Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ENZIM PANGAN

PERANANAN ENZIM DALAM PENGOLAHAN MAKANAN DAN MINUMAN

SILVIA RACHEL PARASI

G 301 17 003

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul  PERANAN ENZIM DALAM
PENGOLAHAN MAKANAN DAN MINUMAN ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada mata kuliah enzim pangan Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang enzim lipase bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Palu, 27 maret 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 ENZIM DALAM PENGOLAHAN PANGAN
2.2 ENZIM PADA INDUSTRI BIR
2.3 ENZIM PADA PRODUKSI HIGH FRUCTOSE CORN SYRUP (HFCS)
2.4 PEMANFAATAN XILANASE UNTUK MAKANAN DAN MINUMAN
2.5 ENZIM LIPASE UNTUK PRODUK BAKERY
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Enzim berperan sangat penting dalam industri pangan, baik produk pangan tradisional
maupun maupun desain produk pangan yang baru. Sebelum dikenalnya teknologi
modern, pemanfaatan enzim sudah dilakukan dengan tidak sengaja. Misalnya, pada
proses pengolahan minuman beralkohol dan keju. Proses malting pada pengolahan
minuman beralkohol berkembang aktivitas enzim amilase dan protease yang memecah
pati dan protein pada mashing biji-bijian menghasilkan gula dan zat gizi lain yang
dibutuhkan oleh yeast pada proses selanjutnya. Demikian pula pada pengolahan keju,
peran enzim protease sangat penting dalam memecah misel kasein sehingga terbentuk
curd pada tahapan pembuatan keju. Dengan kemajuan teknologi, peran enzim dalam
produksi pangan sudah dilakukan optimasi terhadap kondisi proses sehingga aktivitas
enzim dapat berjalan seperti yang diharapkan.

Contoh lain dari peran enzim untuk menghasilkan mutu pangan yang baik adalah proses
produksi daging saat pemotongan hewan. Proses perubahan otot menjadi daging
diperlukan kerja enzim, sehingga daging yang dihasilkan mempunyai mutu yang baik.
Pentingnya hewan diistirahatkan sebelum dipotong, membunuhnya tanpa trauma, dan
melayukan daging beberapa jam atau hari, dilakukan sebelum peran enzim selama proses
tersebut diketahui. Sekarang telah diketahui bahwa pada saat hewan diistirahatkan
sebelum dipotong menjamin ketersediaan glikogen sebagai substrat dari kerja enzim post
mortem enzim. Proses glikolisis post mortem dan protease dalam proses konversi otot
menjadi daging sangat penting untuk proses selanjutnya dan memperbaiki mutu daging.

Banyak produk pangan lain yang didesain dengan mengembangkan kerja enzim, baik
langsung maupun tidak langsung. Contoh produk-produk pangan akibat kerja enzim
secara tidak langsung adalah produk pangan fermentasi yang melibatkan mikroorganisme
seperti yogurt, tempe, kecap, tape, sosis, dan lain-lainnya. Aktivitas enzim yang
dimanfaatkan dalam proses produksi pangan secara endogenus berasal dari tanaman,
hewan, maupun mikroorganisme. Aktivitas enzim endogenus dapat dimanipulasi dengan
melakukan optimasi terhadap kondisi kerja enzim (pH dan suhu) atau meningkatkan
ekspresi enzim dengan teknik rekayasa genetik. Karena keterbatasan penggunaan teknik
manipulasi tersebut, maka berkembang ide untuk menambahkan enzim dari sumber lain
(enzim eksogenus) untuk memperbaiki reaksi-reaksi yang sudah ada atau menginisiasi
reaksi-reaksi baru. Pemanfaatan dan manipulasi kerja enzim telah pula dipergunakan
untuk mendesain produk pangan fungsional.

1.2  Rumusan Masalah

bagaimana keterlibatan suatu enzim dalam bidang bahan pangan, khususnya dalam skala
industri makanan dan minuman ?

1.3 Tujuan

untuk mengetahui keterlibatan suatu enzim dalam bidang bahan pangan, khususnya
dalam skala industri makanan dan minuman.
BAB II
ISI

2.1. Enzim dalam pengolahan Pangan

Penggunaan enzim dalam industri pangan dilakukan karena enzim merupakan alat yang
ideal digunakan untuk memanipulasi bahan-bahan biologis. Beberapa keuntungan
penggunaan enzim dalam pengolahan pangan adalah aman terhadap kesehatan karena
bahan alami, mengkatalisis reaksi yang sangat spesifik tanpa efek samping, aktif pada
konsentrasi yang rendah, dapat diinaktivasi, dan dapat digunakan sebagai indikator
kesesuaian proses pengolahan. Walaupun demikian, dari ribuan enzim ditemukan oleh
para ahli biokimia, hanya sebagian kecil enzim dapat dimanfaatkan dalam industri
pangan. Hal ini disebabkan oleh ketidaksesuaian kondisi reaksi enzim, ketidakstabilan
enzim selama pengolahan, atau karena biaya yang terlalu mahal untuk menggunakan
enzim dalam pengolahan pangan.

Pada saat enzim dipertimbangkan untuk digunakan dalam industri pangan, maka sangat
penting dijamin bahwa pemanfaatan enzim tersebut akan memberikan keuntungan secara
komersial. Enzim dapat bermanfaat untuk konversi bahan baku menjadi bahan yang lebih
mudah diolah pada tahapan proses selanjutnya. Selain untuk pengolahan yang lebih
efisien dan aman, enzim dalam industri pangan dapat dimanfaatkan untuk mendesain
produk pangan yang lebih mudah dicerna saat dikonsumsi. Degradasi makromolekul
menjadi senyawa yang lebih sederhana dan mudah diserap di dalam saluran pencernaan
sangat diperlukan oleh orang yang bermasalah dengan produksi enzim-enzim
pencernaan.

Ada dua cara penggunaan enzim dalam pengolahan pangan, yaitu memanfaatkan enzim
yang alami ada dalam produk pangan (enzim endogenus) dan menambahkan enzim dari
luar ke dalam bahan pangan yang diolah (enzim eksogenus). Enzim endogenus dapat
berasal dari bahan baku pangan (nabati atau hewani) maupun dari mikroorganisme yang
digunakan dalam proses fermentasi produk pangan. Enzim eksogenus sudah banyak
diproduksi secara komersial untuk dapat dimanfaatkan dalam proses pengolahan
pangan. 

Secara alami enzim terdapat dalam sel dari mikroorganisme, jaringan tanaman dan
jaringan hewan. Keterlibatan enzim dalam pengolahan pangan tidak semua
menguntungkan. Enzim yang merugikan dapat menyebabkan kerusakan pangan seperti
pembusukan, perubahan flavor, warna, tekstur dan kandungan gizi pangan. Untuk itu,
dalam pengolahan pangan, inaktivasi enzim yang tidak menguntungkan tersebut perlu
dilakukan. Namun beberapa enzim alami pada makanan apabila dikonsumsi segar dapat
membantu kerja pencernaan dan kerja pankreas untuk sekresi enzim tidak bekerja berat.
Bahan pangan yang melalui pemasakan (pemanasan) akan menginaktifkan enzim-enzim
alami yang terdapat dalam makanan segar. Apabila kita selalu mengonsumsi makanan
yang dimasak dalam waktu yang lama, maka akan terjadi kekurangan enzim yang kronis
(chronic enzyme deficiency) yang memberi kecendrungan pada penyakit kanker.

2.2.  Enzim pada industri Bir

Pembuatan bir (bahasa Inggris: brewing, dibaca; bruwing) adalah proses yang
menghasilkan minuman beralkohol melalui fermentasi. Metode ini digunakan dalam
produksi bir, sake, dan anggur. Brewing memiliki sejarah yang panjang, dan bukti
arkeologi menunjukkan bahwa teknik ini telah digunakan di Mesir kuno. Berbagai resep
bir ditemukan dalam tulisan-tulisan Sumeria. Tempat pembuatan bir dinamakan brewery
(bahasa Inggris) atau brauerei (bahasa Jerman). Teknologi pembuatan bir mengalami
perubahan yang cukup besar dari abad ke abad, dan bahkan dewasa ini setiap pembuat
punya caranya sendiri. Tetapi, secara umum, hampir semua bir mengandung empat
bahan dasar: barli, hop, air dan ragi.

Seluruh proses pembuatan bir dapat dibagi menjadi empat tahap: pembuatan malt,
pengolahan wort, fermentasi dan pematangan. Pembuatan malt : semua bir dibuat dari
malt. Malt ini, tergantung kebiasaan, dibuat dari bulir jelai, gandum, atau kadang
gandum hitam. Selama tahap ini, barli disortir, ditimbang, dan dibersihkan. Setelah itu,
barli direndam dalam air dengan tujuan supaya barli itu berkecambah. Prosesnya
memakan waktu antara lima sampai tujuh hari pada suhu sekitar 14 oC. Hasilnya adalah
malt hijau, yang dipindahkan ke oven khusus untuk dikeringkan di kiln. Proses
perkecambahan menghasilkan beberapa enzim, terutama α-amilase dan β-amilase, yang
akan digunakan untuk mengubah pati dalam bulir menjadi gula. Kadar air dalam malt
hijau itu diturunkan hingga antara 2% sampai 5% agar berhenti berkecambah. Setelah
dikeringkan, kecambah dibuang dari butiran malt, lalu malt itu digiling. Kemudian, tahap
berikutnya bisa dimulai. Pengolahan wort Malt yang telah digiling dicampur dengan air
untuk menghasilkan adonan, yang kemudian dipanaskan perlahan-lahan dalam sebuah
proses yang dinamai mashing. Mashing biasanya memakan waktu 1 sampai 2 jam.
Pada suhu tertentu, enzim-enzimnya mulai mengubah sarinya menjadi gula sederhana.
Tetapi ini berlangsung lebih dari empat jam dan menghasilkan wort yang kemudian
disaring sampai bersih. Berikutnya adalah proses pendidihan, yang menghentikan
kegiatan enzim. Selama pendidihan, hop ditambahkan ke dalam wort untuk
menghasilkan rasa pahit bir yang khas. Setelah kira-kira dua jam dididihkan, wort
didinginkan sampai suhu tertentu. Fermentasi inilah tahap terpenting dalam proses
pembuatan bir. Dengan bantuan ragi, gula sederhana dalam wort diubah menjadi alkohol
dan karbon dioksida. Lama fermentasi yang berlangsung tidak lebih dari seminggu, dan
suhu proses itu bergantung pada jenis bir misalnya ale (bir keras) atau lager (bir ringan)
yang dihasilkan.

Bir mentah itu kemudian dipindahkan ke dalam tangki-tangki di ruang penyimpanan


bawah tanah untuk dimatangkan. Selama tahap ini, terbentuklah rasa serta aroma bir
yang khas dan juga gelembung-gelembung dari karbon dioksida. Bir mengalami
pematangan selama suatu periode dari tiga minggu sampai beberapa bulan, bergantung
pada jenis bir. Akhirnya, bir yang telah jadi itu dikemas dalam gentong atau botol dan
siap dikirim ke tempat tujuan akhir.

2.3. Enzim pada produksi High Fructose Corn Syrup (HFCS)

Pembuatan HFCS (High Fructose Corn Syrup) dapat dilakukan dengan tersediaanya
substrat pati jagung dan enzim isomerase yang mampu merubah glukosa menjadi
fruktosa. Kini telah berkembang penggunaan “immobilized enzymes”, suatu enzim yang
dikurung dalam sejenis kapsul, sehingga substrat dan produknya saja yang dapat masuk
ke luar, sedang enzimnya tidak ke luar (immobilize) dari kapsulnya. Dengan demikian
penggunaannya dapat berulang-ulang, sampai mengalami stadium “fatigue”.

Salah satu produk HFCS (yang pertama diproduksi) mengandung 71 persen padatan
terlarut, dengan susunan 42 persen fruktosa, 52 persen dekstrosa (glukosa) dan 6 persen
gula-gula lain. Karena kandungan dektrosanya, suhu penyimpanan sebaiknya dilakukan
pada 80 – 900F, untuk mencegah terjadinya kristalisasi glukosa.

Untuk per ton pati diperlukan enzym liquefaction amylase sebanyak 1.15 kg, enzim
sacharifikasi 0.85 kg, enzim isomerase 0.70 kg, filter aw 5.54, “active carbon” 6.00 kg.
NaCI 10.9 kg dan HCI 56.20 kg. Untuk perhitungan tahun 1983 biaya bahan tambah
tersebut meliputi Rp. 80.000,- per ton HFCS.
2.3.1. Likuifikasi

Kanji pati jagung (40 – 45%) dimasukkan ke dalam pompa dengan dicampur
enzim amilase dan cofaktor. PH diatur sampai sekitar 6.8 sebelum ditambah
dengan enzim. Dan kemudian dinjeksikan uap air panas sehingga mencapai suhu
reaksi enzim yaitu 1040C. Dengan tekanan uap, mampu sekaligus mengocok
sehingga mempercepat reaksi. Penambahan enzim dilakukan dan produk dibiarkan
pada suhu 930C selama 60 menit sehingga proses likuifikasi berlangsung lengkap.
Pada tahap tersebut seluruhpati telah dirubah sehingga mencapai dekstrose-
eqivalen (DE) sekitar 15 – 20.

2.3.2. Sacharifikasi

Campuran didinginkan sehingga mencapai 600C, suhu yang optimal untuk proses
sacharifikasi. Karena reaksinya exotherm maka ada kecenderungan proses
menyebabkan bertambahnya suhu, karena itu harus diturunkan dan dikendalikan.
Pengendalian suhu sangat penting pada tahap sacharifikasi. Produk akhir mencapai
DE 95 – 98.

Whitaker (1972) mengatakan dalam kurun waktu 50 tahun mendatang, khususnya


dalam penelitian daging, perkembangan teknologi enzim akan mengarah ke
masalah pemanfaatan enzim selama pemeraman daging (kaskas) sehingga dapat
dicapai sesingkat mungkin. Dengan teknologi enzim yang maju misalnya dengan
pengendalian enzim dalam daging, digabung dengan penambahan enzim yang
spesifik akan dapat mencernakan polimer-polimer yang bertanggung jawab
terhadap keempukan daging berbagai enzim daging tersebut, enzim kolagenase
akan banyak berperan, diharapkan daging yang memenuhi mutu yang dikehendaki
tanpa mengalami proses pemeraman. Dengan demikian cara tersebut akan sangat
lebih ekonomis dibanding harus menunggu proses pemeraman yang lamanya 2 – 3
minggu atau lebih.

Pada hakekatnya yang menyebabkan kekerasan daging itu bukan jumlahnya


kolagen tetapi mutu atau jenis kolagen yang menentukan kekerasan daging. Enzim
spesifik tersebut (kolagenase) diperlukan untuk mencegah pemeraman dan
terjadinya penuaan. Enzim kolagenase tersebut dapat diperoleh dari mikroba
khususnya yang diisolasi dari kulit yang telah disamak C. histolyticum, yang
memiliki keaktifan enam kali lebih aktif dari kolagenase ternak.

Bahkan enzim kolagenase tersebut telah berkembang penggunaannya untuk


mencegah proses penuaan pada manusia sehingga dapat lebih awet muda. Usaha-
usaha mencari enzim anti crosslink tersebut akan berkembang maju di masa depan.
Bjorksten (1977) dalam mencari jenis enzim tersebut telah menemukan dan
mengisolasi Ca-activated (“micro-protease”) dari B. ceresu, yang istimewa dari
enzim tersebut adalah ukurannya yang sangat kecil, dengan demikian
memungkinkan memasuki dan menembus serat-serat kolagen. Enzim-enzim yang
mampu memecah ikatan C-N akan besar perannya dalam memecahkan cross-link.
Enzim yang mampu menghambat bahkan menyetop terjadinya senescen =
kelayuan dan penuaan pada buah khususnya memantapkan kemudaan, kelayuan
dan kerenyahan produk hortikultura akan terus mendapat perhatian khususnya
enzim yang berasal dari mikroba.

2.3.3. Refining sirup dekstrosa

Proses refining dimulai dengan proses filtrasi. Filtrasi dilakukan secara vakum
yang mampu menjaring protein, serat atau padatan lain dengan cara sirup ampas
dikeringkan untuk kemudian dibuat pellet untuk makanan ternak.

Sirup yang telah disaring tersebut dipompakan ke dalam kolom karbon aktif dan
ion exchange dalam bentuk seri untuk lebih memurnikan sirup. Kolom karbon aktif
biasanya terdiri dari dua buah kolom yang mampu menampung aliran sirup dnegan
“retention time” 400 jam, yang diperlengkapi dengan alat distributor yang
menjamin distribusi sehomogen mungkin. Setelah melalui karbon aktif, sirup
tersebut dialirkan dalam tangki-tangki “ion exchange” dan kemudian disaring lagi
untuk memisahkan adanya karbon yang terikut dalam sirup. Fungsi “ion-exchange”
ialah untuk menghilangkan zat-zat mineral dalam sirup dan residu protein atau zat-
zat warna yang mungkin lolos dari kolom karbon aktif. Tahap berikutnya adalah
pengentalan kembali dengan dilakukan evaporator.
2.3.4. Isomerisasi
Glukosa dan fruktosa adalah merupakan isomer satu dengan yang lainnya, artinya
memilih berat molekul dan susunan atom yang sama tetapi dengan struktur
konfigurasi yang berbeda. Glukosa dapat dirubah strukturnya menjadi fruktosa atau
sebaliknya, fruktosa dapat dirubah menjadi glukosa dengan pertolongan enzim
yang sama yaitu glukosa-isomerase. Proses perubahan tersebut disebut “enzymatic
glucose-isomerization”. Karena enzim tersebut “reversible” artinya dapat
mengkatalis ke aksi bolak-balik maka produk akhir selalu merupakan campuran
dari biak glukosa maupun fruktosa. Relatif komposisi campuran dari kedua jenis
gula tersbut dapat bervariasi tergantung kondisi reaksi, suhu dan keasaman dimana
proses isomerasi berlangsung. High Fructose yang diproduksi mengandung
fruktosa 42 persen, 50 persen glukosa dan 8 persen oligomerasi (gula lain).

Sirup kental dengan kadar padatan 45 persen dimasukkan ke dalam isomerasi


selama 15 menit untuk mengatur pH 8.0 dan penambahan Mg sulfat sebagai
promts, sirup dipompakan ke dalam kolom-kolom isomerasi. Sebelum proses
dimulai, suhu kasar dan suhu tepat (600C) diatur secara cermat, dilakukan di aerasi
dalam kolom sehingga mencapai kevakuman 254 mm Hg dan enzim gluko
isomerasenya telah pula disiapkan. Adanya oksigen terlarut dapat memblokir
reaksi isomerasi. Dalam industri yang berskala besar proses isomerasi dilakukan
pada sembilan kolom reaktor (fixed bed, densiflow) dan beberapa “immobilized
enzym” kolom reaktor. Enzim dalam kolom secara cepat berubah secara
isomerisasi, glukose menjadi fruktosa. Kadar sirup glukosa harus diatur selalu tetap
yaitu antara 42.5 – 43 persen agar “flowrate”nya konstan.

2.3.5. Refining HFS

“High Fructose Syrup” yang diperoleh kemudian ditampung dalam tangki


penampung dan kemudian dialirkan ke dalam filter, karbon aktif dan “ion-
exchange” kolom seperti yang digunakan dalam proses pemurnian sirup glukosa.
Karbon aktif mengambil senyawa berwarna yang terjadi selama proses isomerasi
dan “ion-exchange” mengambil garam anorganik yang digunakan dalam proses
isomerasi sehingga kadar abu dapat ditekan menjadi serendah mungkin. Sirup HFS
yang diperoleh disaring lagi, dipanaskan pada suhu di bawah diskolom HFS untuk
meningkatkan kekentalan sirup sehingga mencapai kadar padatan terlarut 71
persen, disaring lagi baru ditampung ke dalam tangki-tangki penyimpanan.

2.4. Pemanfaatan Xilanase untuk Makanan dan Minuman

Xilanase dapat juga digunakan untuk menjernihkan juice, ekstraksi kopi, minyak nabati,
dan pati (Wongdan Saddler, 1993). Kombinasi dengan selulase dan pektinase dapat
untuk penjernihan juice dan likuifikasi buah dan sayuran (Beg et al.,2001). Efisiensi
xilanase dalam perbaikan kualitas roti yang telah dilakukan, yaitu xilanase yang berasal
dari Aspergillus niger var awamori yang ditambahkan ke dalam adonan roti
menghasilkan kenaikan volume spesifik roti dan untuk lebih meningkatkan kualitas roti
maka perlu dilakukan kombinasi penambahan amilase dan xilanase (Maatet al., 1992).

Sekalipun potensi penggunaan enzim xilanase cukup beragam tetapi untuk memproduksi
juga masih menghadapi beberapa kendala, antara lain tidak tersedianya strain
mikroorganisme unggul dan kurangnya pengetahuan tentang teknologiproduksi enzim.
Di lain pihak, pakar dari negara maju mengakui bahwa negara yang kaya akan
keanekaragaman hayati, termasuk Indonesia, merupakan sumber mikroorganisme
maupun tanaman yang potensial untuk bioproses (Fox, 1994).

Melihat potensi bahan limbah berlignoselulosa yang melimpah, serta kekayaan sumber
keanekaragaman hayati mikroorganisme di Indonesia, maka perlu dilakukan inovasi ke
arah industri enzim. Xilanase yang sangat beragam penggunaannya dapat diproduksi
sendiri di Indonesia seandainya memiliki strain mikroorganisme unggul penghasil
xilanase dan menguasai teknologi produksinya. Ekstraksi secara mekanis memiliki
keuntungan dalam pengambilan sari buah dari daging buahnya karena caranya yang
sederhana, biaya murah, tekanan dapat disesuaikan dengan jenis bahan, dan alat
pengempa dapat untuk bermacam-macam bahan.

2.5. Enzim Lipase untuk produk bakery

Enzim lipase merupakan salah satu enzim yang memiliki sisi aktif sehingga dapat
menghidrolisis triasilgliserol menjadi asam lemak dan gliserol. Enzim lipase dapat
digunakan untuk menghasilkan emulsifier, surfaktant, mentega, coklat tiruan, protease
untuk membantu pengempukan daging, mencegah kekeruhan bir, naringinase untuk
menghilangkan rasa pahit pada juice jeruk, glukosa oksidase untuk mencegah reaksi
pencoklatan pada produk tepung telur dan lain-lain.

Sumber-sumber enzim lipase antara lain : bakteri (S. aureus), kapang (Aspergillus niger,
Rhizopus arrhizus), tanaman yang menghasilkan trigliserida (kacang-kacangan),
pancreas, susu. Aplikasi enzim lipase untuk sintesis senyawa organik semakin banyak
dikembangkan, terutama karena reaksi menggunakan enzim lipase bersifat regioselektif
dan enansioselektif. Aktifitas katalitik dan selektivitas enzim, tergantung dari struktur
substrat, kondisi reaksi, jenis pelarut, dan penggunaan air dalam media.Contohnya
biosintesis senyawa pentanol, hexanol & benzyl alkohol ester, serta biosintesis senyawa
terpene ester menggunakan enzim lipase yang berasal dari Candida antartica dan Mucor
miehei.
BAB III
KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa :


1). Enzim merupakan katalisator protein yang mengatur kecepatan berlangsungnya berbagai proses
fisiologis. Sebagai katalisator, enzim ikut serta dalam reaksi dan kembali ke keadaan semula bila
reaksi telah selesai.
2). Temperatur, pH, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, inhibitor mengubah kecepatan reaksi
yang penting.
3). Dalam industri makanan atau minuman enzim banyak digunakan untuk menghasilkan atau
meningkatkan kualitas dan keanekaragaman produk melalui mekanisme fermentasi, peragian dan
sejenisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman , Albar & Setyawan ,Sigit . Pengaruh Konsentrasi Substrat, Lama Inkubasi Dan
Ph Dalam Proses Isolasi Enzim Xylanase Dengan Menggunakan Media Jerami
Padi . Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro :

http://www.foodreview.biz/login/index.php

http://sudarmantosastro.wordpress.com

http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/13/rekayasa-genetika-mikroorganisme-
penghasil-enzim-lipase

Anda mungkin juga menyukai