Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Kimura adalah suatu kelainan inflamasi kronis, ditandai dengan limfadenopati
tanpa nyeri atau massa jaringan lunak subkutan yang mengenai daerah kepala leher. Pertama kali
dilaporkan di Cina pada tahun 1937, disebut limfogranuloma hiperplastik eosinofilik. Kasus ini
lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 9:1 dan
insidensi usia adalah 20-30 tahun. Kasus ini sering mengenai ras Asia, berhubungan dengan
faktor genetik dan kultural.
Manifestasi klinis pada Kimura disease adalah adanya benjolan atau massa yang tidak nyeri
di daerah kepala dan leher. Lokasi benjolan lebih sering pada daerah parotid dan submandibular.
Regio orbita (termasuk kelopak mata, konjungtiva, dan kelenjar lakrimal), sinus paranasal dan
epiglottis merupakan area yang cukup jarang terjadi. Benjolan bersifat tidak nyeri dengan
pertumbuhan yang lambat.
Etiologi dan patogenesis Kimura disease masih menjadi perdebatan. Penyakit ini
diklasifikasikan sebagai proses reaktif jinak yang melibatkan reaksi alergi, infeksi, dan reaksi
autoimun. Manifestasi utama dari kimura disease adalah adanya limfadenopati yang sulit
dijelaskan penyebabnya. Penegakan diagnostik didasarkan pada manifestasi klinis dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan histoipatologi.
Tatalaksanaan dari kimura disease terdiri dari tatalaksana definitif berupa tindakan reseksi,
dan tatalaksana suppotif berupa terapi sitostatika, terapi kortikosteroid dan terapi radiasi.
Mengingat angka kekambuhan yang cukup tinggi paska tindakan bedah, maka terapi kombinasi
antara terapi definitive dan terapi suportif sangat diperlukan.
Prognosis dari kimura disease bersifat dubia, hal ini terkait dengan risiko kekambuhan yang
cukup tinggi. Selain itu efek samping dari terapi supportif yang diberikan sangat mempengaruhi
prognosis pasien kedepan.
Tujuan dari laporan kasus ini untuk memberikan pengetahuan mengenai aspek klinis
terutama yang berhubungan dengan manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis
pada anak dengan kimura disease melalui ilustrasi kasus.
LAPORAN KASUS

DATA DASAR
Identifikasi
Seorang anak laki-laki, berinisial AR berusia 15 tahun, berat badan 42 kg, tinggi badan 152 cm,
bertempat tinggal di kota P, datang ke poli Bedah Ongkoligi RSMH tanggal 17 Januari 2019.

Anamnesis (alloanamnesis dari ibu penderita dan dari penderita sendiri)


Keluhan utama
Benjolan pada bagian belakang telinga kanan.
Keluhan tambahan
Bengkak pada kelopak mata kanan
Riwayat perjalanan penyakit
Penderita mengeluh terdapat benjolan pada bagian belakang telinga kanan dan mata
kanan sejak dua bulan sebelum masuk rumah sakit. Pembesaran terjadi pada telinga kanan, dan
berlangsung lambat. Awalnya benjolan di belakang telinga hanya berukuran diameter 2 cm
kemudian membesar hingga 4 cm, tidak ada rasa nyeri dan warna sama seperti kulit sekitar.
Benjolan teraba keras dengan batas yang tidak tegas. Tidak ditemukan gangguan pendengaran.
Tidak terdapat keluhan nyeri pada telinga dan keluar cairan dari telinga. Benjolan pada mata
kanan berukuran diameter 2 cm dan membesar sampai 5 cm. Benjolan tidak disertai rasa nyeri
dan warna sama seperti kulit sekitar. Benjolan teraba keras dengan batas yang tidak tegas. Tidak
terdapat gangguan penglihatan sejak munculnya benjolan. Tidak terdapat keluhan mata berair
maupun nyeri pada mata. Tidak terdapat menifestasi perdarahan pada penderita, seperti bintik
kemerahan maupun lebam pada kulit, gusi berdarah, mimisan, maupun BAB hitam. Penurunan
berat badan sejak munculnya bejolan tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada
kelainan. Tidak terdapat keluhan seperti sakit kepala maupaun nyeri pada tulang pada penderita.
Mual dan muntah tidak ada. Demam tidak ada. Tidak ada pembesaran organ lainnya. Tidak ada
riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya. Tidak ada riwayat infeksi sebelumnya pada kepala
dan leher.
Penderita tidak merasa malu dengan benjolan pada mata dan belakang telinganya.
Penderita masih mengikuti kegiatan sekolah seperti biasa. Dua minggu SMRS penderita berobat
ke RSUD setempat, penderita dikatakan kemungkinan mengalami tumor kelenjar getah bening
dan disarankan untuk pengangkatan tumor penderita dirujuk ke poli bedah onkologi RSMH.

Riwayat penyakit dahulu


Penderita tidak pernah mengalami sakit berat sebelumnya.

Riwayat penyakit dan kebiasaan keluarga


Riwayat keluarga yang mengalami keluhan benjolan pada mata dan telinga seperti ini disangkal.
Riwayat penyakit keganasan pada keluarga disangkal
Riwayat atopi pada keluarga diakui. Ayah penderita alergi terhadap telur dan seafood

Daftar silsilah keluarga

Keterangan:
: laki-laki
: pasien

: perempuan
Riwayat kehamilan dan kelahiran
Penderita adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Selama hamil ibu sehat dan tidak menderita
demam, darah tinggi dan tidak ada riwayat keguguran sebelumnya. Tidak ada riwayat merokok,
dan minum obat-obatan serta alkohol selama hamil. Penderita lahir spontan, cukup bulan,
ditolong bidan, lahir langsung menangis, berat lahir 3100 gr.

Riwayat imunisasi
BCG (+) scar (+), Hep 1,2,3 (+), DPT 1,2,3,4 (+), Polio 1,2,3 (+), campak 1,2(+), DT1,2 (+)

Kesan: Imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan lengkap

Riwayat makan
ASI : dari lahir sampai usia 6 bulan
Susu formula : dari usia 6 bulan sampai usia 15 bulan
Bubur : dari usia 7 bulan sampai 13 bulan
Nasi biasa : usia 13 bulan sampai dengan sekarang, frekuensi 2-3x/hari, 10-15 sendok
makan. Penderita biasa makan nasi disertai lauk pauk seperti tahu, telur, dan sayur. Akan tetapi,
penderita juga sering mengkonsumsi mie instan sebagai pengganti makanan utama, 3 sampai 4
kali seminggu. Penderita sesekali mengkonsumsi daging ayam maupun daging sapi. Penderita
tidak terbiasa minum susu secara rutin.
Kesan : kualitas dan kuantitas asupan kurang.

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Pertumbuhan
Berat badan saat ini 42 kg dan tinggi badan 152 cm
Kesan : pertumbuhan sesuai usia kronologis

Perkembangan
- Tengkurap : usia 5 bulan
- Duduk : usia 7 bulan
- Merangkak : usia 9 bulan
- Berdiri : usia 13 bulan
- Berjalan : usia 16 bulan

Anak tidak tampak kesulitan mengikuti perintah atau permainan sama seperti teman
sebayanya serta dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Anak tidak pernah tinggal
kelas. Saat ini sekolah di Sekolah Dasar Negeri di SLTA kelas 3. Prestasi anak di sekolah rata-
rata diantara temannya. Pasien tidak merasa malu dan tidak terdapat perubahan perilaku sejak
munculnya benjolan pada mata dan leher nya.
Kesan : riwayat perkembangan sebelum sakit dalam batas normal.

Riwayat sosial ekonomi


Penderita merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayah penderita merupakan tamatan
SMP, bekerja sebagai tukang bangunan. Ibu penderita tamat SD dan berjualan nasi gemuk di
depan rumah. Penderita tinggal bersama neneknya dirumah orangtua ibu. Saat ini penderita
sedang bersekolah di kelas 3 SMP negeri di kota P. Jumlah penghasilan perbulan tidak menentu
sekitar satu juta per bulan. Biaya hidup ditanggung oleh ayah penderita dan berobat dengan
menggunakan jaminan kesehatan nasional BPJS.
Kesan : sosial ekonomi kurang.

PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum
Tanda vital
Kesadaran : Compos mentis GCS 15 (E4M6V5)
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Laju nadi : 100x/menit, teratur, teraba kuat
Laju napas : 22x/menit
Suhu aksila : 36.9 0 C

Status pubertas : P2G2

Status antropometri
BB 42 kg , TB 152 cm
BB berdasarkan umur : 42/57 : < p50 (severely underlweight)
TB berdasarkan umur : 152/170 : < p5 (severely stunted)
BB berdasarkan TB : 42/43x100% : 97.6% (gizi baik)
Kesimpulan : Gizi baik perawakan sangat pendek (gizi kurang)
Usia Tinggi : 12 tahun 2 bulan
Berat Badan Ideal berdasarkan tinggi badan : 43 kg
LILA : 18,1 cm (<p5)
Lingkar Kepala : 53 cm (normalcircumfrence)
IMT : 42 / (1.52)2 : 18.1
IMT / U : p10-25 (dalam batas normal)
Status gizi : Secara klinis pasien tidak menunjukkan adanya
gambaran gizi buruk. Maka pasien diklasifikasikan sebagai gizi kurang.

Pemeriksaan keadaan spesifik


Kepala : Konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada, refleks
cahaya ada, pupil bulat isokor diameter 3mm/3mm, Napas
cuping hidung tidak ada.
Terdapat benjolan di belakang telinga kanan berukuran 4 cm,
tidak ada rasa nyeri pada perabaan dan warna sama seperti kulit
sekitar. Benjolan teraba keras dengan batas yang tidak tegas.
Benjolan pada mata kanan berukuran 5 cm. Benjolan tidak
disertai rasa nyeri pada perabaan dan warna sama seperti kulit
sekitar. Benjolan teraba keras dengan batas yang tidak tegas.
Tidak terdapat gangguan penglihatan sejak munculnya
Leher : benjolan.
Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, JVP 5-2
mmHg
Thoraks : simetris, retraksi tidak ada
Jantung : Inspeksi : iktus tidak terlihat
Paplasi : iktus tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi : batas kanan atas sela iga II garis parasternalis kanan,
batas kanan bawah sela iga IV garis parasternalis kiri, batas
kiri atas sela iga II garis parasternalis kiri, batas kiri bawah
sela iga IV garis midklavikularis kiri.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat
bising dan irama derap
Kesan : pemeriksaan fisis jantung dalam batas normal
Pulmo : Inspeksi : simetris, tidak ada gerak tertinggal, tidak ada retraksi
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler normal, tidak didapatkan ronkhi
dan wheezing
Kesan : pemeriksaan fisis paru dalam batas normal

Abdomen : Datar , lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising


usus terdengar tiap 10-30 detik
Ekstremitas : akral hangat (+), pucat pada kedua telapak tangan (-/-),
capillary refill time < 3 detik, jejas (-)
Genitalia : Status Pubertas : P2G2

Status neurologis :

Nervus craniales : dalam batas normal

Koordinasi : ataksia tidak ada, dismetria dan dysdiadokokinesis tidak ada

Sensorik : dalam batas normal

Motorik : dalam batas normal

Otonom : dalam batas normal

Gejala rangsang meningeal : negatif

RINGKASAN DATA DASAR


Seorang anak laki-laki, usia 15 tahun datang dengan keluhan utama terdapat benjolan
pada begian belakang telinga kanan, pembesaran pada benjolan berlangsung lambat dalam 2
bulan Awalnya benjolan di belakang telinga hanya berukuran diameter 2 cm kemudian
membesar sampai sebesar 5 cm, mudah bergerak, tidak ada rasa nyeri dan warna sama seperti
kulit sekitar. Benjolan teraba keras dengan batas yang tegas. Tidak ditemukan gangguan
pendengaran. Terdapat pula benjolan lain pada mata kanan berukuran diameter 2 cm dan
membesar sampai 5 cm. Benjolan tidak disertai rasa nyeri dan warna sama seperti kulit sekitar.
Benjolan teraba keras dengan batas yang tidak tegas. Tidak terdapat gangguan penglihatan sejak
munculnya benjolan. Tidak terdapat menifestasi perdarahan pada penderita, seperti bintik
kemerahan maupun lebam pada kulit, gusi berdarah, mimisan, maupun BAB hitam. Penurunan
berat badan sejak munculnya bejolan tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada
kelainan. Tidak terdapat keluhan seperti sakit kepala maupaun nyeri pada tulang pada penderita.
Mual dan muntah tidak dirasakan oleh penderita. Demam tidak ada. Tidak ada pembesaran organ
lainnya. Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya. Tidak ada riwayat infeksi
sebelumnya pada organ kepala dan leher.

Dari pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital dalam batas normal. Keadaan spesifik :
Kepala dan leher dalam batas normal. Status pubertas P2M5. Sistem organ lain dalam batas
normal. Terdapat benjolan di belakang telinga kanan berukuran 4 cm, tidak disertai rasa nyeri,
warna sama seperti kulit sekitar, teraba keras dengan batas yang tidak tegas. Pada mata kanan
terdapat benjolan berukuran 5 cm. Benjolan mudah bergerak, tidak ada rasa nyeri, warna sama
seperti kulit sekitar, benjolan teraba keras dengan batas yang tidak tegas. Tidak terdapat
gangguan penglihatan sejak munculnya benjolan.

ANALISIS AWAL

Berdasarkan data dasar di atas, anak datang dengan keluhan utama terdapat benjolan pada
bagian belakang telinga kanan dan mata kanan dalam 2 bulan. Benjolan di belakang telinga
berukuran 4 cm, tidak ada rasa nyeri dan warna sama seperti kulit sekitar. Benjolan teraba keras
dengan batas yang tidak tegas. Tidak ditemukan gangguan pendengaran. Benjolan pada mata
kanan berukuran 5 cm. Benjolan tidak disertai rasa nyeri dan warna sama seperti kulit sekitar.
Benjolan teraba keras dengan batas yang tidak tegas. Tidak terdapat gangguan penglihatan sejak
munculnya benjolan. Tidak terdapat menifestasi perdarahan pada penderita, seperti bintik
kemerahan maupun lebam pada kulit, gusi berdarah, mimisan, maupun BAB hitam. Penurunan
berat badan sejak munculnya bejolan tidak ada. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada
kelainan. Tidak terdapat keluhan seperti sakit kepala maupaun nyeri pada tulang pada penderita.
Mual dan muntah tidak dirasakan oleh penderita. Demam tidak ada. Tidak ada pembesaran organ
lainnya. Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya. Tidak ada riwayat infeksi
sebelumnya pada kepala dan leher. Penderita saat ini dengan status pubertas P2G2. Tidak
terdapat benjolan pada bagian tubuh yang lain. Dari data tersebut, penderita diduga mengalami
Kimura Disease. Perlu dibuktikan juga penyebab lain dari pembesaran pada kelenjar getah
bening, sehingga perlu diperiksa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksan laboratorium darah
rutin. Pemeriksaan pencitraan dan histopatologis dilakukan untuk menyingkirkan tumor sebagai
penyebab benjolan.

MASALAH AWAL
1. Benjolan pada belakang leher kanan dan mata kanan
2. Gizi kurang perawakan sangat pendek

DIAGNOSIS AWAL
Massa retrourikular dextra + edema palpebral dextra ec Kimura disease dd/ limfoma Hodgkin
dd/ Angiolimpoid hyperplasia dengan eosinophilia

RENCANA AWAL
1. Kimura Disease
Rencana diagnosis :
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan histopatologi
Rencana terapi :
a. Reseksi pada masa tumor di regio leher
b. Terapi kortikosteroid

Rencana edukasi :
a. Menjelaskan kepada orangtua mengenai risiko tindakan operasi yang akan dilakukan
b. Risiko kekambuhan paska operasi
c. Efek samping dari penggunaan kortikosteriod
3. Gizi Kurang perawakan sangat pendek
Rencana diagnosis :

Konsultasi ke divisi Nutrisi dan penyakit metabolik

Rencana terapi :
Edukasi pemberian asupan sesuai dengan asuhan nutrisi pediatric
Kontrol rutin ke poli NPM untuk megevaluasi pertambahan berat badan dan perubahan
pola makan

PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : Dubia
2. Quo ad functionam : Dubia
3. Quo ad sanationam : Dubia

CATATAN LANJUTAN SELAMA PERAWATAN

17-01-2019 ( Hari Rawat Ke-1)


S Anak mengalami pembesaran bejolan pada regio mata kanan, bagian belakang telinga
kanan, demam tidak ada.
O Keadaan umum:
Sens : compos mentis TD: 100/70 mmHg N: 98x/m RR: 22x/m Temp:37 0C
Keadaan spesifik:
Kepala : NCH (-) konjungtiva anemis (-) sklera ikterik (-)
pupil bulat isokor (+) 3mm/3mm refleks cahaya +/+
Leher : Terdapat benjolan di belakang telinga kanan
berukuran 4 cm, tidak disertai rasa nyeri, warna
sama seperti kulit sekitar, teraba keras dengan batas
yang tidak tegas. Pada mata kanan terdapat benjolan
berukuran 5 cm. Benjolan mudah bergerak, tidak ada
rasa nyeri, warna sama seperti kulit sekitar, benjolan
teraba keras dengan batas yang tidak tegas.
Dada : Statis dinamis simetris kanan= kiri, retraksi tidak ada
tampak pembesaran pada mamae dextra et sinistra,
ulkus (+) diameter 2 cm, nyeri tekan (+).
Cor : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+) normal, ronkhi -/- wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, bising usus normal, hepar dan lien tidak
teraba
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<3, clubbing finger (-)
Laboratorium (10 Juli 2018)
Hb 13 g/dL, MCV 81 fl, MCH 27 pg, MCHC 31 g/dL, RBC 4.410.000/mm 3, Leukosit
8.900/mm3, Ht 44%, trombosit 282.000/mm3, RDW-CV 13.80%, LED 5 mm/jam, DC
0/3/52/39/6 PT 14.8 (K 15.80) detik INR 1.1 APTT 37.2 (K32.5) detik Alb 4.0 g/dL Ur
15 mg/dL Cr 0.72 mg/dL Ca 9.9 mg/dL Mg 2.37 mEq/L Na 139 mEq/L K 4.2 mEq/L Cl
106 mmol/L GDS 110 mg/dL
LH 5.40 FSH 4.92 Estradiol 22 Prolactin 19.75 ( 5.18 – 26.53)
B- HCG : negatif
Kesan : Dalam batas normal

Rontgen thoraks : dalam batas normal


A Gigantomastia mamae dextra et sinistra + infeksi sekunder pada region mamae bilateral +
gangguan psikologis
P - Rencana pemeriksaan USG Mamae
- Rencana pemeriksaan USG Genitalia Interna
- Rencana pemeriksaan Bone Age
- Penjadwalan ke poli psikologi
- Direncanakan untuk dilakukan reduksi mammae
- Diet :
Kebutuhan kalori : RDA x BB ideal : 47 x 40 : 1880 kkal
Diet nasi biasa : 3 x 1 porsi : 3 x 375 kkal : 1125 kkal
Snack 2 x 1 porsi : 2 x 150 kkal (300 kkal )
Susu anak 2 x 200 mL: 2 x 134 kkal ( 268 kkal )
Total kalori 1693 kkal
Monitoring akesptabilitas , toleransi dan efikasi

-Konsul divisi Dermatovenerologi


Kesan : Hiperpigmentasi pascainflamasi
Saran :
Menjaga kebersihan payudara
Pemberian krim urea 10% + Desoksimetasone Cream 0.25% setiap 12 jam

- Konsul Psikologi
Telah dilakukan healing therapy selama 30 menit pada penderita. Selama proses terapi
anak kurang kooperatif. Terdapat penolakan dari penderita terhadap kondisi dia saat ini.
Ibu pasen terlihat sebagai anggota keluarga yang dominan dalam keluarga. Pada proses
ini anak dianjurkan untuk bisa secara mendiri merasa nyaman dengan kondisinya saat ini
menuju sehat jiwa. Serta dukungan orangtua sangat diharapkan terhadap kondisi anaknya
saat ini.
Penderita dianjurkan untuk mendapatkan konseling secara berkala ke poli psikologi.
Kimura Disease

1. Definisi
Kimura disease adalah suatu proses inflamasi kronik lokal yang ditandai dengan
benjolan atau nodul pada jaringan lunak subkutan dengan atau tanpa adanya
limfadenopati, biasanya asimetris, dan paling sering mengenai daerah kepala dan leher,
terutama preaurikula, submandibula, kavum oris, laring, dan kelenjar parotis.1 Kimura
disease pertama kali ditemukan di Tiongkok pada tahun 1937. Pada tahun 1948
gambaran histologis dari penyakit ini dijelaskan oleh Kimura,dkk dan selanjutnya disebut
sebagai kimura disease. Sebagian besar kasus berasal dari ras Asia dan paling sering
terjadi pada laki-laki dewasa. Beberapa kasus sporadik telah dilaporkan terjadi pada ras
lainnya dan pada kelompok usia anak-anak.1,2

2. Epidemiologi
Sebagian besar dari kimura disease berasal dari ras Asia. Kejadian pada pria lebih
sering ditemukan daripada wanita, dengan rasio 3: 1.1,3 Dalam penelitian lainnya telah
ditemukan kasus kimura disease pada ras lain, yaitu pada ras Kaukasia (n = 7), Afrika (n
= 6), Asia (n = 6), Hispanik (n = 1), dan Arab (n = 1). Kejadian penyakit pada kelompok
usia anak-anak juga telah dilaporkan dengan pasien termuda adalah seorang anak laki-
laki dari ras Afrika-Amerika berusia 15 bulan dengan keluhan benjolan pada leher. 2,4

3. Manifestsi Klinis
Manifestasi klinis pada Kimura disease adalah adanya benjolan atau massa yang
tidak nyeri di daerah kepala dan leher. Lokasi benjolan lebih sering pada daerah parotid
dan submandibular. Regio orbita (termasuk kelopak mata, konjungtiva, dan kelenjar
lakrimal), sinus paranasal dan epiglottis merupakan area yang cukup jarang terjadi.
Benjolan bersifat tidak nyeri dengan pertumbuhan yang lambat. Kimura disease
merupakan penyakit yang bersifat self-limited disease dengan beberapa kasus mengalami
1,3
resulusi spontan pada benjolan. Terdapat trias gejala yang dapat memudahkan dalam
mengenali penyakit ini berupa adanya massa subkutan tanpa rasa sakit di kepala dan
leher, terdapat eosinofilia pada darah dan biopsi jaringan, dan peningkatan kadar serum
IgE.5 Penyakit ini juga kadang disertai dengan manifestasi pada ginjal. Kelainan pada
ginjal yang pernah dilaporkan adalah proteinuria. Angka kejadiannya berkisar antara 10%
hingga 60%. Kelainan pada ginjal mungkin disebabkan oleh kerusakan glomerulus yang
disebabkan oleh reaksi yang diperantarai oleh imun kompleks.6

4. Etiologi
Patogenesis dari penyakit ini adalah adanya interaksi dari Sel T-Helper 1 (Th1)
dan T-Helper 2 (Th2) yang menyebabkan produksi berlebihan dari sitokin IL-4 yang
mengangguan proliferasi dari Sel T dan pembentukan IL-5. Keduanya merangsang
terjadinya peningkatan produksi eosinofil. Titer protein sitotoksik, protein kationik
eosinofilik dan protein dasar mayor yang terdapat dalam granula eosinophil juga akan
mengalami peningkatan. Paparan stimulasi antigen saat infeksi virus, parasit, jamur dan
riwayat trauma lokal disebut menjadi salah satu pemicu terjadinya disregulasi dari sistem
imun yang menjadi dasar petogenensis dari kimura disease.

5. Pemeriksaan Penunjang
Kimura disease sering disalahartikan sebagai suatu penyakit keganasan seperti
leukemia limfositik akut, limfoma sel-T, sarkoma kaposi, penyakit hodgkin atau tumor
parotis. Kimura disease juga sering dianggap sebagai suatu kelainan hiperplasia
angioloimfoid dengan eosinofilia (ALHE), akan tetapi pemeriksaan histopatologis dapat
membedakan secara jelas kedua tipe kelainan ini. Oleh karena penyakit keganasan harus
dapat disingkirkan berdasarkan manifestasi klinis dan gambaran histopatologis penyakit.
Pada Kimura disease, gambaran nodul limfoid dengan infiltrat eosinofil dan abses
eosinofil jelas terlihat. Proliferasi vaskuler terkadang terlihat, ditandai dengan adanya
dinding vaskuler yang tipis. Sedangkan pada ALHE, tidak didapatkan infiltrat eosinofil
yang nyata dan tidak adanya abses eosinofil. Pada penyakit kimura, laki-laki lebih sering
terkena, sedangkan pada ALHE, wanita lebih sering terkena. Gambaran histopatologis
kimura disease ditandai dengan adanya hiperplasia folikular dari jaringan limfoid,
infiltrasi eosinophilia di daerah interfolikular, lisis folikular, dan adanya mikroabses.
Granuloma yang terbentuk diserti dengan infiltrasi dari eosinofil, limfosit, sel plasma,
dan histiosit. Terlihat sklerosis dan fibrosis jaringan, serta proliferasi dari vaskular
dengan dinding endotel yang tipis. Pemeriksaan imunofloresensi menunjukan deposit
IgE, IgG, IgM, dan fibrinogen. Pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus dapat
membedakan antara kimura disease dengan suatu keganansan. Spesimen biopsi inti pasca
operasi menunjukkan adanya gambaran folikel limfoid dengan sentrum germinativum
yang tampak nyata dan hiperemis, infiltrasi sel radang eosinofil yang nyata, terbentuknya
abses eosinofil (mikroabses), hiperemis interfolikuler dengan banyak jaringan ikat
didalamnya (reactive follicular hyperplasia) yang merupakan gambaran histoptologis
penyakit kimura. Tidak terdapat gambaran proliferasi sel yang abnormal yang merupakan
gambaran khas dari suatu keganasan. Pemeriksaan radiologi kimura disease dapat
menyerupai kondisi penyakit kronis dan keganasan seperti tuberkulosis dan limfoma.
Gambaran radiologis dari kasus ini tidak khas sehingga tidak terlalu dapat membantu
dalam menegakan diagnosis dari kimura disease.1,3
Tabel 1. Karakteristik dari kimura disease dan ALHE2
Kimura Disease ALHE
Demografi Jepang. Korea, China Kaukasian
Usia 20 – 30 tahun 30 – 50 tahun
Gender Mayoritas laki-laki Mayoritas perempuan
Lokasi lesi Kepala dan leher Tidak terbatas pada area
kepala dan leher
Karakteristik lesi Nodule subkutan dalam Nodue pada area yang
dengan diameter > 2 cm lebih superfisial dengan
dan tidak terdapat ukuran < 2 cm, warna lesi
perubahan warna dan merah hingga kecoklatan
stuktur lesi kulit

Limpadenopati sering ditemukan Jarang ditemukan


Serum IgE Terjadi peningkatan Dalam batas normal
Glomerulonefritis Terjadi secara sporadik Sangat jarang terjadi

Gambar 1. Gambaran Histopatologis dari payudara dengan pewarnaan haematoxylin and eosin (H&E).
6. Diagnosis Banding
Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan ukuran lebih
besar dari 1 cm. Limfadenopati dapat disebabkan oleh keganasan, infeksi, penyakit
autoimun, kelainan-kelainan yang jarang didapatkan dan iatrogenik (obat). Anamnesis
dan pemeriksaan fisik penting untuk mengevaluasi usia penderita, lokasi, karakteristik,
dan lamanya limfadenopati, serta gejala lain yang menyertai untuk mengarahkan pada
penyebab limfadenopati. Kunci kecurigaan keganasan adalah usia tua, karakteristik
kelenjar yang keras, terfi ksasi, berlangsung lebih dari 2 minggu dan berlokasi di
supraklavikula. Biopsi eksisi merupakan prosedur diagnostik terpilih bila dicurigai
keganasan. Jika diputuskan tindakan biopsi, idealnya dilakukan pada kelenjar yang paling
besar, paling dicurigai, dan paling mudah diakses dengan pertimbangan nilai
diagnostiknya. Kelenjar getah bening inguinal mempunyai nilai diagnostik paling rendah.
Kelenjar getah bening supraklavikular mempunyai nilai diagnostik paling tinggi.
Meskipun teknik pewarnaan imunohistokimia dapat meningkatkan sensitivitas dan
spesifisitas biopsi aspirasi jarum halus, biopsi eksisi tetap merupakan prosedur diagnostik
terpilih. Adanya gambaran arsitektur kelenjar pada biopsi merupakan hal yang penting
untuk diagnostik yang tepat, terutama untuk membedakan limfoma dengan hiperplasia
reaktif yang jinak. Banyak keadaan yang dapat menimbulkan limfadenopati. Keadaan-
keadaan tersebut dapat diingat dengan mnemonik MIAMI: malignancies (keganasan),
infections (infeksi), autoimmune disorders (kelainan autoimun), miscellaneous and
unusual conditions (lain-lain dan kondisi tak-lazim), dan iatrogenic causes (sebab-sebab
iatrogenic). Obat-obat yang dapat menyebabkan limfadenopati, antara lain, adalah:
alopurinol, atenolol, kaptopril, karbamazepin, hidralazin, penisilin, fenitoin dan
trimetoprimsulfametoksazol. Penyebab limfadenopati yang jarang dapat disingkat
menjadi SHAK :
1. Sarkoidosis , silikosis/beriliosis, Storage disease: penyakit Gaucher, penyakit
Niemann Pick, penyakit Fabry, penyakit Tangier
2. Hipertiroidisme, Histiositosis X, Hipertrigliseridemia berat, Hiperplasia
angiofolikular: penyakit Castelman
3. Limfadenopati angioimunoblastik
4. Penyakit Kawasaki, Limfadenitis Kikuchi dan Penyakit Kimura7–9

Tabel 2. Etologi Limfadenopati


Gambar 2. Pendekatan dalam penegakan diagnosis pasien dengan limfadenopati7–9

7. Manajemen Pada Kimura disease


Penetalaksanaan yang optimal dari kimura disease masih kontroversial
dikarenakan kurangnya studi klinis skala besar pada tatalaksana dari penyakit ini. Kasus
yang menunjukkan keberhasilan terapi adalah dengan penerapan intervensi pembedahan,
radioterapi, dan kemoterapi. Menurut beberapa laporan kasus, berbagai obat, seperti
siklosporin, tacrolimus, mycophenolate mofetil, dan loratadine telah digunakan dalam
pengobatan kimura disease dengan respon pengobatan yang bervariasi mulai dari
perbaikan ringan hingga remisi lengkap.Kimura disease merupakan penyakit yang
bersifat jinak makan tindakan reseksi bedah masih menjadi terapi utama. Tindakan ini
dinilai aman dikarenakan tidak akan menimbulkan resiko penyebaran lesi, dapat
mereseksi benjolan dan memiliki nilai diagnosis. Oleh karena itu, eksisi bedah telah
dianggap sebagai standar emas pengobatan untuk Kimura disease. Kimura disease
biasanya melibatkan jaringan subkutan tanpa batas yang jelas, sehingga sulit untuk
mencapai margin negatif dengan eksisi bedah saja dengan resiko kekambuhan yang
cukup tinggi. Dalam sebuah penelitian dikatakan angka kekambuhan paska tindakan
operasi dapat mencapai 46,2%. Kombinasi operasi dengan intervensi pasca operasi
tampaknya menjadi pendekatan pilihan untuk tatalaksana dari kimura disease. Nakahara
et al. melaporkan bahwa terapi steroid dapat selanjutnya menekan perkembangan lesi
pada Kimura disease. Radioterapi juga merupakan terapi lanjutan paska tindakan operasi
dari kimura disease. Radioterapi dinilai dapat mencegah rekurensi paska pembedahan,
akan tetapi efek karsinogenik dari radioterapi harus menjadi salah satu pertimbangan
dalam penggunaannya. Ye et al. Melaporkan bahwa reseksi bedah yang dikombinasikan
dengan radioterapi dosis rendah dapat menekan angka rekurensi dari yang cukup
tinggi.10,11

8. Prognosis
Kimura disease merupakan penyakit dengan insiden yang cukup kecil. Sampai saat ini
belum ada suatu panduan khusus yang telah disepakati dalam penetalaksanaan dari penyakit
ini. Manajemenyang dilakukan melibatkan pendekatan multidisiplin. Alternatif pengobatan
untuk kimura disease terdiri dari reseksi bedah, terapi sitostatik, terapi radiasi serta terapi
steroid regional atau sistemik. Dari beberapa penelitian yang telah dilaukan beberapa kasusu
menunjukkan resolusi spontan ( 5-10% kasus). Pada kasus lainnya terapi utama yang
dianjurkan adalah tindakan reseksi. Tindakan ini masih menjadi pilihan utama dikarenakan
memiliki manfaat terapetik dan diagnostik. Pemberian Kortikosteroid sistemik maupun lokal
juga dapat menjadi pilihan terapi supportif paska pembedahan. Pengobatan dengan
menggunakan kortikosteroid intralesi (triamcinolone acetonide) telah dilaporkan memiliki
hasil yang cukup baik. Angka kekambuhan paska tindakan reseksi memiliki angka yang
cukup tinggi yaitu mencapai 40%. Secara keseluruhan kimura disease memilki prognosis
yang cukup baik, akan tetapi perlu dilakukan edukasi terhadap pasien dan kelurga dalam
resiko kekambuhan yang cukup tinggi dan efek samping dari pengobatan supportif seperti
konrtikosteroid, terapi radiasi dan terapi sitostatika. 6,10,11

ANALISA KASUS

Pasien merupakan anak laki-laki berusia 15 tahun dengan keluhan benjolan pada
kelopak mata kanan dan belakang telinga kanan berukuran 5 cm sejak 2 bulan SMRS.
Limfadenopati didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar getah bening dengan ukuran lebih
besar dari 1 cm.2 Kepustakaan lain mendefinisikan limfadenopati sebagai abnormalitas
ukuran atau karakter kelenjar getah bening.3 Terabanya kelenjar getah bening
supraklavikula, iliak, atau poplitea dengan ukuran berapa pun dan terabanya kelenjar
epitroklear dengan ukuran lebih besar dari 5 mm merupakan keadaan abnormal.3
Kemungkinan penyebab keganasan sangat rendah pada anak dan meningkat seiring
bertambahnya usia. Kelenjar getah bening teraba pada periode neonatal dan sebagian besar
anak sehat mempunyai kelenjar getah bening servikal, inguinal, dan aksila yang teraba.
Sebagian besar penyebab limfadenopati pada anak adalah infeksi atau penyebab yang
bersifat jinak. Berdasarkan sebuah laporan, dari 628 penderita yang menjalani biopsi karena
limfadenopati, penyebab yang jinak dan swasirna (self-limiting) ditemukan pada 79%
penderita berusia kurang dari 30 tahun, 59% penderita antara 31-50 tahun, dan 39%
penderita di atas 50 tahun.3 Di sarana layanan kesehatan primer, penderita berusia 40 tahun
atau lebih dengan limfadenopati mempunyai risiko keganasan sekitar 4%. Pada usia di
bawah 40 tahun, risiko keganasan sebagai penyebab limfadenopati sebesar 0,4%.2
Limfadenopati yang berlangsung kurang dari 2 minggu atau lebih dari 1 tahun tanpa
progresivitas ukuran mempunyai kemungkinan sangat kecil bahwa etiologinya adalah
keganasan.3 Pada kasus ini pasien berjenis kelamin laki-laki berusia 15 tahun, berdasarkan
insidensi terjadinya kegansana maka perlu difikirkan pembesaran kelenjar limfa pada pasien
disebabkan oleh faktor non-neoplastik. Kimura disease merupakan suatu penyakit yang
cukup jarang terjadi yang disebabkan oleh suatu proses disregulasi dari sistem imun.
Penyakit ini ditandai dengan benjolan atau nodul pada jaringan lunak subkutan dengan atau
tanpa adanya limfadenopati, biasanya asimetris, dan paling sering mengenai daerah kepala
dan leher, terutama preaurikula, submandibula, kavum oris, laring, dan kelenjar parotis. 1
Kejadian pada pria lebih sering ditemukan daripada wanita, dengan rasio 3: 1. 1,3 Kimura
disease merupakan penyakit yang sangat jarang terjadi, sejauh ini hanya terdapat 200 kasus
yang telah dilaporkan di seluruh dunia.3 Di Indonesia angka kejadian kimura disease masih
belum dilaporkan. Dari sebuah penelitian metanalisis yang dilakukan oleh Dhingra, dkk
dikatakan bahwa sampai saat ini literatur yang terkait dengan kimura disease hanya
merupakan kumpulan dari beberapa serial kasus dan belum dilakukannya penelitian yang
bersifat prospektif maupun penelitian uji klinis pada kasus ini dikarenakan angka kejadian
nya yang sangat kecil.

Pada kasus ini pasien berusia 15 tahun dengan keluhan benjolan pada kelopak
mata dan bagian belakang telinga yang tidak bersifat progresif .Banyak keadaan yang dapat
menimbulkan limfadenopati. Keadaan-keadaan tersebut dapat diingat dengan mnemonik
MIAMI: malignancies (keganasan), infections (infeksi), autoimmune disorders (kelainan
autoimun), miscellaneous and unusual conditions (lain-lain dan kondisi tak-lazim), dan
iatrogenic causes (sebab-sebab iatrogenik).3 Anamnesis terkait faktor resiko pada penderita,
progresivitas penyakit, gejala constitutional, dan riwayat dalam keluarga dapat membantu
dalam menegakkan penyebab dari pembesaran kelenjar limfa yang abnormal. Pada pasien
pembesaran telah berlangsung selama 2 bulan, pada awalnya benjolan sebesar 2 cm pada
region palpebral superior dextra lalu mencapai ukuran 5 cm. Pada region retroaurikular
dextra awalnya benjolan berukuran 2 cm lalu mencapai ukuran 4 cm. Berdasarkan literature
dikatakan limfadenopati yang berlangsung selama 1 tahun tanpa adanya progresivitas ukuran
mempunyai kemungkinan sangat kecil bahwa etiologinya adalah keganasan.3
Pada pasien tidak ditemukan adanya gejala konstitutional lain selain pembesaran
pada kelopak mata dan bagian belakang telinga. Gejala konstitusional seperti demam,
keringat malam, dan penurunan berat badan lebih dari 10% dapat mengarahkan kesuatu
penyakit keganasan seperti limfoma. Gejala artralgia, kelemahan otot, atau ruam dapat
menunjukkan kemungkinan adanya penyakit autoimun, seperti artritis reumatoid, lupus
eritematosus, atau dermatomiositis. Adanya keluhan seperti nyeri dapat mengarahkan ke
suatu proses infeksi. Pada pasien juga telah ditanyakan ada tidaknya gejala infeksi lokal
seperti, keluar cairan dari telinga atau nyeri pada telinga dan riwayat mata yang berarir dan
nyeri pada mata. Pada pasien tidak ditemukan adanya gejala tersebut.
Riwayat pajanan pada pasien juga merupakan suatu informasi penting dalam
menentukan etiologi limfadnopati. Pajanan binatang dan gigitan serangga, penggunaan obat,
kontak penderita infeksi dan riwayat infeksi rekuren penting dalam evaluasi limfadenopati
persisten. Pajanan rokok, alkohol, dan radiasi dapat berhubungan dengan resiko
kegananasan. Pada pasien tidak diketahui adanya pajanan yang mencetuskan timbulnya
benjolan. Riwayat keganasan pada keluarga juga dapat membantu menduga penyebab
limfadenopati yang mengarah ke keganasan. Pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan
penyakit kegansasan.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan benjolan pada regio kelopak mata
kanan degan diameter 5 cm dan retroaurikular kanan dengan diameter 4 cm. Benjolan tidak
disertai rasa nyeri pada perabaan dan warna sama seperti kulit sekitar. Benjolan teraba keras
dengan batas yang tidak tegas. Pada umumnya, kelenjar getah bening normal berukuran
sampai diameter 1 cm, tetapi beberapa literature menyatakan bahwa kelenjar epitroklear
lebih dari 0,5 cm atau kelenjar getah bening inguinal lebih dari 1,5 cm merupakan keadaan
abnormal. Terdapat laporan bahwa pada 213 penderita dewasa, tidak ditemukan adanya
keganasan pada penderita dengan ukuran kelenjar di bawah 1 cm, keganasan ditemukan
pada 8% penderita dengan ukuran kelenjar 1-2,25 cm dan pada 38% penderita dengan
ukuran kelenjar di atas 2,25 cm. Pada anak, kelenjar getah bening berukuran lebih besar dari
2 cm disertai gambaran radiologi toraks abnormal tanpa adanya gejala kelainan telinga,
hidung, dan tenggorokan merupakan gambaran prediktif untuk penyakit granulomatosa
(tuberkulosis, catscratch disease, atau sarkoidosis) atau kanker (terutama limfoma).2 Tidak
ada ketentuan pasti mengenai batas ukuran kelenjar yang menjadi tanda kecurigaan
keganasan. Ada laporan bahwa ukuran kelenjar maksimum 2 cm merupakan batas ukuran
yang memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan adanya penyebab keganasan dan
penyakit granulomatosa.3
Pembesaran kelenjar getah bening di regio kepala dan leher, salah satunya adalah
pada region servikal dapat teraba pada sebagian besar anak. Penyebab utama limfadenopati
servikal adalah proses infeksi, pada anak umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna.
Pada penyebab infeksi lainnya seperti mikobakterium atipikal, toksoplasmosis, dan penyakit
kawasaki, limfadenopati dapat berlangsung selama beberapa bulan. Limfadenopati
supraklavikula kemungkinan besar (54%-85%) disebabkan oleh suatu keganasan.3 Kelenjar
getah bening servikal yang mengalami inflamasi dalam beberapa hari, kemudian mengalami
fluktuasi. Perjalanan penyakit ini khas pada infeksi yang disebabkan oleh mikroorganime
stafilokokus dan streptokokus.1 Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi dalam
beberapa minggu sampai beberapa bulan tanpa adanya tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang
signifikan merupakan petunjuk dari infeksi mikobakterium. 1 Kelenjar getah bening servikal
yang keras, terutama pada orang usia lanjut dan perokok menunjukkan petunjuk adanya
metastasis keganasan di region kepala dan leher (orofaring, nasofaring, laring, tiroid, dan
esofagus).1 Berdasarkan lokasi terjadinya benjolan pada penderita, disebabkan prevalensi
keganansan pada pembesaran KGB region kepala leher cukup tinggi, maka pemeriksaan
histipatologis perlu dilakukan untuk mementukan etiologi pembesaran KGB.
Pemeriksaan fisik yang penting terkait pembesaran kelenjar getah being adalah
deskripsi dari benjolan. Kelenjar getah bening yang keras dan tidak nyeri merupakan suatu
petunjuk kemungkinan penyebab pembesaran KGB adalah suatu proses keganasan, penyakit
granulomatosa atau penyakit lainnya akibat suatu proses imunologis. Pada pemebesaran
KGB yang disertai tanda tanda inflamasi seperti berupa rubor, kalor dan dolor kemungkinan
besar penyebabnya adalah suatu proses infeksi akut. Pada penyakit tertentu terdapat
gambaran spesifik dari benjolannya, seperti pada Limfoma Hodgkin tipe sklerosa nodular
mempunyai karakteristik terfiksasi dan terlokalisasi dengan konsistensi kenyal. Pada kasus
yang jarang, limfadenopati yang disertai rasa nyeri juga dapat disebabkan oleh perdarahan
pada jaringan yang nekrotik atau tekanan dari kapsul kelenjar karena ekspansi tumor yang
cepat.3 Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan Faktor resiko
dan tanda infeksi pada benjolan dapat disingirkan, akan tetapi keganasan dan pemyakit
lainnya masih perlu dipastikan dengan pemeriksaan histopatologis.
Pemeriksaan penunjang awal

Pembesaran payudara yang bersifat progresif akan menimbulkan permasalahan fisik dan
emosional pada pasien. Berdasarkan penelitian di Boston oleh Felacio Ceratto,dkk terdapat
95% pasien dengan makromastia mengalami keluhan nyeri payudara, terdapat 90% pasien
mengalami kerusakan pada integritas kulit pada area sekitar payudara, terdapat 94% pasien
dengan kesulitan mengikuti aktifitas fisik seperti olahraga, 95% pasien mengalami kesulitan
dalam memilih pakaian sehari-hari, 95% pasien mengalami keluhan nyeri punggung, 95%
pasien mengalami nyeri pada leher dan 96% pasien mengalami keluhan nyeri bahu.
Permasalahan non-fisik yang juga harus difikirkan adalah adanya masalah emosional pada
pasien dengan makromastia. Berdasarkan penelitian yang juga dilakukan oleh Felacio
Ceratto,dkk terhadap pasien dengan pembesaran payudara terdapat 6% pasien yang
mengalami masalah makan (eating disorder) dan penurunan rasa percaya diri serta 13 %
pasien mengalami anxietas atau depresi.
Pada pasien pertumbuhan agresif pada payudara terjadi secara bilateral pada 2 bulan
terakhir setelah pasien mengalami menstruasi. Keadaan ini sesuai dengan batasan juvenile
gigantomastia oleh Durston berupa pembesaran payudara yang terjadi pada masa
peripubertas dengan kejadian yang paling sering ditemukan pada usia 10- 24 tahun.
Berdasarkan penelitian dari Hoppe, dkk didapatkan perbandingan jumlah kasus juvenile
gigantomastiayang terjadi pasa fase postmenarch adalah 55,5% sedangkan yang terjadi pada
fase premenache adalah 44,4%. Dalam kurun waktu dua bulan pertumbuhan payudara
pasien berlangsung sangat cepat hingga sebesar bola voli. Baker mengungkapkan dari empat
serial kasus pasien dengan juvenile gigantomastia didapatkan pembesaran payudara
berlangsung sangat cepat pada 3-6 bulan pertama yang diikuti oleh pertumbuhan lambat
payudara.7,8 Payudara dapat tumbuh mencapai berat 13,5-22,5 kg. Pada juvenile
gigantomastia pertumbuhan berlebihan biasanya terjadi bilateral. Angka kejadian unilateral
pernah dilaporkan hanya pada 1% kasus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lewis
and Geschickter, dikatakan bahwa juvenile gigantomastia bersifat bilateral pada kedua
payudara. Pada keadaan dimana pembesaran hanya terjadi pada salah satu payudara maka
kemungkinan yang terbesar adalah juvenile fibroadenoma. Kedua kelainan ini dikatakan
memiliki etiopatgonesis yang sama, yang membedakannya adalah aspek lokal dari kelenjar
yang merespon terhadap stimulus hormonal.
Etiologi dari Juvenile gigantomastia pada usia remaja masih belum diketahui secara pasti.
Terdapat beberapa teori yang diduga menjadi menjadi penyebab pertumbuhan payudara
yang sangat progresif. Teori yang paling popular adalah adanya hipersensitifitas pada target
organ terhadap hormon esterogen normal. Morimoto et al menujukkan kondisi lain dimana
terdapat peningkatan jumlah dari reseptor esterogen pada pewarnaan histokimia pada
jaringan payudara yang diduga mengalami hipertropi. Teori ini juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Polis, dkk pada dua pasien dengan gigantomastia terdapat
peningkatan jumlah dari reseptor esterogen. Pada penelitian yang dilakukan oleh Robert F
Ryan dan Martin F Pernol pada 4 buah serial kasus pasien dengan juvenile gigantomastia,
pasien diberikan terapi dydrogesterone paska tindakan reduksi mamoplasti. Dari keempat
pasien yang mendapatkan terapi dydrogesterone kesemuanya mengalami kekambuhan.
Selanjutnya pasien diberikan tamoxifen citrate dan terjadi pengecilan dari ukuran payudara
secara signifikan. Berdasarkan hasil penelitian inilah teori yang paling dapat diterima hingga
saaat ini adalah adanya abnormalitas sensitifitas dari reseptor jaringan payudara terhadap
hormon esterogen dan adanya proses autoimun yang memimikri efek dari estreogen pada
jaringan payudara.
Pada pasien telah dilakukan rangkaian pemeriksaan dalam usaha untuk
menegakkan diagnosis dari juvenile gigantomastia. Penegakan diagnosis dari juvenile
gigantomastia dapat dilakukan dengan mengekslusi penyebab lain dari pembesaran
payudara. Diagnosis lain yang perlu disingkirkan sebelum menegakkan dari juvenile
gigantomastia adalah virginal fibroadenoma, fibrocystic disease, phyllodes tumor, and
kelainan endokrin lainnya. Berdasarka suatu review yang dilakukan oleh Coriveau S Jacob,
dari 374 kasus pembesaran payudara pada anak usia <20 tahun, didapatkan 44% kasus
disebabkan oleh fibroadenoma mamae, 22% kasus disebabkan oleh gynecomastia, dan 14%
lainnya disebabkan oleh juvenile gigantomastia. Penelitian lain dilakukan oleh Seregio, dkk
terhadap 81 pasien dengan pembesaran payudara, hanya didapatkan 2%(2) pasien yang
mengalami keganasan pada payudara yang berusia < 20 tahun. Keganasan payudara pada
usia <20 tahun memiliki angka kejadian yang sangat kecil.
Penyingkiran diagnosis dimulai dari anamnesis terkait perjalanan penyakit. Perjalanan yang
khas dari juvenile gigantomastia adalah pertumbuhan payudara yang sangat cepat dan
abnormal pada kedua payudara. Pasien berusia 12 tahun datang dengan keluhan pembesaran
kedua payudara yang sangat cepat selama dua bulan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Lewis and Geschickter, dikatakan bahwa juvenile gigantomastia bersifat bilateral pada
kedua payudara. Pada keadaan dimana pembesaran hanya terjadi pada salah satu payudara
maka kemungkinan yang terbesar adalah juvenile fibroadenoma. Pembesaran payudara pada
pasien tidak berhubungan dengan siklus menstruasi, hal ini dapat menyingkirkan
kemungkinan fibrocystic disease yang merupakan variasi perubahan yang terjadi pada
payudara karena pengaruh hormonal pada siklus menstruasi terutama pada saat ovulasi.
Anamnesis terkait kehamilan juga perlu ditanyakan, karena saat ini pasien berada pada usia
seksual aktif walaupun status pasien belum menikah. Terdapat salah satu tipe dari Breast
hypertopi yang diinduksi oleh kehamilan yang disebut gravid hypertrophy. Ship and
Shulman mendefinisikan gravid hypertropy sebagai pembesaran payudara yag progresif dan
abnormal selama kehamilan dan tidak mengecil setelah melahirkan dan kembali membesar
saat terjadi kehamilan dikemudian hari. Pasien mengaku tidak dalam kondisi hamil. Riwayat
anggota keluarga dengan pembesaran payudara juga merupakan informasi yang penting
dalam penegakan diagnosis. Dari beberapa serial kasus yang ada diketahui juvenile
gigantomastia terjadi secara sporadis, namun kasus familial juga telah dilaporkan. Terdapat
satu kasus familial yang dilaporkan yang disertai dengan anokia kongenital. Dalam kasus ini
keterkaitan antara anokia kongenital dan juvenile gigantomastia masih belum diketahui
secara jelas, apakah hanya merupakan kejadian yang bersifat insidental ataupun suatu
sindrom. Pada kasus ini, pasien tidak memiliki riwayat anggota keluarga dengan
pembesaran payudara yang abnormal. Dalam risiko kegananasan pada payudara Gail
menyebutkan bahwa pada pasien dengan riwayat keganasan pada garis keturunan pertama
pada keluarga akan berisiko 1.8 kali mengalami keganasan serupa. Riwayat penggunaan
obat-obatan pada pasien juga perlu ditanyakan. Selanjutnya ditanyakan pula riwayat
penggunaan obat–obatan yang dapat menginduksi pembesaran payudara. Yoko sakai, dkk
melaporkan terdapat 18 kasus hipertropi payudara yang diinduksi oleh pengguaan D-
Penicilamin. Obat ini merupakan obat yang sering digunakan pada penderita Rheumatoid
artritis. D-penicillamine merupakan metabolit dari penicillin dan termasuk golongan
molekul sulfhydryl. Struktur ini dapat berinteraksi dengan protein carier dari hormon
prolactin, sehingga dapat meningkatkan kadar prolactin bebas dalam sirkulasi dan selanjutya
dapat menginduksi hipertropi dari payudara. Pada pasien tidak ditemukan adanya riwayat
penggunaan obat-obatan tertentu sebelum terjadinya pembesaran payudara.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembesaran payudara yang
bersifat diffuse pada kedua payudara dan terjadi pada keempat kuadran dari payudara. Tidak
teraba massa suatu tumor yang membedakannya dengan jaringan sekitar. Pada permukaan
kulit juga ditemukan adanya lesi yang diakibatkan karena peregangan kulit dari payudara
yang membesar. Berbeda dengan Fibroadenoma mama, pada pemeriksaan fisik akan
didapatkan struktur berupa benjolan yang memiliki batas yang tegas dengan jaringan
payudara yang sehat, permukaan rata dan tidak disertai rasa sakit. Besar benjolan rata-rata
<3cm, bila berukuran >5 cm disebut giant fibroadenoma mamae. Giant fibroadenoma
dikarakteristikkan sebagai benjolan pada payudara dengan ukuran > 5 cm, bersifat unilateral,
tanpa disertai rasa nyeri. Haagensen pada penelitiannya mendapatkan bahwa sebagian besar
FAM akan berhenti pertumbuhannya setelah mencapai ukuran diameter 2-3 cm. Jayasinghe
dan Simmons pada penelitiannya mengatakan bahwa sebagian besar dari fibroadenoma tidak
menunjukkan pertumbuhan massa yang bersifat progresif, pertumbuhan dari benjolan akan
mencapai fase statis pada 80% kasus, selanjutnya benjolan akan mengalami regresi spontan
pada 15% kasus dan tetap berkembang secara progresif pada 5%–10% kasus. Gambaran
pemeriksaan fisik dari tumor jenis lainnya seperti fibrocystic disease, phyllodes tumor tidak
jauh berbeda dengan gambaran fibroadenoma mamae. Dimana teraba benjolan pada
payudara baik bersifat soliter maupun multiple.
Pemeriksaan penjunjang lanjutan yang dilakukan dalam menyingkirkan diagnosis banding
dari juvenile gigantomastia adalah berupa pemeriksaan darah, pencitraan dan histopatologi.
Pada juvenile gigantomastia teori yang paling mungkin menjadi penyebabnya adalah adanya
peningkatan sensitifitas reseptor target organ terhadap hormon esterogen, dengan kadar
hormon dalam batas normal. Kondisi ini harus dapat dibuktikan terlebih dahulu untuk dapat
menyingkirkan penyebab lain dari pembesaran payudara yang abnormal. Pemeriksaan
hormon sex yaitu FSH, LH, dan estradiol telah dilakukan dengan hasil dalam batas normal.
Selanjutnya dicoba untuk disingkirkan penyebab lain seperti hipertiroidisme. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Sogard M,dkk terhadap 80.343 perempuan dengan hypertiroid,
didapatkan hasil memiliki resiko 1,1 kali lebih tinggi mengalami kanker payudara. Teori
yang mendasarinya adalah adanya peran dari hormon triiodothyronine (T3) yang berlebihan
dapat menginduksi ekspresi dari gen HIF-1 dan mengganggu fungsi dari growth factor
alpha (TGF) yang berperan dalam proliferasi sel yang tidak terkendali. Akan tetetapi sejauh
ini belum ditemukan adanya serial kasus yang melaporkan adanya juvenile gigantomastia
dengan hipertitoid.
Pemeriksaan pencitraan yang dapat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding
dari juvenile gigantomastia adalah mamografi dan ultrasonografi. Pada awalnya pasien
direncanakan dilakukan mamografi, akan tetapi tidak dapat dikerjakan dikarenakan cup
pemeriksaan yang terlalu kecil untuk payudara pasien. Akan tetapi dari beberapa literature
menjelaskan bahwa pemeriksaan mamografi merupakan alat skrining yang bermakna klinis
pada wanita dengan usia > 30 tahun dengan kecurigaan klinis yang tinggi terhadap
kegananasan. Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan pada wanita muda terkait dengan
jaringan payudaranya yang masih padat sehingga massa yang tumbuh dapat tertutupi oleh
jaringan payudara normal. Pemeriksaan lainnya yang dilakukan pada pasien adalah
ultrasonografi payudara. Pada pasien didapatkan kesans tidak ditemukan adanya gambaran
massa padat maupun kistik pada payudara, gambaran sesuai dengan juvenile breast
hypetropy bilateral. Pada beberapa literatur terkait juvenile gigantomastia, dikatakan bahwa
pemeriksaan ultrasonografi merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat mengiklusi
kecurigaan adanya massa maupun kista payudara, pemeriksaan ini bersifat noninvasive dan
tanpa efek radiasi, maka pemeriksaan USG cukup direkomendaskan untuk dilakukan.
Tatalaksana utama terhadap juvenile gigantomastia adalah tindakan pembedahan. Dalam
beberapa kasus, tindakan reduksi payudara saja sudah cukup dalam menatalaksana kondisi
ini., akan tetapi dari beberapa serial kasus yang dilaporkan terdapat tingkat kekambuhan
yang tinggi setelah prosedur mammaplasti.1,3,37. Pilihan prosedur bedah yang dapat
dilakukan adalah mastektomi subkutan dan mammaplasti. Dari sebuah penelitian
metaanalisis yang dilakukan oleh Ian C Hoppe, dkk didapatkan Odd ratio dari risiko
kekambuhan pasien dengan prosedur bedah dengan mamaplasti dibandingkan dengan
mastektomi subkutan adalah 7. Hal ini terkait dengan pertimbangan melakukan tindakan
reduksi secara meyeluruh pada jaringan payudara. Akan tetapi perlu disadari bahwa dalam
pemilihan prosedur operasi, penting untuk diperhatikan adalah pertimbangan subjektif dari
operator, ukuran dan bentuk payudara serta preferensi dari pasien terkait kelebihan dan
kekurangan dari beberapa prosedur operasi yang ada. Selain prosedur bedah, kombinasi
terapi dengan terapi hormonal juga telah dilakukan pada beberapa kasus dengan juvenile
gigantomastia. Dydrogesterone dan tamoxifen merupakan pilihan pengobatan yang cukup
sering digunakan. Terdapat lima serial kasus pemberian tamoxifen preoperatif dapat
menekan pertumbuhan payudara. Terdapat tiga serial kasus lainnya dengan pemberian
tamoxifen postoperatif yang dapat pertumbuhan payudara paska prosedur operasi. Dari
serial kasus ini dosis tamoxifen yang diberikan adalah 10-40 mg per hari, dengan frekuensi
pemberian yang bervariasi. Salah satu teori yang menjelaskan tentang efek tamoxifen dalam
menekan pertumbuhan payudara adalah melalui penginduksian dari depolarisasi
mitokondrial dan aktifasi dari caspase-9 yang memilki efek apoptosis dari sel epiteliat
payudara. 57. Teori lain menjelaskan adanya efek dari aktifasi mammary serine protease
inhibitor-5 yang merupakan tumor supresor yang kuat. 58 Dari beberapa penelitian yang
telah dilakukan rekomendasi dari lama pemberian dari tamoxifen dalam memberikan efek
penekanan pada pertumbuhan payudara adalah 4-6 bulan. 3,35,37. Dalam pemberian terapi
hormonal pada pasien paska tindakan operasi perlu dipertimbangkan pula efek samping
berupa hiperplasia endometrium, kemerahan pada wajah, peningkatan trombosis vena, dan
perubahan kepadatan tulang 2, 59. Permasalahan psikologis juga merupakan hal yang harus
diperhatikan, mengingat usia awitan dari juvenile gigantomastia adalah pada usia remaja.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan pada remaja paska tindakan prosedur reduksi
payudara, didaptkan 90% pasien menunjukkan kepuasan dari prosedur operasi yang
dilakukan dan dapat mengembalikan kepercayaan diri yang sempat hilang. 63.
Berdasarkan penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Hoppe, dkk. Tidak ditemukannya
risiko kematian pasien dengan juvenile gigantomstia. Prognosis dari kondisi ini lebih terkait
dengan kualitas hidup pasien dan risiko kekambuhan di kemudian hari. Data ini dapat
menyokong prognosis Quo ad vitam pada pasien adalah Bonam. Quo ad functionam pada
pasien adalah dubia. Hal ini dilandaskan pada beberapa perimbangan berupa risiko
kekambuhan, efek samping yang muncul akibat penggunaan terapi hormonal, kemungkinan
menyusui dikemudian hari. Terkait dengan kemungkinan menyusui dikemudian hari,
Brzozowski, dkk menemukan bahwa paska tindakan mamomplasti 30% pasien yang dapat
sukses menyusui, 17.9% pasien tidak dapat menyusui dan 52,6% pasien lainnya menolak
untuk menyusui. Oleh sebab itu, sangat penting untuk menjelaskan kepada pasien terhadap
adanya risiko ketidakmampuan menyusui dikemudian hari.

PENUTUP
Terima kasih saya ucapkan kepada Ketua Bagian Kesehatan Anak FK UNSRI, Ketua KSM
Kesehatan Anak RSUP, Koordinator Program Studi Sp.1 Kesehatan Anak, terutama
Supervisor Subbagian Alergi-immunologi dr.Yusmala Helmy, Sp.A(K), dr.R.A. Myrna Alia,
SpA(K) dan dr. Edy Novery, SpA yang telah banyak membimbing dan memberikan
kesempatan kepada saya untuk mengajukan laporan kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Harsarapama PP, Dewi YA, Purwanto B, Permana AD. Penyakit Kimura Parotis. jsk
[Internet]. 2016 Dec 1 [cited 2020 Mar 11];2(2). Available from:
http://jurnal.unpad.ac.id/jsk_ikm/article/view/11263

2. Osuch-Wójcikiewicz E, Bruzgielewicz A, Lachowska M, Wasilewska A, Niemczyk K.


Kimura’s Disease in a Caucasian Female: A Very Rare Cause of Lymphadenopathy. Case
Reports in Otolaryngology. 2014;2014:1–4.

3. Dhingra H, Nagpal R, Baliyan A, Alva SR. KIMURA DISEASE : CASE REPORT AND
BRIEF REVIEW OF LITERATURE. Medicine and Pharmacy Reports [Internet]. 2018 Aug
2 [cited 2020 Mar 11]; Available from:
https://www.medpharmareports.com/index.php/mpr/article/view/1030

4. Gurram P, Chandran S, Parthasarathy P, Thiagarajan M, Ramakrishnan K. KIMURA’S


disease – An E[X]clusive condition. Ann Maxillofac Surg. 2019;9(1):183.

5. Rajesh A, Prasanth T, Naga Sirisha V, Azmi M. Kimura’s disease: A case presentation of


postauricular swelling. Niger J Clin Pract. 2016;19(6):827.

6. Fouda MA, Gheith O, Refaie A, El-Saeed M, Bakr A, Wafa E, Abdelraheem M, Sobh M.


Kimura Disease: A Case Report and Review of the Literature with A New Management
Protocol. International Journal of Nephrology. 2010;2010:1–4.

7. Oehadian A. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. 2013;40(10):6.

8. Bazemore AW. Lymphadenopathy and Malignancy. 2002;66(11):8.

9. Gaddey HL, Riegel AM. Unexplained Lymphadenopathy: Evaluation and Differential


Diagnosis. 2016;94(11):8.

10. Zhang G, Li X, Sun G, Cao Y, Gao N, Qi W. Clinical analysis of Kimura’s disease in 24


cases from China. BMC Surg. 2020 Dec;20(1):1.

11. Kj S. Kimura’s Disease: Diagnostic Challenge and Treatment Modalities. 2014;69(6):3.

Anda mungkin juga menyukai