problematika yang timbul kala itu. Salah satu diantara problematika tersebut ialah
timbulnya firqoh atau golongan yang benihnya mulai timbul selepas terjadinya Perang
Shiffin. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat dikalangan masyarakat pada
masanya. Salah satu dari golongan-golongan yang timbul saat itu ialah aliran Qadariyah
atau yang dikenal dengan para pengingkar takdir. Latar belakang timbulnya paham
Qadariyah sendiri sebagai penentang dari kebijakan politik Bani Umayyah yang dinilainya
kejam. Jika paham Jabariyah berpendapat bahwa Bani Umayyah membunuh merupakan
perbuatan yang sudah ditakdirkan oleh Allah Swt., maka paham Qadariyah
membatasi qadar tersebut dengan berpendapat bahwa Allah Swt. itu adil. Allah Swt. akan
menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik.
Maka dari itu, manusia harus khaliqul 'af'al yaitu merdeka dalam ikhtiar atau menentukan
perbuatannya, mau ke arah baik atau ke arah buruk. Apabila ada yang berpendapat bahwa
amal perbuatan dan nasib seseorang bergantung kepada qadar Allah Swt. saja, maka akan
dicap sesat oleh paham Qadariyah. Karena bagi paham Qadariyah pendapat tersebut
dinilai menentang keutamaan Allah Swt. dan diartikan bahwa Allah Swt. yang menjadi
sebab terjadinya kejahatan.
Saat itu paham Qadariyah telah mendapatkan pengikut yang cukup, namun seiring
jalannya waktu paham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam kala itu.
Reaksi keras ini diakibatkan oleh dua hal. Pertama, pada saat itu masyarakat Arab
sebelum dan sesudah beragama Islam telah dipengaruhi oleh paham fatalis. Sedangkan
kehidupan mereka sederhana dan jauh dari ilmu pengetahuan. Mereka hanya mengalah
pada keganasan alam yang panas serta tanah dan gunung yang gersang. Sehingga mereka
merasa lemah dan susah menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alasan
sekelilingnya. Maka dari itu, ketika paham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak
menerimanya dan menganggap paham Qadariyah bertentangan dengan doktrin
Islam. Kedua, tantangan dari pemerintah. Menurut Abdul Rozak dan Rosihon Anwar
(2012:90) mengatakan tantangan ini dikarenakan saat itu para pejabat pemerintah
menganut paham Jabariyah.
Sebagian orang Qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang baik itu
berasal dari Allah Swt., sedangkan perbuatan manusia yang buruk itu manusia sendiri
yang menciptakan dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Allah Swt. Karena pendapat ini,
paham Qadariyah dijuluki Majusi yang dirujuk pada salah satu hadis nabi, dimana julukan
tersebut membuat negatif nama Qadariyah sendiri. Menurut Sahilun Nasir (2012:140)
dikatakan Majusi karena mereka beranggapan adanya dua pencipta, yaitu pencipta
kebaikan dan keburukan dan hal ini persis dengan ajaran agama Majusi yang mengatakan
adanya dewa terang/siang (kebaikan) dan dewa gelap/malam (keburukan).
Doktrin pokok dari paham Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa Allah tidak
menciptakan amal perbuatan manusia. Segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri, baik berbuat jahat atau baik. Jadi, apabila seseorang diberi ganjaran,
baik balasan surga atau neraka kelak di akhirat berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh
takdir Tuhan. Bagi mereka tidak ada alasan yang tepat dalam menyandarkan segala
perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Doktrin ini mempunyai doktrin Islam sebagai
pijakannya, seperti surat Al-Kahfi ayat 29 salah satunya.
Konsep takdir dalam perspektif paham Qadariyah bukan dalam pengertian takdir yang
umum dipakai oleh bangsa Arab kala itu, yakni paham yang menyatakan nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dimana dalam perbuatannya, manusia bertindak menurut
nasib yang telah ia tentukan. Sedangkan dalam paham Qadariyah, takdir adalah ketentuan
Allah yang berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak ajal, yakni
sunatullah.
Selain doktrin mengenai perbuatan manusia, ada pula doktrin-doktrin lain yang dibawa
oleh paham Qadariyah, seperti mereka mengatakan bahwa Allah itu Esa dalam arti Allah
tidak memiliki sifat-sifat azali. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pelaku dosa
besar adalah fasik, bukan kafir dan bukan pula mukmin. Mereka akan kekal di neraka.