Anda di halaman 1dari 23

NAMA : ADIA MAWARDI

NPM : 1806010060
UNIT : IV/B

TUGAS EKONOMI PUBLIK II

BAB I
KONSEP ANALISA BIAYA DAN MANFAAT

1. Pengertian Analisis Manfaat-Biaya


Analisis manfaat-biaya adalah suatu pendekatan untuk rekomendasi kebijakan yang
memungkinkan analis membandingkan dan menganjurkan suatu kebijakan dengan cara
menghitung total biaya dalam bentuk uang dan total keuntungan dalam bentuk uang. Analisis
manfaat-biaya dapat digunakan untuk merekomendasikan tindakan kebijakan, dalam arti
diaplikasikan ke depan  (ex ante), dan dapat juga digunakan untuk mengevaluasi
kinerja kebijakan.  Analisis Biaya Manfaat digunakan, terutama ketika masalah EFISIENSI
menjadi sesuatu yang sangat relevan dan diperhitungkan, atau dengan perkataan lain digunakan
untuk mengevaluasi penggunaan sumber-sumber ekonomi agar sumber yang langka tersebut
dapat digunakan secara efisien.
Analisa Biaya Manfaat secara tradisional melambangkan rasionalitas ekonomi karena
kriteria sebagian besar ditentukan dengan penggunaan efisiensi ekonomi secara global. Suatu
kebijakan dikatakan efisien jika manfaat bersih (yaitu total manfaat dikurangi total biaya)
adalah lebih besar dari nol dan lebih tinggi dari manfaat bersih yang mungkin dihasilkan dari
sejumlah alternative penggunaan sumberdaya (investasi) lainnya di sector swasta ataupun
public (opportunity cost).
ABM adalah salah satu teknik yang relatif mudah dilakukan, karena secara sederhana
pengABMilan keputusan dilakukan berdasarkan perhitungan ”untung-rugi” yang dinilai
dengan satuan uang (IDR, US$). Bahkan termasuk yang “intangible” pun diperhitungkan
secara harganya secara rasional dengan satuan uang. Keputusan diABMil apabila “untung”,
atau manfaatnya lebih tinggi ketimbang biayanya.
Dalam melakukan analisis manfaat-biaya yang harus diperhatikan adalah melakukan
hal-hal berikut: (i) Identifying relevant impacts, Melakukan identifikasi hal-hal mana yang
relevan terkena dampak dari kebijakan. Misal: keluasan wilayah, orang-orang/pihak-
pihak.  Pihak-pihak mana yang paling berkepentingan dengan Kebijakan, (ii) Monetizing
impacts,    Mengukur sejauhmana biaya-biaya yang dikeluarkan memberikan kompensasi
yang wajar dengan hasil yang diperolehnya. (iia) Valuing inputs: Mengukur sejauhmana
biaya-biaya yang dikeluarkan memberikan kompensasi yang wajar dengan hasil yang
diperolehnya. (iib) Valuing Outcomes; menilai sejauhmana hasil yang didapatkan melalui
pendekatan opportunity cost atau survey willingness to pay.  (iic) Oportunity cost: Pemilihan
sejumlah sumberdaya yang paling efisien, yang diukur melalui penilaian sejauhmana
sumberdaya itu telah mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk digunakan untuk
menghasilkan hal lain, (iii) Discounting for time and Risk, Menghitung perkiraan nilai hari
ini dari biaya dan manfaat yang akan diperoleh pada masa yang akan datang. Faktor diskonto
didasarkan pada asumsi bahwa nilai uang pada masa yang akan datang pada arus biaya dan
manfaat tidak sama pada setiap tahunnya. (iv) Choosing Among Polices, Memilih kebijakan
yang mendatangkan manfaat (net benefits) yang paling memenuhi criteria yang ditetapkan

2. Pendekatan Menentukan Biaya dan Manfaat


Dalam analisis Manfaat-Biaya, harus ditentukan batas-batas dan ruang lingkup dari biaya-
biaya dan manfaat-manfaat yang diperhitungkan. Beberapa pendekatan yang biasa dilakukan
adalah:
1. Biaya dan manfaat di dalam vs di luar. Mempersoalkan apakah biaya atau manfaat yang
dikeluarkan adalah bersifat internal atau eksternal untuk suatu jenis kelompok sasaran atau
wilayah hukum.  Biaya dan manfaat internal ini disebut internalitas, sedangkan yang di luar
atau eksternal disebut eksternalitas.  Apa yang menjadi biaya atau manfaat di dalam
(internalitas) pada suatu kasus dapat menjadi di luar (eksternalitas) pada kasus lain.
Perbedaan ini tergantung pada bagaimana analis menggABMarkan batasan kelompok sasaran
dan wilayah hukumnya. Jika batasannya masyarakat secara keseluruhan, maka tidak akan ada
eksternalitas. Akan tetapi jika batasannya adalah wilayah hukum tertentu akan
terdapat internalitas maupun eksternalitas. Contoh: program pembangunan perumahan
apartemen (rumah susun) di DKI akan menimbulkan biaya-manfaat bagi wilayah hukum
DKI, dan akan menimbulkan externalitas bagi penduduk yang terkena ‘manfaat’
ataupun  “korban” di wilayah luar DKI, misalnya: berkurangnya orang-orang yang
mengontrak/kost di wilayah mereka, atau berkurangnya wilayah kumuh yang ada di wilayah
mereka .
2. Biaya dan Manfaat yang diukur secara langsung dan
tidak  langsung.  Mempersoalkan apakah biaya atau manfaat adalah nyata (tangible)  atau
tidak nyata (intangible). Ukuran Nyata  adalah biaya dan manfaat yang secara langsung
dapat diukur dengan harga pasar yang sebenarnya dari barang dan pelayanan, sementara
yang tidak nyata adalah biaya dan manfaat yang secara tidak langsung diukur  dengan
cara menafsirkan nilai sebenarnya dari barang itu dengan  patokan harga pasar. Ketika
berhubungan dengan yang tidak nyata seperti harga udara bersih, analis kemungkinan
membuat harga bayangan dengan membuat keputusan subyektif tentang nilai dolar dari
biaya maupun manfaat.
3. Biaya dan manfaat primer dan sekunder. Mempersoalkan apakah biaya atau manfaat itu
dihasilkan secara "langsung" atau "tidak langsung" oleh suatu program, Biaya atau manfaat
primer adalah suatu biaya atau manfaat yang dihubungkan dengan sasaran program yang
paling bernilai, sedangkan biaya atau manfaat sekunder berkaitan dengan sasaran yang
kurang bernilai. Sebagai contoh, program sertifikasi guru. Manfaat langsungnya adalah,
dihasilkannya 2000 guru bersertifikat setiap tahun, dengan biaya 2M rupiah. Manfaat
sekundernya: Peningkatan motivasi pengembangan diri guru, dan dampak biaya sekundernya:
berkurangnya sekian ratus jam mengajar akibat proses sertifikasi yang ketat. 
4. Efisiensi bersih vs. manfaat redistributional.  Mempersoalkan apakah kombinasi biaya
dan manfaat membuat kenaikan dalam agreqat  pendapatan atau hanya menghasilkan
pergeseran pendapatan atau sumberdaya di antara berbagai kelompok yang
berbcda. Manfaat efisiensi bersih adalah manfaat yang mencerminkan kenaikan  "riil" dari
pendapatan bersih (total biaya dikurangi total manfaat),  sementara manfaat
redistribusional adalah manfaat berupa pergeseran yang bersifat semu berupa pendapatan
oleh suatu kelompok dengan konsekuensi pengorbanan (pendapatan yang hilang) dari
kelompok lain tanpa menghasilkan peningkatan efisiensi bersih. Perubahan pada
contoh pertama disebut sebagai manfaat riil atau pada contoh kedua disebut manfaat semu.
Sebagai contoh, program pemugaran lingkungan kumuh kemungkinan menghasilkan $1
juta manfaat efisieasi bersih. Jika pemugaran lingkungan kumuh juga meningkatkan
pendapatan toko-toko grosir kecil di sekitarnya —dan menurunkan penjualan di toko
yang mempunyai jarak labih jauh dari apartemen yang baru dibangun— manfaat dan
biaya dari pendapatan yang diperoleh dan yang hilang  adalah semu. Mereka saling
meniadakan tanpa menghasilkan perubahan dalam manfaatl efisiensi bersih.

3. Tahapan Dalam Pembuatan ABM  


Melakukan analisis manfaat-biaya pada dasarnya sama dengan proses pengABMilan
keputusan pada umumnya, yaitu melalui tahapan-tahapan yang runut yang masing-masing
akan mengantarkan kepada tahapan berikutnya secara berkesinABMungan. Tahapan-tahapan
atau langkah pembuatan ABM adalah sebagai berikut:
1. Perumusan masalah. Perumusan masalah menghasilkan informasi tentang tujuan-tujuan
potensial yang relevan, sasaran, alternatif, kriteria, kelompok sasaran, biaya, dan manfaat
untuk menjadi pedoman dalam analisis. Perumusan masalah dapat menghasilkan
perumusan kembali masalah,
2. Spesifikasi sasaran. Analisis sering dimulai dengan tujuan-tujuan yang bersifat umum,
sebagai contoh, mengendalikan kecanduan kokain. Tujuan, seperti yang telah kita lihat,
harus dijabarkan ke dalam sasaran yang Iebih spesifik dan terukur. Tujuan untuk
mengendalikan kecanduan kokain dapat dijabarkan ke dalam sejumlah sasaran yang
spesifik, sebagai contoh, pengurangan 50% pasokan kokain dalam waktu 5 tahun.
3. Identifikasi alternatif pemecahan masalah. Ketika suatu sasaran telah dispesifikasi,
analis mempunyai asumsi tentang penyebab masalah dan peluang pemecahannya hampir
selalu ditransformasikan ke dalam allernatif kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan
kebijakan.
4. Pencarian, analisis, dan interpretasi informasi Tugas yang di lakukan di sini adalah
menelusur, menganalisis, dan menginterpretasikan informasi yang relevan untuk
meramalkan hasil dari alternatif-alternatif kebijakan. Pada tahapan ini sasaran utama dari
peramaIan adalah biaya dan manfaat dari alternatif kebijakan yang telah diidenlifikasi
pada tahapan sebelumnya. Di sini, informasi dapat diperoleh dari data-data yang tersedia
yang menyangkut biaya dan manfaat dari beberapa program yang sejenis.
5. Identifikasi kelompok sasaran dan pemanfaat. Di sini tugas yang dilakukan adalah
melakukan analisis semua pihak terkait (stakeholder) dengan mendaftar semua
kelompok yang mempunyai peranan dalam setiap isu karena akan dipengaruhi, secara
negatif atau positif, ketika kebijakan diterapkan. 
6. Menafsirkan biaya dan manfaat. Tugas yang mengharuskan penafsiran dalam bentuk
uang atas semua manfaat dan biaya yang akan diperoleh kelompok sasaran dan
pemanfaat. Validitas, reliabilitas dan kelayakan dari jenis pengukuran ini selalu
menimbulkan ketidak-sepakatan.
7. Penyusutan dari biaya dan manfaat. Jika tingkat biaya dan manfaat nyata
diproyeksikan untuk waktu mendatang, penafsir harus menyesuaikan untuk menurunkan
nilai riil dari uang sebagai akibat adanya infglasi dan perubahan-perubahan dalam tingkat
suku bunga di masa mendatang. Nilai nyata dari biaya dan manfaat selalu didasarkan
pada teknik penyusutan, suatu prosedur yang menggABMarkan biaya dan manfaat pada
tingkat harga sekarang. (NPV)
8. Menafsirkan resiko dan ketidak-pastian. Tugas yang dilakukan di sini adalah
melakukan analisis sensitivitas, suatu istilah umum yang merujuk pada prosedur untuk
menguji sensitivitas kesimpulan terhadap asumsi-asumsi alternatif tentang probabilitas
terjadinya perbedaan biaya dan manfaat, atau terhadap faktor penyusutan yang berbeda-
beda. Sangat sulit untuk mengembangkan penafsiran probabilitas yang terpercaya karena
peramalan yang berbeda mengenai hasi! yang sama di masa depan,.
9. Memilih kriteria pengABMilan keputusan. Di sini pekerjaan yang dilakukan adalah
menekankan suatu kriteria atau aturan pengABMilan keputusan untuk memilih antara
dua atau lebih alternatif yang mempunyai perbedaan komposisi biaya dan manfaat.
[Criteria di sini ada enam jenis: efisiensi, efektivitas, kesepakatan, keadilan, daya
tanggap dan ketepatan) . Pilihan kriteria keputusan mempunyai implikasi etis yang
pcnting, karena kriteria keputusan didasarkan pada konsepsi yang berbeda tentang
keharusan moral dan keadilan sosial.
10. Rekomendasi. Tugas terakhir dalam analisis manfaat-biaya adalah membuat
rekomendasi dengan memilih di antara dua atau lebih alternatif. Pilihan alternatif
biasanya tetap saja mengandung persoalan, yang kemudian mengundang analisis kritis
mengenai plausibilitas dari rekomendasi tersebut, memperhitungkan hipotesis kausal dan
etis yang lain yang dapat melemahkan atau mengurangi validitas suatu rekomendasi.

4. Konsep Nilai Uang


Dalam analisa biaya dan manfaat, seorang analis harus mampu menghitung nilai biaya
atau manfaat sampai sekian tahun yang akan datang. Oleh karena nilai uang sekarang dan
yang akan datang boleh jadi sangat berbeda (adanya faktor yang menurunkan harga/nilai
uang  atau terjadi perbedaan karena ada faktor ketidakpastian dan faktor diskonto, yang
biasanya disamakan dengan tingkat bunga), maka perkiraan biaya dan manfaat harus
mempertimbangkan nilai uang yang terkandung dalam suatu proyek atau kebijakan. Hal ini
dilakukan karena akan timbul masalah dalam hal menilai manfaat dan biaya yang akan
diterima pada suatu waktu yang akan datang.. Faktor diskonto dapat dijelaskan dengan
konsep nilai uang yang akan datang (future value) dan nilai uang sekarang (present value).
Apabila mempunyai uang sebesar P0 rupiah yang dibungakan terus menerus dengan
tingkat diskonto i persen per tahun, maka hasil setelah t tahun (Pt) dapat dirumuskan sebagai
berikut :
 

Pt = P0 (1 + i)t . . . . . . .


dengan :
Pt : nilai uang di masa
datang Nilai uang yang akan
P0 : nilai uang sekarang
i : tingkat diskonto, t : tahun diterima beberapa tahun yang
  akan datang nilainya tidak sama
dengan apabila uang tersebut diterima saat ini. Nilai uang sekarang dapat dihitung dengan
menggunakan konsep nilai uang sekarang (merupakan kebalikan dari Persamaan 1) seperti di
bawah ini.
 

P0 = Pt / (1 + i)t . . . . . . ,


dimana:
Pt : nilai uang di masa datang
P0 : nilai uang sekarang BAB II
i : tingkat diskonto, t : tahun PENENTUAN HARGA
 
BARANG PUBLIK

PENGERTIAN KEBIJAKAN HARGA
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Thomas
Dye dalam buku Zainal Abidin Said (2004) menyebutkan kebijakan sebagai pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Definisi ini dibuatnya dengan
menghubungkan pada beberapa definisi lain dari David Easton, Lasswell dan Kaplan,
dan Carl Friedrich. Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan
mengalokasi nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan.” Ini mengandung konotasi
tentang kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan masyarakat. Tidak ada
suatu organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup seluruh masyarakat kecuali
pemerintah. Sementara Lasswell dan Kaplan yang melihat kebijakan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan
dengan tujuan, nilai dan praktek. Carl Friedrich dalam Zainal Abidin Said (2004) 
mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal),
sasaran (objektive) atau kehendak (purpose).
Menurut Moekijat (2003:441) mengenai: “Kebijakan harga adalah suatu keputusan-
keputusan mengenai harga-harga yang akan diikuti untuk suatu jangka tertentu”. Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan harga yang ditetapkan oleh perusahaan, biasanya
kebijakan harga tersebut berlaku untuk sementara waktu saja selama masa menguntungkan
perusahaan. Oleh karena itu perusahaan harus mengikuti perkembangan harga dan situasi
pasar. Unsur harga tersebut dalam waktu tertentu dirubah atau tidak. Apabila selama batas
waktu tertentu keadaan menguntungkan, maka kebijakan harga harga tersebut ditinjau
kembali apabila situasi dan kondisi perusahaan mengalami perubahan, sehingga tidak
mungkin lagi untuk dipertahankan agar produsen maupun konsumen tidak saling dirugikan.
Menurut Kotler dalam bukunya berjudul Manajemen Pemasaran (2002:56). Dalam
Menyusun kebijakan penetapan harga, perusahaan mengikuti prosedur enam tahap penetapan
harga yaitu:
1. Perusahaan memilih tujuan penetapan harga.
2. Perusahaan memikirkan kurva permintaan, probabilitas kuantitas yang akan terjual
pada tiap kemungkinan harga.
3. Perusahaan memperkirakan bagaimana biaya bervariasi pada berbagi level produksi
dan berbagai level akumulasi pengalaman produksi.
4. Perusahaan menganalisa biaya, dan tawaran pesaing.
5. Perusahaan menyeleksi metode penetapan harga.
6. Perusahaan memilih harga akhir.

PROSEDUR PENETAPAN HARGA


Menurut Kotler dalam bukunya berjudul Manajemen Pemasaran (2002:56). Dalam
Menyusun kebijakan penetapan harga, perusahaan mengikuti prosedur enam tahap penetapan
harga yaitu:
1. Memilih Tujuan Penetapan Harga
Perusahaan harus memutuskan dimana ia ingin memposisikan tawaran pasarnya. Semakin
jelas tujuan perusahaan, semakin mudah untuk menetapkan harga. Perusahaan dapat
mengejar salah satu dari lima tujuan utama melalui penetapan harga yakni :
 Berorientasi pada laba –     Mempengaruhi persaingan.
 Beorientasi pada volume –     Stabilisasi harga.
 Berorientasi pada citra / pos –     Tujuan spesifik lainnya.
Perusahaan dapat mengejar kelangsungan hidup sebagai tujuan utama jika mengalami
kelebihan kapasitas, persaingan yang ketat atau keinginan konsumen yang berubah-ubah.
Pada perusahaan yang ingin memaksimalkan pangsa pasar, mereka yakin bahwa volume
penjualan yang tinggi akan menghasilkan biaya per unit yang lebih rendah dan laba jangka
panjang yang lebih tinggi.
2. Penentuan Permintaan
Tiap harga yang dikenakan perusahaan akan menghasilkan level permintaan berbeda-beda
dan karena itu akan memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap tujuan pemasarannya.
Dalam keadaan normal, permintaan dan harga berhubungan terbalik : semakin tinggi harga
semakin rendah permintaan. Dalam mamperkirakan permintaan, perlu dipahami faktor faktor
yang mempengaruhi kepekaan harga.
Nagle telah mengidentifikasi sembilan faktor yaitu:
1. Pengaruh nilai unik : pembeli kurang peka terhadap harga jika produk tersebut lebih
bersifat unik.
2. Pengaruh kesadaran atas produkpengganti
3. Pengaruh perbandingan mutu harga yang sulit
4. pengaruh pengeluaran total pendapatan konsumen
5. pengaruh manfaat akhir, (6) pengaruh biaya bersama
6. pengaruh investasi tertanam
7. pengaruh mutu-harga
8. pengaruh persediaan.
Perusahaan umumnya juga berusaha mengukur kurva permintaan mereka. Dalam
melakukannya mereka dapat menggunakan beberapa metode. Pertama, melibatkan analisis
secara statistik atas data harga masa lalu, jumlah yang terjual, dan faktor lainnya. Pendekatan
kedua adalah melakukan eksperimen harga.
3. Memperkirakan Biaya
Biaya perusahaan ada dua macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah
biaya-biaya yang tidak dipengaruhi oleh produksi atau penjualan. Contoh biaya tetap adalah :
gaji karyawan, biaya sewa, dan lainnya berapapun output produksi perusahaan. Sedangkan
Biaya variabel adalah biaya yang berubah menurut level produksi. Untuk dapat menetapkan
harga dengan tepat, manajemen perlu mengetahui bagaimana biayanya bervariasi bila level
produksinya berubah.
Perusahaan Jepang sering menggunakan metode yang disebut penetepan biaya berdasar
sasaran (target costing) perusahaan menggunakan riset pasar untuk menetapkan fungsi-fungsi
yang diinginkan dari suatu produk baru. Perusahaan kemudian menentukan harga jual produk
tersebut dengan memperhatikan daya tarik produk dan harga pesaing. Perusahaan
mengurangi margin laba yang dinginkan dari harga itu, sehingga diperoleh biaya sasaran
yang harus dicapai.
4. Menganalisis Biaya, Harga, dan Tawaran Pesaing
Dalam rentang kemungkinan harga yang ditentukan oleh permintaan pasar dan biaya
perusahaan. Perusahaan harus memperhitungkan biaya pesaing, harga pesaing dan
kemungkinan reaksi harga oleh pesaing. Jika tawaran perusahaan serupa dengan tawaran
pesaing utamanya, maka perusahaan harus menetapkan harga yang dekat dengan harga
pesaing atau perusahaan tersebut akan kehilangan penjualan. Jika tawaran perusahaan lebih
rendah mutunya, perusahaan tidak dapat menetapkan harga yang lebih tinggi dari pada
pesaing. Jika penawaran perusahaan lebih tinggi mutunya, perusahaan dapat menetapkan
harga yang lebih tinggi dari pada pesaing. Akan tetapi perusahaan harus menyadari bahwa
pesaing dapat mengubah harganya sebagai tanggapan atas harga perusahaan.
5. Memilih Metode Penetapan Harga
Dengan adanya tiga kurva permintaan pelanggan, fungsi biaya, dan harga pesaing,
perusahaan kini harus memilih suatu harga. Harga pesaing dan dan harga barang pengganti
menjadi titik orientasi yang perlu dipertimbangkan perusahaan dalam menetapkan harga.
 Memilih Harga Akhir
Metode- metode penetapan harga mempersempit rentang harga yang harus dipilih perusahaan
untuk menentukan harga akhir. Dalam memilih harga akhir, perusahaan harus
mempertimbangkan berbagai faktor tanbahan, termasuk penetapan harga psikologis,
pengaruh elemen bauran pemasaran lain terhadap harga, kebijakan penetapan harga
perusahaan, dan dampak dari harga terhadap pihak-pihak lain.
 Mengadaptasi harga
Perusahaan biasanya tidak menetapkan harga tunggal melainkan struktur penetapan harga
yang mencerminkan perbedaan berdasarkan permintaan dan biaya secara geografis,
kebutuhan segmen pasar, waktu pembelian, level pemesanan, dan faktor lainnya.
Terdapat beberapa strategi adaptasi harga :
1. penetapan harga per wilayah geografis
2. diskon dan potongan harga
3. penetapan harga promosi
4. penetapan harga diskriminasi, yaitu perusahaan menjual suatu produk pada harga
yang berbeda untuk segmen pasar yang berbeda berdasarkan segmen pelanggan,
bentuk produk, citra, lokasi atau waktu
5. penetapan harga bauran produk, yang mencakup berbagia penetapan harga untuk lini
produk, keistimewaan pilihan, produk pelengkap, produk sampingan, dan bundel
produk.
Ada beberapa alternatif selain menaikkan harga, yang meliputi mengurangi jumlah produk
dari pada menaikkan harga, mengganti dengan bahan atau dengan unsur yang lebih murah,
serta mengurangi atau menghilangkan keistimewaan produk.
Perusahaan yang menghadapi perubahan harga yang dilakukan pesaing harus berusaha untuk
memahami tujuan pesaing dan kemungkinan lamanya perubahan tersebut. Strategi
perusahaan sering bergantung pada apakah perusahaan tersebut memproduksi produk yang
homogen atau tidak homogen. Pemimpin pasar yang diserang oleh pesaing yang berharga
murah dapat memilih untuk mempertahankan harga, menaikkan mutu yang dipersepsikan
atas produk, mengurangi harga, menaikkan harga dan meningkatkan mutu, atau meluncurkan
lini produk petarung yang berharga murah.

TUJUAN KEBIJAKAN HARGA


Pada umumnya perusahaan dalam mengadakan kebijakan harga mempunyai beberapa tujuan.
Tujuan kebijakan harga tersebut dikemukakan sebagai berikut Menurut Lamarto dalam
bukunya berjudul Strategi Pemasaran (2006:314),yaitu:
Berorientasi pada laba.
1. Mencapai target laba investasi atau laba penjualan bersih.
Perusahaan menetapkan harga produknya atau jasa yang diberikan atas dasar sasaran
pencapaian prosentase tertentu untuk pengembalian investasi atau laba penjualan bersih.
Sasaran seperti ini menjadi kacau baik bagi perusahaan maupun pialangnya.
2. Memaksimalkan laba.
Sasaran penetapan harga atau dasar menghasilkan uang sebanyak-banyaknya mungkin
merupakan sasaran yang paling banyak dianut oleh perusahaan. Dalam teori ekonomi atau
praktek bisnis, tidak ada yang salah dengan sasaran seperti ini. Secara teoritis apabila laba
menjadi terlalu besar karena penawaran lebih kecil dibandingkan permintaan, modal baru
akan tertanam dalam bidang usaha ini. Dengan sendirinya hal ini akan mengurangi laba
sampai setingkat normal.
Berorientasi pada penjualan.
Meningkatkan volume penjualan.
Sasaran penetapan harga biasanya dinyatakan dalam prosentase kenaikan volume penjualan
selama periode tertentu. Katakanlah satu tahun atau tiga tahun. Para pengecer
mendayagunakan sasaran semacam ini. Sewaktu mereka berusaha meningkatkan penjualan
tahun lalu dengan prosentase tertentu. Namun untuk meningkatkan volume penjualan
mungkin bisa atau tidak bisa taat dengan konsep pemasaran yang dianut volume penjualan
yang menguntungkan. Di satu pihak, sasaran perusahaan bisa meningkatkan volume
penjualan tetapi dengan tetap mempertahankan tingkat labanya. Disegi lain, manajemen bisa
memutuskan dan meningkatkan volume penjualannnya melalui strategi penetapan harga yang
agresif dengan kerugian. Dalam hal ini manajemen bisa memutuskan untuk pendek dengan
perhitungan bahwa melalui peningkatan volume penjualan dapat menancapkan kakinya
dalam pasar.
Mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar.
Perusahaan yang mempunyai sasaran penetapan harga tipe ini memutuskan perhatian pada
upaya mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar. Satu sektor yang membuat sasaran
ini tercapai adalah perusahaan biasanya dapat menentukan pangsa pasar apa yang diinginkan.
Dalam beberapa hal, pangsa pasar merupakan indikator kondisi perusahaan yang lebih baik
dibandingkan dengan target laba investasi artinya, sasaran penetapan harganya yang lebih
baik. Hal ini bisa terjadi terutama pada waktu pasar total sedang berkembang dan perusahaan
bisa memperoleh laba yang bisa diharapkan. Akan tetapi jika manajemen tidak mengetahui
bahwa pasar sedang berkembang, akibatnya pangsa pasar perusahaan bisa mengalami
kemunduran.
Berorientasi pada status quo.
1. Menstabilkan harga.
Stabilitas harga sering menjadi sasaran industri-industri yang mempunyai pemimpin harga
( price leader )
2. Menangkal persaingan.
Banyak perusahaan, tidak tergantung dari besar kecilnya, secara sadar memberi harga
produknya untuk memenangkan persaingan. Meskipun perusahaan sudah besar, hanya
mempunyai peranan yang kecil dalam menentukan harga pasar.
Dari pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan ditetapkannya
kebijakan harga, maka tujuan yang hendak dicapai adalah:
1. Mencapai target laba atau laba tertentu.
2. Memaksimalkan laba.
3. Meningkatkan penjualan.
4. Mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar.
5. Mentabilkan harga.
MACAM-MACAM KEBIJAKAN HARGA
Berikut ini merupakan penjelasan dari macam-macam kebijakan harga harga tersebut di atas:
Potongan dan kelonggaran (discount and allowance)
Potongan dan kelonggaran adalah hasil pengurangan dari harga dasar atau harga tercatat atau
harga terdaftar (list prices). Sedangkan menurut Tjiptono ( 2007 ) diskon merupakan
potongan harga yang diberikan oleh penjual kepada pembeli sebagai penghargaan atas
aktivitas tertentu dari pembeli yang menyenangkan bagi penjual.
1. Strategi penetapan-penetapan harga geografis
Dalam menetapkan harga produk, seorang penjual harus mempertimbangkan pula biaya
angkutan dari pabrik sampai ke pembeli. Faktor ini menjadi bertambah penting, karena biaya
angkutan sekarang dimasukkan ke dalam biaya variabel total. Kebijakan harga penetapan
harga bisa mencakup tiga variasi: pembeli menanggung seluruh biaya angkutan, atau penjual
menanggung seluruh biaya angkutan atau dapat juga ditanggung kedua belah pihak.

BAB 3
THEORETICAL LINKAGE DESENTRALISASI FISKAL DAN PERTUMBUHAN
EKONOMI
Bagaimanakah sebenarnya hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan
ekonomi, sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan yang cukup luas dalam berbagai
literatur. Secara intuitif, desentralisasi fiskal dapat mendorong efisiensi ekonomi dan secara
dinamis akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Oates, 1993), (Martinez dan
Macnab, 1997). Mereka berargumen bahwa pengeluaran untuk infrastruktur dan sektor sosial
akan efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah, karena daerah
mengetahui karakteristik daerahnya masing-masing.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sudah dilakukan sejak tanggal 1 Januari
2001. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintahan daerah memiliki
wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam
menetapkan prioritas pembangunan. Diharapkan dengan adanya otonomi dan desentralisasi
fiskal dapat lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan daerah untuk
mengembangkan wilayah menurut potensi masing-masing.
Adapun tujuan dari ditetapkannya kebijakan ini adalah berdasar UU No. 32 Tahun
2005, "Upaya peningkatan kesejahteraan penduduk daerah, peningkatan pelayanan publik
dan peningkatan daya saing daerah..". dentralisasi fiskal yang diterapkan ini diharapkan akan
membantu pemerintah daerah dalam ketersediaan dana yang dapat digunakan untuk
mengembangkan derahnya, dengan asumsi bahwa pemerintah daerah sudah jauh lebih
mengetahui apa yang menjadi kebutuhannya dan dapat mengelola penggunaan dana lebih
baik dibandingkan sistem terpusat.
Wujud dari desentralisasi fiskal ini adalah adanya dana perimbangan. Dana
perimbangan merupakan sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,
transparan dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi. Dana
perimbangan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah serta besaran
pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Komponen dalam dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang
merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi; Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berfungsi untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional; serta Dana Bagi Hasil (DBH) yang dialokasikan pada daerah berdasar
persentase tertentu dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Setelah diterapkan, evaluasi kebijakan desentralisasi fiskal memunculkan beberapa
fakta yaitu maraknya kasus korupsi oleh Kepala daerah dan anggota DPRD hampir diseluruh
daerah. Selanjutnya pemekaran daerah yang terjadi dimana sekarang ada 502 Dati II dan 33
Dati I. Kemudian adanya tumpang tindih peran pemerintah daerah akibat ketidakpastian
dalam pengelolaan dana perimbangan.
Dari beberapa paparan tersebut, dapat dilihat terjadinya ketidakefektifan dalam
penyelenggaraan desentralisasi fiskal di Indonesia. Beberapa penyebab ketidakefektifan ini
adalah pengelolaan dana perimbangan yang kurang tepat sasaran, seperti alokasi dana DAU,
DAK dan DBH yang kurang memberikan hasil maksimum. Lalu jumlah pembagian dana
perimbangan yang didasrkan pada luas wilayah menjadi kurang tepat, mengingat terjadinya
trend pemekaran wilayah yang terjadi di Indonesia dan membuat pengalokasian terhadap
dana perimbangan tersebut menjadi kurang efektif. Komponen bermasalah lainya terletak
pada komponen jumlah penduduk. Komponen jumlah penduduk dirasa kurang baik sebagai
salah satau pos perhitungan pembagian dana perimbangan, hal ini dikarenakan membuat para
kepala daerah menjadi pro natalitas untuk meningkatkan dana perimbangan yang akan
diterimanya. Lalu faktor SDM di daerah yang belum mampu mengelola dana perimbangan
ini dengan maksimal, akibatnya walaupun jumlah dana perimbangan besar namun hasil dari
pengelolaan dana tersebut tidak maksimal.
Hubungan penerapan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan perekonomian suatu
daerah juga masih mengalami hubungan yang negatif, contohnya Kalimantan Timur. Dikenal
sebagai penghasil minyak dan batubara terbesar seIndonesia tidak menjadikan perekonomian
Kaltim tumbuh pesat seiring kebijakan desntralisasi fiskal diterapkan. Selama hampir tiga
tahun, 2006-2009, PDB Kaltim mengalami penurunan. Sebagian besar penyebabnya adalah
ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam mengelola dana perimbangan ditengah akibat
kualitas SDM yang belum mampu mengelolanya.

BAB IV
KONSEP DESENTRALISASI

Desentralisasi adalah penyerahan Kekuasaan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat


kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. pengertian ini sesuai dengan Undang-
undang nomor 23 tahun 2014. Dengan adanya desentralisasi maka muncul otonomi bagi
suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian
yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya
dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini sering kali dikaitkan
dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan
perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa
desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan
kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa
ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Adanya desentralisasi akan
berdampak positif pada pembangunan daerah-daerah tertinggal dalam suatu negara hingga
daerah otonom tersebut dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan
nasional.
Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada
dalam teritoir tertentu. Suatu masyarakat yang semula tidak berstatus otonomi melalui
desentralisasi menjadi berstatus otonomi dengan menjelmakannya sebagai daerah otonom.
Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh pemerintah kepada
masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah. 
Ketegasan pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subjek dan
bukan objek. Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom.
Baik dalam definisi daerah otonom maupun otonomi daerah mengandung elemen wewenang
mengatur dan mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi
daerah yang diselenggarakan secara konseptual oleh Pemerintah Daerah.    Dalam banyak
hal, desentralisasi dan otonomi adalah kata yang saling bisa dipertukarkan. Otonomi berasal
dari kata Yunani autos dan nomos. Kata pertama berarti “sendiri”, dan kata kedua berarti
“perintah”. Otonomi bermakna “memerintah sendiri”. Dalam wacana administrasi publik
daerah otonomi sering disebut sebagai local self government.
Konsep desentralisasi menurut Webster (dalam Prakoso, 1984:77) memberikan
rumusan desentralisasi sebagai berikut: To decentralize means to devide and distrubute, as
governmental administration, to withdraw from the center or concentration. (Desentralisasi
berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya administrasi pemerintahan, mengeluarkan
dari pusat atau tempat konsentrasi)    
Kemudian pendapat lainnya Fortmann (dalam Bryant 1989:215) menekankan
bahwa : Desentralisasi juga merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas
lokal. Kekuasaan dan pengaruh cenderung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu badan
lokal diserahi tanggung jawab dan sumber daya, kemampuannya untuk mengembangkan
otoritasnya akan meningkat. Jika pemerintah lokal semata-mata ditugaskan untuk mengikuti
kebijakan nasional, para pemuka dan warga masyarakat akan mempunyai investasi kecil
saja didalamnya.
Selanjutnya mengutip pendapat Riggs (dalam Sarunjang 2000:47) menyatakan bahwa
desentralisasi mempunyai dua makna:
Pelimpahan wewenang (delegation) yang mencakup penyerahan tanggung jawab
kepada bawahan untuk mengambil keputusan berdasar kasus yang dihadapi, tetapi
pengawasan tetap berada ditangan pusat. 
1. Pengalihan kekuasaan (devolution) yakni seluruh tanggung jawab untuk kegiatan
tertentu diserahkan penuh kepada penerima wewenang.

BAB 5
THE TRADISIONAL DAN NEW PERSPECTIVES TEORITIS

Dalam teori tentang desentralisasi fiskal terdapat dua perspektif teori yang
menjelaskan dampak ekonomi dari desentralisasi, yaitu menurut traditional theories dan new
perspective theories (Khusaini, 2006). Traditional theories menekankan pada keuntungan
alokatif dari desentralisasi, dimana sumber informasi dan pengetahuan atas kebutuhan serta
kondisi daerah lebih dikuasai oleh daerah sehingga pengambilan keputusan tentang
kebutuhan dan aspirasi masyarakat lebih baik dilakukan oleh pemerintah daerah.
Sedangkan new perspective theorities menekankan pada pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap perilaku pemerintah daerah. Implikasi teori ini adalah desentralisasi akan
mempengaruhi kinerja keuangan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Daerah yang
memiliki tekanan fiskal tinggi, maka dorongan masyarakat kepada pemerintah daerah untuk
mengubah struktur belanja semakin kuat (Halim, 2001). Daerah-daerah yang keadaan
kapasitas fiskalnya rendah, cenderung mengalami tekanan fiskal yang kuat.
Rendahnya kapasitas fiskal mengindikasikan adanya tingkat kemandirian daerah yang
rendah. Pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan pendapatannya melalui
pengelolaan sumber daya yang dimilikinya. Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah
dengan memberikan porsi belanja daerah yang lebih besar pada sektor-sektor yang produktif.
Strategi alokasi dan efisiensi belanja ini terbukti mampu memicu pendapatan dan
pertumbuhan ekonomi daerahnya. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa daerah dengan
kapasitas fiskal yang rendah (tekanan fiskal tinggi), dituntut lebih selektif dan efisien dalam
mengalokasikan dananya. Sehingga, kebijakan belanja yang diambil akan lebih produktif dan
efisien. Setidaknya, dengan belanja yang lebih kecil akan mampu mendapatkan PAD dan
pertumbuhan ekonomi yang optimal dibandingkan dengan daerah dengan nilai belanja yang
jauh lebih tinggi (tekanan fiskal rendah).

BAB 6
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL DAN EFISIENSI EKONOMI ANTARA
NEGARA MAJU DAN NEGARA SEDANG BERKEMBANG
Pengertian Desentralisasi dan Pembagiannya
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara,
yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses
pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada
tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak
(taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih
oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002).
Wallace Oates dalam Decentralization Theorem-nya menyatakan bahwa barang
publik yang ditentukan pada wilayah dan populasi tertentu, dan dengan biaya yang sama pada
setiap tingkat output barang selalu lebih efisien disediakan oleh pemerintah lokal/daerah
daripada disediakan oleh pemerintah pusat. Adanya penerapan tata pemerintahan
desentralisasi mempunyai dampak ekonomi pada suatu negara. Dalam hal ini, didukung oleh
dua perspektif teori yaitu traditional theories (First-Generation Theories) dan new perspective
theories (Second Generation Theories). Pada traditional theories menekankan dua keuntungan
utama dari desentralisasi yaitu penggunaan informasi yang lebih efisien karena pemerintahan
daerah yang lebih dekat dengan masyarakat, memungkinkan masyarakat dalam memilih
barang dan jasa publik sesuai dengan selera dan keinginan masyarakat. Sedangkan untuk new
perspective theories menjelaskan pengaruh desentralisasi terhadap perilaku pemerintah
daerah yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah.
Jenis Jenis Desentralisasi
Secara umum desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik (political
decentralization), desentralisasi administratif (administrative decentralization), desentralisasi
fiskal (fiscal decentralization), desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi fiskal terdiri dari 2 kata, yaitu desentralisasi dan fiskal. Desentralisasi
mengacu pada “pembalikan konsentrasi administrasi pada pemerintah pusat dan penyerahan
kekuasaan ke pemerintah lokal” (Smith 1985 : 1) atau sebagai “proses penyerahan kekuasaan
politik, fiskal dan administratif kepada unit pemerintah subnasional” (Burki et al 1993 : 3).
Pemindahan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintah yang lebih dekat
dengan masyarakat merupakan dasar dari desentralisasi. Oleh karena itu, desentralisasi dapat
dikatakan sebagai sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan negara yaitu memberikan
pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik
yang lebih demokratis.
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi.
Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan
dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus
didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman,
maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002).
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani
hal-hal sebagai berikut :
1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
enforcement;
2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
Khusus desentralisasi fiskal, Bird dan Vaillancourt (2000) menyebutkan tiga variasi
desentralisasi dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang
dilakukan daerah.
Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam
lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah.
Kedua, delegasi yang berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak
sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama
pemerintah.
Ketiga, pelimpahan (devolusi) yang berhubungan dengan suatu situasi yang bukan
saja bersifat implementatif tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu
dikerjakan berada di daerah.
Litvack and Seddon (1998) di dalam Mauludin (2008) menyebutkan tiga pendekatan
sebagai dasar di dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu:
1. Pendekatan penerimaan
Pendekatan penerimaan (income approach) mempunyai arti bahwa daerah diberi
kewenangan untuk memungut pajak atau menyerahkan proporsi tertentu dari penerimaan
pusat. Di samping itu terkadang dimodifikasi dengan tambahan transfer dana yang bersifat
umum dan khusus untuk mengkompensasi perbedaan di dalam potensi penerimaan. Sisi
penting yang perlu diperhatikan dalam desentralisasi fiskal tidak hanya pada sisi penerimaan
saja, tetapi juga perlu dilihat dari sisi pengeluaran (expenditure approach).
2. Pendekatan pengeluaran
Pendekatan pengeluaran diartikan bahwa daerah diberi kewenangan untuk
menetapkan pengeluarannya, selanjutnya akan dibiayai sebagian atau seluruhnya melalui
transfer. Transfer tersebut dapat berupa pinjaman, hibah (grant), atau bagi hasil (revenue
sharing). Dan terakhir pendekatan pengeluaan ini tidak terlepas dari mekanisme pengelolaan
keuangan daerah. Manajemen keuangan daerah yang baik akan meningkatkan efisiensi dan
efektifitas penggunaan dana-dana yang ada. Dengan demikian daerah perlu menyusun
rencana pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, dan dilaksanakan
dengan lebih transparan dan akuntabel.
3. Pendekatan komprehensif.
Pendekatan komprehensif dilakukan dengan cara menyelaraskan potensi penerimaan
dengan besarnya penerimaan dengan besarnya pengeluaran (expenditure needs). Dengan
pendekatan ini kewenangan di bidang penerimaan dan pengeluaran, dengan asumsi tertentu,
diserahkan kepada daerah secara bersamaan. Apabila terjadi ketimpangan antara potensi
penerimaan dan besarnya tanggung jawab pengeluaran yang didelegasikan maka pemerintah
pusat akan menutupnya dengan hibah atau pinjaman.

Ciri-ciri Negara Maju


1. Memiliki Pendapatan Perkapita Yang Tinggi
Negara yang maju memiliki pendapatan per kapita yang tinggi tiap tahunnya. Dengan
memiliki pendapatan per kapita yang tinggi, nilai ekonomi negara tersebut akan terdongkrak.
Oleh karena itu, jumlah kemiskinan bisa diatasi.
2. Keamanan Sudah Terjamin
Tingkat keamanan negara maju sudah lebih terjamin jika dibandingkan dengan negara
berkembang. Hal ini juga merupakan efek samping dari canggihnya teknologi di negara maju.
Dengan teknologi yang canggih, fasilitas keamanan dan teknologi persenjataan juga turut
berkembang menjadi lebih baik. 
3. Terjaminnya Kesehatan
Selain terjaminnya keamanan, kesehatan pada sebuah negara maju juga sudah terjamin. Hal
ini ditandai dengan berbagai fasilitas kesehatan yang memadai, seperti rumah sakit dan
petugas medis yang terlatih dan handal. Oleh karena itu, angka kematian pada negara maju
bisa ditekan dan harapan hidup penduduknya bisa tinggi. Selain itu, dengan adanya fasilitas
kesehatan yang memadai, perkembangan penduduk di negara maju juga bisa terkontrol. 
4. Kecilnya Angka Pengangguran
Di negara maju, angka pengangguran tergolong kecil karena setiap penduduknya bisa
mendapatkan pekerjaan. 
5. Menguasai IPTEK
Penduduk negara maju cenderung sudah sangat menguasai IPTEK. Oleh karena itu, dalam
kehidupan sehari-hari, mereka juga sudah menggunakan teknologi canggih dan alat-alat
modern untuk mempermudah kehidupan sehari-hari. 
6. Tingkat ekspor lebih tinggi dibanding impor
Tingkat ekspor di negara maju lebih tinggi dibandingkan tingkat impor karena unggulnya
SDM dan teknologi yang dimiliki. 
Contoh negara maju antara lain adalah Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang.

Ciri-Ciri Negara Berkembang


1. Pendapatan per tahun yang cenderung rendah
Pendapatan per tahun di negara berkembang tidak sebesar negara maju karena masih
tingginya angka pengangguran.
2. Keamanan Tidak Terjamin
Tidak seperti di negara maju, keamanan di negara berkembang masih sangat minim dan tidak
layak. Oleh karena itu, angka kriminalitas di negara maju juga masih tergolong tinggi.
3. Fasilitas Kesehatan Minim 
Fasilitas kesehatan di negara berkembang juga tergolong minim. Belum banyaknya fasilitas
kesehatan yang layak pakai menyebabkan penduduk di negara berkembang lebih rentan
terserang penyakit. Oleh karena itu, angka kematian di negara berkembang juga lebih besar
dibanding angka kematian di negara maju, yang kemudian mengakibatkan rendahnya angka
harapan hidup. 
4. Perkembangan Penduduk Tidak Terkendali
Negara berkembang mempunyai jumlah rata-rata penduduk yang sangat besar dibandingkan
negara maju karena tidak terkendalinya perkembangan penduduk. Hal ini juga merupakan
akibat dari minimnya edukasi dan fasilitas kesehatan. 
5. Besarnya Angka Pengangguran
Di negara berkembang, angka pengangguran masih tergolong tinggi karena lowongan
pekerjaan yang tersedia masih belum tersebar secara merata. Selain itu, tingkat pendidikan
yang kurang merata juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan besarnya angka
pengangguran. 
6. Impor lebih tinggi dibanding ekspor 
Dikarenakan rendahnya pengelolaan SDA dan SDM negara berkembang, negara berkembang
lebih sering membeli barang dari luar negeri.
Contoh negara berkembang antara lain Indonesia, Brazil, dan hampir seluruh negara Afrika.

BAB 7
KONSEP PENGANGGARAN FISKAL

A. Pengertian Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal (fiscal policy) atau yang biasa juga disebut kebijakan anggaran adalah

suatu kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal pemasukan dan

pengeluaran pendapatan negara dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara.

Kebijakan fiskal didasarkan pada kebijakan yang dibuat dan disusun oleh pemerintah untuk
mengelola dan mengarahkan perekonomian suatu negara melalui pengeluaran dan

pemasukan pemerintah yang dapat berupa pajak.

Kebijakan fiskal diterapkan dan digunakan oleh pemerintah dengan merancang anggaran

negara atau yang biasa disebut dengan APBN dan mengubah angka-angka yang terdapat di

dalam APBN guna memperoleh kondisi perekonomian negara yang sesuai dengan tujuan

penyusunan APBN. Di dalam kebijakan fiskal terdapat 2 macam instrumen yaitu

pengeluaran yang dilakukan pemerintah dan pajak.

Contoh kebijakan fiskal yang diterbitkan oleh pemerintah yaitu:

 Kenaikan harga pajak dari berbagai macam pajak yang ada di Indonesia

 Masyarakat Indonesia wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

 Pemerintah menetapkan obligasi (surat pinjaman dengan bunga tertentu dari

pemerintah yang dapat diperjualbelikan)

 Penghematan pengeluaran anggaran oleh negara

B. Tujuan Kebijakan Fiskal

Dibentuknya kebijakan fiskal oleh pemerintah memiliki tujuan tersendiri bagi negara.

Secara umum, tujuan dikeluarkannya kebijakan fiskal adalah:

 Untuk memperbaiki kondisi perekonomian negara agar menjadi lebih baik. Dengan

adanya kondisi ekonomi yang baik pada suatu negara maka sektor-sektor usaha

dapat mengalami kemajuan sehingga berdampak pada peluang kesempatan kerja

yang juga akan meningkat. Hal ini dapat mengurangi pengangguran yang ada di

Indonesia.

 Kebijakan fiskal dalam bentuk anggaran dapat digunakan oleh pemerintah untuk

mengatasi masalah inflasi yang datang secara tiba-tiba dan untuk mengendalikan

harga-harga yang ada. Secara umum kebijakan ini digunakan untuk menstabilkan

harga-harga yang naik saat inflasi berlangsung.

 Untuk mendistribusikan dan pemerataan pendapatan masyarakat di seluruh wilayah

negara Indonesia sehingga keadilan sosial bagi warga negara dapat tercapai. Hal ini

berguna untuk memberantas akan terjadinya kesenjangan sosial.


C. Jenis-jenis Kebijakan Fiskal

Berdasarkan jumlah pemasukan dan pengeluarannya, kebijakan fiskal dibagi menjadi 3

jenis yaitu:

1. Kebijakan Anggaran Surplus

Kebijakan anggaran surplus merupakan kebijakan pemerintah dimana pendapatan atau

pemasukan yang didapatkan oleh pemerintah tidak digunakan seluruhnya untuk

pengeluaran. Hal ini akan menyebabkan tabungan pemerintah menjadi bertambah.

Kebijakan anggaran surplus bekerja dengan cara pemasukan atau pendapatan anggaran

harus lebih besar daripada pengeluaran.

Adanya inflasi yang berlangsung menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Kenaikan harga

terjadi karena jika dibandingkan, nilai uang lebih banyak daripada barang. Kebijakan

anggaran surplus bekerja sebaliknya yaitu menekan pengeluaran pemerintah yang suatu saat

dapat menekan dan mengurangi permintaan barang atau jasa dari para konsumen secara

total. Dengan demikian, angka inflasi dapat turun secara bertahap.

2. Kebijakan Anggaran Berimbang

Kebijakan anggaran berimbang merupakan kebijakan dimana pemasukan atau pendapatan

negara harus sama besar atau seimbang dengan pengeluaran negara yang disusun. Dalam

kebijakan ini, pemerintah harus menyesuaikan pengeluaran yang dilakukan dengan

pemasukan yang didapat.

3. Kebijakan Anggaran Defisit

Kebijakan anggaran defisit merupakan kebijakan pemerintah dimana pengeluaran anggaran

lebih besar dari pendapatan atau pemasukan yang didapatkan. Sehingga kebijakan anggaran

defisit merupakan kebalikan dari kebijakan anggaran surplus.

Pemerintah mengatasi pengeluaran yang lebih besar dari pendapatan dengan memakai

pinjaman baik itu pinjaman dari pihak dalam negeri maupun dari pihak luar negeri. Ada 4

cara yang digunakan untuk mengukur kebijakan anggaran defisit antara lain:

a. Defisit Primer : perhitungan defisit berdasarkan selisih antara belanja diluar

pembayaran pokok dan bunga hutang dengan total pendapatan.


b. Defisit Operasional : perhitungan defisit yang perhitungannya diukur dalam nilai

riil, bukan dalam nilai nominal.

c. Defisit Konvensional : perhitungan defisit berdasarkan selisih antara total

pembelanjaan dengan total pengeluaran termasuk hibah.

d. Defisit Moneter : perhitungan defisit berdasarkan selisih antara total pendapatan

dengan total pembelanjaan negara. Pembayaran pokok atau hutang tidak termasuk

ke dalam total pendapatan dan piutang tidak termasuk ke dalam total pembelanjaan

negara.

Kebijakan Anggaran Defisit yang diterapkan dapat membantu mengatasi kondisi ekonomi

negara yang terpuruk. Meskipun demikian, pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah di

dalam kebijakan anggaran defisit, membuktikan bahwa anggaran negara selalu dalam

kondisi yang kekurangan. Demikian informasi tentang kebijakan fiskal, semoga bermanfaat

bagi Anda.

Anda mungkin juga menyukai