E-mail: puttyjn@gmail.com
adp000@gmail.com
Abstrak
Dicanangkannya target swasembada gula untuk tahun 2014 mengharuskan industri gula di Indonesia
untuk meningkatkan produksinya. Namun, kondisi industri gula selama beberapa dekade terakhir ini
terlihat mengalami penurunan produktivitas. Hal ini merupakan ancaman bagi tercapainya target dari
swasembada gula tersebut. Penelitian ini merupakan analisis mengenai produktivitas dengan
menggunakan pendekatan total factor productivity (TFP) dan untuk mengetahui determinan yang
mempengaruhi pertumbuhan TFP dalam industri gula di Indonesia. Dari hasil analisis ditemukan
bahwa keadaan industri gula di Indonesia pada periode 1993-2011 mengalami penurunan produktivitas
akibat dari macetnya adopsi teknologi. Sesuai dengan sifat industri gula di Indonesia yang bersifat
capital intensive, variabel yang signifikan mempengaruhi terjadinya perubahan teknologi yaitu;
investasi mesin dan pemakaian energi (listrik).
Kata Kunci: Industri Gula, Total Faktor Produktivitas, Growth Accouting, Data Panel, Capital
Intensive.
Abstract
The establishment of sugar self-sufficiency target for 2014 requires sugar industry in Indonesia to boost
its production. However, for the last few decades sugar industry in Indonesia is experiencing decreased
in productivity that pose a threat to the achievement of self-sufficiency target. This paper analyzes
productivity in sugar industry by using the approach of total factor productivity (TFP) in order to find
determinant factors that affect TFP growth in the industry. It was found that during 1993-2011, sugar
industry in Indonesia experiencing a decreased in productivity as a results from lack of technology
adoption. The nature of sugar industry in Indonesia which is capital intensive shows that there are two
variables that significantly affect the changes of technology; i.e. investment of machinery and the use
of energy (electricity).
Keywords: Sugar Industry, Total Factor Productivity, Growth Accounting, Panel Data, Capital
Intensive.
Pendahuluan
Gula merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang juga merupakan salah
satu komoditas pangan strategis, yang keberadaannya sangat penting bagi masyarakat
Indonesia. Semenjak zaman penjajahan Belanda, Indonesia telah memproduksi gula
dengan menggunakan bahan baku dari tebu. Secara historis, industri gula merupakan
salah satu industri yang keberadaanya tergolong tua di Indonesia, hal ini terlihat dari
Nilai rendemen merupakan kadar kandungan gula di dalam tebu yang dinyatakan
dalam persen. Jadi apabila nilai rendemen 10%, berarti bahwa setiap 100kg tebu yang
digiling di pabrik gula akan menghasilkan gula sebanyak 10kg. Nilai rendemen yang
semakin tinggi akan mengindikasikan bahwa teknologi pertanian dan produksi yang
diterapkan baik di sisi on-farm maupun off-farm memiliki kualitas yang semakin baik.
Gambar (1.1) memperlihatkan perkembangan nilai rendemen dari tahun 1930-2011,
dimana pada periode 1993-2011 yang merupakan periode penelitian menunjukkan
adanya kecenderungan yang menurun dengan nilai rendemen di tahun 2011 hanya
mencapai 7,35%. Apabila dibandingkan dengan nilai rendemen di periode 1930-1940
yang merupakan benchmark dari penelitian ini, nilai rendemen di periode tersebut
mampu mencapai nilai 11-12,8%, jauh berbeda dengan nilai rendemen pada beberapa
tahun terakhir yang hanya berkisar 6-7%.
Padahal seharusnya teknologi pertanian dan produksi yang digunakan di tahun 2011
lebih maju dibandingkan dengan teknologi yang digunakan pada tahun 1930. Namun
pada kenyataannya, menghasilkan nilai rendemen yang jauh lebih rendah. Hal ini
mengindikasikan bahwa memang terdapat permasalahan dalam perubahan teknologi
yang terjadi pada industri gula di Indonesia. Perkembangan nilai rendemen yang
memiliki kecenderungan menurun ini berimplikasi pada menurunnya tingkat produksi
yang dihasilkan oleh industri gula di Indonesia. Salah satu dampak yang signifikan
dari adanya penurunan produksi ini adalah berubahnya posisi Indonesia yang pada
awalnya merupakan negara pengekspor gula kedua terbesar di dunia setelah Kuba
menjadi negara pengimpor gula kedua terbesar di dunia setelah Rusia (Sulastri, 2011).
Kecenderungan produksi yang menurun dengan laju -3,03% per tahun ini tidak
sejalan dengan meningkatnya konsumsi dengan laju pertumbuhan sebesar 2,47% per
tahun. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini pada akhirnya mendorong
volume impor yang memiliki kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya (Susila
dan Sinaga, 2005).
Tinjauan Pustaka
Variabel kemajuan teknologi (A) dianggap sebagai variabel lain yang berperan dalam
mempengaruhi output selain akumulasi dari pertumbuhan input-inputnya secara fisik.
Menurut Chauldhuri (1989), kemajuan teknologi mencakup segala hal yang dapat
membuat suatu pekerjaan dilakukan dengan lebih baik atau suatu teknik baru yang
digunakan untuk membuat penggunaan sumber daya menjadi lebih produktif. Dalam
teori neoklasik, terdapat beberapa pandangan mengenai definisi dari kemajuan
teknologi tersebut. Jorgensen (1996) mengatakan bahwa kemajuan teknologi adalah
suatu faktor yang melekat pada salah satu inputnya, yaitu tenaga kerja (embodied
technological progress), dengan menggunakan tenaga kerja yang semakin sedikit
jumlahnya dapat dihasilkan output yang sama. Pandangan lain mengatakan bahwa
kemajuan teknologi merupakan autonomous variable yang dapat menyebabkan
pergeseran dalam fungsi produksi secara keseluruhan. Kemajuan teknologi dalam
fungsi produksi dipandang tidak melekat pada variabel apapun, namun dapat
menyebabkan pergeseran kemajuan teknologi dalam fungsi produksi. Pergeseran
fungsi produksi yang dimaksud disini adalah jumlah output dapat meningkat
walaupun jumlah input yang digunakan tetap. Inilah yang kemudian disebut sebagai
total factor productivity (TFP).
Salah satu metode yang paling sering digunakan dalam penelitian untuk mengukur
TFP adalah growth accounting. Kannan (2011) mengatakan bahwa metode growth
accounting biasa digunakan untuk mengukur TFP karena kemudahannya untuk
Metode Penelitian
Untuk mendapatkan nilai TFP maka sebelumnya harus dilakukan estimasi melalui
pengaplikasian fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi Cobb-Douglas yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Q = A Kα Lβ Iγ
Dimana Q adalah hasil produksi yang dilakukan oleh perusahaan
A adalah total factor productivity (TFP)
K adalah jumlah dari modal perusahaan yang terdiri dari modal tanah,
gedung, mesin, kendaraan, dan modal lainnya
L adalah jumlah tenaga kerja yang berpartisipasi dalam proses produksi yang
terdiri dari tenaga kerja produksi dan tenaga kerja nonproduksi
I adalah nilai input bahan baku yang merupakan nilai dari seluruh bahan
baku dan biaya lainnya yang dikeluarkan dalam proses produksi
α adalah elastisitas output terhadap perubahan modal
β adalah elastisitas output terhadap perubahan tenaga kerja
γ adalah elastisitas output terhadap perubahan input
Untuk mendapatkan nilai dari koefisien elastisitas output terhadap modal, tenaga kerja
dan input maka persamaan diatas harus diubah ke dalam bentuk sebagai berikut:
Selain ketiga variabel diatas (modal, tenaga kerja, dan input bahan baku), TFP (A)
diasumsikan turut mempengaruhi pertumbuhan output, namun karena data mengenai
TFP tidak dapat diobservasi secara langsung maka data TFP akan baru diperoleh
setelah dilakukan estimasi regresi untuk mendapatkan nilai dari koefisien-koefisien
elastisitas output terhadap masing-masing input. Koefisien-koefisien tersebut
kemudian digunakan dalam perhitungan dengan metode growth accounting sehingga
didapatkan nilai dari pertumbuhan TFP. Pengukuran pertumbuhan TFP tersebut
sesungguhnya lebih tepat dilakukan dibandingkan dengan hanya mengukur besarnya
nilai dari TFP. Hal ini disebabkan pertumbuhan dari TFP lebih dapat menunjukkan
Dalam pengolahan data panel terlebih dahulu dilakukan pemilihan model regresi data
panel yang terdiri dari tiga jenis yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model
Dari hasil regresi yang pertama yaitu regresi fungsi produksi Cobb-Douglas (Gambar
2), didapatkan hasil bahwa koefisien elastisitas output terhadap tenaga kerja
menunjukkan nilai yang cukup rendah yaitu sebesar 0.00485 yang artinya setiap
kenaikan satu persen penggunaan tenaga kerja mampu mendorong terjadinya
peningkatan output sebesar 0.00485%. Sedangkan, koefisien elastisitas output
terhadap modal sebesar 0.03083 yang artinya setiap kenaikan satu persen penggunaan
modal mampu mendorong terjadinya peningkatan output sebesar 0.03083%. Dari
hasil regresi juga didapatkan hasil bahwa koefisien elastisitas output terhadap input
bahan baku memiliki nilai yang tinggi yaitu sebesar 0.73937 yang artinya setiap
kenaikan satu persen penggunaan input bahan baku mampu mendorong terjadinya
peningkatan output sebesar 0.73937%. Hasil regresi ini sesuai dengan hipotesis yang
awal yaitu hubungan dari variabel tenaga kerja, modal, dan input bahan baku akan
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan output.
Terdapat dua hal penting yang dapat disimpulkan dari hasil regresi tersebut yaitu
pertama, dari hasil koefisien elastisitas output terhadap input bahan baku
menunjukkan nilai yang tinggi mengindikasikan bahwa industri gula sangat
bergantung kepada input bahan bakunya yaitu tebu yang secara langsung akan
meningkatkan jumlah output dari industrinya. Kedua, dari hasil koefisien elastisitas
output terhadap tenaga kerja dan modal mengindikasikan bahwa industri gula di
Indonesia cenderung capital intensive, bukan labor intensive. Hal ini terlihat dari hasil
regresi dimana koefisien elastisitas output terhadap modal nilainya lebih tinggi
dibandingkan dengan koefisien elastisitas output terhadap tenaga kerja. Selain itu,
nilai dari koefisien elastisitas output terhadap tenaga kerja yang rendah,
mengindikasikan bahwa tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi industri
F(3,435) = 329.06
corr(u_i, Xb) = 0.1762 Prob > F = 0.0000
sigma_u .24794061
sigma_e .55860067
rho .1645864 (fraction of variance due to u_i)
F test that all u_i=0: F(44, 435) = 1.50 Prob > F = 0.0248
Selanjutnya, dari hasil estimasi didapatkan hasil bahwa pertumbuhan TFP industri
gula di Indonesia mempunyai kecenderungan yang negatif setiap tahunnya dengan
rata-rata pertumbuhan sebesar - 0.75% per tahun (Gambar 3).
Di tahun 1997, pertumbuhan TFP yang positif sebesar 0.09% naik dibandingkan
tahun sebelumnya yang mengalami pertumbuhan TFP yang negatif sebesar -0.06%.
Pertumbuhan TFP yang positif ini berhubungan dengan adanya peningkatan
pengeluaran industri untuk research and development. Adanya lonjakan pengeluaran
untuk research and development di tahun 1997 sebesar 1.2 miliar (gambar 4)
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya mencapai puluhan juta
rupiah ternyata membawa pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan TFP di
tahun 1997 sehingga mengalami pertumbuhan yang positif. Sama halnya dengan
tahun 1999, pertumbuhan TFP yang positif juga merupakan dampak dari adanya
pengeluaran research and development yang meningkat, bahkan di tahun 1999
pengeluaran untuk research and development ini meningkat tajam dan menjadi nilai
pengeluaran yang tertinggi sepanjang tahun 1993-2011 yaitu sebesar 7.4 miliar.
Sehingga pada akhirnya hal ini mempengaruhi pertumbuhan TFP yang positif pada
industri gula di Indonesia.
Gambar 5. Investasi Mesin
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)
Dari hasil regresi yang kedua yaitu regresi model determinan pertumbuhan TFP
(Gambar 6), dapat diketahui bahwa terdapat dua variabel yang signifikan
mempengaruhi pertumbuhan TFP industri gula di Indonesia yaitu variabel investasi
mesin dan penggunaan energi (listrik). Kedua variabel yang signifikan ini sesuai
dengan karateristik dari industri gula yang bersifat capital intensive. Variabel pertama
yang signifikan yaitu variabel investasi mesin. Variabel ini signifikan mempengaruhi
sigma_u .35499305
sigma_e 10.29895
rho .00118669 (fraction of variance due to u_i)
Variabel kedua yang signfikan yaitu variabel penggunaan energi listrik yang dihitung
dengan jumlah pemakaian kwh per output. Dari hasil regresi, variabel ini signifikan
dan memiliki hubungan yang negatif terhadap pertumbuhan TFP sesuai dengan
hipotesis awal. Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi yang digunakan memang
belum efisien, terlihat dari semakin meningkatnya pemakaian kwh per output.
Padahal, hal ini tidak boleh terjadi dalam setiap industri karena semakin naiknya
jumlah pemakaian kwh per output menandakan kondisi diseconomies of scale.
Selanjutnya, kedua variabel lainnya yang tidak signifikan yaitu proporsi luas lahan
sawah irigasi terhadap luas lahan total dan pengeluaran research and development.
Pertama, tidak signfikannya variabel proporsi luas sawah irigasi terhadap luas lahan
total dilatarbelakangi oleh biaya yang dibutuhkan untuk melakukan penanaman di
lahan sawah irigasi lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman yang dilakukan di
lahan kering. Sehingga, dengan keadaan industri gula di Indonesia pada saat ini yang
sedang terpuruk, biaya penanaman yang tinggi tidak menjadi pilihan bagi para pelaku
industri. Hal ini menyebabkan penanamanan tebu pada saat ini dilakukan di lahan
kering. Selain itu, adanya kebebasan bagi petani untuk memilih komoditas yang
diusahakan semakin menggeser luas areal sawah. Hal ini disebabkan oleh adanya
persaingan yang semakin tinggi, khususnya dengan komoditas yang lebih
menguntungkan seperti padi dan kedelai (Bustanul Arifin, 2008).
Terakhir, dari hasil regresi didapatkan bahwa variabel research and development
tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan TFP. Hal ini diindikasikan merupakan
akibat dari rendahnya proporsi pengeluaran industri untuk research and development
terhadap total pengeluaran (Gambar 8). Bahkan dalam lima tahun terakhir, proporsi
tersebut mengalami penurunan. Selain itu, minimnya penelitian yang dilakukan dalam
industri gula di Indonesia mengakibatkan variabel tersebut menjadi kurang signfikan
terhadap proses perubahan teknologi. Keterbatasan kegiatan ini telah diakui oleh
Kementrian Perindustrian sebagai salah satu kelemahan yang dimiliki oleh industri
gula di Indonesia sehingga diperlukan adanya usaha untuk meningkatkan kegiatan
tersebut (Roadmap Industri Gula, 2009).
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah perlunya
penerapan kebijakan revitalisasi industri gula di Indonesia secara optimal. Dari hasil
regresi yang telah disebutkan diatas, diketahui bahwa variabel investasi mesin
signfikan mempengaruhi pertumbuhan produktivitas dari industri. Namun, variabel
berpengaruh negatif karena belum optimalnya kebijakan tersebut. Maka dari itu,
apabila kebijakan revitalisasi mesin industri gula di Indonesia diterapkan secara
optimal akan membawa dampak yang sangat baik bagi pertumbuhan produktivitas
Daftar Referensi
Jorgensen, D.W. (1996). International of Economic Growth (1st ed.). London: The
MIT Press.
Khan, S.V. (2006). Macro Determinants of Total Factor Productivity in Pakistan. SBP
Buletin, 2, 2.
Kannan, Elumalai. (2011). Total Factor Productivity Growth and Its Determinants in
Karnataka Agriculture. Institute for Social and Economic Change (ISEC) Working
Paper Series, 265.
Lipsey, G.R., Carlaw, I.K. (2004). Total Factor Productivity and the Measurement of
Technological Change. Canadian Journal of Economics, 37, 4.
Nainggolan, Kaman. (2010). Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global. 23 Juni
2014.
http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/uploads/pdf/2010-07-08_desember2005-
kebijakan_gula_nasional_dan_persaingan_global.pdf
Zaini, Achmad. (2008). Pengaruh Harga Gula Impor, Harga Gula Domestik dan
Produksi Gula Domestik terhadap Permintaan Gula Impor di Indonesia. EPP, 5, 2, 1-
9.