Kelompok 9 CVA
Kelompok 9 CVA
PENDAHULUAN
1
(10,8%) dan terendah di Provinsi Papua (2,3%), sedangkan Provinsi Jawa
Tengah sebesar 7,7%. Prevalensi stroke antara laki-laki dengan perempuan
hampir sama (Kemenkes, 2013).
Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012), stroke dibedakan menjadi
stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Prevalensi stroke hemoragik di
Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%).
Prevalensi tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus sebesar 1,84%.
Prevalensi stroke non hemoragik pada tahun 2012 sebesar 0,07% lebih rendah
dibanding tahun 2011 (0,09%). Pada tahun 2012, kasus stroke di Kota
Surakarta cukup tinggi. Kasus stroke hemoragik sebanyak 1.044 kasus dan
135 kasus untuk stroke non hemoragik.
Berdasarkan data yang didapat dari bagian rekam medis RSUD Dr.
Moewardi, jumlah kasus stroke pada semua kelompok usia meningkat dari
tahun 2011-2012 dan menurun pada tahun 2013. Walaupun terjadi penurunan
kasus pada tahun 2013, namun jumlah kasus stroke di RSUD Dr. Moewardi
masih tergolong tinggi dibandingkan dengan rumah sakit yang 3 lainnya. Pada
tahun 2011 terdapat 240 kasus, tahun 2012 terdapat 391 kasus, dan tahun 2013
terdapat 350 kasus untuk stroke hemoragik. Sedangkan untuk stroke non
hemoragik, pada tahun 2011 terdapat 113 kasus, tahun 2012 sebanyak 636
kasus, dan tahun 2013 sebanyak 270 kasus (RSUD Dr. Moewardi, 2014).
Seseorang menderita stroke karena memiliki perilaku yang dapat
meningkatkan faktor risiko stroke. Gaya hidup yang tidak sehat seperti
mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan tinggi kolesterol, kurang aktivitas
fisik, dan kurang olahraga, meningkatkan risiko terkena penyakit stroke
(Aulia dkk, 2008). Gaya hidup sering menjadi penyebab berbagai penyakit
yang menyerang usia produktif, karena generasi muda sering menerapkan pola
makan yang tidak sehat dengan seringnya mengkonsumsi makanan tinggi
lemak dan kolesterol tapi rendah serat. Selain banyak mengkonsumsi
kolesterol, mereka mengkonsumsi gula yang berlebihan sehingga akan
2
menimbulkan kegemukan yang berakibat terjadinya penumpukan energi
dalam tubuh (Dourman, 2013).
Penyakit stroke sering dianggap sebagai penyakit monopoli orang tua.
Dulu, stroke hanya terjadi pada usia tua mulai 60 tahun, namun sekarang
mulai usia 40 tahun seseorang sudah memiliki risiko stroke, meningkatnya
penderita stroke usia muda lebih disebabkan pola hidup, terutama pola makan
tinggi kolesterol. Berdasarkan pengamatan di berbagai rumah sakit, justru
stroke di usia produktif sering terjadi akibat kesibukan kerja yang 4
menyebabkan seseorang jarang olahraga, kurang tidur, dan stres berat yang
juga jadi faktor penyebab (Dourman, 2013).
Menurut hasil penelitian Bhat, et.al (2008), merokok merupakan faktor
risiko stroke pada wanita muda. Merokok berisiko 2,6 kali terhadap kejadian
stroke pada wanita muda. Merokok dapat meningkatkan kecenderungan sel-
sel darah menggumpal pada dinding arteri, menurunkan jumlah HDL (High
Density Lipoprotein), menurunkan kemampuan HDL dalam menyingkirkan
kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) yang berlebihan, serta
meningkatkan oksidasi lemak yang berperan dalam perkembangan
arterosklerosis.
Hasil penelitian Rico dkk (2008) menyebutkan bahwa faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian stroke pada usia muda adalah riwayat
hipertensi, riwayat keluarga dan tekanan darah sistolik. Sedangkan faktor
yang tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stroke usia
muda adalah jenis kelamin, kelainan jantung, kadar gula darah sewaktu, kadar
gula darah puasa, kadar gula darah PP, total kadar kolesterol darah dan total
trigliserida.
Mutmainna dkk (2013) dalam penelitiannya di Kota Makassar
menyebutkan bahwa faktor risiko kejadian stroke pada usia muda adalah
perilaku merokok, penyalahgunaan obat, riwayat diabetes mellitus, riwayat
hipertensi, riwayat hiperkolesterolemia. Variabel jenis kelamin bukan
merupakan faktor risiko kejadian stroke pada dewasa awal. Sedangkan hasil 5
3
penelitian Handayani (2013) menyebutkan bahwa insiden stroke lebih tinggi
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Melihat banyaknya faktor risiko yang berperan dalam terjadinya penyakit
stroke, maka masih diperlukan penelitian terkait gaya hidup terhadap kejadian
stroke. Maka dari itu, peneliti bermaksud untuk mengadakan penelitian
tentang hubungan gaya hidup dengan kejadian stroke usia dewasa muda di
RSUD Dr. Moewardi. Variabel yang diteliti antara lain konsumsi makanan
tinggi lemak dan kolesterol, konsumsi alkohol, penyalahgunaan obat, perilaku
merokok, aktifitas fisik, dan aktifitas olahraga.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Cva atau disebut juga stroke adalah gangguan suatu neurologi akut, yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah ke otak dimana secara mendadak
(dalam beberapa detik), atau secara tepat ( dalam beberapa jam) timbul gejala dan
tanda sesuai dengan daerah fokal di otak yang terganggu (Prof. Dr. Dr. B.
Chandra, hal 181)
2.2 Etiologi
a. Thrombosis Otak, merupakan penyebab paling umum dari CVA dan yang
paling sering menyebabkan thrombosis otak adalah atherosklerosis.
Penyakit tambahan yang paling sering di jumpai pada thrombosis
hipotensi dan tipe lain – lain cidera vaskuler seperti ateritis.
b. Emboli Serebral, merupakan penyumbatan pembuluh darah otak, oleh
bekuan darah atau lemak, udara umumnya emboli berasal dari thrombus di
jantung yang terlepas dan menyumbat sistem nyeri serebral. Emboli
serebral pada umunya berlangsung cepat dan gejala yang timbul kurang
dari 10 – 30 detik.
c. Perdarahan intraserebral, terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak, hal
ini terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi. Keadaan ini pada umunya
5
terjadi pada usia diatas 50 tahun sehingga akibat pecahnya pembuluh
darah arteri otak.
d. Ruptura Aneurisma Sekuler (Gerry), merupakan lepuhan yang lemah dan
berbanding tipis yang menonjol pada tempat yang lemah
2.4 Patofisiologi
6
Emboli
7
Perubahan Kerusakan
persepsi sensori mobilitas fisik
Kurang perawatan
- Kurang pengetahuan
8
rehabilitasi awal telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi cacat
utama karena stroke iskemik ( Fagan dan Hess,2005)
b. Terapi pemeliharaan stroke
Terapi non farmakologi juga diperlukan pada pasien paska stroke.
Pendekatan interdisiplin untuk penanganan stroke yang mencakup
rehabilitasi awal sangat efektif dalam pengurangan kejadian stroke
berulang pada pasien tertentu. Pembesaran karotid dapat efektif dalam
pengurangan risiko stroke berulang pada pasien komplikasi berisiko
tinggi selama endarterektomi (fagan dan hess,2005). Selain itu
modifikasi gaya hidup beresiko terjadinya stroke dan faktor risiko juga
penting untuk menghindari adanya kekambuhan stroke. Misalnya pada
pasien yang merokok harus dihentikan, karena rokok dapat
menyebabkan terjadinya kekambuhan (Eusistroke, 2003)
2. Terapi Farmakologi
a. Terapi akut
American stroke association telah membuat dan menerbitkan paduan
yang membhas pengelolaan stroke iskemik akut. Secara umum, hanya
dua agen farmakologis yang direkomendasikan dengan rekomendasi
kelas A adalah jaringan intravena plasminogen activator (Tpa) dalam
waktu 3 jam sejak omset dan aspirin dalam 48 jam sejak onset.
Reperfusi awal ( > 3 jam dari onset) dengan tPA intravena telah
terbukti mengurangi kecacatan utama karena stroke iskemik. Perhatian
harus dilakukan saat menggunakan terapi ini, dan kepatuhan terhadap
protokol yang ketat adalah penting untuk mencapai hasil yang positif.
Yang penting dari protokol perawatan dapat diringkas yaitu (1)
aktivitas stroke, (2) timbulnya gejala dalam waktu 3 jam, (3) CT scan
untuk mengetahui perdarahan, (4) sesuai dengan kriteria inklusi dan
eklusia, (5) mengelola Tpa 0.9 mg/kg lebih dari 1 jam, dengan 10%
diberikan sebagai bolus awal lebih dari 1 menit, (6) menghindari terapi
antitrombotik (antikoagulan atau antiplated) untuk 24 jam, dan (7)
9
monitor pasien ketat untuk respon hemoragik dan kecacatan.
Pemberian Tpa tidak bleh diberikan dalam waktu 24 jam karena dapat
meningkatkan risiko pendarahan pada pasien tersebut (fagan dan hess,
2005)
b. Terapi pemeliharan stroke
Terapi farmakologi mengacu kepada strategi untuk mencegah
kekambuhan stroke. Pendekatan utama adalah mengendalikan
hipertensi, CEA (endarterektomi karotis). Dan memakai obat antgregat
antitrombit. Berbagai study of antiplatelet antiagregat drug dan
banyak meta analisis terhadap obat inhibitor glikoprotein IIb/IIIa jelas
memperlihatkan efektivitas obat antiagrgasi trombosit dalam
mencegah kekambuhan (pricedan wilson, 2006)
c. Standar pelayanan medis RSUD Dr. Moewerdi surakarta tahun 1996
- Memperbaiki oksigenasi jaringan otak dengan mengoreksi
gangguan pernafasan
- Memperbaiki aliran darah ke otak (tekanan darah yang optimal,
kekentalan darah, memperbaiki gangguan fungsi otak) dll
- Anti edema; pada yang baru (kurang dari 10 hari) diberi glycerol,
manitol steroid dan lain lain bila tidak ada kontra indikasi
- Memperbaiki keadaan umum
- Memperbaiki gangguan metabolik (sesuai dengan pemeriksaan
gula, ureum dan lain lain )
- Fisioterapi dan latihan bicara pada afasis
- Untuk memperbaiki metabolisme otak dapat ditambah dengan obat
obat golongan antifibrinolitik misal transamin
- Pada pendarahan dipertimbangkan tindakan operasi
- Pada yang non hemoragik dengan hiperagregasi trombosit, diberi
antiplatelet agregasi misalnya asetosal dan lain lain .
3. Obat yang digunakan dalam terapi stroke
10
a. tPA
efektivitas intravena (IV) dari tPA dalam pengobatan stroke iskemik
telah diperlihatkan di National Institute of Neurologis Disorder and
stroke (NINDS) rt – PA pada percobaan stroke, diterbitkan pada tahun
1995. Pada 624 pasien dirawat dalam jumlah yang sama baik tPA 0,9
mg/kg iv atau plasebo dalam waktu 3 jam setelah timbulnya gejala
neurologis, 39% dari pasien yang diobati mencapai “hasil yang sangat
baik” pada 3 bulan, dibandingkan dengan 26% dari pasien plasebo
(fagan dan hess, 2005)
b. asam asetilsalisilat (asetol, aspirin, aspilet)
disamping khasiat analgetik dan antiradangnya (pada dosis tinggi),
obat anti nyeri tertua ini pada dosis amat rendah berkhasiat merintangi
penggumpalan trombosit.
c. Clopidogrel
Clopidogrel memiliki efek trombosit anagregatori unik dalam hal ini
adalah inhibitor dari adenosine difosfat (ADP) jalur agregrasi
trombosit dan dikenal menghambat rangsanga untuk agegrasi platelet.
Efek ini menyebabkan perubahan membran pratelet dan interferensi
dengan interaksi membran fibrinogenik mengarah ke pemblokiran
platelet reseptor glikoprotein Iib/IIIa. Efek samping clopidogrel adalah
risiko diare dan ruam
d. Dipiridamol
Senyawa dipirimidin berkhasiat menghindarkan agregasi trombosit
dan adhesinya pada dinding pembuluh darah. Juga menstimulasi efek
dan sintesa epoprostenol. Kerjanya berdasarkan fosfodiester, sehigga
cAMP (dengan daya menghambat agregat) tidak diubah dan kadarnya
dalam trombosit meningkat.
4. Kerasionalan terapi
11
Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang dapat
memenuhi kriteria – kriteria tertentu. Adapun kriteria – kriteria tersebut
sebagai berikut:
a. Tepat indikasi
Dapat diartikan bahwa pemilihan obat disesuaikan dengan gejala yang
diderita oleh pasien karena tiap obat memiliki spektrum terapi yang
spesfifik (Depkes RI, 2006)
b. Tepat obat
Pemilihan obat yang benar benar disesuaikan dengan diagnosa penyakit
dan obat harus dapat memberikan terapi yang sesuai dengan penyakit yang
diderita pasien (Depkes RI, 2006)
c. Tepat pasien
Pemilihan obat yang disesuaikan dengan kondisi pasien dikarenakan
respon tiap pasien berbeda – beda terhadap terapi yang diberikan (Depkes
RI, 2006)
d. Terapi dosis
Pemberian obat yang tepat kepada pasien sehingga efek terapi yang
diinginkan dapat tercapai karena pemberian dosis yang berlebihan ataupun
dosis yang kurang tepat tidak dapat menjamin tercapainya target terapi
(Depkes RI, 2006)
12
- Tanda : gangguan tonus otot dan kelemahan umum, gangguan
penglihatan, gangguan tingkat kesadaran
c. Sirkulasi
- Gejala : adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat
hipotensi postural,
- Tanda : Hipertensi, frekuensi nadi bervariasi disritmia
d. Integritas Ego
- Gejala : perasaan tidak berdaya, putus asa
- Tanda : emosi yang labil, kesulitan untuk mengekspresikan
diri
e. Eliminasi
- Gejala : perubahan pola berkemih, distensi abdomen
f. Makanan / Cairan
- Gejala : nafsu makan hilang, mual muntah, kehilangan sensasi,
adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah
- Tanda : kesulitan menelan, obesitas
g. Neurosensori
- Gejala : pusing, nyeri kepala, penglihatan menurun, gangguan
rasa pengecapan dan penciuman.
- Tanda : status mental / tingkat kesadaran : coma ekstremitas
lemah, paralise wajah, aphasia, pendengaran, reflek pupil dilatasi
h. Nyeri / kenyamanan
- Gejala : sakit kepala
- Tanda : tingkah laku yang tidak stabil, gelisah
i. Pernafasan
- Gejala : merokok (faktor risiko)
- Tanda : batuk, ketidakmampuan menelan, hambatan jalan
nafas, ronki
j. Keamanan
13
- Gejala : gangguan dalam penglihatan perubahan persepsi
terhadap orientasi tempat tubuh, gangguan berespon terhadap
panas dan dingin.
k. Interaksi Sosial
- Tanda : gangguan dalam berbicara, ketidakmampuan untuk
berkomunikasi
l. Penyuluhan
- Gejala : adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke,
pemakaian kontrasepsi
14
R/ reaksi mungkin terjadi oleh karena tekanan / trauma serebral
pada daerah vasomotor otak
4. Evaluasi pupil : ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksi terhadap
cahaya
15
10. Kaji adanya kedutan, kegelisahan yang meningkat, peka
rangsang dan serangan kejang
R/ merupakan indikasi adanya meningeal kejang dapat
mencerminkan adanya peningkatan TIK /trauma serebral yang
memerlukan perhatian dan intervensi selanjutnya.
- Kolaborasi
16
R/ menurunkan risiko terjadinya trauma / iskemia jaringan
3. Letakkan pasien pada posisi telungkup satu kali atau dua kali
sehari jika pasien dapat mentoleransinya
R/ membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional
4. Latih pasien untuk melakukan pergerakan ROM atif dan pasif
untuk semua ekstremitas
R/ : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontraktur
5. Gunakan penyangga dengan ketika pasien berada dalam posisi
tegak, sesuai indikasi
R/ : penggunaan penyangga dapat menurunkan resiko
terjadinya subluksasi lengan
6. Evaluasi penggunaan dari / kebutuhan alat bantu untuk
pengaturan posisi
R/ : kontraktur fleksi dapat terjadi akibat dari otot fleksor lebih
kuat dibandingkan dengan otot ekstensor
- Tindakan Kolaborasi
1. berikan tempat tidur khusus sesuai indikasi
2. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latihan
resistif, ambulan pasien
3. Berikan obat relaksan otot, antispasmodik, sesuai indikasi
17
1. Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi
2. Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat
diekspresikan
3. menggunakan sumber dengan tepat
- Intervensi keperawatan
1. Kaji derajat disfungsi
R/ : membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan
serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa
proses komunikasi
2. berikan metode komunikasi alternatif
R/ : memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan
keadaan yang mendasarinya
3. Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien
R/ : bermanfaat dalam menurunkan frustasi bila tergantung
pada orang lain
4. Diskusikan mengenal hal-hal yang dikenal pasien, pekerjaan,,
keluarga, hobi
R/ : meningkatkan percakapan yang bermakna dan
memberikan kesempatan untuk keterampilan praktis
- Kolaborasi
1. Konsultasikan dengan /rujuk kepada ahli terapi wisata
R/ : pengkajian secara individual kemampuan bicara dan
sensori, motorik, dan kognitif berfungsi untuk mengidentifikasi
kekurangan kebutuhan terapi.
3 Perubahan Persepsi Sensori
- Dapat dihubungkan dengan perubahan persepsi sensori transmisi,
integrasi, stres psikologis.
- Kemungkinan dibuktikan oleh disorientasi terhadap waktu, tempat,
orang, perubahan dalam pola perilaku, konsentrasi buruk,
perubahan pola komunikasi, inkoordinasi motor.
18
- Kriteria evaluasi
1. memulai / mempertahankan tingkat kesadaran
2. mengakui perubahan dalam kemampuan
- Intervensi keperawatan
1. Evaluasi adanya gangguan penglihatan
R/ : munculnya gangguan penglihatan dapat berdampak negatif
terhadap kemampuan pasien untuk menerima lingkungan
2. Kaji kesadaran sensorik
R/ : penurunan kesadaran terhadap sensorik dan kerusakan
perasaan berpengaruh buruk terhadap keseimbangan posisi
tubuh
3. Berikan stimulasi terhadap rasa suntikan
R/ : membantu melatih kembali jaras sensorik untuk
mengintegrasikan persepsi
4. Observasi respon perilaku pasien seperti rasa bermusuhan,
menangis, afek tidak sesuai halusinasi
R/ : respon individu dapat bervariasi tetapi umumnya
yang terlihat seperti emosi labil, apatis
5. Lakukan validasi terhadap persepsi pasien
R/ : membantu pasien untuk mengidentifikasi
ketidakkonsistenan dari persepsi dan integrasi stimulus
4 Kurang perawatan diri
- Dapat dihubungkan dengan : kerusakan neuromuskuler, penurunan
kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol, nyeri, depresi
- Kemungkinan dibuktikan leh : kerusakan kemampuan melakukan
ADL
- Kriteria evaluasi
1. mendemonstrasikan teknik untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri
19
2. melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan
sendiri
3. mengidentifikasi sumber pribadi
- Intervensi Keperawatan
1. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan
kebutuhan sehari-hari
R/ : membantu dalam mengantisipasi pemenuhan kebutuhan
secara individual
2. Pertahankan dukungan sikap, yang tegas , beri pasien waktu ya
cukup untuk mengerjakan tugasnya
R/ : Pasien akan memerlukan empati tetap perlu untuk
mengetahui pemberi asuhan yang akan membantu pasien
secara konsisten
3. Kaji kemampuan pasien untuk berkomunikasi tentang
keutuhannya
R/ : tidak dapat mengatakan kebutuhannya pada fase
pemulihan akut tetapi biasanya dapat mengontrol kembali
fungsi sesuai perkembangan proses penyembuhan.
4. Buat rencana terhadap gangguan penglihatan yang ada
- Kolaborasi
1. Berikan obat suppositori dan pelunak feces
R/ : dibutuhkan pada awal untuk membantu menciptakan .
merangsang fungsi defekasi teratur
2. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi
R/ : memberikan bantuan untuk mengembangkan rencana
terapi dan mengidentifikasikan kebutuhan alat penyokong
khusus
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketoka pasokan darah ke suatu bagian otak
tiba tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya alian darah menyebabkan
serangkaian reaksi biokimia yang dapat merusak atau mematikan sel sel otak
(Wikipedia indonesia, 2008)
3.2 Saran
21
Mahasiswa keperawatan dan seorang yang profesinya sebagai perawat
diharapkan mampu memahami dan menguasai berbagai hal tentang stroke seperti
etilogi, patofisiologi, manifestasi klinis, dan lainnya, serta konsep keperawatan
bagi pasien yang menderita stroke, agar gangguan pada sistem persarafan teratasi
dengan baik.
DAFTAR PUSATAKA
Depkes RI, 1996, Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Diknakes, Jakarta.
22
http://v2.eprints.ums.ac.id/archive/img/13359/4/0
https://www.slideshare.net/MamandaPoernomo/askep-cva
23