Anda di halaman 1dari 21

"PRODUCT LIABILITY" DALAM PENYELENGGARAAN PENERBANGAN

Amad Sudiro'

Abstract
Defective product is one of the contributing factors of aircraft accidents in aviation
transportation. This may well relate to the liability of aircraft manufacturer companyfrom a
legal perspective. However, these regulations on manufacturer liability has yet to ftnd an
implicit direction within the shrines of international conventions in aviation field and
Indonesia's national aviation act. In practice, aircraft manufacturer liability due to defective
product would have to be resolved in litigation process by invoking the strict product
liability principle.

Key words: products liability, aircraft accident, product liability

Abstrak
Produk cacat adalah salah salu faktor kecelakaan pesawat dalam transportasi penerbangan.
Ini mungkin berhubungan dengan kewajiban perusahaan produsen pesawat dari perspektij
hukum. Namun. peraturan tentang kewajiban produsen belum menemukan arah yang
implisit dalam konvensi internasional di bidang penerbangan dan Peraturan perundang-
undangan penerbangan nasional. Dalam prakteknya, kewajiban produsen pesawat, karena
produk eacat harus diselesaikan dalam proses litigasi dengan menerapkan prinsip
kewajiban produk yang ketal.

Kata kunci: pertanggungjawaban produk, kecelakaan penerbangan, kewajiban produk

I. Pendahutuan

Penyelenggaraan kegiatan penerbangan semakin dirasakan sangat strategis


dalam rangka mendukung kegiatan ekonomi, mendorong pertumbuban dan
pengembangan industri pariwisata, memantapkan perwujudan wawasan nusantara,
serta mengbubungkan daerab-daerab terpencil dan terbelakang dalam usaba
mencapai tujuan pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

! Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta. Alamat kontak:


ahmads@tarumanagara.ac.id
Product Liablilydalam Penyelenggaraan Penerbangan, Slidiro 187

Dasar 1945'> 01eh karena itu pemerintah perlu merencanakan secara sistematis
penyelenggaraan penerbangan yang memadai dan menjamin kelancaran arus lalu
lintas penumpang serta lebih menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan
sehingga tidak menimbulkan risiko kerugian terhadap pihak lain. 3
Adanya risiko kerugian dalam melakukan kegiatan usaha itu dapat terjadi
setiap saat. Pada penyelenggaraan penerbangan nasional beberapa tahun terakhir ini
masih menunjukkan sering terjadi serangkaian kecelakaan pesawat udara, dengan
berbagai sebab yang mengakibatkan kerugian terhadap penumpang sebagai
konsumen. Kecelakaan-kecelakaan pesawat udara4 tersebut dapat disebabkan
berbagai faktor, antara lain faktor manusia (human), mesin pesawat udara
(machine/technical), dan cuaca (weather)5
Beberapa ahli di bidang penerbangan mencatat bahwa semakin canggih
teknologi peralatan penerbangan untuk mengurangi atau menghapus situasi spesifik
tertentu, seperti alat untuk mendeteksi pesawat udara yang mendekat pada jarak
beberapa ratus kilometer, maka semakin besar kemungkinan kapten penerbang
pesawat udara itu mengalami kesalahanlkelalaian. Misalnya para kapten penerbang
seringkali kesulitan untuk mengoperasikan komputer yang terdapat di ruang kokpit
atau tampilannya pada saat pesawat udara sedang melakukan penerbangan dengan
kecepatan yang sangat tinggi. Faktor kesalahanlkelalaian manusia ini sangat sulit
untuk dideteksi dalam waktu tertentu. Selain itu perlu memperbatikan faktor-faktor
lain, seperti kegagalan mekanis/teknis dan lingkungan ataupun faktor eksternal
lainnya pada saat kecelakaan penerbangan terjadi. 6

2 Pemerintah Republik lndonesi~ "Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional


(RP1MN) 2004-2009", (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 368.

3 H.K. Martono, "Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut
internasional", (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 104.

4 Kecelakaan (accident) ada lah suatu peristiwa di luar kemampuan manusia yang terjadi
selama berada di dalam pesawat udara dari bandar udara keberangkatan ke bandar udara tujuan, di
mana terjadi kematian atau luka parah atau kerugian yang disebabkan oleh benturan dengan pesawat
udara atau semburan mesin jet pesawat udara atau terjadi kerusakan struktural atau adanya peralatan
yang perlu diganti atau pesawat udara hilang sarna sekali. H.K. Martono, "Kamus Hukum dan
Regulasi Penerbangan", (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 338-339.

s H.K. Martono, Kecelakaan Pesawat Udara, Seputar Indonesia, 5 lanuari 2007, hal. 7.

6 Ibid.
188 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011

Dalam suatu kecelakaan penerbangan dapat terjadi karena adanya kesalahan


teknis dalam pengoperasian pesawat udara (technicalfau/t),7 seperti sistem navigasi
yang rusak, atau akibat situasi cuaca yang sangat buruk. Namun prosentase terbesar
yang menjadi penyebab kecelakaan penerbangan adalah akibat faktor manusia
(human fault)8 Faktor lain yang sebenarnya berperan menyebabkan terjadinya
keeelakaan penerbangan adalah kesalahaan pengelolaan manajemen (management
fault). Misalnya pemeliharaan pesawat udara yang tidak sepenuhnya mengikuti dan
mentaati standar pengaturan perawatan yang telah ditetapkan, dan tidak
memperhatikan standar ketentuan persyaratan kelaikudaraan dalam penyelenggaraan
penerbangan, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya keeelakaan pesawat udara.
Pemerintah melalui Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) hams
segera melakukan investigasi, jika terjadi keeelakaan pesawat udara seeara eepat dan
tepat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keeelakaan
penerbangan 9 Disamping itu diperlukan segera adanya usaha pertolongan dalam
rangka penyelamatan terhadap korban pada saat terjadinya keeelakaan tersebut.
Selama proses investigasi atas keeelakaan penerbangan, fakta-fakta tertentu
dapat muneul yang menunjukkan bahwa suatu perusahaan penerbangan sebagai
pengangkut dan/atau perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen telah
melakukan kesalahan/kelalaian, sehingga menyebabkan terjadinya keeelakaan
penerbangan. Fakta-fakta tersebut dapat meliputi berbagai faktor yang meneakup
antara lain, kelalaian kapten penerbang/personel penerbangan, kelalaian teknisi
perawatan pesawat udara, tidak memenuhi standar persyaratan kelaikudaraan
penerbangan, eaeat produk (eaeat desainlperaneangan, cacat pembuatanlperakitan,
cacat peringatan/instruksi), atau kesalahan manajemen perusahaan penerbangan. 10
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (National Transportation Safety
Committee) yang merupakan lembaga independen berkompeten untuk melakukan

7 Walaupun penyebab keeelakaan pesawat udara karena faktor teknis ini prosentasenya keeil,
tetapi sering menyebabkan kecelakaan yang berakibat sangat fataL

Gunadi M.D.A. , Kecelakaan Adam Air Akibat Organization Error,


<http://www.suarakarya-online.com!news.htmI?id=I64530>. diakses Selasa, 16 lanuari 2007), hal. I .

9 Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) ini walaupun dibentuk oleh


Pernerintah tetapi daJam rnelakukan tugasnya harus independen.

10 Edward A. Silooy, Sistem Tanggung Jawab lnternasional Pengangkut Udara Memasuki


Millenium 2000, Makalah Forum Diskusi tentang Mewujudkan Penyelenggaraan Penerbangan Arnan,
Selamat dan Bertanggung Jawab, (Jakarta: 27 Juli 2000), hal. 6.
Product UaMi:ty datum Penye{engguruan Penernangan, S\\.diro {89

proses investigasi jika terjadi kecelakaan dalam penyelenggaraan penerbangan guna


mencegah terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama. Apabila diperlukan untuk
mempercepat proses investigasi, maka investigator dapat mengundang pihak-pihak
yang t erkait seperti perwakilan perusahaan penerbangan dan/atau produsen pesawat
udara serta pembuat komponennya untuk diminta keterangannya. Dengan demikian
tugas Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pada dasarnya
mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan
penerbangan, sehingga di kemudian hari tidak terjadi lagi kecelakaan penerbangan
yang semacam itu.
Hal yang serupa juga dilakukan di Arnerika Serikat, dimana pihak yang
bertanggung jawab dalam keamanan dan keselamatan penyelenggaraan penerbangan
harus segera membentuk tim krisis manajemen, apabila terjadi suatu kecelakaan
penerbangan. Tim terdiri dari pihak-pihak yang berkompeten, yang bertugas untuk
mengumpulkan inforrnasi yang dibutuhkan berkaitan dengan kecelakaan
penerbangan tersebut, membina hubungan dengan para pemangku kepentingan,
membuat catatan penting, membuat jadwal perencanaan kegiatan, dan melaksanakan
kegiatan sesuai dengan yang direncanakan sebelurnnya. II Dengan demikian terdapat
panduan yang jelas bagi tim dalam proses perencanaan dan penanganannya secara
efisien dan efektif (efficient and effective), jika terjadi kecelakaan pesawat udara. 12
Selain itu dalam setiap kegiatan penyelenggaraan penerbangan akan memiliki
risiko munculnya kerugian akibat kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk,
yang kemudian berdampak pada konsekuensi hukum. Risiko tersebut berkaitan
dengan penyelesaian ganti kerugian kepada penumpang sebagai bentuk tanggun~
jawab hukum (legal liability) perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen. 1
Risiko kerugian yang ditanggung produsen pesawat udara ini berkaitan dengan
tanggung jawab produknya, yang kemudian risiko itu dialihkan kepada perusahaan
asuransi sebagai penanggung sesuai dengan nilai jaminan yang dipertanggungkan
dengan menerima pembayaran sejumlah uang premi dari produsen pesawat udara
(third party insurance).

\I David T. N orton, Crisis Management Planning for Small Air Carrier Aircraft Parts
Manufacturers, Installers or Maintainers, and Other Aviation Industry Participants, 66 Journal of Air
Law and Commerce, Springs: Southern Methodist University School of Law, 2001 , hal. 543-546.

12 Ibid, hal. 560.

Il Lac. Cit., H.K. Martono. "Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan", dikenal 3 (tiga)
rnacarn tanggungjawab, dalarn arti accountability, responsibility dan liability. hal. 339-343.
190 lurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 lanuari-Maret 2011

Penumpang sebagai konsumen yang menderita kerugian dalam kecelakaan


pesawat udara akibat cacat produk dapat menuntut ganti kerugian terhadap pihak
yang dianggap bertanggung jawab. Penyelesaian ganti kerugian terhadap penumpang
yang meninggal dunia, luka-luka, atau cacat akibat kecelakaan pesawat udara
tersebut sebagai salah satu tanggung jawab hukum dalam penyelenggaraan
penerbangan. 14
Namun persoalan penyelesaian ganti kerugian yang berkaitan dengan tanggung
jawab produk (product liability) dalam penyelenggaraan penerbangan ini pada
praktek seringkali belum sepenuhnya dapat diselesaikan, karena peraturan
perundang-undangan yang ada masih belum mengaturnya. Disamping itu, kebijakan
pemerintah yang kurang tegas, baik dalam usaha menyempurnakan peraturan
perundang-undangan bidang penerbangan maupun dalam menegakkan peraturan
yang berlaku.

II. Permasalahan

Dari latar belakang tersebut di atas tampak bahwa cacat produk merupakan
salah satu penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara dalam penyelenggaraan
penerbangan. Mengingat hal ini berdampak pada pertanggungjawaban produsen
pesawat udara terhadap pihak yang dirugikan akibat kecelakaan penerbangan
tersebut, maka permasalahan yang ingin diangkat oleh penulis, adalah bagaimana
tanggung jawab perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen dalam
kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk?

III. Pembahasan

Perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen merupakan salah satu


bagian penting berkaitan dengan proses kegiatan penyelenggaraan penerbangan
seeara keseluruhan. Produsen pesawat udara seharusnya ikut bertanggung jawab
terhadap kerugian yang dialami penumpang sebagai konsumen dalam kecelakaan
pesawat udara yang disebabkan caeat produk pada penyelenggaraan penerbangan.
Ada 3 (tiga) kemungkinan asal cacat produk dari suatu proses pembuatan pesawat

14 Op. Cit., David T. Norton, hal. 527-531.


Product Ljablity dalam Penyelenggaraan Penerbangan, Sudiro 191

udara.15 Pertama, cacat desainlperancangan (the design defect), yaitu produk yang
dalam perancangannya telah mengandung cacat atau kesalahan desain yang
mengakibatkan cacatnya produk. Kesalahan desainlperancangan pesawat udara dapat
terjadi pada tahap pembuatan cetak biru (blueprint), gam bar desain (design drawing),
atau pemilihan bahan baku (row materials) yang digunakan. Kedua, cacat
pembuatanlperakitan (the manufacturing defect), yaitu suatu produk mungkin tidak
mengandung kesalahan dalam desainlperancangannya, tetapi dalam proses
pembuatanlperakitan terjadi kesalahan atau penggunaan bahan baku yang tidak
memenuhi persyaratan mutu atau spesifikasi teknis yang telah ditentukan
sebelumnya, sehingga menghasilkan produk yang cacat. Ketiga, cacat peringatan dan
instruksi (the warning and instruction defect), yaitu suatu produk yang telah
d irancang dengan sempurna melalui proses pembuatan yang cermat tetap dapat
mengandung cacat, apabila tidak dilengkapi dengan peringatan danlatau instruksi
yang jelas dan tepat mengenai cara-cara penggunaan produk tersebut, baik pada saat
dipasarkan maupun saat digunakan. Cacat dalam pemeliharaanlperawatan
(maintenance defect) suatu produk yang kemudian digunakan dalam operasi
penerbangan, akan mengakibatkan kerusakan yang disebabkan kurang terpelihara
atau tidak terawatnya pesawat udara sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang terdapat
dalam service bulletin dan technical manual updating.
Suatu produk yang telah dibuatldirakit secara tepat sesuai dengan standar
persyaratan yang telah ditentukan, dalam praktek masih dapat memiliki cacat pada
sisi desainnya (the design defect). Suatu produk dikategorikan sebagai cacat desain,
apabila produk tersebut benar-benar tidak nyaman dan tidak aman untuk digunakan
sesuai dengan tujuannya, walaupun telah dibuat secara benar. Gugatan ganti kerugian
berdasarkan cacat desain sering didasarkan pada beberapa hal, yaitu produk tidak
berkualitas, perJengkapan produk yang diperJukan tidak tersedia, atau produk
tersebut mengandung hal-hal berbahaya yang tidak kelihatan. Cacat desain sebagai
dasar gugatan ganti kerugian diterapkan berdasarkan argumentasi bahwa produk
terse but tidak di desain secara tepat untuk mengurangi atau menghindari suatu risiko
kerugian tertentu.
Produsen berkewajiban untuk mendesain produk pesawat udara yang aman dan
melindungi pengguna pesawat udara tersebut. Salah satu tujuan pembuatan desain
produk pesawat udara untuk menghindari kemungkinan baha ya yang akan timbul
dalam penggunaannya. ApabiJa dalam suatu kecelakaan pesawat udara yang

15 Wayne E. Farrell Jr., Aircraft Manufachlrer 's "Aircraft Manufacturer's Liability, Annuals
ofAir and Space Law, Vol. XVII-I, 1992, hal. 104.
192 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahul1 ke-41 No.1 Januari-Maret201l

mengakibatkan kerugian penumpang dan ditemukan bukti babwa penyebab


kecelakaan pesawat udara akibat cacat desain, maka produsen pesawat udara wajib
bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian kepada penumpang.
Dengan demikian dalam proses pembuatan pesawat udara, yang dimaksudkan
dengan cacat desain (the design defect) adalah desain produk yang tidak menjamin
kenyamanan dan keamanan serta keselamatan konsumen yang menggunakan produk
tersebut. Oleh karena itu dalam pembuatan desain pesawat udara, harus diperhatikan
secara serius tentang standar persyaratan aircraft crashworthiness pesawat udara,
sehingga kecelakaan penerbangan yang seharusnya survivable tidak akan
menimbulkan cidera atau luka parah terhadap penumpangnya. 16
Selain itu yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan pesawat udara
adalah cacat pembuatanlperakitan (the manufacturing defect), yaitu tidak sesuainya
produk yang dibuat dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh
pembuatnya. walaupun desainnya tidak caca!o Masalah persyaratan cacat produk
dalam proses pembuatan pesawat udara ini merupakan bagian dari tanggung jawab
produsell. Oleh sebab itu tanggung jawab produk dikenal dengan istilah objective
liability, karena pentingnya faktor kondisi produk agar produsen pesawat udara dapat
bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian. Salah satu materi penting dalam
undang-undang yang menerapkan tanggung jawab mutlak adalah ketentuan tentang
kriteria cacat produk. Istilah cacat produk ini temyata tidak digunakan dalam
ketentuan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen,
sehingga menimbulkan kesulitan dalam menafsirkan ruang lingkup dari cacat produk
dan menjadi tidak sistematis serta tidak menjamin kepastian hukum. baik bagi
produsen maupun konsumen dan aparat penegak hukum. Hal ini berbeda dengan
ketentuan di Jepang. Product liability Act 1994 No. 85 di Jepang menyatakan cacat
produk, sebagai berikut:

The defect means lack of safety that the product ordinarily should
provide, taking into account the nature of the product, the ordinarily
foreseeable manner of use of the product, the time when the
manufacturer, etc, delivered the product, and other circumstances
concerning the product.

16 J. Russel Davis, "American Law of Products Liability", (New York: The Lawyers
Cooperative Publishing Company, 1987), hal. 12.
Product Lioblity dolam Penyelenggaraan Penerbongan, Sudiro 193

The manufacturing defect, merupakan salah satu alasan penumpang pesawat


udara untuk mengajukan gugatan ganti kerugian kepada produsen pesawat udara,
karena pada dasarnya produsen mempunyai kewajiban untuk menggunakan material
yang memiliki kekuatan cukup memadai dalam memproduksi pesawat udara.
Produsen pesawat udara telah banyak diminta pertanggungjawaban untuk membayar
ganti kerugian kepada penumpang, akibat menggunakan material yang tidak
berkualitas/tidak cukup memadai ataupun tidak memiliki kekuatan atau ketahanan
dalam membuat produk pesawat udara secara nyaman dan aman untuk keselamatan
konsumen yang menggunakan pesawat udara terse but.
Disamping cacat desain dan cacat pembuatan, maka produk pesawat udara
dapat saja merugikan konsumen akibat adanya cacat dalam memberikan peringatan
dan instruksinya (the warning and instruction defect). Cacat peringatan dan instruksi
ini dimaksudkan apabila produk yang dibuat tidak mempunyai peringatan atau
petunjuk yang jelas dan tepat serta memadai dalam penggunaannya, walaupun desain
dan kualifikasi pembuatan produk tersebut sempuma. 17 Amerika Serikat melalui
Uniform Product Liability Act of 1979, menekankan pentingnya peringatan dan
instruksi karena suatu produk tidak dikategorikan sebagai produk yang cae at, apabila
pembuat produk telah memberikan peringatan dan instruksi yang jelas dan tepat
mengenai penggunaan produk dan risiko-risiko produk yang dibuatnya. Selain itu
terdapat penjelasan mengenai teknologi dan kelayakan (feasibility) dari pembuatan
produk tersebut.
Oleh karena itu dalam setiap kejadian kecelakaan pesawat udara yang
disebabkan cacat produk, penumpang dapat mengajukan gugatan ganti kerugian
kepada produsen pesawat udara. Gugatan ganti kerugian tersebut dapat diajukan
berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Penerapan tanggung jawab
mutlak ini merupakan jalan keluar yang dipandang baik untuk memberi akses bagi
konsumen dalam mendapatkan hak dan perlindungan kepentingannya di pengadilan
terhadap pelaku usaha. Penumpang sebagai konsumen yang dirugikan dapat
menuntut penyelesaian ganti kerugian kepada produsen pesawat udara tanpa hams
mengajukan atau membawa bukti adanya kesalahanlkelalaian produsen sebagai
tergugat. Oleh karena penumpang secara individual akan mengalami kesulitan
untuk dapat membuktikan adanya un sur kesalahanlkelalaian dalam suatu proses
produksi yang begitu kompleks di industri penerbangan.
Produsen pesawat udara yang berada dalam posisi ekonomi lebih kuat
dapat mengambil alih kerugian penumpang pada setiap kasus kecelakaan

17 Ibid.
194 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011

pesawat udara akibat cacat produk yang mewajibkannya membayar ganti


kerugian. Produsen dapat meneruskan kerugian itu dengan mengalihkan risiko
kerugian kepada perusahaan asuransi dengan melalui mekanisme penutupan
asuransi (product liability insurance) yang nilai preminya dapat dimasukkan ke
dalarn perhitungan biaya produk yang dibuatnya.
Penyelesaian ganti kerugian akibat cacat produk dengan menerapkan
tanggung jawab mutlak, pada dasamya bertujuan untuk menjaga keseimbangan
kepentingan 'sosial dalam masyarakat, sehingga dapat tercipta harmonisasi dan
keseimbangan antara kehidupan masyarakat dengan kehidupan individu. Dalam
penerapan prinsip tanggung jawab mutlak terdapat beberapa asas umum yang harns
diperhatikan, yaitu objektif (tidak perlu dibuktikan kesalahanlkelalaian produsen),
pembatasan waktu tangggung jawab (produsen tidak dirnaksudkan bertanggung
jawab untuk waktu yang tidak terbatas), beban pembuktian pada konsumen atas
cacatnya produk, dan hubungan kausalitas antara cacatnya produk dengan kerugian
konsumen. 18
Menurut Erman Rajagukguk, "Perlindungan konsumen tidak saja diberlakukan
terhadap produk-produk yang berkualitas rendah, tetapi juga terhadap produk-produk
yang dapat membahayakan kehidupan manusia",19 seperti produk pesawat udara.
Oleh karena itu dasar pemikiran filosofis penerapan tanggung jawab mutlak, yaitu
timbulnya kerugian materi yang secara langsung dibebankan kepada pihak yang
bertanggung jawab dalam menyebabkan munculnya kerugian tersebut. Selain itu
faktor yang mendorong penerapan tanggung jawab mutlak dalam gugatan
penyelesaian ganti kerugian akibat cacat produk, secara eksternal dipengaruhi oleh
pergeseran paham individualisme ke paham kolektivisme yang menjadi inti dari
konsep negara kesejahteraan, sedangkan secara internal dipengaruhi oleh perbedaan
posisi tawar antara produsen yang lebih kuat dengan konsumen yang posisinya lebih
lemah. 20

l' Bandingkan dengan prinsip-prinsip umum tanggung jawab produk dalam European
Community Directive No. 314 Tahun 1985.1nosentius Samsul, "Perlindungan Konsumen, Kemungkinan
Penerapan Tanggung Jawab Mutlak", (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2004), hal. 306.

i9 Erman Rajagukguk, "Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia Menyongsong


Abad XXI", UNISIA No.33IXVIIII1I97, (1997), hal. II.

20 Inosentius Samsul, "Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab


Mutlak", (Jakarta: Paseasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 102.
Product Lioblity dolom Penyelenggoroon Penerbongon, Sudiro 195

Kasus-kasus penyelesaian ganti kerugian dalam kecelakaan pesawat udara


akibat cacat produk, lebih banyak melalui proses mekanisme gugatan ganti kerugian
ke pengadilan. Beberapa gugatan penyelesaian ganti kerugian dari penumpang atau
ahli warisnya dalam kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk kepada produsen
ternyata tidak sedikit yang dikabulkan oleh majelis hakim, berdasarkan tanggung
jawab mutlak. Misalnya, perkara Noel v. United Aircraft Corp. , di pengadilan Third
Circuit Amerika Serikat. Kasus ini menjelaskan kelalaian produsen dalam mendesain
produk pesawat udara sehingga mengakibatkan penumpang Lockhead Constellation
.
memngga I duma.
. 21
Dalam kasus ini penggugat mengajukan gugatan ganti kerugian karena
ditemukan sistem baling-baling pesawat udara yang mengalami kerusakan atau cacat
desain. Selanjutnya produsen pesawat udara selaku tergugat membantah gugatan
tersebut, dengan menyatakan bahwa produsen tidak melakukan kelalaian dan
kejadian itu bukan menjadi tanggung jawab produsen. Namun Pengadilan menolak
jawaban produsen pesawat udara sebagai tergugat berdasarkan teori tanggung jawab
mutlak (strict liability). Pengadilan berpendapat bahwa sekalipun produk telah dijual
dan mendapat persetujuan Civil Aeronautics Administration (CAA), tetapi dalam
penyelidikan pengadilan menemukan bahwa telah terjadi 4 (empat) kali kecelakan
serius, kebakaran, dan 23 (dua puluh tiga) kali kecelakaan sangat berat yang
disebabkan oleh kecepatan yang tidak terkontrol akibat baling-baling cacat.
Pangadilan dalam putusannya menambahkan bahwa produsen pesawat udara sebagai
tergugat telah terbukti melakukan berbagai bentuk kelalaian dalam pengontrolan
mesin yang sangat berpengaruh terhadap baik atau rusaknya laju baling-baling
pesawat udara. Dalam putusan kasus ini, ada beberapa kelalaian produsen pesawat
udara yang dapat dibuktikan di pengadilan tersebut, antara lain produsen
memproduksi sistem baling-baling pesawat udara yang memiliki kesalahan desain,
produsen gagal dalam melaksanakan kewajiban untuk merawat baling-baling
pesawat udara sebelum penyerahan sistem baling-baling dan sebelum terjadinya
kecelakaan, produsen pesawat udara dianggap melakukan pelanggaran dalam
menjalankan kewajiban lanjutan, antara lain menyiapkan pitch lock yaitu suatu
mekanisme yang mengatur kecepatan agar tidak terjadi kecelakaan. 22
Selanjutnya dalam Bruce v. Martin-Marietta COrp. ,23 pengadilan negara
bagian Maryland yang memeriksa kasus ini menyatakan bahwa adanya kerusakan

21 Noel v. United Aircraft Corp., 342 F. 2d. 232., (3'" Cir., 1964), 3(a), 4, 5(a), 10.

22 [bid.
196 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011

karena eaeat desain pada bagian tempat duduk pesawat udara Martin 404 dan alat
pemadam api yang tidak berfungsi bukan sebagai bentuk kelalaian, akan tetapi
bentuk dari tanggung jawab mutlak (strict liability) atas produk yang tidak berfungsi
dengan baik dan sesuatu yang diluar dugaan/pengetahuan penumpang. Dalam kasus
ini produsen pesawat udara wajib membayar ganti kerugian kepada penumpang
akibat eaeat produk berdasarkan tanggung jawab mutlak, berkaitan dengan desain
dan konstruksi pesawat udara yang seharusnya dapat menjamin keamanan dan
keselamatan dalam penyelenggaraan penerbangan.
Dalam perkara Coulter v. Piper Aircraft Corp,24 penumpang mengajukan
gugatan ganti kerugian dalam keeelakaan pesawat udara akibat eaeat desain pada
plang pintu pesawat udara yang dapat terbuka saat penerbangan berlangsung. Pada
kasus ini pengadilan distrik Florida berpendapat bahwa walaupun tidak menemukan
adanya kesalahanl keialaian, tetapi tidak menghalangi untuk memberikan sanksi
ganti kerugian berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang
dianggap sebagai tindakan wajar kepada produsen. Dari kasus ini terlihat bahwa
pengadilan distrik Florida telah menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability),
sehingga gugatan ganti kerugian dari penggugat tersebut dapat dikabulkan hakim
tanpa mempertimbangkan ada atau tidak adanya unsur kesalahanlkelalaian produsen
pesawat udara.
Pada kasus pembajakan pesawat udara jet jumbo yang kemudian ditabrakan ke
gedung kembar World Trade Centre (WTC) oleh sekelompok teroris di Amerika
Serikat pada tanggal 11 September 200 I. Penggugat mengajukan gugatan ganti
kerugian berkaitan dengan tanggung jawab produsen atas kesalahanlkelalaian eaeat
desain pesawat udara tersebut. Pengadilan distrik Pennsylvania yang mengadili dan
memutuskan kasus ini menyatakan, bahwa telah terjadi kesalahanlkelalaian dalam
desain pintu kokpit pesawat udara tersebut, sehingga produsen wajib membayar ganti
kerugian yang dialami penggugat dengan menerapkan tanggung jawab mutlak (strict
liability). Dalam kasus ini pengadilan berpendapat, bahwa rangkaian penyebab
jatuhnya pesawat udara itu diduga karena adanya kesalahanlkelalaian desain pintu
kokpit pesawat udara sehingga pembajak dapat masuk ke ruang kokpit. Menurut
hukum negara bagian Pennsylvania, seorang kapten penerbang mempunyai
kewajiban untuk mengendalikan pesawat udara dan menghindari serta meneegah
adanya gangguan selama penerbangan sehingga penumpang dapat dipastikan aman
dan selamat sampai ke tempat tujuan yang disepakati dalam perjanjian

2l Bntce v. Martin-Marietta Corp. . 173 CA 10 Okla 544 F. 2d 442, 20 VCCRS. 39,


(September 24, 1976).
24 Coulter v. Piper Aircraft Corp., 426 So.2d. 1108, (Fla Dist.et App. 4"' Dist., 1983).
Product Lioblity da/am Penye/enggaraan Penerbangan, Sudiro J97

penyelenggaraan penerbangan 2S Namun jika dibandingkan dengan hukum negara


bagian Virginia, pernyataan tanpa bukti mengenai dugaan bahwa produsen pesawat
udara telah gagal dalam mendesain kokpit dengan sempurna dapat dijadikan sebagai
pelanggaran hukum. Menurut pengadilan negara bagian Virginia, tindakan
pengambilalihan kokpit oleh para pembajak atau orang lain yang tidak berhak, sudah
cukup untuk menjadi dasar gugatan ganti kerugian berkaitan dengan tangggung
jawab produsen dalam kasus pembajakan pesawat udara tersebut 26
Dalam kasus Manos v, Trans World Airlines,27 yang berkaitan dengan gugatan
ganti kerugian penumpang yang menderita luka-luka kepada produsen pesawat udara
jenis Boeing 707 yang tiba-tiba meledak saat lepas landas di bandar udara Italia.
Kecelakaan pesawat udara diduga akibat kerusakan sistem persneling mundur.
Pengadilan mengabulkan permohonan penggugat dalam mengajukan gugatan ganti
kerugian terhadap produsen pesawat udara berdasarkan tanggung jawab mutlak
(strict liability). Pengadilan yang menerapkan hukum Italia menyatakan bahwa
produsen telah gagal mendesain dan membuat sistem persneling mundur pesawat
udara, sehingga gagal berfungsi untuk mendeteksi kerusakan dan dianggap tidak
mematuhi peraturan penerbangan sipil Italia.
Kasus ini akhirnya diadili kembali oleh pengadilan tinggi Washington dengan
menggunakan peraturan Section 402 A of the Restatement (Second) of Torts, yaitu
ketentuan mengenai kelalaian melaksanakan kewajiban. Pengadilan tinggi
Washington menyatakan bahwa kemampuan daya persneling mundur tidak berfungsi
dengan baik. Produsen dianggap telah gagal menyediakan alat untuk mengendalikan
sistem persneling mundur, sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat
udara tersebut yang mengakibatkan kerugian terhadap penumpang?8
Kecelakaan lain yang penyebabnya akibat cacat pembuatan dan dianggap tidak
memenuhi standar persyaratan aircraft crashworthiness, seperti yang terjadi dalam
kecelakaan pesawat udara jenis Convair 580 di New Haven Amerika Serikat tanggal
7 Juni 1971. 29 Pada kecelakaan ini, penggugat mengajukan gugatan ganti kerugian

2S September II Litigation, In re:, 280 F. Supp.2d.279 (S.A.N.Y., 2003).

26 ibid.

27 Manos v. Trans World Airlines, In re: 324 F. Supp. 470 (N.A. m., 1971).
28 ibid.

29 E. Suhennan, "Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan",(Bandung: Mandar Maju, 2000),


hal. 113 .
198 JlIrnal HlIkwn dan Pernbangunan Tahun ke-41 No.1 Janllari-Maref 201 J

kepada perusahaan pembuat pesawat udara sebagai bentuk tanggung jawab produsen
terhadap produknya yang rusak atau cacat. Berdasarkan hasil pemeriksaan dalam
kecelakaan penerbangan tersebut ternyata IS (lima belas) dari seluruh penumpang
pesawat udara yang meninggal dunia disebabkan keracunan gas atau luka bakar.
Menurut keterangan penumpang yang selamat menyatakan bahwa IS (lima belas)
penumpang pesawat udara itu sebenarnya masih hidup pada saat kecelakaan terjadi,
dan masih sempat mencari-cari pintu darurat yang letaknya sulit dicari dalam
kegelapan dan sulit dibuka. 30
Selain itu pada kasus O'Kee!v. The Boeing Company,31 menunjukkan terdapat
kelalaian perusahaan pembuat pesawat udara Boeing dalam memproduksi pesawat
udara jenis B-52 yang terbukti ditemukan adanya kerusakanlcacat produk di bagian
pengelasan dinding (empennage support bulkheid). Pengadilan distrik negara bagian
Washington menyatakan, bahwa perusahaan pembuat pesawat udara Boeing wajib
membayar ganti kerugian kepada penggugat berdasarkan tanggung jawab mutlak
(strict liability), karena telah melakukan kelalaian dalam memenuhi standar
kualiflkasi persyaratan pembuatan produk di bagian pengelasan dinding (empennage
support bulkheid) pesawat udara tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya
kecelakaan penerbangan.
Dalam perkara Kritser v. Beech Aircraft Corp,32 pihak korban selaku
penggugat menduga bahwa tangki bahan bakar pesawat udara tidak dilengkapi
dengan alat internal untuk mengendalikan pergerakan bahan bakar, dan produsen
sebagai tergugat tidak melaksanakan tugasnya untuk memperingatkan pemindahan
bahan bakar pesawat udara. Pengadilan distrik Texas menyatakan, bahwa bukti yang
disampaikan penggugat berkaitan dengan sistem bahan bakar pesawat udara jenis
Baron Model D-55 yang mengalami kecelakaan dianggap telah cukup untuk
mengungkapkan dan membuat putusan penilaian terhadap kasus kecelakaan pesawat
udara ini berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Hakim yang mengadili
menemukan fakta bahwa kapten penerbang sudah mengoperasikan pesawat udara
tersebut sesuai dengan peringatan dan petul1iuk yang telah ditentukan produsen,
tetapi karena terjadi kerusakan atau adanya cacat pada sistem bahan bakar, sehingga
mengakibatkan kecelakaan penerbangan. 33

30 Ibid.

31 o Keefv. The Boeing Company, 335 F. Supp 104, (S.D.N.Y., 1977).


J2 Kritser v. Beech Aircraft Corp., 479. F.2d. 1089 (5" CiL 1973).
Product Liablity dalam Penyelenggaraan Penerbangan, SlIdiro 199

Demikian juga pada kasus Hansen v. Cessna Aircraft Inc}' yang dimulai
dengan gugatan ganti kerugian oleh ahli waris dari tiga orang penumpang akibat
kecelakaan pesawat udara jenis Cessna Model 421-B yang jatuh. Penggugat
mengajukan gugatan ganti kerugian kepada produsen dengan dasar gugatan bahwa
telah melakukan kelalaian inspeksilpemeriksaan. Penggugat yang menghadirkan para
saksi ahli menyatakan, bahwa sistem pembuang gas pesawat udara tidak mampu
untuk mengeluarkan semua gas yang terdapat antara mesin dengan turbocharger, dan
produsen tidak melakukan pengujian yang cukup untuk melihat kerusakan yang
terdapat pada sistem pembuangan gas uap tersebut. Pengadilan menyatakan bahwa
ada beberapa bukti yang menunjukkan telah terjadi kelalaian produsen pesawat
udara, khususnya kelalaian dalarn pemeriksaan dan peringatan, sehingga tergugat
wajib membayar ganti kerugian berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability).
Selain itu pengadilan menyatakan, bahwa Mahkamah Agung Wisconsin
mendasarkan kasus ini pada Section 402 A (jf the Restatement (Second) of Torts
sebagai ketentuan yang mengatur mengenai kelalaian dalam melaksanakan
kewajiban.35
Dalam perkara Braniff Airways Inc., v. Curtiss- Wright COrp.36 Pengadilan
negara bagian New York yang mengadili kasus ini menyatakan bahwa meskipun
tidak ada ketentuan dalam perundang-undangan mengenai kewajiban produsen untuk
merawat dan memperbaiki jika terjadi kerusakan pesawat udara, tetapi hal itu
dianggap sebagai bagian kewaj iban produsen untuk memperbaiki kerusakan tersebut.
Dengan demikian setidaknya produsen wajib memberi tanda peringatan!
pemberitahuan dan instruksi-instruksi yang diperJukan untuk memperkecil timbuinya
bahaya kecelakaan pesawat udara yang telah diproduksinya pada saat digunakan.
Oleh karena itu pengadilan menyatakan bahwa tergugat wajib membayar ganti
kerugian kepada penggugat, dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability).
Salah satu perkara gugatan ganti kerugian korban kecelakaan pesawat udara
akibat cacat produk yang diselesaikan melalui pengadilan Indonesia adalah kasus

33 Ibid.

34 Hansen v. Cessna Aircraft Co., 578 F.2d 679 (7"' Cir. 1978).

35 Ibid.

36 Braniff Aicraft Inc v. Curtiss Wright Corp .• 411 F. 2d. 451, 13 Fed. R.Serv. 2d. 4696,
VCCRS. 508 Second Circuit, 8[a], (May 19, 1969).
200 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011

Salful Bahri Cs., v. The Boeing Company Cs. ,37 dalam kecelakaan pesawat udara
milik PT. Mandala Airlines yang terjadi di bandar udara Po Ionia Medan di
pengadilan Jakarta Pusat. Dalam kasus ini penumpang mengajukan gugatan ganti
kerugian berkaitan dengan cacat produk pesawat udara kepada the Boeing Company
Cs, sebagai produsen. Selain gugatan di atas, penumpang lain yang mengajukan
pendaftaran gugatan ganti kerugian akibat cacat produk di Pen~adilan Negeri Jakarta
Pusat adalah kasus Suhendro Cs., v. The Boeing Company Cs. 8
Dalam Linda Marlin Lie, et aL, v. The Boeing Company, et al., No. 04 C
2460, ahli waris korban kecelakaan pesawat udara sebagai penggugat berhasil
memenangkan perkara gugatan ganti kerugian kepada produsen dalam kasus
kecelakaan pesawat udara jenis Boeing 737-300 milik PT. Garuda Indonesia dengan
nomor penerbangan GA-421 yang melakukan pendaratan darurat akibat cacat produk
di sungai Bengawan Solo Klaten tanggal 16 Januari 2002. Menurut hakim Shadur
sebagai hakim senior yang mengadi1i perkara ini, tergugat bertanggung jawab untuk
membayar ganti kerugian kepada penggugat yang mengajukan gugatan ganti
kerugian kepada the BoeinR Company Cs., sebagai produsen pesawat udara tersebut
berdasarkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Dasar gugatan ganti kerugian
yang diajukan adalah telah terjadi serangkaian kecacatan pada produk pesawat udara
dan kurang lengkapnya petunjuk prosedur pengoperasian, sehingga menyebabkan
terjadi kecelakaan pesawat udara Garuda Indonesia jenis Boeing 737-300 tersebut 39
Dengan demikian majelis hakim yang mengadili dan memutuskan kasus ini dalam
pertimbangan hukumnya telah menerapkan pendekatan prinsip tanggung jawab
mutlak (strict liability) .
Pada Donald J. Noland v. The Boeing Company, No.2004 WL 1462451,'°
berkenaan dengan kece1akaan pesawat udara Garuda Indonesia di Klaten tanggal 16
Januari 2002, penggugat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada the Boeing
Company, karena terdapat serangkaian kecacatan produk dan kelengkapan prosedur
pengoperasian pesawat udara tersebut. Hakim yang mengadili kasus ini memutuskan
untuk mengabulkan gugatan ganti kerugian berdasarkan tanggung jawab mutlak

37 Saiful Bahri Cs. , v. The Boeing Company Cs. , NO.256!PDT.G!2009! PN.JKT.PST.

38 Suhendro Cs. , v. The Boeing Company Cs .. No. I 87!PDT.G!2009! PN.JKT.PST (2010).

39 Linda Marlin Lie, et al.. v. The Boeing Company. et al., No. 04 C 2460 F.Supp.2d., 2004
WL 1462451, United States District Court, Northern District Dlinais, (N.D.Dl., June 29, 2004).

40 Donald J N v. The Boeing Company, F.Supp. 2d., NO.2004 WL 1462451, United States
District Court. Northern District lllinais, (N.D. Ill., June 29, 2004).
Product Liablity dalam Penyelenggaraan Penerbangan, Slidiro 201

(strict liability), karena terbukti adanya cacat produk pada bagian desain dan cacat
dalam kelengkapan prosedur pengoperasian pesawat udara yang diproduksi tergugat
tersebut. 41
Selain itu ahli waris dari penurnpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan
pesawat udara milik PT. Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-152 yang
terjadi di Sibolangit Deli Serdang Medan pada tanggal 26 September 1997 juga
mengajukan gugatan ganti kerugian kepada produsen pesawat udara. Melalui kuasa
hukum David J. Gubbins dan Paul R. Borth dari Nolan Law Firm Group untuk
menangani penyelesaian pembayaran ganti kerugian korban kecelakaan pesawat
udara Garuda Indonesia itu, pada akhirnya penggugat memenangkan gugatan ganti
kerugian kepada produsen tersebut 42
Donald Manampin Hutasoit et aL, v. Hamilton Sumistrand Corporation et.,
aL, No. 04 L 13805 merupakan kasus kecelakaan pesawat udara jenis Airbus 300,
oleh penggugat diduga memiliki cacat komponen yang menyebabkan kecelakaan
pesawat udara tersebut. Tergugat Hamilton Sundstrands Corporation adalah pembuat
peralatan komputer peringatan yang cacat sehingga menyebabkan terjadinya
kecelakaan penerbangan. Penggugat mengajukan gugatan pembayaran ganti kerugian
kepada Hamilton Sundstrands Corporation sebagai tergugat dalam kejadian
kecelakaan pesawat udara Garuda Indonesia akibat cacat produk di Sibolangit Deli
Serdang Medan - Sumatera Utara 43 Dalam pertirnbangan hukum majelis hakim yang
mengadili mengunakan prinsip tanggung jawab rnutlak (strict liability) karena
tergugat telah terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan the Illinois Wrongfol
Death Act tabun 2009. Dalam kasus ini, tergugat akhirnya rnembayar jumlah ganti
kerugian kepada para penggugat sebagai ahli waris dari penumpang yang meninggal
dunia akibat kecelakaan pesawat udara Garuda Indonesia tersebut, yang dibuat dalam
perjanjian pembayaran ganti kerugian tanggal 21 Desernber 2009.
Selain itu penerapan tanggung jawab mutlak (strict liability) diberlakukan pada
gugatan ganti kerugian lain untuk kasus kecelakaan pesawat udara yang sarna,
rnisalnya dalam Butar-butar et., al., v. Hamilton Sundstrands Corporation, No.09C

41 [bid.

42 Antonius. Banyak Perfanyaan yang Be/urn Terjawab Da/am Kecelakaan Adam Air,
<http://www.wisner-law.comlarticlesiAdam_crash_indonesian.html>. diakses 8 April 2008, hal. 3.

43 Mr. Donald Manampin Hutasoit el al., v. Hamilton Sundstrand Corporation, No. 04 L


13805 in the Circuit Court of Cook County, JIIinois County Department Law Division, (Dec 19,
2009).
202 JlIrnai Hlikum dan Pembangunan Tahlln ke-41 No.1 Janllari-Maret 2011

3437. 44 Kasus ini merupakan kejadian kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk
yang dioperasikan PT. Gamda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 152, jatuh
dan terbakar tanggal 26 September 1997 di Sibolangit Deli Serdang Medan.
Penggugat merupakan ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia dalam
kecelakaan pesawat udara itu rnenyatakan, bahwa tergugat wajib bertanggung jawab
terhadap cacat desain produk Ground Proximity Warning System (GPWS) yang
dipakai pada penerbangan pesawat udara Garuda Indonesia GA 152 tersebut. Cacat
peralatan itu telah menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat udara, akibat
kelalaian tergugat dalam mendesain, memproduksi dan merakit produk Ground
Proximity Warning System (GPWS) tersebut. Penggugat menyatakan bahwa tergugat
hams bertanggung jawab secara mutlak karena telah memproduksi dan menjual
GPWS yang cacat produk kepada perusahaan pembuat pesawat udara jenis Airbus.
Selain itu penggugat menyatakan bahwa tergugat melakukan kelalaian dalam
memberikan peringatan adanya cacat produk. Pad a akhirnya, tergugat bersedia
membayar jumlah ganti kerugian kepada penggugat sebagai ahli war is dari
penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara Garuda
Indonesia tersebut, dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict
liability) 45

IV. Penutup

Dengan demikian berdasarkan beberapa penyelesaian kasus pembayaran ganti


kerugian dalam kecelakaan pesawat udara akibat cacat produk tersebut, maka praktek
pembayaran ganti kerugian berkaitan dengan tanggung jawab produk (product
liability) dari perusahaan pembuat pesawat udara sebagai produsen dalam kecelakaan
penyelenggaraan penerbangan diselesaikan melalui proses gugatan ganti kerugian ke
pengadilan, berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Dalam hal
ini penggugat cukup menunjukkan adanya kerugian yang dialaminya, dan kerugian
itu ada hubungan kausalitas dengan kecelakaan pesawat udara tersebut. Penerapan
tanggung jawab mutlak (strict liability) yang berkaitan dengan tanggung jawab

44 Butor-Butor el. aI., v. Hamil/on Sundstrands Corporation, No.09C 3437, in the Circuit
Court of Cook County, Illinois County Department-Law Division, (April 11,2009).

45 Ibid., Agreement between Bular-bular et aI. , as Plaintiffs with Hamilton Sundstrand


Corporation as Defendant, (April 15, 2009).
Product Liablity dalam Penyelenggaraan Penerbangan, Sudiro 203

produsen pesawat udara (product liability) ini, harns tetap memperhatikan asas
keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum.
204 Jurnai Hulatm dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011

Daftar Pustaka

Buku

Atiyah, P. S. Accidents. Compensation and the Law, 2 nd Edition, London:


Weidenfeld and Nicolson, 1975.
Coie, Perkins. Product Liability in the United States. a Primer for
Manufacturers and Their Employees, Washington: Library Congress,
1991.
Davis, J. Russel. American Law of Products Liability, New York: The Lawyers
Cooperative Publishing Company, 1987.
Fobe, Jean Michel. Aviation Products Liability and Insurance in the Europe
Union, Nederland: Deventer-Kluwer, 1994.
Freedman, Warren. International Products Liability, Vol. 1 & 2, Virginia: The
Machine Company, Law Publishers, 1999.
Geraint, Howells. Comparative Product Liability, Dartmouth: 1993.
Keeton, Page and Marshall S. Shape. Product and the Consumer: Defective
and Dangerous Product, University Casebook Series, New York: The
Foundation Press, Inc., 1970.
Martono, H. K. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum
Laut Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1995 .
._ _ _ _ . Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007 .
. dan Ahmad Sudiro. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan
UURJ No. I Tahun 2009, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Pemerintah Republik Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2004-2009, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Samsul, Inosentius. Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan
Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
Sudiro, Amad. Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Bandung: Mandar
Maju, 2000.
Product Liablity datarn Penyelenggaraan Penerbangan, Sudiro 205

Waddams, S. M. Products Liability, Toronto: The Carswell Limited, 1974.

Jurnal

Barber, J. "Economic of Air Safety", Journal of Air Law and Commerce 431-
433, Vol. 34, 1968.
Benko, M., & Kadletz A. "Liability Air Transport", Annuals of Air and Space
Law, Vol. XXV, 2000.
Bogus, T. Carl. "The Third Revolution in Products Liability", Chicago Kent
Law Review, Vo1.23, 1996.
Calabresi, Guido. "First Party, Third Party, and Product Liability Systems:
Can Economic Analysis Tell Us Anything About Them? ", 69 Iowa Legal
Review 833, 1984.
Cheng, Bin. "Air Carriers Liability for Passenger Injury or Death ", Annals of
Air and Space Law, Vol.XVIII, No .3, January 1993 .
. "Product Liability in Aviation ", Annals of Air and Space
Law, Vol. II, 1982.
Ehler, P. Nicholai. "Product Liability in Germany Today and Tomorrow",
Annals of Air and Space Law, Vol.XVI, 1991.
Eltin, M. Rodman. "The Changing Philosophy of Products Liability and
Proposed Model Uniform Product Liability Act", American Business
Law Journal, Vo1.l9 , 1981.
Farrel, Wayne E. Jr. "Aircraft Manufacturer's Liability", Annals of Air and
Space Law, Vol. XVII-I, 1992: 104
Fischer, A. David, & William Power, Jr. Products Liability: Cases and
Materials, Minnesota: West Publishing Company, 1988.
Giemulla, Elmar, and Thomas Wenzer. "Product Liability in the Field of
Aviation the Foreign Plaintiff in USA American Court ", Annals of Air
and Space Law, Vol.XV, 1990.
Hassenbeck, Rudolf & Denis Campell. Product Liability: Prevention,
Practice, and Process in Europe and the United States, Nederland:
Deventer-Kluwer Law and Taxation Publishers, 1989.
206 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.1 Januari-Maret 2011

Julack, John F. & Jennifer K. King. Product Liability Prevention: What Every
International Business Should Now About Selling Products in The United
States, International Law Practicum, Springs: New York State Bar
Association, 2003.
Kadlestz, Andreas. "Aviation Products Liability and Insurance in the
European Union: Legal Aspects and Insurance of Liability of Civil
Aerospace Products Manufacturer's in the European Union for Damage
to Third Parties", Annals of Air and Space Law, VoI.XXI, 1996.
Kusumaatmadja, Mochtar. "Pertumbuhan Penerbangan Sipil di Asia Pasifik
Menjelang Tahun 2000 dan Seterusnya: Suatu Tantangan dan Jawaban",
Jurnal Ilmiah Era Hukum No.6, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Tarumanagara, 1995.
Lascher. "Strict Liability in Tort for Defective Products", 38 South California
Law Review, 1965.
Norton, David T. "Crisis Management Planning for Small Air Carrier Aircraft
Parts Manufacturers, Installers or Maintainers, and Other Aviation
Industry Participants ", 66 Journal of Air Law and Commerce, Spring:
Southern Methodist University School of Law, 2001: 546
Purba, Hasim. "Aspek Hukum Kecelakaan Pesawat Udara", Jurnal Hukum
Mahadi, Tahun ke VII, Edisi April, 1998.
Rajagukguk, Erman, "Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi di Indonesia
Menyongsong Abad XXI", UNISIA No.33/XVIII/I/97, 1997.
Schaden, R . "Aircraft Crashworthiness", 14 Trial Magazine, January 1978.
Silooy, Edward A. "Sistem Tanggung Jawab Internasional Pengangkut Udara
Memasuki Millenium 2000", Makalah Forum Diskusi tentang
Mewujudkan Penyelenggaraan Penerbangan Aman, Selamat dan
Bertanggung Jawab, Jakarta: 27 Juli 2000.
Sudiro, Ahmad. "Tanggung Jawab Pengangkut Udara dan Asuransi", Jurnal
Ilmiah Era Hukum No.4, Jakarta: Fakultas Hukum Univers itas
Tarumanagara, 1999.
_______ __ . "Periindungan Hukum Pada Konsumen Pengangkutan
Udara", Jurnal Ilmiah Hukum Honeste Vivere, Vol. XIX, Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, 2005.

Anda mungkin juga menyukai