Kelas : 1A
NIM : 1901277005
Tugas : Farmakologi
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamika adalah bagian dari ilmu farmakologi yang mempelajari tentang bagaimana suatu
obat (bahan aktif) bekerja sehingga menghasilkan efek biologis.
Dengan kata lain bahwa farmakodinamik adalah cabang dari ilmu farmakologi yang mempelajari apa
yang dilakukan obat terhadap tubuh.
Efek suatu obat dapat terjadi jika molekul obat berikatan dengan suatu molekul spesifiknya,
sehingga menyebabkan reaksi biokimiawi dan menghasilkan efek biologis.
Molekul spesifik tersebut merupakan binding site yang biasa disebut target obat. Interaksi antara
molekul obat dan sel mendasari penjelasan molekuler interaksi obat dengan reseptornya. Paul
Ehrlich menyatakan ‘Corpora non agunt nisi fixata’, yang berarti bahwa suatu obat tidak akan
bekerja sampai dia berikatan (Rang, et al., 2011).
Pemahaman tentang mekanisme kerja obat merupakan dasar penentuan terapi rasional suatu obat
dan desain obat baru serta unggulan dari suatu agen terapi (Brunton, et al., 2008).
1. Obat yang bekerja tidak melalui target spesifik Contoh : antasida, anestesi umum, osmotik
diuretik.
2. Obat yang bekerja dengan cara mengubah sistem transport. Contoh : kalsium antagonis,
kardiak glikosida, obat anestesi local.
Mengubah fungsi enzim. Contoh : COX inhibitor, MAO inhibitor, AChE inhibitor
Target dari obat dapat dikategorikan menjadi 4macam, yaitu reseptor, kanal ion, enzim, dan
transporter (Rang, et al., 201 1).
Secara umum, bagian spesifik yang berikatan dengan obat berupa protein. Namun selalu
ditemukan pengecualian, misalnya : antibiotic dan antitumor yang dapat berikatan langsung
pada DNA, obat osteoporosis (biophosphonat) yang berikatan dengan garam kalsium pada
matriks tulang (Rang & Dale, 2008), interaksi dengan molekul kecil misalnya ikatan logam
berat dengan metalloproteinase.
Konsep Reseptor
Reseptor adalah komponen makro molekul dari sel yang dapat mengenali dan berinteraksi
dengan substansi endogen untuk menghasilkan respon biologis.
Sedangkan obat atau substansi eksogen lainnya akan berikatan dengan ‘drug target’ nya
untuk dapat memberikan respon biologis. Drug target atau reseptor ini umumnya berupa
protein (Rang & Dale, 2011; Katzung, et al., 2015).
Memiliki spesifisitas
Reseptor tertentu hanya akan berikatan dengan reseptor tertentu saja atau lebih dikenal
dengan mekanisme ‘Lock and key’.
Menghasilkan respon yang selektif
Oleh karena spesifitasnya, maka respon yang dihasilkan oleh ikatan reseptor-substrat (ligan)
juga spesifik.
Memiliki sensitifitas
Diperlukan sejumlah ligan/obat tertentu untuk dapat menghasilkan respon yang diinginkan.
Tidak ada obat yang sepenuhnya spesifik dalam aksinya, pada beberapa kasus peningkatan
dosis dapat mempengaruhi target lain sehingga menimbulkan efek samping (Katzung, et al.,
2010)
Macam-macam Reseptor
Ligand gated ion channel receptor (ionotropic receptor), merupakan reseptor yang terikat pada
suatu kanal ion. Ligan yang berikatan dengan resptor ini menyebabkan terbukanya kanal ion sehingg
akan mengubag potensial membran dan sel menjadi ter depolarisasi ataupun hiperpolarisasi
(tergantung kanal dan ion yang keluar/masuk intrasel).
Kanal ion merupakan pintu gerbang ion-ion baik yang akan masuk maupun ke luar sel yang diatur
secara sangat spesifik.
Oleh karena yang berkerja dan efektornya adalah ion dan tidak melibatkan mediator/molekul
lainnya maka respon yang dihasilkan memiliki onset (mula kerja obat) yang sangat cepat (milidetik).
Biasanya reseptor ini untuk aksi neurotransmiter yang sangat cepat.
G protein couple receptor (GPCR) disebut juga metabotropic receptor atau 7 transmembrane
(heptahelical) receptor. G protein merupakan protein membran yang terusun oleh beberapa sub
unit (αβγ) dan sub unit a yang memiliki aktivitas GTPase.
Reseptorjenis ini merupakan reseptor yang lebih banyak dijumpai dibanding jenis reseptor lainnya.
Ligan akan berikatan dengan reseptor ini pada signal binding site yang berada di bagian ekstrasel.
Reseptor ini memiliki 7 struktur transmembrane dengan bagian ujung ekstrasel terdiri dari gugus
NH3+ (N terminal) dan ujung intrasel tersusun oleh gugus COO- (carboxyl terminal).
Contoh : berbagai macam reseptor untuk biogenic amina seperti DA (dopamin), Ach (asetilkolin),
histamin.
a. Adenilat Siklase
Enzim ini berperan dalam pembentukan CAMP. CAMP mengontrol berbagai fungsi sel melalui
berbagai jalur dengan cara mem fosforilasi berbagai enzim, carrier dan protein.
b. Fosfolipase C
Enzim yang berperan dalam pembentukan inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG) dari
membran fosfolipid. IP3 berfungsi meningkatkan kalsium intrasel dengan cara melepaskan CA2+ dari
depo intrasel. Peningkatan kalsium dapat menyebabkan berbagai aktivitas seluler seperti kontraksi,
sekresi, aktivitas enzim dan hiperpolarisasi membran.
Sedangkan DAG berperan dalam mengaktifkan PKC yang mengontrol berbagai fungsi seluler melalui
fosforilase berbagai macam enzim.
GPCR juga mengaktifkan kanal ion sehingga memperngaruhi eksitabilitas membran, pelepasan
transmitter dan kontraktilitas.
Yaitu suatu sistem yang mengontrol aktivitas beberapa jalur signaling seperti mengontrol
pertumbuhan dan proliferasi, kontraksi otot, angiogenesis, synaptic remodeling dll. Jalur signaling
Rho merupakan yan terakhir ditemukan. Rho yang teraktivasi akan mengaktifkan Rho kinase yang
akan mengaktifkan berbagai protein.
Hypoxia induced pulmonary artery vasoconstriction menyebabkan aktivasi Rho kinase, sehingga Rho
kinase berperan pada pathogenesis pulmonary hipertensi. Saat ini banyak dikembangakan Rho
kinase inhibitor untuk berbagai kepentingan terapi.
Suatu sistem yang mengontrol berbagai macam fungsi misalnya pembelahan sel, apoptosis dan
regenerasi jaringan. MAPK tidak hanya diaktifkan oleh sitokin tetapi juga dapat diaktifkan oleh GPCR.
3. Kinase-Linked Receptor
Reseptor tipe ini berbeda dengan GPCR. Reseptor ini memiliki sebuah protein transmembrane yang
cukup besar dengan jumlah residu bisa mencapai 1000. Reseptor ini mengontrol pertumbuhan dan
diferensiasi serta secara tidak langsung meregulasi transkripsi gen.
Yang termasuk kelompok ini adalah epidermal growth factor, nerve growth factor, dan kelompok toll
like receptor (TLR) yang penting pada infeksi bakteri.
b. Serin/Treonin Kinase
Jenis kelompok ini tidak banyak, seperti pada RTK. Contoh: transforming growthfactor (TCP).
c. Reseptor Sitokin
Jenis reseptor ini tidak memiliki aktititas enzim interinsik. Jika terkativasi, reseptor ini akan
berasosiasi dan mengaktifkan tirosin kinasi sitosolik seperti Jak (Janus kinase). Ligan untuk reseptor
ini antara ligan berbagai macam sitokin termasuk interferon gamma dan colony stimulatingfactor.
Signal transduksi umumnya melibatkan dimerisasi reseptor dilanjutkan autofosforilasi dri dari residu
tirosin yang berperan sebagai reseptor SHZ untuk menghasilkan berbagai respon seluler.
Second messenger merupakan suatu molekul yang melanjutkan pesan dari ligan atau obat setelah
berikatan dengan reseptornya. Karakteristik second messenger antara lain :
Dapat berdifus melalui membran sel dan menyampaikan informasi kepada berbagai target molekul.
4. Nuclear Receptor
Sejak tahun 1970-an telah diketahui bahwa reseptor untuk hormone steroid seperti estrogen dan
glukokortikoid berada di sitoplasma dan akan ditranslokasi ke inti sel jika telah berikatan dengan
ligannya.
Reseptor yang berada di sitoplasma, berada dalam bentuk dimer dan mengalami translokasi/migrasi
ke nulkleus. Ligan untuk reseptor ini umumnya dari sistem endokrin (hormon steroid).
Reseptor yang berada di dalam nukleus dan dalam bentuk heterodimer dengan retinoid X receptor.
Umumnya ligannya berupa lipid (asam lemak). Reseptor inti ditampilkan pada Gambar 12.
Sedangkan untuk hormon tiroid tidak termasuk keduanya karena termasuk endokrin tetapi berada
dalam bentuk heterodimer dengan retinoid X receptor.
lkatan ligan dengan reseptornya akan mengawali perubahan pada transkripsi gen dengan berikatan
dengan hormone receptor elemen (HRE) pada promoter gen dan mengikat faktor koaktivator
maupun ko represor.
Interaksi Obat
Jika dua atau lebih obat diberikan dalan waktu bersamaan maka dapat terjadi interaksi yang berupa
(Bijnsdrop, et al., 2011) :
Addictive effect : jika respon dari obat obat tersebut mengikuti rumus penjumlahan.
Synergystic effect : jika respon dari obat-obat tersebut lebih besar dari efek tunggalnya, tetapi lebih
kecil dari efek penambahannya.
Ikatan obat dengan reseptor dapat melalui beberapa cara (kiri) terkait dengan efek yang dihasilkan
digambarkan dalam diagram kanan (Katzung, et al., 2015).
Dua obat atau lebih jika dibersamaan efek suatu obat dapat berupa efek terapi yang diharapkan
maupun efek yang tidak diharapkan (efek clamping dan efek toksik).
Berbagai efek tersebut diperantarai ikatan ligan dengan reseptornya. Interaksi antara ligan dengan
reseptornya dapat dikategorikan menjadi :
a. Agonis
Suatu obat atau endogenous ligan yang berikatan dengan resptornya. Ikatan yang terjadi antara
agonis dengan reseptornya yang menghasilkan suatu efek biologis.
b. Antagonis
Dua obat atau ligan yang mempunyai reseptor yang sama, sehingga akan menduduki (meng-
akupansi) reseptor yang sama. Misalnya, atropine menduduki reseptor asetilkolin sehingg
amenghalangi asetilkolin berikatan dengan reseptornya. Kondisi ini mengakibatkan respon
asetilkolih terhambat atau berkurang.
Peningkatan respon asetilkolin dapat ditingkatkan dengan menambahkan dosis asetilkolin, ikatan
antagonis bisa bersifat reversible (dapat dipengaruhi konsentrasi agonisnya) ataupun dapat bersifat
irreversible atau pseudoirreversible dengan ikatan yang sangat kuat.
Obat yang berikatan dengan reseptor yang sama dengan agonis tetapi tidak mempengaruhi atau
menghambat ikatan agonis bekerja secara allosteric yang akan meningkatkan atau menghambat aksi
agonis. Sedangkan obat yang menghambat ikatan agonis dengan reseptrnya disebut inhibitor
(Katzung, et al., 2015).
Peran reseptor sangat penting untuk mengetahui respon suatu obat, terkait hal berikut :
Reseptor sangat menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat dengan efek
farmakologis. Afinitas reseptor untuk berikatan dengan obat ditentukan konsentrasi obat untuk
membentuk kompleks liganreseptor yang sesuai. Jumlah total reseptor membatasi efek maksimal
yang dihasilkan.
Reseptor berperan pada sensitifitas obat. Ukuran, bentuk dan muatan molekul menentukan apakan
obat tersebut akan berikatan dengan reseptor spesifiknya. Perubahan struktur kimia obat secara
drastis dapat meningkatkan atau menurunkan afinitas obat baru untuk jenis reseptor yang berbeda
sehingga akan menyebabkan perubahan efek terapi maupun efek toksik.
Reseptor memediasi peran agonis maupun antagonis. Agonis maupun antagonis bekerja pada
respon tertentu baik pada reseptor yang sama (kompetitif agonis) maupun bekerja pada reseptor
yang berbeda (agonis non kompetitif) (Rang, et al., 2011).
Jendela Terapi
Suatu bahan dapat berfungsi sebagai obat sekaligus sebagai racun tergantung dosis yang diterima.
Batas dosis terkecil yang mulai menimbulkan efek (efikasi) sampai dosis terbesar yang tidak
menimbulkan efek toksis disebut therapeutic window (jendela terapi).
Setiap obat memiliki rentang dosis yang berbeda dalam menimbulkan efek farmakologis. ada obat
yang memiliki jendela terapi sempit dan yang memiliki jendela terapi yang luas.