Anda di halaman 1dari 9

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Logam Kromium dan Timbal


2.1.1 Sifat Fisika dan Kimia
Menurut Sugihartono (2016) dalam Perdana dkk. (2013) menjelaskan
bahwa logam kromium adalah salah satu logam berat yang bersifat toksik dimana
toksisitasnya tergantung pada valensi ionnya, dan toksisitas Cr +6 ± 100 kali
toksisitas Cr+3. Cr+6 juga memiliki sifat karsinogenik dan korosif. Tubuh manusia
memerlukan Cr+3 sebagai nutrisi sekitar 50 - 200 μg/ hari tetapi dikhawatirkan
pada lingkungan basa dan terdapatnya oksidator tertentu atau kondisi tertentu
yang memungkinkan ion Cr+3 dapat mengalami oksidasi menjadi Cr+6 (Vaskova
dkk., 2013).
Timbal memiliki titik leleh 327,502ºC dan titik didih 1620ºC. Timbal sangat
rapuh dan mudah mengkerut pad pendinginan, sulit larut pada air panas, air dingin
dan air asam. Timbal larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat.
Timbal merupakan unsur potensial penyebab pencemaran lingkungan.

2.1.2 Logam Pada Perairan


Zat pencemaran yang sering ditemukan seperti logam berat Cr dan Pb
berbahaya bagi lingkungan dan manusia jika sudah terserap ke dalam tubuh maka
sulit dihancurkan dan tetap tinggal di dalam tubuh (Slamet, 2011). Pada Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, dilampirkan batasan baku mutu berdasarkan kelas
dijelaskan untuk logam kromium pada kelas 1-3 adalah 0,05 mg/L dan kelas 4
0,01 mg/L dan pada logam berat timbal untuk kelas 1-3 adalah 0,03 mg/L dan
kelas 4 1 mg/L.
Partikulat kromium memasuki sistem perairan melalui limbah dari industri
penyamakan kulit, tekstil, elektroplating, pertambangan, pencelupan, percetakan,
5

fotografi dan farmasi. Bentuk Cr hexavalen sangat beracun bagi manusia dan
hewan (Govind and Mandhuri, 2014).

2.1.3 Toksistas dan Dampak Terhadap Manusia


Logam berat yang mencemari lingkungan dapat mengganggu kesehatan
lingkungan dan kesehatan manusia. Logam berat dalam perairan sulit untuk larut.
Logam yang sering ditemui dan mencemari lingkungan adalah Hg, Cr, Pb, Cu,
Cd, Pb, dan As.
Menurut Canfield dalam Adeyemi dkk (2016) Pb termasuk logam yang
sangat beracun. Timbal merupakan salah satu logam berat yang mempunyai daya
toksisitas yang tinggi terhadap manusia karena merusak perkembangan otak pada
anak-anak. Berbeda dengan unsur-unsur beracun, unsur-unsur lain sangat penting
untuk pemeliharaan berbagai proses fisiologis pada manusia. Sebagian besar
elemen-elemen ini diperlukan dalam jumlah kecil dan disebut sebagai unsur
mikro. Pb merupakan salah satu unsur yang tahan terhadap korosi, relatif tidak
dapat tembus oleh cahaya radiasi serta tidak mudah menyala. Timbal dapat
menyebabkan penyumbatan sel-sel darah merah, anemia dan mempengaruhi
anggota tubuh lainnya. Pb dapat diakumulasi langsung dari air dan dari sedimen
oleh organisme laut.
Bagi kesehatan, Pb bersifat toksik terhadap manusia dimana salahsatunya
berasal dari mengkonsumsi makanan, minuman. Orang dewasa mengabsorpsi Pb
sebesar 5-15% dari keseluruhan Pb yang dicerna, sedangkan anak-anak
mengabsorpsi Pb lebih besar, yaitu 41,5%. Timbal mampu menghambat sistem
pembentukan hemoglobin yang menyebabkan anemia. Pada sistem reproduksi,
Ibu hamil yang terkontaminasi Timbal (Pb) dapat mengalami keguguran, tidak
berkembangnya sel otak embrio, dan hipospermia, teratospermia pada pria.
(Tambunan, 2018). Menurut Vouk (1986) dalam Tjakrawidjaja (2001) bahwa
logam berat dibagi menjadi dua jenis yaitu logam berat esensial dan logam berat
non esensial atau beracun dimana keberadaannya belum diketahui manfaatnya
dalam tubuh atau bahkan bersifat racun seperti Pb.
6

Menurut Chen dan Chen (2001) dalam Aslin (2012) bahwa konsentrasi logam
berat pada kulit ikan dapat menjadi lebih tinggi karena kandungan lemak pada
kulit lebih banyak daripada di daging. Logam berat memiliki kecenderungan
untuk terikat dengan lemak yang ada dalam tubuh. Semakin banyak lemak dalam
tubuh maka semakin besar kemungkinan logam berat untuk dapat terakumulasi
dalam tubuh

2.2 Hewan Uji


2.2.1 Ikan Nila
Menurut Yuniar dalam Sadana dkk (2014) Ikan Nila merupakan salah satu
jenis hewan yang direkomendasikan oleh EPA (Environmental Protection
Agency) sebagai hewan uji karena memenuhi syarat yaitu penyebarannya yang
cukup luas, banyak dibudidayakan, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam
mentolerir lingkungan yang buruk dan mudah dipelihara di laboratorium.
Ikan nila yang masih berukuran kecil pada umumnya lebih tahan terhadap
perubahan lingkungan, dibandingkan dengan ikan nila yang berukuran besar
(Aliyas dkk., 2016). Kualitas benih ikan nila akan menurun bila berasal dari
indukan yang memiliki umur lebih dari 2 tahun. Kemudian pertumbuhan benih
ikan nila akan lambat karena jumlah pakan yang diberikan masih kurang (tidak
sesuai dengan biomassa per hari) dan kandungan protein yang rendah dalam
pakan. Tingkat kematian benih ikan nila tinggi jika kualitas air seperti pH,
kekeruhan air, dan pencemaran berada diluar batas toleransi bagi kehidupan benih
ikan nila. Kematian benih ikan nila juga akan tinggi bila diketahui bahwa benih
yang dipelihara terserang hama dan penyakit (Wiryanta dkk, 2010).

Gambar 2.1 Ikan Nila (Oreochromis niloticus)


Sumber: http://www.duniawirausaha.com/2013/05/wirausahaikannila.html
7

Kondisi lingkungan yang diterima ikan nila paling ideal dimana memiliki
suhu optimal 25ºC - 30ºC. Keadaan suhu yang rendah ataupun suhu terlalu tinggi
diatas 30ºC dapat mengganggu pertumbuhan ikan nila dan suhu yang amat rendah
6ºC atau suhu terlalu tinggi yaitu 42ºC dapat mematikan ikan. Ikan yang hidup di
lingkungan lebih hangat memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat tetapi
jangka hidup cenderung lebih pendek daripada ikan di lingkungan dingin. Suhu
air yang tinggi mampu meningkatkan sistem metabolisme tubuh ikan sehingga
konsumsi pakan meningkat (Kausar dan Salim, 2006). Ikan nila memiliki toleransi
terhadap perubahan lingkungan hidup dimana pH air antara 5-11, tetapi pH
optimal untuk pertumbuhan ikan nila berkisar 7-8 (Rukmana, 1997).

2.2.2 Ikan Mas (Cyprinus carpio)


Ikan mas adalah ikan budidaya tertua yang mampu tumbuh hingga panjang
mencapai 120 cm dengan berat 37,3 kg. Sifat ikan mas adalah omnivore dimana
ikan mencari hewan dasar dengan cara mengauk dasar kolam yang menyebabkan
air menjadi keruh. Menurut Sudarmadi (2013) dalam Ihsan dkk. (2017) salah satu
ikan yang dapat digunakan sebagai hewan uji yaitu ikan mas (Cyprinus carpio
L) karena ikan mas pada umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan.
Kondisi lingkungan suhu air yang yang ideal untuk pertumbuhan ikan mas antara
25ºC - 30ºC. Pakan ikan mas yang berasal dari alam adalah binatang renik yang
terdapat disekitar habitatnya.
Uji pendahuluan dilakukan menggunakan ikan mas yang berukuran untuk
dikonsumsi berasal dari Sungai Code dimana konsentrasi yang dihasilkan dari
ikan mas dijadikan kondisi eksisting awal.

Gambar 2.2 Ikan mas (Cyprinus carpio)


8

2.3 Lingkungan Akuatik


Akumulasi logam berat pada ikan dapat terjadi karena adanya kontak
antara media yang mengandung toksik dengan ikan. Kontak berlangsung dengan
adanya pemindahan zat kimia dari lingkungan air ke dalam atau permukaan tubuh
ikan, misalnya logam berat masuk melalui insang. Masuknya logam berat
kedalam tubuh organisme perairan dengan tiga cara yaitu melalui makanan,
insang, dan difusi melalui permukaan kulit. Kandungan logam yang ada pada
tubuh (daging) ikan dianalisis karena merupakan bagian penting yang dikonsumsi
manusia. Logam berat dapat terakumulasi di dalam tubuh suatu organisme dan
tetap tinggal dalam jangka waktu lama sebagai racun. Logam tersebut dapat
terdistribusi ke bagian tubuh manusia dan sebagian akan terakumulasikan melalui
berbagai perantara salah satunya adalah melalui makanan yang terkontaminasi
oleh logam berat. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu
lama dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia. Kandungan
logam berat pada ikan berbeda-beda pada tiap bagiannya. Konsentrasi akumulasi
logam berat pada ikan lebih tinggi pada organ seperti gonad, tulang, dan kepala.
Pada bagian daging ikan konsentrasi logam berat yang terakumulasi lebih kecil
tetapi pada bagian ini yang lebih sering dikonsumsi oleh manusia (Yulaipi, 2013).
Logam berat masuk ke dalam ikan dengan berbagai cara yaitu masuk
melalui insang, saluran pencernaan, melalui rantai makanan, dan melalui penetrasi
kulit. Logam berat di air menimbulkan terjadinya proses akumulasi di tubuh
organisme seperti terjadinya akumulasi pada daging ikan. Akumulasi biologis
dapat terjadi melalui absorbs langsung terhadap logam berat yang ada di dalam
air.
Dengan keracunan akut oleh senyawa kromium, permukaan tubuh ikan
ditutupi dengan lendir, epitel pernapasan insang rusak dan ikan mati dengan gejala
mati lemas. Ikan yang menderita intoksikasi kromium kronis mengakumulasi
cairan kuning oranye di dalam rongga tubuhnya (Svobodova dkk, 1993).
Toksisitas timbal akut awalnya ditandai oleh kerusakan pada epitel insang,
ikan yang terserang akan mati lemas. Gejala toksisitas timbal kronis termasuk
perubahan dalam parameter darah dengan kerusakan parah pada eritrosit dan
9

leukosit, dan perubahan degeneratif pada organ parenkim dan kerusakan pada
sistem saraf. Pada ikan trout, gejala khususnya adalah menghitamnya gagang
ekor. Konsentrasi timbal maksimum yang dapat diterima dalam air adalah 0,004-
0,008 mg/liter untuk salmon dan 0,07 mg/liter untuk cyprinids (Svobodova,
1993).
Penurunan jumlah leukosit dan perubahan signifikan dalam jumlah
diferensial mereka adalah efek yang disebabkan oleh sejumlah polutan (misalnya
fenol, logam, pestisida, dll.)
Mekanisme aksi racun logam pada ikan bervariasi. Sebagian besar logam
memiliki afinitas yang besar untuk asam amino dan kelompok SH protein: dengan
demikian, mereka bertindak sebagai racun enzim. Toksisitas logam terhadap ikan
sangat dipengaruhi oleh bentuk di mana mereka terjadi dalam air. Aksi racun
logam sangat menonjol pada tahap awal perkembangan ikan. Sifat lain yang
berpotensi membahayakan dari banyak logam adalah kemampuannya untuk
berakumulasi dalam sedimen dan dalam flora dan fauna akuatik (bioakumulasi)
(Svobodova, 1993).

2.4 Uptake
Uptake merupakan proses penyerapan atau masuknya bahan kimia seperti
logam berat melalui pernafasan, atau adsorbsi melalui kulit, pada ikan biasanya
dapat melalui insang. Prinsip pengujian pada tahap penyerapan dan depurasi
terdiri dari dua fase-fase paparan (uptake) dan pasca paparan (depurasi). Selama
fase penyerapan, kelompok ikan yang terpisah dari satu spesies terpapar
setidaknya dua konsentrasi bahan uji sampai kondisi stabil dicapai atau hingga
maksimum 28-60 hari. Kemudian dipindahkan ke media yang bebas dari zat uji
untuk fase depurasi durasi yang memadai. Konsentrasi zat uji di / pada ikan (atau
jaringan tertentu) dan dalam air diikuti melalui kedua fase pengujian. Penyerapan
bahan pencemar oleh makhluk hidup mengakibatkan peningkatan kepekatan yang
memiliki pengaruh yang negatif dalam tubuh organisme tersebut. Proses ini dapat
terjadi oleh penyerapan langsung dari lingkungan sekeliling.
10

Mekanisme uptake kontaminan pada ikan yaitu oleh insang yang langsung
menembus kulit dari air dan kemudian penyerapan makanan yang terkontaminasi
atau partikel tersuspensi di dalam air dan masuk ke sistem pencernaan.
Kontaminan sebagian besar diambil oleh insang. Jumlah yang diterima melalui
kulit tidak signifikan. Efek toksik bervariasi sesuai dengan karakteristik masing-
masing kontaminan dan jaringan yang terakumulasi. Namun, secara umum
mereka mempengaruhi banyak organ dan sistem. Dua mekanisme ada pada
toksisitas kontaminan yaitu penghambatan dan penggantian enzim dengan unsur-
unsur penting

Gambar 2.3 Proses Biokonsentrasi


(Yarsan dan Yipel, 2013).

Prediksi durasi fase penyerapan (uptake) dan waktu yang diperlukan untuk
mencapai kondisi stabil dapat diperoleh dari pengalaman (misalnya dari studi
sebelumnya atau studi akumulasi pada bahan kimia yang terkait secara struktural)
atau dari hubungan empiris tertentu yang memanfaatkan pengetahuan baik
kelarutan dalam air atau air dari bahan uji. Fase penyerapan harus dijalankan
selama 28 hari kecuali dapat ditunjukkan bahwa keseimbangan telah tercapai
sebelumnya. Jika kondisi stabil belum tercapai selama 28 hari, fase penyerapan
harus diperpanjang, dengan pengukuran lebih lanjut, sampai tercapai kondisi
stabil atau 60 hari, mana yang lebih pendek. Fase depurasi kemudian dimulai
(EPA, 1996).
11

Menurut Sanusi (1980) dalam Aslin (2012) bahwa akumulasi logam berat
di dalam tubuh hewan air terjadi karena kecepatan pengambilan logam berat oleh
organisme air dimana proses akumulasi lebih cepat dibandingkan dengan proses
pelepasan.
Pada hasil penelitian Nurrachmi (2011) dalam Lubis dkk. (2015) bahwa
akumulasi logam berat pada daging ikan tergolong rendah dibandingkan dengan
bagian tubuh lainnya. Daging bukan merupakan bagian yang aktif dalam
mengakumulasi logam berat.

2.5 Depurasi
Proses depurasi logam berat adalah proses penurunan logam berat yang
terdapat dalam tubuh ikan. Konsentrasi logam berat menggambarkan banyaknya
logam berat yang tertinggal dalam tubuh ikan. Jumlah konsentrasi logam berat
dalam tubuh ikan dapat dipengaruhi oleh media air yang bersalinitas
(Prihatiningsih dkk. 2009).
Durasi fase depurasi dimulai dengan memindahkan ikan ke media yang
sama tetapi tanpa zat tes. Fase depurasi selalu diperlukan kecuali pengambilan zat
selama fase penyerapan tidak signifikan. Jangka waktu setengah dari durasi fase
uptake biasanya cukup untuk pengurangan yang tepat (misalnya 95 persen) dalam
beban tubuh dari zat yang terjadi (EPA, 1996).
Proses uptake dilakukan dan diikuti dengan proses depurasi. Konsentrasi
logam berat dalam ikan dihitung setiap 7 hari selama proses penyerapan hingga 28
hari dan setiap hari dalam proses depurasi selama tiga hari. Proses depurasi tidak
selalu dapat menurunkan konsentrasi logam berat karena tergantung pada
beberapa kondisi seperti konsentrasi logam berat dalam target organ, waktu
depurasi, dan kelainan organ setelah proses akumulasi sehingga membutuhkan
waktu depurasi lebih dari 3 hari (Rahmawati, 2006).
Logam berat Pb dalam tubuh ikan cenderung terikat pada lemak, dimana
saat terjadi proses metabolisme lemak, ion Pb2+ yang terikat pada lemak terlepas.
Ion Pb yang sudah terlepas dari ikatan lemak akan keluar bersama cairan melalui
proses ekskresi lewat urin ikan (Aslin, 2012).
12

2.6 Penelitian Terdahulu


Berikut beberapa penelitian yang pernah dilakukan untuk menganalisis logam
berat di ikan:
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu terkait uptake dan depurasi
No. Penulis Hasil
Kandungan logam Pb di daging ikan rejung (S. sihama)
(Nica Cahyani, Djamar yang diperoleh sangat fluktuatif. Pada bulan Agustus,
1. T. F Lumban Batu, Oktober, dan November 2015, kandungan logam Pb
Sulistiono, 2016) ratarata di daging ikan rejung < 0,005 ppm dibawah
kemampua alat AAS dalam mendeteksi Pb.
Semakin meningkat kadar Pb yang dipaparkan di air
2. (La Ode Aslin, 2012) menyebabkan semakin besar peningkatan kadar Pb di
daging ikan. Pertambahan terbesar pada minggu ke
empat yaitu 4.54±0.27 mg/kg
Kandungan Pb pada ikan tongkol dan ikan kakap putih
ditemukan pada ikan berukuran tubuh besar. Kandungan
Pb yang paling tinggi ditemukan pada ikan tongkol yang
3. (Lubis dkk., 2015) berukuran 1 kg yaitu sebesar 0,167 mg/kg, sedangkan
yang terendah ditemukan pada ikan kakap putih yang
berukuran 0,5 kg dan 0,3 kg yaitu masing-masing <
0,0025.

Anda mungkin juga menyukai