MANAJEMEN PERPAJAKAN
1619104054
KELAS G
Sebagai kepala diisi perpajakan sebaiknya saya menganalisis dengan benar dan rinci sebelum
mengajukan restitusi, karena bisa jadi setelah diajukan dan diteliti terlebih dahulu oleh dierjan pajak guna
mengetahui kelayakan perusahaan yang bersangkutan apakah masuk dalam kriteria pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Namun ternyata perusahaan saya tidak masuk dalam kriteria
tersebut karena tidak tertib dalam hal pelaporan pajak. Sehingga permohonan harus melalui proses
pemeriksaan. Akhirnya setelah melalui beberapa rangkaian tahapan pemeriksaan, permohonan
mencapai Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Dan bisa saja saya melewatkan beberapa kewajiban
perpajakan tidak dipenuhi oleh perusahaan. Hasilnya, permohonan saya yang tadinya Lebih Bayar justru
menjadi Kurang Bayar.
Oleh karena itu, sebaiknya wajib pajak berhati-hati dalam mengajukan restitusi pajak. Setidaknya
wajib pajak harus memastikan terlebih dahulu beberapa hal sebagai berikut:
1. Pastikan jumlah restitusi yang diminta sepadan dengan usaha yang dilakukan
Proses pemeriksaan cukup panjang karena harus melalui beberapa tahapan. Wajib pajak
yang mengajukan permohonan juga harus menghadiri panggilan pemeriksa serta menyediakan
data yang diminta. Tentu hal ini merupakan cost bagi wajib pajak. Sehingga sebelum wajib pajak
mengajukan restitusi, harus ditimbang terlebih dahulu apakah jumlah yang diminta sepadan
dengan usaha yang nanti dikeluarkan.
Baik orang pribadi atau badan yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak memiliki
kewajiban terkait PPN. Di antara kewajiban-kewajiban tersebut antara lain memungut PPN atas
penjualan BKP/JKP ke lawan transaksi, membuat Faktur Pajak, melaporkannya di SPT Masa PPN,
dan menyetor PPN apabila kurang bayar.
Sanksi dan atau denda administrasi yang dikenakan untuk kelalaian terkait kewajiban PPN cukup
besar. Semisal tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi cacat atau tidak tepat waktu
maka akan ada denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak. Sedangkan apabila tidak menyetor PPN
Terhutang maka akan ada sanksi administrasi sebesar 2% setiap bulan maksimal 24 bulan atas PPN yang
belum dibayar.
Permohonan restitusi merupakan hak bagi wajib pajak. Namun sebelum menuntut hak, wajib
pajak harus tertib dalam memenuhi kewajibannya terlebih dahulu. Apabila semua kewajiban telah
terpenuhi, tentu DJP akan memberikan kemudahan bagi wajib pajak untuk mendapatkan haknya. Semisal
bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu, wajib pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, dan PKP
beresiko rendah akan mendapatkan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak tanpa
melalui proses pemeriksaan.
Penerbitan saham mengisyaratkan adanya pengembalian yang diharapkan oleh pemodal. Terkait
dengan unsur pajak dalam dividen, Miller dan Scholes (1978) dalam Fama dan French (1997), beranggapan
bahwa kebijakan atas pembayaran dividen yang tinggi akan memindahkan harga saham karena dividen
dikenakan pajak yang tinggi daripada keuntungan modal (Brennan 1970 dalam Fama dan French 1997).
Bagi perusahaan yang membagikan dividen, apapun bentuknya (dividen tunai dan dividen saham), bukan
merupakan pengurang beban pajak perusahaan. Pengembalian yang diharapkan investor tidak hanya
berupa dividen saja melainkan juga keuntungan modal. Pajak atas keuntungan modal dapat ditunda
hingga penjualan saham yang sesungguhnya (ketika direalisasi).
Selain itu, dengan menjual saham untuk merealisir keuntungan modal, pemodal membayar biaya
transaksi tertentu dan (seharusnya) membayar pajak. Tetapi dengan menerima dividen (tidak perlu
membayar biaya transaksi), pemodal justru hanya membayar pajak. Hal ini dapat menyebabkan pajak atas
keuntungan modallebih kecil dari dividen (Husnan dan Pudjiastuti, 2004).
Terdapat dua sumber pendanaan eksternal yaitu investor ekuitas (disebut juga pemilik atau
pemegang saham) dan kreditor (pemberi pinjaman). Investor ekuitas merupakan sumber utama
pendanaan. Investor menyediakan pendanaan dengan harapan untuk mendapatkan pengembalian atas
investasi mereka. Setelah mempertimbangkan pengembalian yang diharapkan (expected return) dan
resiko pengembalian adalah bagian investor ekuitas atas laba perusahaan dalam bentuk distribusi laba
atau reinvestasi laba. Distribusi laba adalah pembayaran dividen kepada pemegang saham. Dividen dapat
dibayar langsung dalam bentuk tunai atau deviden saham, atau secara tidak langsung melalui pembelian
kembali saham.
Pembayaran dividen mengacu pada proporsi laba yang didistribusikan, yang sering dinyatakan
dalam ratio atau presentase yaitu ratio, pembayaran dividen reinvestasi laba atau laba ditahan mengacu
pada penahanan laba dalam perusahaan untuk digunakan dalam bisinis perusahaan : yang disebut pula
pendanaan internal. Reinvestasi laba sering diukur dengan ratio penahanan. Reinvestasi laba juga diukur
dengan pertumbuhan ekuitas. Earning retention ratio. (Sering diukur dengan rasio penahanan/rasio laba
di tahan= 1- dividen payout rasio)
JAWABAN SOAL NO 4
Konsekuensi dari proses merger, apapun jenis dan metode pencatatannya, adalah adanya
perpindahan aktiva yang tentunya terkait dengan perpajakan. Setidaknya ada transfer tax (PPN, PPh Final
4 ayat 2 dan BPHTB) dan keuntungan atas selisih aktiva yang merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh).
Untuk perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), awalnya, UU PPN Tahun 1983 dan perubahannya Tahun
1994, pengalihan aktiva perusahaan sehubungan dengan proses merger tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan tidak terutang PPN. Namun, sejak Tahun 2001, pengalihan aktiva
dalam rangka merger ini dikenakan PPN karena tidak termasuk dalam daftar negatif jenis barang kena
pajak yang tidak dikenakan PPN. Terakhir, sesuai dengan UU PPN yang baru Tahun 2009, kembali lagi pada
ketentuan semula, dimana penyerahan barang kena pajak dalam rangka merger tidak terutang PPN.
Setiap pengalihan aktiva atau harta berupa tanah dan bangunan akan dikenakan PPh final dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Demikian juga, apabila pengalihan dilakukan
dalam rangka merger perusahaan. PPh final yang dikenakan adalah sebesar 5% dari harga jual sedangkan
untuk BPHTB dikenakan tarif 5% dari nilai jual kena pajak – selisih antara harga jual dengan nilai jual objek
pajak tidak kena pajak.
Atas keuntungan yang diterima perusahaan dalam rangka merger, merupakan objek PPh
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d butir 3 UU PPh, dimana yang termasuk dalam
pengertian penghasilan adalah keuntungan karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena
likuidasi, penggabungan (merger), peleburan, pemekaran atau pemecahan. Sehingga, atas keuntungan
tersebut akan dikenakan tarif pasal 17 UU PPh.
Manurut saya, dalam hale tika tax avoidance seharusnya tidak dilakukan. Karena melanggar etika,
dan merugikan negara. Tax avoidance juga berarti kita tidak melaksanakan dan membayar pajak kita
dengan yang seharusnya. Indoneisa telah melaukukan penanggulangan agar tidak terjadi tax avoidance
dengan mengeluarkan beberapa peraturan sebagai berikut :
1. Anti Thin Capitalizatio
Ketentuan anti thin capitalization merupakan upaya wajib pajak mengurangi beban pajak
dengan cara memperbesar pinjaman, agar dapat membebankan biaya bunga dan mengecilkan
laba. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 169/PMK.03/2015 yang mengatur Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan
Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak penghasilan (Debt to Equity Ratio).
3. Transfer Pricing
Ketentuan mengenai Transfer Pricing diatur dalam Pasal 18 Ayat 3 UU PPh. Dalam pasal
ini mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besaran
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besar
Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa.
4. Anti-treaty Shopping
Ketentuan mengenai anti treaty shopping diatur dalam PER-25/PJ/2010 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Ketentuan pertama hingga keempat merupakan Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu
ketentuan anti penghindaran pajak atas transaksi. Sedangkan ketentuan kelima merupakan General Anti
Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan pajak yang semata-mata dilakukan wajib pajak untuk tujuan
penghindaran pajak atau transaksi yang tidak memiliki substansi bisnis.
Ketentuan anti tax avoidance di atas diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, baik ketentuan formal terkait dengan sanksi, dan ketentuan
materialnya. Tujuan diberlakukannya ketentuan di atas untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib
pajak maupun Pemerintah agar tidak semakin merugikan penerimaan negara.
JAWABAN SOAL NOMOR 5
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penghasilan dari luar negeri (outward,
outbound transactions).
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negeri (WPLN) atas penghasilan dari dalam negeri/domestik.
(inward, inbound transactions)
Kedua dimensi di atas selanjutnya dijelaskan Gunadi, bahwa Dimensi pertama merujuk pada
pemajakan atas penghasilan luar negeri atau transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound
transaction) karena umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi kedua
merujuk pada pemajakan atas penghasilan domestik atau transaksi (ke) dalam batas negara (inward,
inbound transaction) karena umumnya melibatkan importasi modal dari manca negara. Dalam
aplikasinya, pemajakan penghasilan luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence country),
sedangkan pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source country).
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, begitu juga dengan kebijakan
perpajakan internasional sudah tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang dimaksud yaitu
memajukan perdagangan antar negara, dan mendorong laju investasi di masing-masing negara.
Sementara pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara domisili dan sumber seperti
yang diungkapkan Gunadi di atas menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation).
Kondisi ini dipandang oleh para investor dan pengusaha pajak kurang memperlancar/menghambat
mobilitas arus investasi, perdagangan, dan bisnis. Untuk mengatasi dan memberikan solusi atas masalah
yang dihadapai oleh para investor dan pengusaha maka pemerintah melakukan upaya dan berusaha untuk
meminimalkan atau meringankan pajak berganda yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut.
Upaya dimaksud berhasil dituangkan dalam bentuk aturan yaitu selain diatur dalam ketentuan pajak
domestik, keringanan pajak ganda juga pada umumnya diatur dalam P3B.
Wajb pajak yang memiliki asset investasi dan ingin melindungi asetnya dapar menidirkan offshore
trust di negara lain dengan memerhatikan aspek-aspek tertentu khususnya aspek legal dan perpajakan.
Peraturan perpajakan yang paling berkaitan dengan perlindungan asset di luar negeri (offshore)
adalah controlled foreign company (CFC) rules, sehingga sebelum menerapkan skema-skema offshore
trust via holding company diperukan juga perhatian pada penerapan CFFC rules yang berlaku di Indonesia.
Peraturan mengenai controlle foreign company (CFC) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan No 36 Tahun 2008 pasal 18 ayat (2) yang mengatur bahwa Menteri Keuangan memiliki
hak untuk menentukan waktu dibagikannya dividenkepad Wajib Pajak Dalam Negeri yang menyertakan
kepemilikannya padaperusahaan asing di Luar Negeri selain perusahaan go public dengan kriteria
penyertaanserta waktu tertentu.