Anda di halaman 1dari 13

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

PENYELIDIKAN GEOFISIKA, GEOLOGI, DAN GEOKIMIA PADA


PANAS BUMI NON-VULKANIK DI PULU SULAWESI TENGAH

Mauludin Kurniawan1*
Nunik Rezkiarti Janat2
Moh. Dahlan Th. Musa3
Romli Alfian Febrianto 4
Azmi Maulana5
Rahmania 6
1
Jurusan Fisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
2
Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
3
Jurusan Fisika Universitas Tadulako, Palu, Indonesia
4
Geoforensics Research Group, Yogyakarta, Indonesia
5
Jurusan Teknik Geologi Institut Sains dan Teknologi AKPRIND, Yogyakarta, Indonesia
6
Jurusan Fisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
* mauludin.kurniawan@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK
Salah satu alternatif sumberdaya energi yang ada adalah panas bumi. Di Lembah Palu banyak dijumpai
manifestasi panas bumi berupa mataair panas, diantara dapat ditemukan di Pulu, Mapane, Kabuliburo,
Sibalaya, Limba, Walatana dan Simoro dengan temperature antara 40-950C dengan pH netral (6.5 – 8,6).
Kehadiran manifestasi mataair panas ini diakibatkan oleh tatanan geologi lembah palu yang kompleks.
Struktur geologi di Lembah Palu dikontrol oleh kehadiran sesar palu koro. Sumber panas berasosiasi
dengan batuan terobosan yang tidak muncul dipermukaan. Pada umumnya mata air panas di daerah ini
termasuk ke dalam tipe air panas bikarbonat yang sebagian berupa “immature waters” seperti Sibalaya,
Walatana, Limba dan Simoro, sedangkan Pulu, Mapane dan Kabuliburo berada didaerah “partial
equilibrium” Estimasi temperatur bawah permukaan sekitar 1800 C.
Di daerah penelitian dilakukan pengukuran geofisika berupa metode geomagnet dan metoda geolistrik
tahanan jenis Vertical Elektrical Sounding (VES). Penelitian ini bertujuan (1) Untuk mengidentifikasi
kedalaman curie sumber panas bumi berdasarkan data geomagnet, (2) gambaran keadaan struktur bawah
permukaan berdasarkan data geomagnet dan geolistrik.
Berdasarkan peta kontur anomali medan magnet, diperoleh nilai anomali magnet tinggi (210 nT), dan
anomali magnet rendah (-10 nT). Teknik analisis untuk geomagnet yang digunakan adalah teknik analisis
spektrum untuk memperoleh kedalaman dan model perlapisan kedalaman sumber panas bumi didaerah
penelitian. Hasil pengolahan data dengan analisis spektrum, dapat diestimasi kedalaman sumber panas
bumi (Z0) sekitar 1-2,6 km di bawah permukaan laut. Berdasarkan data geolistrik diperoleh hasil berupa
hasil berupa : keadaan bawah permuaan daerah pulu terdiri atas 5 lapisan dan dijumpai sesar. Berdasarkan
analis second verticale derivative (SVD) didaerah penelitian dijumpai sesar.
Kata kunci : Curie Depth, Geomagnet, Geolistrik, Second Vertical Derivative (SVD)
1. Pendahuluan
Meningkatnya permintaan energi mendorong kita untuk menemukan sumber energi baru
(energi alternatif). Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan sumber energi
panas bumi. Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan di bebatuan di bawah
permukaan bumi. Pemanfaatan energi panas bumi untuk sektor non-listrik (penggunaan
langsung) telah digunakan di Islandia selama 70 tahun. Sementara, saat ini energi panas bumi
telah dieksploitasi untuk pembangkit listrik di 24 negara, termasuk Indonesia.
Sumber daya panas bumi banyak ditemukan di Indonesia yaitu sekitar 250 daerah
kenampakan panas bumi dengan potensi sekitar 27.000 MWe. Salah satunya terletak di Sulawesi
1435
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Tengah, yaitu lapangan panas bumi Pulu di Kabupaten Sigi. Sebuah studi tentang sumber panas
bumi di daerah tersebut telah dilakukan oleh Bakrun dkk. (2003) bahwa lapangan panas bumi
Pulu termasuk sebagai daerah dengan sumber panas bumi yang dapat dikembangkan sebagai
energi alternatif untuk selanjutnya.
Guna mengetahui daerah potensi sumber panas bumi yang memenuhi kriteria untuk
dieksploitasi maka diperlukan kajian yang koprehensip. Pada penlitian ini dilakukan penelitian
terpadu geofisika, geologi, dan geokimia. Data geofisika yang digunakan merupakan data
geomagnet dan data geolistrik. Untuk data geomagnet yaitu data sekunder yang diperoleh dari
ESDM, dan data geolistrik merupakan data primer yang diperoleh langsung dari pengukuran di
lapangan. Sementara data geologi dan geokimia merupakan data sekunder.
Keberadaan manifestasi geothermal di wilaya penelitian erat kaitannya dengan
keberadaan sesar palu-koro. Sesar palu koro merupakan salah satu sesar aktif yang berada
dipulau sulawesi yang memiliki panjang kurang lebih 250 km dengan kecepatan pergerakan 14-
17 mm/tahun. Pergerakan tersebut mengotrol munculnya sumber mataair panas yang ada di
lembah palu khususnya daerah pulu (Surdajat, 1981). Kontrol sesar terhadap keberadaan mata air
panas di daerah penelitian ini membuat daerah ini menjadi unik, karena pada umunya sumber
geothermal yang ada di Indonesia tersebar pada jalur gunungapi. Sementara sekitar 20 persen
dari sumber geothermal yang ada terletak di luar jalur gunungapi dan sebagian besarnya tersebar
di Sulawesi Tengah, Selatan dan Tenggara (Suhanto, dkk., 2003).
Penelitian geofisika di area penelitian menggunakan metode geolistrik dan geomagnetic
pernah dilakukan oleh Bakrun et al. (2003) untuk memetakan anomali panas bumi. Akan tetapi
kedalam sumber panas bumi (curie depth point) belum diketahui. Mengacu pada teori yang
diusulkan oleh Bhattacharyya (1966) dan evelopedby Spectorand and Grand (1970), Blakely
(1988,1995), Tanaka et al. (1999), Francisco and Antonio (2003), Ross et al. (2006), and
Espinosa-Cardena and Campos-Enriqez (2008) dalam Aboud et al. (2011) penentuan kedalaman
sumber anomali dapat direpresentasikan dari penentuan kedalaman titik curie (Curie depth point)
berdasarkan data geomagnet. Pada penelitian tersebut juga belum dilakukan deliniasi terhadap
daerah yang diperkirakan sebagai sesar yang mengontrol keberadaan manifestasi panas bumi
yang ada.
Data geomagnet yang ada dianalisis menggunakan teknik analisis spectrum dan First
Horizontal derivative (FHD). Teknik analisis spektrum digunakan untuk mengestimasi
kedalaman sumber panas bumi (Curie depth). Penentuan titik curie berdasarkan data anomali
magnetic menggunakan analisis spectrum telah dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya
seperti Madem (2010), dan Aboud, et al. (2011). Untuk mendeliniasi keberadaan sesar
digunakan teknik analisis First Horizontal derivative (FHD) seperti yang pernah dilakukan oleh
Bournas dkk. (2001).
2. Metode Penelitian
Studi pada daerah penelitian ini, menggunakan 3 pendekatan yaitu dari aspek geofisika,
geologi, dan geokimia. Pada aspek geofiska digunakan 2 metode geofisika yaitu metode
geomagnet dan metode geolistrik. Teknik analisis yang digunakan pada metode geomagnet yaitu
dengan mengggunakan analisis first horizontal derivative (FHD) dan analisis spektrum. Analisis
FHD digunakan utuk menentukan batas anomali yang kemudian diinterpretasi sebagai sesar.
Sedangkan pada analisis spektrum digunakan sebagai penentuan depth curie untuk mengetahui
Heat Source.
Salah satu metode geofisika yang biasa digunakan untuk pemetaan anomali pada daerah
geothermal adalah metede geomagnet. Pada lapangan geothermal, metode geomagnet digunakan
untuk menentukan variasi magnetik. Variasi magentik disebabkan oleh ketidakhomogenan sifat
1436
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

magentik pada kulit Bumi. Batuan pada daerah system geothermal umumnya memiliki
magnetisasi yang kecildibandingkan dengan batuan disekitarnya. Hal ini disebabkan oleh
demagnetisasi oleh proses alterasi hidrotermal, dimana mengubah mineral magnetic yang dari
paramagnetik menjadi diamagnetik. Anomali magnetik rendah dapat diinterpretasikan sebagai
daerah potensial reservoir dan sumber panas (Sumintadireja, 2012).
2.1. Analisis first horizontal derivative (FHD)
Terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan sebelum melakukan analisis FHD. Pertama
adalah melakukan kontinuasi keatas (upward continuation), hal ini dilakukan untuk memisahkan
anomali regional dan residual. Anomali regional kemudian direduksi ke kutub (RTP) untuk
membawa anomali magnetik tepat diatas sumber anomali. Hasil tersebut kemudian digunakan
untuk analisis FHD. Analisis FHD digunakan untuk mengdeliniasi sumber anomali.
Salah satu tahapan yang paling penting pada interpretasi data medan potensial dalam hal ini
data magnetik adalah menentukan informasi horizontal dan kedalaman sumber anomali, pada
studi kasus ini digunakan pada data magnetik. Gagasan utama dari FHD adalah body magnetik
3D dengan mempertimbangkan efek magnetik yang ditimbulkan dari dua bodi yang saling
terhubung. Berdasarkan Roest, dkk., (1992) dalam Bournas, dkk., 2001 sinyal analitik dari
anomali magnetik M dari sumber 3D dapat didefinisikan sebagai vektor kompleks (persamaan
XX). Komponennya terdiri atas sinyal analitik dari x dan y, i adalah nilai kompleks, dan
adalah vektor unit pada arah x, y, dan z (Bournas and Baker, 2001).

(1)

Dari persamaan (1) diatas, maka amplitudo sinyal analitik dapat dihitung dengan menerapkan
persamaan (2) berikut:

(2)

Pada studi kasus 2D, persamaan (2) disederhanakan menjadi:

(3)

Dengan menerapkan persamaan persamaan (1) diatas maka perhitungan gradient horizontal
anomali magnetik dinyatakan dalam persamaan (4) berikut:
(4)

Dimana Mh representasi gradien horizontal dari M pada arah h yang diperoleh dari dekomposisi
dari dua komponen orthogonal pada persamaan (5):
(5)

Dimana and ,

Berdasarkan persamaan. (3) amplitudo sinyal analitik x dan y dapat ditulis kembali menjadi
persamaan (6) dan (7):

(6)

1437
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

dan

(7)

Besarnya sinyal analitik gradien horizontal dapat diperoleh dengan menerapkan berikut:

(8)

2.2. Analisis spektrum


Analisis spektrum digunakan untuk mengestimasi Curie Depth Point (CDP), dimana pada
titik ini mineral magnetik kehilangan sifat magnetiknya. Pada penelitian ini, perhitungan CPD
berdasarkan power spectrum menggunakan relasi matematika yang diusulkan oleh Blakely
(1995) yaitu:
(9)
Dimana A adalah amplitude, B adalah konstanta, k adalah kecepatan radial.
Okubo dkk. (1985) dalam Aboud (2011) mengusulkan sebuah algoritma untuk
memperkirakan kedalaman basal, yaitu:
Zb = 2Zo - Zt (10)
Dimana kedalaman centroid (Z0) diperoleh dari skala kemiringan radial rata-rata power
spektrum di bagian bilangan gelombang tinggi, dan kedalaman ke atas (Zt) diperoleh dari
kemiringan radial rata-rata power spektrum anomali magnetik dibagian bilangan gelombang
rendah (Gambar 1). Spektrum densitas daya dihitung untuk setiap lintasan. Dari power spektrum
anomali total, kemudian Z0 dapat diestimasi dari persamaan (11):

(11)

Dengan memasang garis lurus melalui bilangan gelombang tinggi dan rendah dari power
spektrum radial rata-rata ln A dan k, ln (A/k) dan k, maka nilai Zt, Z0 dapat diestimasi. Sinyal
gelombang yang tertangkap pertama pada saat pengukuran merupakan sinyal gelombang untuk
batas kedalaman sumber panas bumi (Z0), dan selanjutnya merupakan sinyal gelombang untuk
kedalaman atas. Oleh sebab itu plot grafik Z0 di lakukan pada nilai bilangan gelombang awal dan
Zt pada bilangan gelombang dibawahnya. Dengan demikian, kedalaman basal (Zb) kemudian
dapat diketahui.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Geologi regional
Struktur geologi wilayah Pulau Sulawesi khususnya di wilayah studi umumnya dipengaruhi
oleh pergerakan beberapa lempeng benua kecil ke arah barat. Salah satunya adalah pengaruh
kontinental Banggai-sula, yang menghasilkan sesar Sinistral, seperti sistem sesar Palu-Koro
(Surono, 2013). Sesar Palu-Koro dijumpai di lengan selatan Sulawesi yang berorientasi ke barat
laut-tenggara. Istilah sesar Palu-Koro disebabkan oleh sesar ini yang melintasi sungai Palu dan
Koro. Di darat, Sesar Palu-Koro dicirikan dengan adanya lembah sesar yang datar pada bagian
dasarnya. Lembah ini memiliki lebar mencapai 5 km di sekitar Palu, dan dindingnya mencapai
ketinggian 1500-2000 m. Di laut, sesar ini dicirikan oleh kelurusan batimetri (Sidarto and Bahri,
2010).

1438
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Menurut Sukido, dkk (1993) dalam Peta Geologi Regional Lembar Pasangkayu (Gambar 2)
daerah penelitian tersusun atas 5 satuan batuan dari tua ke muda, yaitu:
1) Batuan Kompleks Gumbasa (Rjgg)
Satuan ini terdiri atas granit genesan, diorit genesan, genes, dan sekis. Satuan ini
berumur Trias - Jura
2) Formasi Latimojong (Kls)
Formasi ini terdiri dari perselingan batupasir malih dengan batusabak dan filit,
setempat bersisipan batulempung meta. Formasi ini diperkirakan berumur Kapur.
3) Batuan terobosan (Tmpi)
Batuan terobosan ini berupa intrusi granit, yang memiliki penyebaran sangat luas.
Terbentuk pada Kala Miosen Tengah.
4) Formasi Pakuli (Qp)
Formasi ini terdiri dari konglomerat dan batupasir, setempat ditemukan batulempung
karbonatan. Formasi ini berumur Plistosen-Holosen.
5) Endapan aluvium (Qa)
Endapan ini terdiri dari lempung, pasir, kerikil, dan kerakal yang belum mengalami
konsolidasi. Endapan ini mulai terbentuk pada Holosen dan masih berlangsung hingga
sekarang.
Struktur geologi regional yang terdapat pada Daerah Pulu, yaitu Sesar Palu-Koro. Sesar ini
memiliki panjang ± 240 km, dengan arah memanjang dari Utara (Palu) ke Selatan (Malili)
hingga mencapai Teluk Bone. Sesar ini bersifat sinistral dan aktif dengan kecepatan sekitar 25-
30 mm/tahun (Kertapati, 2001 dan Permana, 2005 dalam Kaharudin 2011).
Menurut Bakrun, dkk (2003), berdasarkan data-data dan bukti yang terdapat di lapangan,
ada sekitar 7 buah sesar utama yang merupakan struktur kontrol geologi panas bumi yang
berkembang pada daerah penelitian, meliputi kelurusan, sesar geser normal yang berarah
baratdaya – timurlaut, serta sesar-sesar normal berarah hampir utara-selatan. Sesar utama yang
melewati daerah peralihan adalah merupakan bagian dari sesar utama Palu-Koro yang berarah
barat laut – tenggara, berupa sesar geser sinistral (strike slip fault) yang telah membentuk depresi
sebagai Graben Palu.
Pada beberapa tempat akibat dari proses tektonik daerah ini menghasilkan sesar-sesar
sekunder, yaitu Sesar Pulu, Sesar Rogo, Sesar Suluri, Sesar Bangga, Sesar Pakuli, Sesar Pandere,
dan Sesar Binanga. Guna menegetahui pola-pola kelurusan yang terdapat didaerah penelitian
digunkan data DEM (Digital Elevation Model) yang berasal dari ASTER GDEM (Advanced
Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model)
dengan resolusi 30 meter. Dari data DEM menunjukan, pola kemenerusan dari geomorfologi
daerah penelitian yang berorientasi dari SW (N 230 E - N 250 E) dan NE (N 50 E - N 70 E).
3.2. Geokimia
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Bakrun, dkk (2003) diketahui bahwa mata air
panas di daerah Pulu dan sekitarnya seluruhnya termasuk ke dalam tipe air bikarbonat (Gambar
3), sedangkan hasil ploting dalam diagram segitiga Na/1000-K/100-√Mg menunjukkan sebagian
termasuk pada daerah “partial equilibrium” yaitu mata air panas Pulu –1, Pulu2, Mapane dan
Kabuliburo (Gambar 3). Hal ini mencirikan air panas di daerah . Sedangkan mata air panas
Limba, Sibalaya, Saluri-Walatana dan Simoro termasuk dalam daerah “immature waters“, hal

1439
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

ini menunjukkan adanya pengaruh air permukaan atau air meteorik cukup dominan dan
pemunculan mata air panas di daerah Pulu dan sekitarnya berada di lingkungan vulkanik pada
batuan granit dan sekis.
3.3. Geofisika
3.3.1. Metode geomagnet
Data magnetik yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari ESDM dalam bentuk
nilai medan magnetik hasil pengukuran lapangan yang selanjutnya diproses melalui beberapa
langkah berikut: (1) dilakukan koreksi nilai medan magnet yang bertujuan untuk menghilangkan
pengaruh medan magnet bumi dan medan magnet luar (2) dilakukan kontinuasi ke atas untuk
memisahkan anomali regional dan residual (3) dilakukan Reduce to Pole (RTP), untuk membawa
arah pengaruh magnetik tepat berada di atas sumber anomali. (4) Selanjutnya dilakukan analisis
spectrum untuk memperkirakan Curie Point Depth (CPD), yakni kedalaman dimana mineral
magnetik kehilangan sifat kemagnetannya.
Data medan magnet dikoreksi untuk menghilangkan pengaruh medan magnet bumi (IGRF)
dan medan magnet eksternal (koreksi variasi Diurnal). Gambar 5 menyajikan hasil anomali
magnetik total yang telah dikoreksi. Nilai anomali tertinggi di daerah penelitian adalah 180 nT
dan nilai terendah adalah -160 nT. Anomali magnetik tinggi memiliki kecenderungan ke arah
barat laut-tenggara, cenderung sejajar dengan struktur wilayah lembah Palu.
Hasil analisis FHD diperoleh pada gambar 6. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai nol
(ditandai dengan warna putih) adalah batas kontak antara kontras anomali rendah dan tinggi.
Batas kontak diinterpretasikan sebagai zona sesar di daerah tersebut.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, kemudian diverifikasi oleh peta struktur geologi di daerah
yang sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa peneliti lainnya. Gambar 7a. merupakan peta
FHD yang diperoleh dalam penelitian ini diplot pada peta struktur geologi yang diperoleh oleh
Rusydi (2011) menggunakan Landsat ETM +, ASTER, dan Ikonos. Gambar 7.b. merupakan peta
FHD yang diplot pada peta geologi yang diilustrasikan oleh ESDM. Kedua peta struktur geologi
tersebut sesuai dengan hasil analisis FHD. Nilai nol yang terletak di daerah tersebut ditunjukkan
sebagai zona sesar. Analisis FHD membuat informasi yang jelas tentang batas anomali yang
ditafsirkan sebagai sesar. Namun, analisis FHD belum bisa menentukan jenis sesar yang
ditampilkan.
Analisis berikutnya adalah analisis spektrum, analisis ini digunakan sebagai penentuan depth
curie untuk mengetahui Heat Source. Data input analisis spektrum terdiri dari beberapa
parameter, yaitu nilai frekuensi dan amplitudonya yang diperoleh dari pengolahan sinyal analitik.
Nilai amplitudo yang diperoleh, kemudian dibuat grafik estimasi kedalaman heat source (seperti
pada Gambar 1). Grafik tersebut dibuat dengan memasukan nilai ln A dengan nilai k sesuai
berdasarkan Persamaan 9. Berdasarkan grafik tersebut kemiringan garis dari setiap grafik
tersebut adalah estimasi nilai kedalaman untuk kedalaman atas (Zt) dan kedalaman sumber panas
bumi (Z0).
Kedalaman atas (Zt) diperoleh dengan menggunakan metode curve fitting yaitu dengan
memotong dan mengambil garis lurus dari bilangan gelombang tinggi ke rendah. Sedangkan
untuk nilai kedalaman sumber panas bumi (Z0) dengan mengambil garis lurus untuk grafik antara
ln A/k dengan k dari bilangan gelombang tinggi ke rendah. Kedalaman basal (Zo) atau biasa
disebut Curie point depth (CPD) yang dihitung dengan menggunakan Persamaan 10.
Pada penelitian ini penghitungan nilai kedalaman dibuat beberapa slice agar nilai kedalam
pada setiap wilayah dapat terpetakan secara akurat (mengacu pada Gambar 8). Hasil nilai
kedalaman yang diperoleh dari beberapa slice yang dibuat kemudian dirata-ratakan untuk
1440
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

mendapatkan masing-masing nilai kedalaman dari setiap lapisan di wilayah tersebut.


Berdasarkan hasil slice diperoleh nilai kedalaman atas (Zt) rata-rata 47.5 m, nilai kedalaman
basal (Zb) rata-rata 599.5 m, dan kedalaman sumber panas bumi (Z0) rata-rata 323.5 m (dapat
dilihat dari tabel 1).
3.3.2. Metode geolistrik
Data geolistrik yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari pengukuran langsung
dilapangan. Data yang dikumpulkan menggunakan konfigurasi Sclumberger yang terdiri atas 4
titik pengukuran. Jarak antara titik pengukuran sekitar 100 – 150 m dengan AB/2 = 100 m. Hasil
pengukuran menunjukan nilai resistivitas dan ketebalan pada setiap lapisan. Guna mempermudah
interpretasi maka dibuat penampang yang mengkorelasikan antara nilai resistivitas dan
kedalaman pada tiap titik pengukuran yang ditunjukan pada gambar 8.
Berdasarkan gambar 8 menunjukan terdapat 5 lapisan yang terdapat didaerah penelitian,
yaitu:
1) Lapisan pertama merupakan lapisan tanah penutup dengan ketebalan 1-2,7 m.
2) Lapisan kedua bertahanan jenis 69,3 - 242 ρm dan ketebalan 3 – 8m, terdiri dari lempung
dan lempung pasiran yang diselingi oleh konglomerat dan batu pasir pada banyak tempat.
3) Lapisan ketiga bertahanan jenis 1004,4 – 3998,2 ρm dan ketebalan 6 – 8 m, diduga terdiri
dari pasir, kerikil, kerakal dan konglomerat dengan sisipan lempung pasiran. Dari nilai
faktor formasinya yang besar, lapisan ini merupakan aquifer dengan tingkat kelulusan
yang tinggi. Kontak dengan lapisan di bawahnya merupakan ketidakselarasan.
Berdasarkan struktur geologi yang ada, serta mempertimbangkan nilai tahanan jenis dan
ketebalan/kedalaman dari setiap lapisan serta ketiga prinsip dasar dalam Hukum Steno,
diduga kedua lapisan tersebut terpotong pada bagian Barat oleh adanya sesar antara titik
S1 dan S2. Sesar ini diduga sebagai bagian dari sesar aktif.
4) Lapisan keempat bertahanan jenis 17,3 ρm pada titik S1 dan 20,8 – 164,5 ρm pada titik
lainnya, diduga lapisan ini terdiri dari batupasir. Lapisan ini berada pada kedalaman lebih
dari 15 m dari permukaan setempat, kecuali pada titik S1 berada dekat permukaan akibat
adanya pengangkatan oleh batuan terobosan.
5) Lapisan kelima bertahanan jenis 557 – 1545 ρm, diduga merupakan lapisan yang
mendasari lapisan di atas, tediri dari granit, diorit dan granodiorit dan bersifat
solid/impermeable yang berasal dari batuan terobosan bersifat sangat padu dan kompak.
Hal ini menunjukkan bahwa lapisan ini sulit untuk meluluskan air, kecuali di zona
pelapukan, retak, dan sesar.
Survei geolistrik dilakukan dekat dengan manifestasi mata air panas yang ditemukan di area
penelitian. Adanya sumber air panas di permukaan diprediksi berasal dari celah akibat gerakan
sesar. Sesar terlihat jelas dari profil geolistrik yang diperoleh antara titik S1 dan S2. Menurut
Bakrun dkk. (2003) suhu air panas sekitar 40-95o C.
4. Kesimpulan
Sistem panas bumi pada daerah penelitian merupakan sistem panas bumi non-vulkanik
dengan kontrol utama didominasi oleh sesar-sesar yang ada didaerah penelitian diantaranya
Sesar Pulu, Sesar Rogo, Sesar Suluri, Sesar Bangga, Sesar Pakuli, Sesar Pandere, dan Sesar
Binanga.
Hasil FHD yang diinterpretasi sebagai sesar maupun sesar-sesar aktual yang terlihat
dipermukaan diperkirakan erat kaitannya dengan keberadaan sumber mataair panas yang
ditemukan di daerah penelitian. Dimana sumber mataair panas yang dijumpai umumnya berada
1441
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

tepat di atas sesar-sesar tersebut. Sesar yang ada diperkirakan menjadi jalur keluarnya airpanas
dari bawah permukaan.
Berdasarkan hasil studi ini diperoleh korelasi yang cukup kuat antara analisis FHD dan
sinyal analitik terhadap sesar didaerah penelitian. Dari analisis ini menunjukan eksistensi dari
kontrol sesar terhadap manifestasi geothermal pada daerah penelitian dan kedalaman dari sumber
panas (curie depth point). Hasil nilai kedalaman yang diperoleh dari beberapa slice yang dibuat
kemudian dirata-ratakan untuk mendapatkan masing-masing nilai kedalaman dari setiap lapisan
di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil slice diperoleh nilai kedalaman atas (Zt) rata-rata 47.5 m,
nilai kedalaman basal (Zb) rata-rata 599.5 m, dan kedalaman sumber panas bumi (Z0) rata-rata
323.5 m. Berdasarkan analisis sebaran Hg dan CO2 didaerah penelitian (Bakrun, dkk, 2003)
menunjukan pada sisi Barat daerah penelitian memiliki nilai konsentrasi Hg dan CO2 yang tinggi
sedangkan pada sisi Timurnya memeliki konstrasi yang rendah. Tingginya konsentrasi Hg dan
CO2 menandakan daerah tersebut merupakan gampangnya gas tersebut keluar kepermukaan
karena didaerah tersebut bersifat porous, dan mengindikasi kekar kekar / pensesaran, dan
kedalaman heat sourcenya yang relatif dangkal.
Berdasarkan data geokimia yang menunjukan dearah penelitian memiliki tipe air bikarbonat
dan menunjukkan sebagian daerah “partial equilibrium”. Hal ini menandakan daerah ini berada
diantara zona upflow sampai outflow. Hal ini didukung dengan data geofisika yang
memperlihatkan banyaknya zona sesar yang mengontrol manifestasi panas bumi . Yaitu pada
sesar Sesar Pulu, Sesar Rogo, Sesar Suluri, Sesar Bangga, Sesar Pakuli, Sesar Pandere, dan
Sesar Binanga.

Daftar Pustaka
Bakrun, Herry Sundhoro, Bangbang Sulaeman, Ario Mustang, Solaviah, 2003, Penyelidikan
Terpadu Panas bumi Pulu Kabupaten Donggala, Kolokium Hasil Kegiatan Inventarisasi
Sumber Daya Mineral, Bandung.
Blakely. Richard J., 1996, Potential Theory in Gravity and Magnetic Applications, Cambridge
University. New York.
Bournas, N., dan Baker, H.A., 2001, Interpretation of Magnetic Anomalies Using the Horizontal
Gradient Analytic Signal, Annali DI Geofisica, 3, 44, Algeria.
Essam Aboud, Ahmed Salem, Mahmoud Mekkawi, 2011, Curie depth map for Sinai Peninsula,
Egypt deduced from the analysis of magnetic data, Jurnal Tectonophysics Vol. 506,
Jeddah.
Kaharuddin, M.S., Hutagalung, R., dan Nurhamdan, 2011. Perkembangan Tektonik dan
Implikasinya Terhadap Potensi Gempa dan Tsunami di Kawasan Pulau Sulawesi.
Procedings JCM Makassar 2011 The 36th HAGI and 40th IAGI Annual Convention and
Exhibition.
Sidarto, dan Bachri. S. 2013. Geologi Sulawesi. LIPI Press. Jakarta
Sumintadireja, Prihadi, 2012. Vulkanologi dan Geotermal. Catatan kuliah. ITB.
Surono, 2013. Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Badan Geologi, Kementrian Energi dan
sumber daya mineral, Bandung.
Sukido, D. Sukarna., K. Sutisna, 1993. Peta Geologi Lembar Pasangkayu, Sulawesi skala 1:
250.000, Direktorat Geologi, Bandung.

1442
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Rusydi, M., 2011. Pengembangan Metode Aplikasi Citra Multispectral untuk Kajian Risiko
Bencana Gempabumi di Graben Palu, Disertasi: Universitas Gadjah Mada.

Gambar 1. Kemiringan power spectrum (a) Ln A versus k untuk estimasi nilai Zt, (b) Ln (A/k)
versus k untuk mengestimasi nilai Z0 (Aboud, 2011).

Gambar 2. Lokasi daerah penelitian dalam Peta Geologi Regional Lembar Pasangkayu (Sukido dkk,
1993).

1443
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

(A) (B)

Gambar 3 a). Peta kelurusan struktur geologi di daerah Pulu, b). Diagram mawar struktur
geologi di daerah Pulu.

(A) (B)

Gambar 4. a). Diagram tipe air panas Daerah Panas Bumi Pulu (kiri) dan, b). diagram kandungan
relatif Na, K, Mg Daerah Panas Bumi Pulu (kanan) (Bakrun, dkk, 2003).

Gambar 5. Total anomali medan magnet diclapangan Panas Bumi Pulu. Medan magnet bumi
(IGRF) dan medan magnet eksternal (variasi Diurnal) telah dihilangkan. Garis solid

1444
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

ungu menunjukkan pengukuran geoelistrik dan titik merah menunjukkan titik


pengukuran geomagnet.

Gambar 6. Peta First Horizontal Derivative (FHD) dari anomali megnetik. Garis tebal hitam
menunjukan sesar yang diperkirakan.

Gambar 7. Overlay peta hasil FHD dengan indikasi sesar dengan peta geologi struktural. a) Dibuat
oleh Rusydi (2011) menggunakan data Landsat ETM +, ASTER, dan Ikonos. b) Dibuat
oleh ESDM. Garis merah menunjukkan zona sesar normal dan aktual. Garis kuning

1445
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

menunjukkan zona sesar geser. Garis putus-putus kuning mewakili zona prediksi sesar.

Gambar 8. Penapang korelasi dari geolistrik konfigurasi sclumberger. S1, S2, S3, dan S4
menunjukan lokasi titik pengukuran.

Gambar 9. Model konseptual sistem panas bumi lapangan pulu berdasarkan sayatan geologi regional
(sumber: peta geologi lembar pasangkayu, 1993).

1446
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Tabel 1. Nilai kedalaman setiap lintasan diagonal yang dititik setiap area

zb zt zo
Area 1 560.5233 36.12333 298.3233
Area 2 525.745 27.24 276.4925
Area 3 678.1667 41.275 348.0733
Area 4 654.8717 55.91333 367.04
Area 5 578.255 77.015 327.635
Rata-rata 599.5 47.5 323.5

1447

Anda mungkin juga menyukai